Quantcast
Channel: let the beast in!
Viewing all articles
Browse latest Browse all 142

Travel Photo Series: Tokyo Disneyland & the Boys

$
0
0
DSCF2556

Bagi gue—seorang fanatik taman hiburan Disney kelas kakap—haram hukumnya halan-halan ke sebuah kota ber-Disneyland tanpa mengunjungi Disneyland-nya. Maka pas ke Tokyo bulan Juli kemarin, tentunya gue mustik ke Tokyo Disneyland. Dua kali! Di hari yang berbeda! *nge-gas* Dalam satu kunjungan, personilnya adalah gue, T, dan Raya. Dalam kunjungan berikutnya, personilnya nambah Aydin, anaknya adek gue yang seumuran Raya.

Di masa kejayaannya (duile, kejayaan kerajaan Sriwijaya kali), blog ini banyak disukai (GR aja!) karena travel stories-nya, khususnya travel stories tentang Disnileng. So here’s a little nostalgic post, di masa senjakala blog seorang Disneypark-head ini (eh lho, kok sedih…).

KENAPA CUMA KE TOKYO DISNEYLAND? NGGAK KE TOKYO DISNEYSEA JUGA? 

Monmap kalau bikin eneg, tapi jujur, alasannya murni karena idealisme.

Tokyo Disneyland (TDL) adalah taman hiburan Disney yang tergolong besar dan padat untuk anak seumur Raya. Meski begitu, gue kepengen Raya bisa menyerap keseluruhan taman hiburan tersebut. Gue pengen dia paham tema tiap zona TDL, punya waktu untuk naik banyak wahana serta nonton pertunjukkan, dan bisa duduk makan di salah satu restoran TDL yang cantik, tanpa keselek karena terburu-buru.

Inti jawabannya, gue pengen Raya menyerap atmosfer TDL, agar kenangannya terbentuk dengan baik dan awet di kepalanya. Gue nggak mau kami cuma lari-lari dari satu wahana ke wahana lain, foto-foto sama badut ((badut)), selfie-selfie, trus pulang. Uuuu, idealis atau mati!

Kalau ke TDL-nya cuma sehari, Raya nggak akan bisa menyerap atmosfernya dengan baik. Jadi, mumpung ada waktu dan duit, pergilah kami ke TDL selama dua hari. Nah, kalau ditambah ke Tokyo DisneySea (TDS) juga, waktu dan duit habis ‘kan ya, seus.

Prinsip ini Alhamdulillah cukup sukses. Gegara ke TDL-nya dua kali, Raya jadi lebih paham konsep TDL secara menyeluruh, juga paham backstory masing-masing wahana yang kami naikin, sehingga dia lebih enjoy. Enjoy nggak, sih, nak? Enjoy‘kan? *maksa*

Gue milih TDL, bukan TDS, karena tema dan atmosfer TDS lebih berat untuk anak seumur Raya. Laut! Maritim! Penjelajahan! Jules Verne! Bucet, deh. Sehingga tentunya TDL lebih gampang ditelan, karena atmosternya lebih kids-friendly, penuh fantasi, warna-warni, dan berdasarkan film-film Disney yang udah dikenal oleh Raya.

PERIHAL ANTRIAN DAN KERUMUNAN

DSCF2419

TDL adalah Disney park yang paling susah ditebak crowd-nya. Alasannya pernah gue jabarin di sini.

Pemirsa yang ngikutin kisah-kisah Disnileng gue sedari dulu, pasti tahu bahwa gue selalu bikin trip plan tiap kali gue ke taman hiburan, khususnya taman hiburan Disney. Alasannya supaya gue bisa memaksimalkan waktu dengan sebaik mungkin, dan menghindari antrian panjang.

Untuk membuat sebuah trip plan, kita harus tahu pola dasar pergerakan crowd taman hiburan tersebut. It’s all basic logic, really. Misalnya, di Disneyland, area Fantasyland dan ToonTown pasti penuh dari sekitar jam 10.00 sampai 17.00, karena area tersebut dirancang untuk anak-anak, dan jam-jam segitu, anak-anak lagi “on”. Kalau malam, area tersebut sepi, karena bocah-bocah udah pada pulang.

