Some time ago, when I went to Singapore, I bought a coveted eyeliner, endorsed by a well-known UK it-girl. But I guess I got a bad batch because it was so lousy! Just one day after I bought it, it leaked and left a permanent stain on my shirt, kayak bolpen bapak-bapak tahun 80an. I had to get rid of it only one day after purchase, though I almost tried to kept it longer.
Thus, this fiction.
---
Pernah nggak, sih, kamu cinta banget sama sesuatu, sampai kamu rela mempertahankannya meski fungsinya sudah rusak?
Seperti kaos kaki bolong (“Soalnya nyaman, sih!”) atau selimut usang (“Baunya enak, sih!”). Padahal, benda-benda ini lebih banyak nyusahinnya daripada bergunanya.
Aku pernah. Benda itu adalah sebuah eyeliner.
Kamu tahu eyeliner? Ia adalah sebuah produk kecantikan, biasanya berbentuk seperti pena, untuk menggarisi pinggir kelopak mata sehingga memberikan ilusi mata segar dan tajam. Metode “membingkai mata” ini rasanya pertama kali dipraktekkan oleh wanita Mesir kuno—aku nggak yakin juga, harus tanya Mas Tito dulu—dan terus populer sampai sekarang.
Berarti dari dulu, mata selalu dianggap bagian wajah yang paling menarik, ya. Jendela hati, katanya.
Aku pertama kali tertarik dengan eyeliner ini ketika artis Hollywood idolaku menjadi brand ambassador-nya. Di iklan-iklan majalah, matanya jadi sungguh terlihat besar, tajam, dan indah. Walaupun sebenarnya, tanpa eyeliner pun matanya sudah indah, sih. Mungkin juga ada unsur Photoshop di situ. Ya sudah, lah. Kata Mas Tito, aku ‘kan perempuan. Suka dibohongi.
Sayangnya, eyeliner ini tidak dijual di kota tempat tinggalku. Bahkan negara tempat tinggalku. Aku harus diam-diam nitip beli ke seorang teman yang sedang liburan ke negara tetangga, dan ketika ia menemukannya, produk yang tersedia di toko pun tinggal satu.
Ah, jodohku.
Produknya indah sekali, dengan kemasan elegan berwarna royal blue berhiaskan emboss garis emas. Ketika pertama kali mencobanya, aku serasa mengalami malam pertama. Akhirnya, setelah ditunggu sekian lama! Dan, aduh, formula eyeliner idaman ini pun sesuai impian—nyaman, lembut, sukses membingkai kedua mataku dengan sempurna. Mataku yang jelek dan nggak sinkron jadi terlihat agak mirip dengan mata artis idolaku, sang brand ambassador produk ini. Menurutku, lho. Ya sudah, lah. Kata Mas Tito, aku ‘kan perempuan. Suka berkhayal.
Namun…
Hanya dalam hitungan hari, eyeliner ini mendadak berubah. Formulanya mengeras, sehingga susah sekali diaplikasikan dengan baik. Jariku tersendat-sendat setiap berusaha menarik garis di kelopak mata dengannya, sehingga mataku terlihat seperti dicoret-coret anak balita.
Nggak hanya itu, eyeliner ini belakangan menunjukkan “sifat” aslinya, yaitu gampang sekali luntur! Bahkan oleh setitik air atau sedikit minyak di kelopak mata, sehingga merusak penampilanku. Penampilanku dan suasana hatiku.
Tetapi sampai hari ini, aku masih bersabar. Aku nggak beli eyeliner lain. Aku masih terus memakai eyeliner ini setiap pagi, sebelum berangkat kerja. Aku masih berharap aku bisa mengubah formulanya, sampai aku pernah merendam kemasannya dengan air hangat, berharap "tinta" (cinta)nya akan melunak
(lalu aku diketawain Mas Tito).
Masalahnya, aku terlanjur jatuh hati dengan eyeliner ini sejak pertama kali diiklankan. Sejak pertama kali menggenggamnya di tangan. Sejak pertama kali mengaplikasikannya di mata. Aku masih yakin, eyeliner ini sebagus yang diiklankan idolaku, sehingga bisa menutupi penampilan mata sembabku setiap pagi.
***
Pintu kamar tiba-tiba terbuka, dan kepala Mas Tito, suamiku, melongok ke dalam. Ia melakukan apa yang selalu ia lakukan sebelum “menegurku”—menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tatapannya khas sekali, seperti melihat sayur yang mulai membusuk di ujung lemari es.
“Mana makan malem? Bengong melulu lo sambil pegang-pegang mek ap gitu. Kalo udah jelek dari lahir, dandan kayak apa juga nggak ketolong.”
Sayur yang mulai membusuk di ujung lemari es.
Selesai bicara begitu, ia menutup pintu kamar lagi. Tidak dibanting, tapi tidak dengan halus juga.
Selesai bicara begitu, ia menutup pintu kamar lagi. Tidak dibanting, tapi tidak dengan halus juga.
***
Pernah nggak, sih, kamu cinta banget sama sesuatu, sampai kamu rela mempertahankannya meski fungsinya sudah rusak?
Mungkin harus kubuang saja eyeliner-ku.
Mungkin harus kubuang saja eyeliner-ku.