Quantcast
Channel: let the beast in!
Viewing all 142 articles
Browse latest View live

Kolonialisasi

$
0
0

Udah nonton The Revenant? Tadinya gue kira film ini cuma punya satu tema, yaitu survival. Tepatnya, survival manusia melawan alam, kayak di film Castaway, In The Heart of The Sea, The Martian, Life of Pi, de es be. Alejandro Inarritu-nya sendiri aja bilang begitu, ya.

Tapi pas gue tonton sendiri, gue lebih tersentuh sama tema kolonialismenya. The whites vs the Native Americans. Mungkin karena gue wes tuak, makin sok dalem, sehingga beberapa tahun terakhir ini, hati gue sering banget tergugah sama isu-isu lingkungan hidup dan kaum minoritas. Yakin, deh, kalo punya waktu luang, gue kayaknya udah jadi aktivis *bikin poster protes, berangkat ke bunderan HI*

Enivei, gara-gara isu kolonialisme di The Revenant ini, gue jadi teringat sama video pendek yang gue temukan Thanksgiving tahun lalu. Di video ini, warga Amerika Serikat keturunan Native American disuruh menggambarkan Christopher Colombus—yang katanya pertama kali mengkolonialisasi Amerika Utara—dalam satu kata.

It really puts things into perspective.
Aku trenyuh :( Watch this again after you watch The Revenant.


She's a Hustler!

$
0
0

Tiga fakta menarik tentang Ayla Dimitri—pernah nggak lulus SMA, pernah kerja menjadi scooper di konter es krim, dan ternyata seorang pekerja kerja yang perfeksionis. And I don't use the term "perfectionist" lightly here. Do read my interview with this hustler at Youthmanual!

Cintaku Berat di Ongkos

$
0
0
Selamat Hari Kasih Sayang!

Di Hari Valentine yang kelabu ini, kupersembahkan lagu balada yang nggak kalah sendu dari seniman terhebat Indonesia sepanjang masa, Benyamin Suaeb, yang berjudul Cintaku Berat di Ongkos. I re-discovered this song yesterday, dan langsung jadi lebih sering dengerin ini daripada Formation-nya Beyonce dan Work-nya Rihanna.

Mainkan, Bang! HARUS DIDENGERIN, YA!


CINTAKU BERAT DI ONGKOS

Butir-butiiir air mataku mengalir bagaikan air yang mengalir dari hilir
Kumenangiiis sendirian di dalam kamar karena yang lain sedang pergi ke pasar
Kuingin berteriak keras biar orang seluruh dunia pada mendengaaaar...
Tapi sayang, suaraku terbatas terdengar sampai kelurahan, paling pol sekecamatan 

Engkau kejaaaam, engkau sadis kekasihku yang egoistis tapi manis seperti pala manis
Kau putuskan tali ciiinnntaku yang tebal seperti tambang kapaaal...
Hatiku kini hancur luruh, bagaikan cermin yang jatuh dari helikopterrrr
Tak mungkinnn beeersemi lagiiii...
 
Kini tiadaaa lagi cinta yang tinggal cuma celana kolooor...
Hidup t'rasa hampa, udara napasku sesak seperti menghirup asap tabunan
'Kan kubawaaaa luka hatiku berlari maraton lewat Jagorawiii...
S'moga aku dapat melupakaaan wajahmu yang bulat seperti bangkuang Bogooor...
Ohooo... hooo... kekasiiiih.... Ohooo... hooo... hooo...


Kucoba meeencari kekasih yang baru melalui pos jodoh di koran-koran
Kiranya cintaku mendapat sambutan hangat dari seorang perempuan turunan Pakistan
Data-datanya lengkap umur 49, anak delapan, kontrakan rumah tinggal sebulan
Aku pikir, oke dach, daripada mati nggak ada kuburannyaaa...!


(Kawan...)
(Ada apa?)
(Ada berita untukmu. Kekasihmu yang wajahnya seperti bangkuang bogor itu,
sekarang sudah kawin dengan orang kaya berumur 87.
Rumahnya mewah bertingkat. Bergaya seperti ratu.
Kalo berjalan dikawal oleh seluruh pelayan dan babu-babu.
Kawan, lantas bagaimana kelanjutan ceritamu?)

Tiap hariiii aku repot ngerawatin anak-anaknya yang bejibuuun...
Pagi kerja di kantor, pulangnya mandiin anaknya yang kecil, yang gede perawan dilarang
Apalagi akuuu harus membeli tempat tidur tingkat sebanyak empat buah
Karna tiap orang tidur berduaan
Sedang aku tiduuur ditikar saja berdua istrikuuu
Ohooo... hooo... pegel smuaaaaaa... Ohooo... hooo... hooo...


Kira-kiraaa perkawinan berjalan empat bulan setengah lebih empat hari
Aku ajak istrikuuu jalan-jalan ke pasar ikan, beli ikan asin tiga ons
Tiba-tiba dia lariiii menemui seorang laki-laki yang katanya suaminya yang lama
Tinggal aku bengong sendiriaaan seperti kambing congek di lapangaaan

 
(Kasian, kawan... Kenapa tidak cari yang lain saja?)
(Tidak! Tidak! Semua berat diongkosss...)

Dance Classes 101 (Dan Direktori Sekolah Tari Lokal)

$
0
0

Eeeh, si mpok nge-blog lagi! Iya, nih. Disempet-sempetin, lah, di sela-sela berbagai kegiatan (yang sebenernya jarang ada yang penting itu).