Contoh lainnya, orang Jepang sangat terobsesi dengan parade atau live show. Jadi, kalau kita kepengen naik sebuah wahana yang populer, coba naikin pas lagi ada parade/pertunjukkan supaya antrian wahana tersebut nggak terlalu gila, berhubung sebagian besar pengunjung pada tersedot nonton parade. Sebaliknya, kalau kita mau ikutan nonton parade, kita harus bikin perencanaan yang disiplin. Misalnya, nge-tek tempat duduk sejam sebelum parade dimulai. Kalau nggak, area paradenya akan terasa bak pinggang celana saat habis makan buffet kawinan. Sesek, shay.

DSCF2553

DSCF2550

Jujur aja, membuat trip plan untuk TDL cukup tricky. Soalnya, pertama, pergerakan crowd TDL nggak bisa ketebak. Di hari Senin aja TDL bisa rame banget, padahal bukan pas libur nasional. Why?! Pada bolos kerja/sekolah semua apa gimana?!

Kedua, di internet, contekan trip planning untuk TDL tuh minim banget. Seenggaknya, contekan yang berbahasa Inggris. Kalau untuk Disney parks di Amerika, sih, contekannya ada banyak sekali, dari berbagai website atau blog sesama fanatik Disney parks. Isi contekannya kira-kira seperti ini. Tujuannya satu, yaitu membuat kunjungan kita ke Disney parks seefektif dan seefisien mungkin.

Oke, jadi gimana kunjungan ke TDL kemarin ini, La? Sukses nggak bikin efisiensi waktu?

Kemarin ini, kami ke TDL tanpa trip planning yang saklek, gara-gara gue nggak sempat bikin. Punya rencana, sih, tapi di kepala semua.

Secara kasar, gue tahu kami harus:
  1. ARRIVE EARLY! Paling lambat 30 menit sebelum gerbang TDL dibuka. 
  2. Wahana populer harus dinaiki di jam-jam sepi. Misalnya, dalam 30 menit pertama TDL baru buka, saat ada parade, atau menjelang TDL tutup. 
  3. Maksimalkan Fastpass (jangan minta gue jelasin strategi memaksimalkan Fastpass, ya :D PANJANG).  
  4. Gue harus tahu, apa aja wahana yang berpotensi penuh terus sepanjang hari, apapun situasinya. Misalnya, wahana Peter Pan, gara-gara kapasitas “perahu” dia kecil dan loading penumpangnya lama.  
  5. Gue harus tahu, wahana apa aja yang “aman” dinaiki di jam kritis, alias ketika crowd lagi padat-padatnya, atau hari lagi panas-panasnya. Misalnya, Country Bear Jamboree, Haunted Mansion, atau It’s A Small World, berhubung wahana-wahana tersebut berkapasitas besar sehingga nggak bikin antrian panjang, juga nyaman karena fully indoor dan ber-AC.
    Alhamdulillah, pas kami ke sana, TDL lagi nggak terlalu sesak (untuk standar TDL, ya).

    DSCF2430
    Obat anti-bosen paling ampuh! Monmap ya, para Mamah anti-gadget. Aku nggak ikutan dulu.

    DSCF2431

    Tapi betenya, kami ke Tokyo saat lagi ada serangan heatwave. Jadi selama di sana, poanasnyaaa edan-edanan. Pokoknya Tokyo rasa Tanjung Priuk. Jadi mungkin, crowd TDL yang nggak terlalu padat itu adalah kompensasi Tuhan atas udara panas yang menggila.

    Betenya lagi, di hari pertama, kami datang telaaaat! Nyampe jam 12 siang mak, which is very, very late for my standards. Trus, karena udara panas banget, segala perencanaan yang udah dalam kepala pun ambyar. Alhasil, gue spontan menavigasi TDL pake insting aja.

    Di hari pertama itu, gue nggak berharap banyak, deh. Kalau cuma bisa naik sedikit wahana, nggak apa-apa. Gue nggak mau lari-lari mengejar waktu dan ambisi, karena a) stamina mamake sudah tidak muda lagi, dan b) panasnya edan banget. Nggak kuat!

