
Dalam setahun, biasanya gue adaaa aja pergi ke Singapura-nya. Ciyeee. Kadang buat plesir, kadang buat kerjaan, kadang yaaa cari-cari alesan aja… #richkidsofjerukpurut
Ada satu observasi kurang menyenangkan yang gue temukan di Singapura.
Setiap kali gue naik taksi dan dapet sopir Melayu, gue pasti mendapat semacam perlakuan prejudice. Prejudice gimana?
Jadi, si sopir taksi PASTI ngajak gue ngobrol dengan omongan seputar:
“Dari mana?”
“Gimana Jakarta?”
“Ngapain di Singapura? Jalan-jalan ya? Shopping ya?”
“Kerja apa? Nginep di mana? Banyak uang, ya!”
Dan mereka nggak BERTANYA, lho, tapi memberikan pernyataan. Misalnya, setiap mereka nanya “Ngapain di Singapura?”, mereka nggak mau dengar atau bahkan peduli dengan jawaban gue. Mereka langsung nembak dengan pertanyaan, “Jalan-jalan, ya? Shopping, ya?”
Bukan, bukan karena penampilan gue glamor bak Syahrini. Sama sekali nggak. Tapi setelah gue perhatikan dengan seksama, memang itulah prejudice atau prasangka masyarakat Melayu Singapura kelas pekerja terhadap sodara serumpunnya—turis Indonesia.
Nggak cuma nanya-nanya, para sopir taksi Melayu ini juga sering lanjut ngalor-ngidul dengan nada menghakimi tentang betapa “tajir”nya turis Indonesia karena sanggup nginep di hotel-hotel Orchard dan sekitarnya, dan tentang betapa “shallow dan borju”-nya mereka karena sering ke Singapura hanya untuk berbelanja. Trus, karena postur gue—harus diakui—masih kayak bocah piyik, gue suka dikira ke Singapura pake duit Mimi-Pipi untuk hura-hura.
Beberapa kali gue marah sama si sopir taksi, terutama saat gue ke Singapura untuk kerja, bukan untuk plesir. Boro-boro belanja. Gue bilang, “No, Pakcik. I’m here for work. KERJE. Setuju, Singapore is very expensive. Makanya saya nggak belanja, Pakcik. Saya. Tak. Belanje” *mendadak Upin-Ipin*
Dan kalopun gue memang ke Singapura untuk plesir, so effin’ what? Nggak pake duit engkongnya si Pakcik, bukan?
Entah kebetulan atau nggak, but believe me, this happens over and over and over again. These Malay-Singaporean cabbies.
Tetapi gue sadar, bahwa ada alasannya gue mendapat perlakuan prejudice begitu. Pertama, mungkin karena para sopir taksi tersebut merasa miris. Kita bangsa serumpun, tapi sementara mereka tercekik dengan tingginya biaya hidup di Singapura, turis Indonesia malah enteng banget buang-buang duit di negara mereka.
Gue bahkan pernah dapet sopir taksi yang directly mengkritik para Chinese Surabaya dan Medan, yang bener-bener dipandang sebagai tukang belanja, sambil ngotot berpendapat bahwa gue ke Singapura pasti sebenarnya untuk belenjeus juga.
Anehnya, si sopir taksi ini tau-tau ngoceh panjang lebar bahwa tahun ini dia akan liburan keluarga ke Switzerland dan Perancis lagi. LAGI, lho. Kenapa harus diceritain ke gue? Insecure amat, Pakcik.
Kedua, mungkin karena turis Indonesianya juga. Mungkin karena kita adalah masyarakat dunia ketiga yang sehari-hari hidupnya udah berat, akhirnya setiap kali jalan-jalan, kita maunya hura-hura shallow aja demi escapism. Mungkin para sopir taksi tersebut juga bosen bolak-balik nganterin turis Surabaya dan Medan ke Orchard lagiiii…. Universal Studios lagiiii… tanpa pernah mengantar mereka ke tempat yang agak berbeda.
Mungkin lho, ya.
Dengan demikian, gue nggak bisa menyalahkan salah satu pihak. Masing-masing pihak emang saling bikin jengkel satu sama lain, sih. Gue jelas kesel sama sopir-sopir taksi Melayu yang pukul rata berprasangka negatif ke semua turis Indonesia. Tapi gue juga bisa kesel sama turis Indonesia yang menciptakan kesan “shallow” buat kita semua, walaupun liburan mereka bukan urusan gue juga, sih.
Auk, ah. Mending liat foto-foto gue dan Dara di Singapore Art Week 2016 aja gimana? *lho, ternyata blogpost ini preambule dari pameran foto diri sendiri…*












"Duuuh, alay mane, sih, nih foto-foto sama karya aja!"