Sebenernya ada banyak banget hal yang kepengen gue share di blog. Tapi karena sel otak udah keburu tergerus oleh pekerjaan-pekerjaan lain, maka kali ini gue akan nge-blog tentang hal yang shantay namun spesifik, yaituuu… apalagi kalo bukan dens, dens, dens!

Emangnya masih suka nge-dance, La? Alhamdulillah, masih. Nggak keliatan tambah jago, ya? *lalu nangis di bawa shower*

Walaupun gue nggak akan bisa jadi penari profesional, gue bersyukur bahwa gue punya hobi yang konsisten. Banyak, lho, orang yang sampe sekarang nggak tau hobinya apaan. Kalo nulis biodata ‘kan jadi bingung. Masa’ nulis filateli? Kurang kekinian, ya.

Anyway, banyak orang yang nanya-nanya ke gue soal dance classes. Misalnya, “Gimana, sih, caranya untuk ikutan belajar dance?” “Lo les di mana?” “Susah nggak?” Dan sebagainya

Maka kali ini, gue akan coba jabarkan tentang Les Nge-Dance 101. At least, berdasarkan pengalaman gue yang minimalis ini.

Cupcakes, krunya Girin Jang dari Korea

***

Oya, cerita dikit latar belakang gue, ya. Dulu waktu SMA, gue tergabung dalam ekstrakurikuler dance di sekolah. Trus, selama kuliah sampai lulus, gue nggak nge-dance sama sekali. Sekitar taun 2007, gue ikut les jazz ballet selama 2-3 taun. Trus, vakum lagi. Terakhir, gue mulai ikut dance classes lagi sejak awal 2014 sampe sekarang.

Minat utama gue ada pada hiphop. Centil-centilan ala K-pop atau Ladies Style masih oke. Dancehall reggaeton juga bisa, lah. Ikut kelas jazz dance pun masih mau, walau agak kagok. Pada dasarnya, gue suka jenis tarian yang dinamis, nggak statis, apalagi mistis *tari kesurupan*

My biggest enemies are ballet, contemporary, and lyrical. Bukannya nggak suka, tapi biarpun udah dicoba setengah mati, nggak bisa-bisa!

Begitcu.

Oke, yuk, mari kita mulai tanya jawabnya. Regu A dan Regu B siap?

Semua orang bisa nari nggak sih, Kak?

Kalo lo nanya gue, jawabannya NGGAK. Nggak semua orang bisa nari. Ini adalah fakta keji yang harus gue jabarkan di awal.

SEMUA sekolah dan guru nari di dunia akan bilang ke elo bahwa everybody can dance. Yes, everybody! Tapi menurut gue, itu nggak sepenuhnya bener.

Berdasarkan pengamatan gue, ada dua tipe orang yang “dianggap” nggak bisa nari.

Pertama, orang yang bener-bener nggak bisa nari.

Ada, lho, orang yang geleng kepala aja nggak enak diliat. Nah, orang kayak begini nggak akan bisa keliatan enak saat nari, meskipun dia les setiap hari. It’s just the way his or her body moves. Kita ‘kan dilahirkan dengan gestur, keluwesan, serta body language yang berbeda-beda, dan nggak semua orang bisa “membawa” badannya untuk nari dengan enak.

Apalagi kalo belajar narinya pas udah tua, bukan dari kecil. Susah. Gesturnya udah saklek.

Semua orang BISA mempelajari teknik menari. Semua orang BISA ngapalin koreografi. Semua orang BISA belajar numbuhin pede. Tapi nggak semua orang bisa nari dengan enak.

Sama kayak gue yang nggak bisa nyanyi. Gue BISA melatih kuping gue jadi peka dengan nada. Gue BISA belajar not. Gue bisa belajar segala teori musik. Tapi apakah gue akan bisa nyanyi dengan vibra? Dengan soul? Never.

So, does everybody REALLY can dance? Menurut gue enggak. Terutama yang baru belajar nari pas udah gede gini, ya.

Kedua, orang yang sebenernya bisa nari, tapi salah genre.

Gue punya temen di kelas hiphop gue. Walaupun dia udah bertaun-taun ikut dance class, nari hiphopnya nggak bagus-bagus. Kurang enak diliat, gitu. Eeeh, pas dia belajar tarian kontemporer dan tradisional, hasilnya malah lebih kece!

Tuh, berarti dia “salah” genre.

Contoh lainnya adalah gue sendiri. Mau diapain juga, gue nggak akan bisa asik membawakan tarian kontemporer atau lirikal. I’ve tried it several times, dan gue nggak pernah bisa menemukan “celah” untuk menikmati tarian kontemporer. Jadinya keliatan maksa.

Jadi kalo lo punya minat terhadap tari dan memang merasa bisa nari, find your specialty first. Kalo udah cukup lancar, baru, deh, coba-coba ikut kelas tari jenis lain, untuk memperluas skill dan wawasan.

Kru Heavybuckstylez dari Surabaya

Gimana, sih, caranya nyari specialty?

Mau nggak mau, harus dengan nyobain sebanyak-banyaknya jenis tarian. Trus perhatikan, badan lo paling “asik” membawakan jenis tarian apa. Balet? Tradisional? Dancehall? Tari hujan?