    Alhamdulillah wa syukurilah, pada akhirnya kami bisa naik banyak wahana, kok. Sekitar belasan wahana, lah. Fastpass pun terpakai dengan oke, walaupun nggak semaksimal yang gue pengenin. Kami sempat juga nge-tek tempat duduk nonton Electrical Parade, satu jam sebelum parade itu dimulai.


    DSCF2654



    DSCF2668

    DSCF2661

    DSCF2681
    DSCF2689

    DSCF2692

    DSCF2700

    DSCF2715

    Rahasianya apa, sih, bu?

    Pertama, sabar dan tawakal! Kebetulan pas kami ke TDL selama dua hari itu, crowd-nya nggak terlalu edan. Kalau pas edan? Sabar aja, dan jangan pasang ekspektasi.

    DSCF2952

    Kedua, gunakanlah apps yang menginfokan antrian setiap wahana secara live, misalnya apps ini. Awalnya, gue datang ke TDL dengan keder, karena nggak sempat bikin urutan strategis wahana yang mau dinaikin, tapi ternyata apps tersebut bisa jadi pelipur lara. Jadi, selama di TDL, gue bolak-balik nge-cek apps antrian itu, untuk tahu wahana apa yang antriannya nggak panjang dan jaraknya nggak jauh dari lokasi kami, untuk menentukan selanjutnya mau naik wahana apa.

    DSCF2827

    Ketiga, kalau sikon nggak memungkinkan, jangan ambisi menjelajah SELURUH Disneyland dalam sehari. Di hari pertama, kami cuma ngiderin Fantasyland, Tomorrowland, dan sedikit Adventureland. Di hari kedua, kami baru nyentuh Westernland, Adventureland, dan Toontown. Untungnya kami memang merencanakan ke TDL dua hari. Waktu itu rasanya mustahil ngejajal seluruh TDL dalam sehari, karena—SEKALI LAGI HARUS GUE ULANG—udaranya panas banget!

    DSCF2410

    Keempat, kami nggak banyak pit stop untuk makan dan foto-foto. Apalagi foto sama karakter/badut yang pake ngantri. Selain makan siang, kalau haus atau lapar, jajan on-the-go aja supaya cepat. Ini preferensi pribadi, sih. Kalau lo dan/atau anak lo menemukan kebahagian dari foto-foto bareng karakter—dan memang udah bikin planning untuk itu—silahkan banget.

    DSCF2577

    DSCF3101

    Di hari pertama, kami bertahan main di TDL dari jam 12.00 siang sampai teng tutup, yaitu jam 22.00. Perkasa, yaaaa.

    Di hari kedua, kami tiba lebih awal, yaitu teng pas pembukaan gerbang TDL, di jam 9.00. Meskipun begitu, manusia yang ngantri di luar gerbang juga udah seabrek-abrek. Emang, deh, yang paling ideal adalah hadir 30-60 menit sebelum pembukaan. Dulu gue bisa disiplin melakukan ini di Amerika. Kok sekarang susah sih?! *tanda-tanda penuaan, udah susah sigap berangkat pagi dengan disiplin militer*

    Di hari kedua ini, kami bertahan sampai jam 20.30an. Nyaris 12 jam penuh non-stop, tanpa istirahat!!! Ajaibnya, Raya and Aydin braved through the day dengan gagah. Meski ada momen-momen dimana gue dan Raya hampir pingsan kecapekan, Alhamdulillah nggak ada aksi ngambek, rewel, atau tantrum sama sekali… dari anak-anak, ataupun dari gue sendiri :D *Teguh lap keringet *

    PERIHAL PERGI BARENG ANAK-ANAK  

    DSCF3031

    Dari seluruh pengalaman gue main ke Disney parks di seluruh dunia, seumur hidup, kunjungan kami ke TDL ini adalah yang paling magis buat gue. Serius! For me, this was a trip that is literally a dream come true.

    Kenapa?

    Soalnya, sejak gue masih perawan tingting, gue udah bercita-cita pengen menikmati Disneyland bareng anak gue. Hal ini udah kesampaian tahun lalu, ketika kami ke Orlando, Florida. TAPI, harus diakui, dulu Raya masih agak terlalu kecil.

    Wah, umur 5 masih terlalu kecil untuk main ke taman bermain? Untuk level Dufan, Jungleland Sentul, Jatim Park, atau mungkin HK Disneyland, sih, nggak. Tapi untuk ukuran Walt Disney World, dulu Raya masih agak overwhelmed. Many things were still too big, too intense, or too intimidating for him.

    Tahun ini, usia Raya ideal banget untuk diajak main ke TDL. Umurnya sudah 6 tahun, sudah lebih matang. Ibarat buah mangga, udah mengkel. Dia juga udah lebih paham terhadap konsep Disneyland, mulai dari tema zonanya, sampai tipe-tipe wahananya.

    Gue juga senang banget karena Aydin—yang seumuran Raya—bisa ikut bareng kami. Dua anak ini benar-benar kompak saling menghibur satu sama lain, dan usia mereka sudah cukup untuk bisa menikmati TDL dengan “sepatutnya”.

    DSCF2938

    DSCF2939

    DSCF2940
    Aydin mulai lebay

    Jadi sekali lagi, the trip was a dream come true for me. Senaaaaang sekali bisa melihat TDL dari kacamata bocah-bocah ini, yang mengalami segala sesuatu untuk pertama kalinya. For them, everything was SO BIG! SO NEW! SO PRETTY! So much excitement! Gue sendiri ‘kan orangnya gampang senang dan excited, ya, sementara T orangnya datar gila. Jadi pas bareng anak-anak ini, gue jadi ikutan hepi dan semangat.

    Bocah: “IBU, ISTANANYA BAGUS BANGET!”
    Gue: “IYAAA WOOW BAGUSNYAAA!” *padahal udah sering lihat*

    Bocah: “IBU, INI WAHANANYA SERU BANGET, YA!!!”
    Gue: “IYA, SERU BANGET!!!1!1 ” *padahal yang dinaikin cuma komidi putar *

    DSCF3123
    Selama di TDL, gue melarang anak-anak bebelian, apalagi bebelian mainan yang nggak istimewa. Tapi setelah naik wahana Pirates of the Carribean dua kali, mereka merengek pengen beli pedang-pedangan. Akhirnya gue izinkan, dengan syarat, mereka harus berani bayar sendiri ke kasir. Usaha komunikasi sendiri pake bahasa Tarzan. Eh, bisa!

    DSCF3113

    DSCF3115

    DSCF3130

    Ngomong-ngomong, menurut gue, main ke taman hiburan bareng anak, tuh, bisa mengajarkan banyak hal tentang anak kita sendiri. Pelajaran utama yang bisa gue ambil adalah: setiap anak betul-betul berbeda, dan tingkat interest atau keberanian mereka nggak linear.

    Di Walt Disney World, tahun 2017, Raya nggak bisa naik roller coaster sama sekali, termasuk roller coaster anak-anak sekalipun. Dia terlalu takut. Di tahun yang sama, Aydin nangis jejeritan dua ember karena dipaksa ibunya naik jetcoaster Alap-Alap di Dufan, hahaha. 

    Di kunjungan TDL kali ini, Raya dan Aydin sudah bisa diajak naik roller coaster. Nggak tanggung-tanggung, mereka naik Big Thunder Mountain Railroad (Aydin hepi, Raya nangis) dan Space Mountain (dua-duanya nggak nangis, tapi tegangnya kayak mau dimasukkin ke penyembelihan). Gila banget, ‘kan?! Itu ‘kan dua coaster yang paling “senior” di TDL. Mereka juga bisa menikmati Star Tours dan Pirates of Caribbean yang ada turunan/drop pendeknya. Sayangnya, mereka nggak mau naik Splash Mountain, wahana favorit gue sepanjang masa (fun fact: dulu gue pernah naik Splash Mountain lima kali berturut-turut sekali jalan. Mantyap!).

    DSCF3185

    DSCF2970
    Space Mountain

    DSCF3165

    Contoh lainnya, di tahun 2015-2017, Raya berani banget—bahkan cenderung penasaran—dengan setiap wahana rumah hantu yang dia temui, mulai dari rumah hantu di Jungleland sampai Tivoli Park. Tahun ini, Raya menolak mentah-mentah naik Haunted Mansion, rumah hantunya Disneyland.