Oya, menurut gue, kepribadian kita ikut menentukan specialty tari kita, lho. Misalnya, deep down, gue adalah pribadi yang keras, dinamis, emosional, “meledak-ledak”, dan senang keteraturan. Jadi gue merasa cocok dengan hiphop dan genre tarian apapun yang beat-nya jelas (contoh yang kurang jelas: lirikal. Ciyeee, yang masih sentimen...).

Sebaliknya, gue punya temen yang kerpibadiannya halus dan feminin. Dia BISA nari hiphop, tapi jauuuh lebih cantik menarikan jazz ballet.

Kalo gue nggak bisa nari sama sekali—ibarat kata, geleng kepala aja jelek diliat—gue nggak usah ikut kelas sama sekali aja, ya?

Kalo lo emang suka dengan dunia tari, kenapa enggak? Seriously, ikut aja.

Banyak banget orang yang takut masuk kelas dance karena satu faktor utama—TAKUT. Takut keliatan bego and make a fool out of him/herself.

Yah, mungkin mereka-mereka itu kebanyakan nonton video dance classes di Youtube, yang semua penarinya tampak sempurna.

Well, guess what? Menurut gue, video Youtube dance classes itu pembohongan publik! *gebrak meja* Terutama video dance classes para koreografer terkenal di Amerika. Kenapa? Soalnya isinya dancer profesional semua! Real classes aren’t supposed to look like that. Real dance class seharusnya terisi dengan beragam penari, termasuk yang masih culun dan bego. Nggak hanya para profesional.

Pada realitanya, di SEMUA dance classes yang pernah gue ikuti, ada banyak murid yang nggak bisa nari. Ada yang bener-bener parah nggak bisa nari sama sekali, ada yang sebenernya punya bakat tapi harus dipoles lagi, ada yang udah lumayan jago. So, don’t trust Youtube dance classes!

Kembali ke pertanyaan utama poin ini—kalo nggak bisa nari sama sekali, apa nggak usah ikut kelas aja?

Kalo lo emang suka ikut dunia tari, by all means, ikut aja. Ada banyak orang yang nggak bisa nari samsek, tapi tetep cuek rutin ikut dance classes.

Mereka-mereka itu mungkin akan susah catch-up dengan teman-temannya yang lebih jago. Mungkin mereka nggak pernah ditaro di posisi depan saat manggung. Mungkin, seperti gue, mereka nggak akan pernah jadi profesional. Tapi sepengamatan gue, THEY ALWAYS HAVE FUN.

Jadi, NGGAK semua orang bisa nari, tapi SEMUA orang boleh banget ikut kelas nari. Just lower your expectation, jangan malu melulu, dan have fun, ya!


Jesicca Janess dari kru Hola Ladies dan United Dance Works

Oke, deh. Gue mau ikut kelas dance, Kak! What should I do next?

Pertama, cek sekolah-sekolah dance yang ada di kota lo, lalu shortlist sekolah-sekolah yang menurut lo oke secara jarak dan biaya.

Kedua, pelajari baik-baik sekolah-sekolah dance tersebut. Dalam seminggu, kelasnya ada berapa? Gurunya siapa? Specialty-nya apa? FYI, meskipun sebuah sekolah dance mengajarkan berbagai macam kelas (balet, hiphop, jazz, tradisional, dll), biasanya setiap sekolah punya specialty masing-masing.

Biasanya, sih, specialty sebuah sekolah ngikut specialtyfounder-nya. Misalnya, founder Gigi Art of Dance adalah penari kontemporer, gehingga kelas-kelas kontemporernya Gigi Art of Dance memang oke banget. Trus, meskipun Namarina Dance Academy punya kelas jazz dan hiphop, mereka utamanya adalah sekolah balet, and they will always be that.

Ada juga sekolah dance yang spesifik, hanya mengajarkan satu genre, contohnya P7 di Pintu 7 GBK Senayan. Mereka cuma mengajarkan hiphop, dan karena sekolah dance ini juga berawal dari sebuah kru hiphop.

Ketiga, CARI TAHU SIAPA GURU-GURUNYA.

Tulang punggung dari sebuah sekolah tari adalah guru-gurunya. It will seriously make or break a dance school. Menurut gue, sekolah tari yang manajemennya buruk, masih akan kebantu kalo guru-gurunya bagus. Jadi bagi gue, guru adalah pertimbangan utama gue dalam memilih les tari. Bukan fasilitas dan sebagainya.

Kebanyakan guru tari adalah penari profesional, tapi jarang ada yang punya latar belakang pendidikan / ilmu mengajar. Jadi mereka belajar ngajar dengan otodidak aja.

Gaya mengajar setiap guru tari berbeda-beda. Ada yang sabaaaaaaar banget, ada yang nggak sabaran. Ada yang komunikatif dan detail, ada yang cuma ngajarin koreografi seadanya, trus bhay, nggak peduli murid-muridnya udah paham atau belum.

Miss Ufa, salah satu guru gue sekarang

Nggak semua guru ngajarnya enak. Tapi, menurut gue, guru terburuk adalah guru yang nggak “ngeliat” level murid-murid di kelasnya.

Misalnya, si A ngajar kelas hiphop level pemula. Ceritanya, ini kelas baru, sehingga dia nggak tau kemampuan murid-muridnya kayak apa.

Ketika pemanasan, si A harusnya udah bisa ngeliat, kemampuan murid-muridnya segimana. Kalo pas stretching dan latian bouncing aja murid-muridnya pada keliatan sengkle’ semua, berarti mereka masih pada pemula banget. Kalo stretching-nya udah enak diliat, berarti udah pada lumayan jago, lah.