    Mungkin karena semakin besar, imajinasi Raya makin liar, sehingga Haunted Mansion terasa jauh lebih seram. Gue baca di berbagai forum diskusi Disneyland, konon anak kecil memang seperti ini—tingkat keberanian dan interest-nya nggak linear dan bisa berubah-ubah. Seharusnya Raya lebih berani pas dia umur 6 tahun gini, dong, ketimbang saat dia umur 3 tahun? Ternyata malah kebalik, tuh. Dan dari baca-baca sharing sesama emak-emak, fenomena begini sering terjadi.

    DSCF2603

    DSCF2622
    Pirates of the Caribbean

    DSCF2542
    Star Tours

    DSCF2545

    DSCF2505

    DSCF2511

    DSCF2522

    DSCF2524
    It's A Small World

    DSCF2399

    Trus ya, di kunjungan ke Tokyo Disneyland ini, wahana favorit Raya adalah… Country Bear Jamboree. Masya Alloh, CBR ‘kan wahana nenek-nenek, saking jadul dan nggak serunya, hahaha. Bagi yang masih ingat sama Balada Kera di Dufan, CBR tuh kurang lebih kayak begitu (karena Balada Kera memang nyontek CBR). Kirain, di usia 6 tahun ini, Raya bakal lebih suka wahana yang lebih “seru”. Tapi ternyata anaknya paling suka sama Country Bear Jamboree, ya apa boleh buat? Sekali lagi—keberanian dan interest anak bisa random dan nggak linear! 

    Balik lagi ke kesimpulan utama: enam tahun adalah usia yang ideal banget untuk main ke Disneyland. Stamina anak udah oke, logikanya udah lebih jalan, kesabaran dan kontrol dirinya juga lebih pakem.

    DSCF2993

    DSCF3004

    DSCF3011

    Dan ternyata, pergi bareng Raya dan Aydin tuh menyenangkan sekali! Di Jakarta, mereka bukan dua insan yang selalu akur, klop, dan barengan terus, ya. Tapi selama di Tokyo, mereka kompaq banget. Dua bocah ini konsisten saling menghibur, saling tolong, dan saling ngebelain. Memang betul, deh, istilah “cousins are our first best friend”. Apalagi Raya dan Aydin memang sebaya dan udah bareng terus sejak lahir. Melihat mereka berdua, perasaan gue campur aduk terus, mulai dari hepi, terharu, sampai sedih karena belum ngasih Raya adik. Pokoknya cirambay melulu dalam hati.

    PERIHAL MAKANAN

    DSCF2478

    Walau selera makanan tuh personal banget, umumnya turis Indonesia sepakat bahwa makanan Jepang memang enak banget dan cucok di lidah. Alhasil, Disney Food cabang Jepang juga terasa jauuuh lebih lejat dibandingkan Disney Food cabang Disneyland lain.

    Pertama, kita bicara soal snacks-nya.

    Gue bukan tukang ngemil, lho, jadi gue nggak terlalu banyak icip-icip selama di TDL. Meski icip-icipnya agak minimalis, gue tetap bisa menyimpulkan bahwa snacks TDL endeus-endeus. Mulai dari berbagai es krimnya, berbagai churros-nya, turkey leg-nya, dan berbagai popcorn-nya dan dijual dengan 1001 macam rasa (yes, including the Black Pepper popcorn. I swear, it’s not weird).

    DSCF2637

    DSCF2841

    Snack TDL yang paling berkesan buat gue adalah minuman Tapioca Bubble Tea, yang dijual di kawasan Adventureland. Rasanya pas banget untuk lidah Asia yang suka teh susu ber-jelly, kayak gue ini. Creamy, tapi nggak terlalu manis dan bleneg. Dua gelas minuman tersebut gue kokop sampai es-es batunya dengan barbar, sampai dipandangi seorang cast member TDL dengan tatapan kagum. Nggak nyangka, deh, Disneyland bisa bikin bubble tea seenak ini!