Let’s say, murid-murid kelas ini masih pada pemula banget, ya. Eeeh, tapi begitu si A ngajar, dia langsung hajar ngasih koreografi yang keren, tapi KEREN BAGI DIA DOANG. Sementara para murid ngikutinnya pada megap-megap, karena nggak sanggup.

Nah, kalo lo dapet guru yang kayak gitu, mending tinggalin aja. Guru dance yang nggak menyesuaikan materi kelas dengan level murid-muridnya adalah guru yang—maaf, nih—egois. Dia cuma mau bikin koreo yang keren di badan dia aja, tapi susah diikuti dan diserap murid-muridnya.

Seorang guru harusnya nggak hanya mentransfer ilmu, tapi juga make the students feel good about themselves.

Gue pribadi juga lebih suka kelas tari yang juga melatih teknik menari, sesuai genre kelas tersebut. Jadi si guru nggak hanya mentransfer koreografi ke murid-muridnya.

Dedek-dedek dari o2 Dance School, BSD, Tangerang Selatan

Tapi gimana caranya kita bisa tau specialty sebuah dance school dan gaya gurunya?

Stalk sosmednya abis-abisan! Pertama, stalk sosmed sekolah tarinya. Dari situ, stalk sosmed guru-guru yang di-mention sekolah tari tersebut, terutama lewat Instagram dan Youtube. Soalnya, lewat Instagram dan Youtube, lo bisa ngeliat contoh-contoh kelas si sekolah kayak apa, dan style gurunya kayak gimana.

Alhamdulillah, jaman sekarang, guru dan sekolah nari pada narsis. Sering upload video kelas ke sosmed, hihihi.

Belum puas? Stalk juga murid-murid sekolah tari tersebut! Biasanya akunnya pada di-mention, kok, di sosmed si guru atau si sekolah.  Jadi lo bisa tau, level calon teman-teman sekelas lo kayak apa.

(wow, y so creepy, Laila?)

Dari hasil stalking ini, pasti lo jadi bisa mengira-ngira, kira-kira lo cocok ambil kelas di mana.

Sedikit info tambahan…

Dance classes biasanya terbagi jadi dua tipe—Open Class dan Regular/Academic Class.

Open Class adalah kelas yang biasanya HANYA mengajarkan koreografi, dan materinya nggak nyambung dari minggu ke minggu. Istilahnya, kontrak putus gitu, lah.

Jadi misalnya, lo ikut Open Class di sekolah X. Maka minggu ini, lo akan belajar sepenggal koreo Justin Bieber. Trus minggu depan, lo akan belajar sepenggal koreo Chris Brown, dan seterusnya. Karena materi belajarnya nggak kontinyu terus, elo nggak harus rutin ikut kelasnya tiap minggu. Makanya dinamakan “Open Class”.

Sebaliknya, kelas Regular atau Akademik adalah kelas yang mengajari muridnya teknik serta koreografi, dan materinya nyambuuung terus selama satu semester. Misalnya, semester ini lo belajar koreografi tari dengan lagu Formation-nya Beyonce. Maka selama 8 pertemuan berturut-turut, lo akan mempelajari koreo tersebut terus-terusan, sampai jadi satu tarian yang agak panjang.

Trus, biasanya, kelas Regular punya level (urutannya: Intro, Beginner, Intermediate, Advanced, Pro). Jadi akan ada ujian saat lo harus naik level.

Gue sendiri kurang suka ikut Open Class. Lebih suka ikut Regular Class. Alasannya, pertama, karena kalo udah daftar dan bayar ikut Regular Class, gue jadi “harus” rajin masuk kelas selama satu semester. Nggak bisa sekali-sekali aja. Daripada ketinggalan materi dan rugi duit? Cis! Jadi harus rajin masuk!

Kedua, karena gue merasa, di Regular Class, lebih banyak ilmu yang bisa gue serap.

Ketiga, karena gue nggak sanggup ikut Open Class! Asli, speed pengajaran Open Class biasanya cepeeet banget, sementara kekurangan utama gue adalah nggak bisa menangkap ajaran koreo dengan cepat (baca: lemot berat). Open Classes are usually not for beginners, anyway.

(pengakuan aib—saking lemotnya, gue sampe pernah nitip beliin vitamin pendongkrak memori, semacam ginko biloba versi kuat, dari Amerika. Dan setiap kali gue mau manggung atau ikut Open Class, vitamin ini gue minum dulu. AHAHAHA. Apakah ngaruh? Tentu tidak! *kokop vitaminnya sebotol*)

***

Begitu, deeeh! Bagi yang dari dulu hobi gremet-gremet nonton aksi-aksi dens keren di Youtube, hope to see you in dance classes, ya.

Mpok Lela dari kru Bojong Kenyot. Sorry for the eye sore!

Berikut adalah direktori sebagian studio atau sekolah tari yang ada di Jakarta, Tangerang Selatan, Cibubur, dan Surabaya.

Karena gue lebih banyak berkecimpung di dunia tari modern, mohon maaf, gue nggak tau studio-studio tari tradisional, yaaa. Tapi beberapa sekolah tari di bawah ini juga menyediakan kelas tari tradisional, kok.