    DSCF2591

    DSCF2594

    Sebagai perbandingan, salah satu snack Disney yang dibangga-banggakan oleh Walt Disney World di Amerika adalah Dole Whip, yang juga dijual di Adventureland, Magic Kingdom. Padahal Dole Whip cuma es krim soft serve vanilla belaka, dicampur es krim nanas. Rasanya pun gitu-gitu aja. Maka pas gue nyobain si Tapioca Bubble Tea ini, gue langsung, “Dole Whip? Ke laut aja, deh, bhaaay…”

    Kedua, gue akan bahas soal restorannya. Saban ke Disneyland, biasanya ‘kan gue paling anti makan di restoran. Soalnya selain mahal (kadang mahalnya mahal banget), rasa makanannya juga biasa aja. Suasana restorannya pun nggak mungkin wah-wah banget, karena apa, sih, yang bisa diharapkan dari restoran di taman bermain? Bahkan di restoran Disney termewah sekalipun, isinya pasti anak-anak jejeritan dan ortu-ortu kelelahan bau keringat juga.

    Prinsipnya, saat travelling, gue makan rumput digaremin sih hayo aja, asal kenyang. Gue sama sekali bukan foodie. Alhasil, tiap gue ke Disneyland, gue selalu pilih makanan yang murah dan praktis, supaya hemat uang dan waktu.

    Tapi di kunjungan ke TDL kali ini, gue sengaja ngajak keluarga gue dua kali makan di restoran yang tergolong “mewah”—Queen of Hearts Banquet dan The Plaza Restaurant.

    DSCF2446

    DSCF2448

    DSCF2452

    DSCF2463

    Queen of Hearts adalah restoran ala carte, sementara The Plaza adalah buffet / all-you-can-eat.

    Selayaknya restoran taman bermain, Queen of Hearts Banquet dan The Plaza Restaurant mahal, dan nggak menawarkan suasana yang eksklusif-eksklusif amat. TAPI, rasa makanan mereka enak! Sumpah. Enaknya bukan standar restoran Michelin dong, ya, tapi untuk standar restoran taman bermain, beneran enak, kok. Makanannya nggak terasa seperti frozen food semata, atau makanan instan yang diolah seadanya bak di kantin penjara. Semua menu yang kami coba ada nuansa gourmet-nya, dengan bahan-bahan yang terasa fresh. Ciyee, kayak ngerti aja.

    DSCF3005

    DSCF3023

    DSCF3013

    DSCF3021

    DSCF3005

    Oya, tips dari banyak ahli Disney park, kalau memang ada waktu dan bujetnya, usahakan, deh, makan siang di “restoran duduk” (sit-down restaurant), seperti Queen of Hearts Banquet dan The Plaza Restaurant ini. Soalnya, bisa sekalian jadi kesempatan istirahat. Ini penting banget, supaya kita dan anak-anak nggak overstimulated, nggak kecapekan, lantas cranky. Kalau bisa, sehabis makan, merem dulu barang 10-15 menit. Pas bangun ngopi dikit, trus jalan lagi.
    Memang ada tempat makan yang nggak “duduk”? Ada, dong. Misalnya, gerobak hotdog atau popcorn. Atau kedai makanan yang sistemnya seperti kedai fast food (counter-service restaurant). 

    Apa salahnya makan di counter-servicerestaurant? Nggak salah. Tapi counter-servicerestaurant hampir selalu lebih padat, rusuh, dan berisik ketimbang sit-down restaurant. Namanya aja sistem fast-food, ya. Lokasinya pun biasanya semi-outdoor. Kita nggak akan bisa istirahat, deh.
    Alhamdulillah, anak gue nggak pernah malas makan selama di Tokyo Disneyland. Segala disikat, malah sering rebutan makanan sama ibunya yang pelit ini. Raya suka banget sama tempura, juga segala macam gorengan khas Jepang.
    Dan, ya, memang betul, Disney park Jepang sangat meticulous soal sajian makanan. Mungkin dari Internet, Anda pernah melihat roti burgerdi Disney park Jepang yang dibentuk jadi kepala Mickey Mouse? Begitu juga dengan kuning telur rebus? Yha, begitulah adanya! GILA!

    PERIHAL UDARA PANAS 

    DSCF2990

    Kesialan kami yang paling haqiqi di perjalanan ini adalah: dirundung heatwave. Matek! Jadi selama seminggu di Tokyo, udara konsisten panas luar biasa. Saking panasnya, kami serasa napas di depan knalpot. Bahkan di jam 4-5 sore pun, hawa Tokyo masih engap.

    Yang bikin tambah sengsara, saban siang, langit Tokyo cerah banget. Matahari bersinar terik, tanpa ada satu pun awan teduh menggelayut. Alhasil, selama di TDL, gue harus bolak-balik re-applysunblock. Masalahnya, bukan cuma buat gue, tapi juga buat anak-anak yang selalu lari kabur tiap mau diolesin. KESEUUUL.

    Yang bikin tambah keseul adalah, sunblock yang gue bawa dari Jakarta adalah sunblock mur-mer yang dibeli darurat dari supermarket sebelum berangkat. Cara pemakaiannya standar: musti dikocrotin ke tangan, trus dioleskan dan diratain ke kulit. Formulanya juga gitu-gitu aja—agak lengket, agak bau, bikin whitecast, dan sebagainya.

    Sementara pemirsa harus tahu, betapa advance-nya varian sunblock Jepang! Semua formulanya wangi atau nggak berbau, ringan, nggak berwarna, ada yang kasih sensasi dingin segar seperti mint, ada yang di dalam kemasan spray, ada yang di dalam kemasan roll-on atau stik, dsb dll. Pokoknya semuanya menyenangkan dan praktis.

    Maka setiap kali gue re-applysunblock primitif gue di toilet, gue iri sama kanan-kiri gue, yang asyik ngoles-ngoles sunblock keren mereka dengan cepat, praktis, dan sambil senyum hepi. Tentunya abis itu gue langsung balas dendam, borong sunblock Jepang selusin :D

    Tapi, yang jadi misteri adalah cara orang Jepang melindungi dirinya dari sinar matahari.

    Orang Asia—Jepang, Korea, Cina, Indonesia—‘kan memang pada ogah banget jadi hitam, ya, berhubung kulit hitam terasosiasi dengan kasta rendah atau petani. Makanya, di Bali, orang Korea berenangnya pakai baju selam, topi lebar, dan cengdem. Nah, untuk melindungi diri dari sinar matahari, rangorang di TDL pada doyan banget menyelimuti diri mereka… dengan SELIMUT atau HANDUK.

    DSCF2971

    Gue ngeliatnya aja pengen pingsan! Apa nggak makin gerah dan sumpek tuh, Mbak Mas? Tapi semua pada betah, tuh! Kenapa nggak pake payung aja? Apa mungkin di dalam handuk/selimut mereka ada AC mini?

    Trus, seperti yang gue ceritakan sebelumnya, warga Jepang pengunjung TDL ‘kan memang suka banget tampil heboh dan lucu. Di tengah heatwave tersebut, mereka bertahan, lho, jalan-jalan pakai kostum dan berbagai aksesoris. Padahal kalau lagi gerah banget, gue sih harus berpakaian sesederhana mungkin. Pakai jam tangan atau cincin pun ogah. 

    AKHIR KATA… 

    In the end, this is probably the best theme park memory I had so far, karena kehadiran Raya dan Aydin di usia yang tepat. They were such in THE RIGHT AGE!

    DSCF3133

    Sebenarnya, gue meyakini bahwa anak-anak BISA diajak ke taman bermain (amusement park) di usia berapapun. Bayik pun oke aja diajak. Raya pertama kali ke taman bermain lokal di umur 2 tahun, dan main ke Tivoli Park pas umur 3 tahun, dan kami semua hepi.

    Tapi ketika gue bawa Raya/Aydin ke Disneyland di usia keemasan mereka ini, pengalaman mainnya memang jadi lebih menyenangkankan dari sebelum-sebelumnya. Nggak ada yang cranky, nggak ada yang meltdown, nggak ada yang butuh stroller sama sekali, makan santai, istirahat santai, semua santai. The magical place gave a magical effect to the boys (terjemahannya: susuk TDL memang cucyok)

    DSCF3139

    DSCF2535
    DSCF2538
    Fokus pada satu titik, titik itu...

    DSCF3016

    Tokyo Disneyland memang selalu magis, dan pesonanya nggak pernah luntur sejak gue pertama kali menatap istana Cinderella cantik mereka di akhir tahun 1980an. Raya (dan Aydin), semoga pada ngerasain pesona dan keajaiban yang sama ya, nak!

    DSCF2735

    Viewing all articles
    Browse latest Browse all 142