Gigi Art of Dance
Specialty: kontemporer, hiphop
www.gigiartofdance.com
Jl Radio Dalam Raya No. 191-17, Kebayoran Baru, Jakarta
021-7399739
Instagram: @gigiartofdance
www.youtube.com/user/GigiArtofDance

Indonesian Dance Theatre
Jl Patal Senayan No. 1, Blok F, Kav 197, Kebayoran Lama, Jakarta
Whatsapp: 087777693303
www.facebook.com/indonesiandancetheatre/
Instagram: @indonesiandancetheatre

Steps Dance Academy
Lokasi 1: fX Lifestyle X'nter lantai 7, Jl Jend. Sudirman, Jakarta
021-25554454
Lokasi 2: Art & Culture Edutainment Center, Lotte Shopping Avenue lantai 3F, Jl Prof Dr. Satrio Kav 3-5, Jakarta
021-2988 8640/41
stepsdanceacademy.weebly.com/

Marlupi
Specialty: balet
Cabangnya ada banyak, bisa cek sendiri di www.marlupi.com/contact_us

Forever Dance Center (Marlupi Dance Academy Jakarta Timur)
Specialty: K-pop, hiphop

Jl Pulomas Timur 2 No 116, Jakarta
021-47866343

Whatsapp: 081296420360

Instagram: @fdcenter
www.youtube.com/user/FDCenters
foreverdancecenter.com/

Kemang Dance Center
Specialty: balet
Jl Bangka Raya, Mampang Prapatan, Jakarta
021-71794726
kemangdancecenter.com/contact-us/

Namarina Dance Academy
Specialty: balet
Cabangnya ada banyak, bisa cek sendiri di www.namarina.org/

Sumber Cipta
Specialty: balet
Jl Pondok Pinang Raya / 1 , Pondok Pinang, Jakarta
021-7649467
Cabang studionya ada banyak, bisa cek sendiri di sumberciptaballet.com/schools/

P7
Specialty: hiphop
Pintu 7 Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta
08881751669 (Tommy) / 081286485789 (Windy)
Instagram: @p7crew_ 

Lips Dance
Specialty: fitness mbak-mbak yang dikemas dengan gaya reggaeton. Ladies only, karena style-nya anonoh berat :))) *pakein mukena atu-atu*
Lokasi 1: Jl Bangka XI No 15A, Kemang, Jakarta
Lokasi 2: Dharmawangsa Square, The City Walk lantai 2
Instagram: @lipsdance
Whatsapp: 081222107794 / 085921683883

The School of Movements
Specialty: Kontemporer, lirikal
Bintaro
081233514247 / 081808245157
www.facebook.com/theschoolofmovement

d'Posture Studio
Jl Alternatif Cibubur KM 4 Kawasan Niaga Citra Gran, Blok R6A/9, Cibubur
021-8446030/31
www.facebook.com/dposture

United Dance Works
Jl Bangka XI No.3A-1, Kemang Utara, Jakarta
021-7198821
Instagram: @uniteddanceworks
www.youtube.com/user/UnitedDanceWorks/about

O2 Dance School

Specialty: hiphop
Jl Kalimantan Blok D1/1 Sek14.4, Nusa Loka - BSD City, Tangerang Selatan
021-22356308
Instagram: @o2dance
youtu.be/iNmwzUybX-o
www.o2danceschool.com

Heavybuckstylez
Specialty: hiphop
Lokasi 1: Ruko Villa Bukit Mas RA 1-6, Surabaya Barat
Lokasi 2: Nginden Intan Selatan 49B-C, Surabaya Timur
Instagram: @heavybuckstylez
www.youtube.com/user/WeAllRepresentHBS/about
www.heavybuckstylez.com/

We Are The World, We Are The Children

$
0
0
DSCF2176

Setiap orang, tuh, sebenarnya punya passion terhadap good cause tertentu, cuma good cause-nya beda-beda. Misalnya, temen gue ada yang passionate banget terhadap kesejahteraan anak. Dia paling peduli sama nasib anak jalanan, anak terlantar, anak korban abuse, dan lain sebagainya.

Ada orang yang passionate sama kesejahteraan petani lokal, ada orang yang passionate sama kualitas pendidikan, ada orang yang passionate sama hak-hak azazi manusia, dan lain sebagainya. Intinya, banyak orang kepengen membuat dunia a better place, cuma tanpa disadari, masing-masing punya prioritas yang berbeda-beda.

Jelek-jelek gini, sebenernya gue sendiri passionate terhadap lingkungan hidup, seperti isu-isu kesejahteraan hewan, eksploitasi lingkungan, sampah, dan sebagainya (ter-Leonardo diCaprio nggak sih? #ciyemenangOscar).

Nggak kepengen sekedar ikutan acara kampanye-kampanyean di jalanan (yang sering gue ragukan keefektivitasannya), gue pun menyalurkan bentuk kepedulian gue dengan caraaaa…





… apalagi kalo bukan nge-brainwash anak sendiri!

Udah hampir setahun Raya nggak gue ajak ke kebun binatang, sirkus binatang, dan berbagai bentuk eksploitasi hewan lainnya. Gue tanamkan pemikiran ke Raya bahwa sebenarnya binatang-binatang yang terkurung itu sedih sekali, karena rumah mereka bukan disitu. Gimana perasaan Raya kalau Raya dikurung dan nggak boleh pulang ketemu Ibu lagi?

Gue juga kasitau Raya bahwa perilaku hewan captivity juga jadi nggak normal. Kodrat lumba-lumba adalah berenang di laut lepas, dan kodrat beruang adalah nerkam Hugh Glass bebas berburu di hutan. Bukan meloncati lingkaran api atau naik sepeda roda tiga.

Gue juga cerita ke Raya tentang penebangan liar, tentang poaching, tentang harus meminimalisir sampah, tentang kemaruknya umat manusia. Tentunya semampu dan sepanjang pengetahuan gue.

Ada banyak perdebatan hot di Internet, tentang apakah melarang anak ke kebun binatang adalah keputusan yang tepat? (misalnya di kolom komen artikel ini dan ini). Banyak yang sangsi dan kontra, tapi ada juga yang pro. Yah, namanya juga manusia, ya—apalagi manusia-manusia di Internet—apeee juga hobi banget didebatin!

Pro-kontra begini wajar, kok. Semua hal ‘kan punya dua sisi, and I stand by my side of being an anti-animal exploitation. Daripada nggak punya prinsip?

Hasilnya, tuh, “emezing” banget, lho.

Suatu hari, di sekolah, temennya Raya ulangtahun. Trus, pas pulang sekolah, gue samperin si bocah ultah—yang kebetulan lagi bareng ibunya—trus nanya, “Selamat ulang tahun, ya, sayang! Asyik banget, niiih… Mau dikasih kado apa sama Mama?”

Si bocah ngejawab, “Aku mau jalan-jalan ke kebun binataaaang…”

Lalu nyaut lah Raya dari samping gue, “WAH, KEBUN BINATANG ‘KAN JAHAT! BINATANGNYA SEDIH SEMUA, YA ‘KAN BU?!”

Gue pun hanya bisa bisik-bisik, “Iya, Raya.. iya… shhh… shhh…”, tersenyum kaku a la manekin ITC ke ibunya, trus melipir bak kepiting.

Trus, setiap kali Raya ketemu akuarium, dia bakal memandang penuh iba ke para ikan sambil bilang, “Ini sedih semua, ya, Bu? Ikannya sedih semua?” Termasuk akuarium di supermarket, restoran-restoran cina, dan rumah para om-tante :D

Raya juga pernah excited nonton acara mancing-mancingan di TV, tapi begitu ditawarin mancing di empang beneran, Raya menolak. Dengan alasan, kasian.

Trus, beberapa malam yang lalu, percakapan ini terjadi:

Raya: “Bu, orangutan ada di Jakarta nggak?”

Ibu: “Nggak. ‘Kan Ibu bilang adanya di Sumatra dan Kalimantan.”

Raya: “Kenapa, sih, Raya nggak pernah diajak ke Kalimantan sama Sumatra?”

Ibu: “Soalnya... jauh.”

Raya: “Kalo jauh, kenapa orangutannya tinggal di sana?”

Ibu: *ngakak dalam hati* “Mmmm… soalnya di sana itu ada banyak hutan. Di dalam hutan pohonnya banyaaaak sekali. Nah, orangutan ‘kan senengnya tinggal di pohon. Apalagi kalo pohonnya banyak.”

Raya: “Tapi ‘kan di Jakarta juga ada pohon?”

Ibu: “Iya, tapi pohonnya sedikit. Nanti nggak cukup. ‘Kan orangutannya banyak.”

Raya: “Tapi dulu Ibu bilang orangutan udah tinggal sedikit?”

Ibu: *lalu mati kutu. KOK INGET AJA?* “Iya, sih, memang tinggal sedikit. Tapi tetep aja, pohon di Jakarta itu nggak cukup. Tau nggak kenapa? Soalnya semuanya ditebaaang! Buat mall! Buat gedung! Makanya Jakarta panaaas, pada nggak betah deh orangutannya, blablabla…”

Lalu gue pun berkicau bak aktivis Greenpeace marah-marah depan gedung DPR.

Dilemanya, Raya itu sebenernya suka banget sama tempat rekreasi yang berbentuk peternakan, kayak Kuntum Farmhouse di Bogor itu, lho.

Tapi sekarang dia konflik batin, sodara-sodara! Karena dia mulai mikir bahwa peternakan-peternakan begitu adalah sebentuk kekejian terhadap binatang juga. Jadi dese mellow, deh, kalo lagi mikirin sapi dan kambing di peternakan yang—menurutnya—nggak hepi. Ciyan, yah?

Gimana cara gue menjelaskan bahwa kambing, sapi, kelinci adalah binatang ternak dan domestik? Iya, gue juga marah kalo baca-baca soal eksploitasi ternak sapi dan kambing demi profit setinggi-tingginya, tapi gue sendiri merasa sapi dan kambing memang belong di peternakan (asalkan perlakukannya berperibinatangan dan nggak dieksploitasi… but how can you be sure? Ih, gue juga kurang baca-baca, nih! Aktivis palsu!)

Dalam menanamkan values, memang banyak gray area seperti ini, ya.

DSCF2182

DSCF2192

Sekarang ini, gue memang pengen menanamkan values yang (gue anggap) benar secara dogmatis ke Raya. Kalo pas udah gede Raya punya pendapat lain soal eksploitasi lingkungan hidup, ya terserah (eeeh, tau-tau akhirnya jadi pengusaha sawit. Iiih jangan ya, nak… Ibu nggak restu!). But as long as I am raising him, gue semacam merasa punya tanggung jawab untuk “mendoktrin” dia dulu.

Pertanyaan yang sering muncul di pikiran gue adalah, gue mau se-dogmatis apa? Dan gimana caranya supaya gue bisa konsisten?

Dengan pola pikirnya yang masih sederhana, gue siap nggak kalo Raya nanti jadi anak yang kesel sama semua orang yang memelihara (dan mengkandangi) binatang? Kalo sekolah Raya mau field trip ke kebun binatang atau Sea World, apakah gue bakal larang Raya ikut?

Trus, kalo lagi napsu-napsunya, tanpa sadar gue juga sering menempatkan manusia sebagai villain di mata Raya (yabis, kalo baca berita-berita kayak gini, gini, dan gini, emang manusia, tuh, suka geblek banget nggak, sih?). Nah, will I be creating some kind of hatred on my son’s mind?

Padahal ini baru values yang masih agak hitam-putih, ya. Belum kalo tiba waktunya gue ngajarin values yang lebih vital, kompleks, dan terdiri dari all shades of gray, seperti—you guessed it!—agama.

*langsung buka direktori guru ngaji se-DKI Jakarta*. 

Pada intinya, gue masih bingung mencari cara yang paling efektif untuk menanamkan rasa peduli lingkungan ke Raya. Gue sendiri juga takut nggak konsisten. Jangan sampe tempo-tempo gue berkicau begini, tempo-tempo melihara Kakaktua langka, tempo-tempo lupa mulu bawa kantong kain buat belanja.

Yang pasti, Leonardo diCaprio nggak akan take this planet for granted, and my son won't too. Siapa tau kapan hari menang Oscar juga, ya! #nyambungbangetLa

When in Berlin: Legoland Discovery Center

$
0
0
DSCF0546

Masih ngelanjutin cerita Berlin-Copenhagen trip Oktober 2015 kemaren! Eaaa... cmoga g basi eaaa...

Di hari ketiga kami di Berlin, we went to Legoland Discovery Center!

Walaupun judulnya sama-sama Lego, Legoland Discovery Center sebenarnya berbeda dengan theme parkLegoland, kayak yang ada di Johor Baru, Billund, Windsor, California, Florida, dan sebagainya itu.

Legoland Discovery Center, tuh, seperti semacam indoor playground gede yang tema-nya adalah… Lego (ya, masa tiba-tiba tema-nya dolanan daerah!).

Karena konsepnya adalah sejenis indoor playground, Legoland Discovery Center biasanya nggak punya wahana. Ada, sih, tapi paling cuma 1-3 biji aja. Sisanya, Legoland Discovery Center lebih banyak diisi dengan playground, permainan interaktif dan arena merakit Lego. Mirip-mirip sama playground mall jaman sekarang, lah.

Dan secara umum, pengunjung Legoland Discovery Center juga lebih muda daripada pengunjung Legoland yang theme park. Kira-kira umur 7 tahun ke bawah, lah.

Ada negara yang punya Legoland doang, ada negara yang punya Legoland Discovery Center doang, ada negara yang punya dua-duanya. Legoland Discovery Center sendiri sekarang ada di Jepang, Jerman, Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris.

Di Berlin, Legoland Discovery Center berlokasi di area Potsdamer Platz, tepatnya di kawasan gedung Sony Center. 

DSCF0513

DSCF0520

Sejujurnya, Legoland Discovery Center bukanlah tujuan prioritas kita di Berlin, utamanya karena kita semua—termasuk Raya—nggak ada yang doyan Lego. Punya Lego di rumah aja nggak!

Ditambah, Legoland Discovery Center ‘kan konsepnya “indoor playground”, bukan theme park alias taman bermain skala penuh. Dengan kata lain… kayaknya kurang seru ya, seus. Maka sebenernya, itinerary ke Legoland Discovery Center ini masuk ke kategori “kalo sempet aja”.

Eeeh, kebetulan, pada suatu Minggu sore, kita ada waktu luang. Dan berhubung Minggu sore itu kita bisa ngelewatin Potsdamer Platz, ya udah, disambangilah si Legoland Discovery Center ini.

As mentioned, kita dateng ke Legoland Discovery Center di hari Minggu, masuknya jam 4 sore pula. Dikira-kira rame nggak, tuh, buibu? Rameee…! Trus, kita dateng setelah sebelumnya seharian muter-muter di flea market Mauerpark pula (that’s another story), jadi pas nyampe di Legoland Discovery Center, gue sebenernya udah lumayan teler. Last but not least, karena satu dan lain hal, peserta kunjungan ke Legoland Discovery Center ini lagi-lagi cuma gue dan Raya *tenggak parem kocok*

Legoland Dscovery Center Berlin terbagi menjadi 9 area “bermain” Lego, yaitu LEGO Factory Tour, LEGO Miniland, LEGO Racers, LEGO Friends, LEGO City, LEGO Ninjago, DUPLO Village, Model Builders Workshop, dan yang terbaru, Space Mission.

Di setiap area ini, anak-anak bisa merakit Lego atau bermain interactive games sesuai tema areanya masing-masing. Misalnya, area Lego Ninjago, tuh, bentuknya kayak semacam hutan mini, dimana anak-anak bisa ngetes skill-skill ke-ninja-an mereka. Sementara di area Lego Racers, anak-anak bisa merakit mobil-mobilan dari Lego, trus dites alias dibalap di berbagai racing track yang tersedia.

Legoland Dscovery Center Berlin juga punya tiga wahana, alias permainan yang bisa dinaikin, yaitu Dragon Ride, Merlin’s Apprentice, dan LEGO Studios 4D Cinema.

Selain itu, mereka juga punya Physical Play, yang merupakan arena playground. Playground-nya, sih, standar aja, kayak di mol-mol gitu, lah. Ada perosotan, kolam bola, dan sebagainya.

Last but not least, Legoland Discovery Center ini juga punya fasilitas kafe, toko suvenir, dan dua Birthday Room, alias ruangan khusus untuk anak-anak yang merayakan ultahnya di sini.

***

Pas masuk ke lobi Legoland Discovery Center untuk beli tiket, gue merasa ruangannya kecil bin sempit. Trus, mana Discovery Center-nya? Kok cuma ada loket tiket gini?

Oh, ternyata Legoland Discovery Center-nya sendiri ada di bawah tanah, Buuu… Jadi setelah beli tiket, kita kudu turun tangga ke bawah tanah, semacam mau masuk ke ruang penyiksaan kastil. Duh, agak claustrophobic ya, mak.

Nah, gara-gara entry-nya begini, Raya sempet rewel karena takut.

Untungnya, area pertama yang kita temui di Legoland Discovery Center ini adalah Lego Miniland, yang menampilkan miniatur kota Berlin dalam bentuk Lego. Lucuuuu banget! Suasana kota miniaturnya pun “meriah”, karena ada efek cahaya, suara, dan beberapa Lego-nya bisa digerak-gerakin. 

DSCF0542

DSCF0525

DSCF0529

DSCF0532

DSCF0533

Di kota miniatur ini, Raya paling seneng sama bandara Berlin lengkap pesawat terbangnya, sementara gue paling girang ngeliatin miniaturnya tembok Berlin. Soalnya, kalo kita pencet tombol tertentu, temboknya bisa “runtuh” beneran (tapi trus berdiri lagi lah, ya)! Nah, sebelum temboknya “runtuh”, ada efek suara masyarakat bersorak-sorai gitu, “Viva Berlin! Viva Berlin!” Trus, setelah temboknya jatoh, ada suara masyarakat teriak-teriak hepi dengan bekgron musik rock bergembira ala tahun ‘80an. Kok gemes amat, ada reka ulang begini?! 

DSCF0538
Si reka ulang runtuhnya tembok Berlin

Lumayan, lah, area Miniland jadi mengurangi hawa nerfes si bocah akibat atmosfer underground dungeon Legoland Discovery Center ini. 

DSCF0535

DSCF0543

Puas liat-liat Miniland, kita ketemu sama wahana Dragon Ride. Sialnya, Raya nggak mau naik wahana ini sama sekali, karena penampakan luar wahana ini agak gelap-gelap skeri gimanaaa gitu. Jenis wahananya emang dark ride, sih, dan ada safety warnings-nya. Tapi anak seumur Raya boleh naik, kok, jadi gue asumsikan, wahana ini bukan wahana mencekam, apalagi thrill ride. Biasa-biasa aja, lah.

Walaupun udah bolak-balik dibujuk, Raya tetep nggak mau naik. Sampe lari kabur-kaburan dengan dramatis bak sinetron India pula. Ya udah, lah, nggak usah dipaksa. Padahal guenya pengen, hahaha. Soalnya, Legoland Discovery Center ini ‘kan kecil, jadi gue kepengen ngejajal semua wahana yang ada. Supaya nggak rugi tiket, sis! *ogah rugi ala Misae*

Dari Dragon’s Ride, kita langsung turun ke lantai dasar, lokasi area LEGO Factory Tour, LEGO Racers, LEGO Friends, LEGO NINJAGO, DUPLO Village, LEGO City, Model Builders Workshop, Space Mission, Merlin’s Apprentice, LEGO Studios 4D Cinema, Physical Play, kafe, toko suvenir, dan Birthday Room.

Sesampainya di lantai dasar ini, gue langsung… istighfar. Ya Allah, penampakannya kok memicu migren, sih? Rame, rusuh, sumpek, mana tempatnya sempit pula 'kan. Minggu sore memang bener-bener jamnya peak hours, ya.

DSCF0549

DSCF0551 

Gue dan Raya—yang bukan penggemar Lego—jadi bingung mau ngapain. Yang pasti, kita nggak tertarik dengan area-area Lego “kelas berat” seperti area Lego Racers atau Model Builders Workshop. Biarkanlah area itu buat kakak-kakak yang emang doyan dan jago merakit Lego.

Tadinya Raya tertarik main di playground-nya, tapi guenya ogah, soalnya chaos banget! Malah ada anak-anak yang sampe buka baju, trus lelarian pake singlet doang. Saking sumuknya kali, ya, padahal suhu di luar 9 derajat Celcius. Et dah, tong, ini di Berlin apa di Sari Ater pemandian rakyat jelata, sik?

Ujung-ujungnya, Raya nyangsang di Duplo Village dan asik sendiri di situ. Bukan karena Raya suka main Duplo, ya, tapi karena Duplo Village ini dibuat seperti peternakan mini, lengkap dengan beberapa patung hewan peternakan. Berhubung hewan kesayangan Raya adalah sapi, jadi bocah anteng, deh, ngelus-ngelus si patung sapi itu sambil ngomong sendiri, zzzz. Yang penting hepi ya, nak.

DSCF0556

DSCF0558

DSCF0567

Sejujurnya, gue pun males kalo Raya main-main dengan Lego dan Duplo yang ada di Legoland Discovery Center ini. Soalnya agak jorok, shay. Lagi-lagi, berhubung udah sore, all those Lego blocks udah kotor diinjek anak-anak, diemut-emut toddler, dibersinin, dibatukin, dipeperin upil, and God knows what else. Gue nyentuhnya aja pake ujung jari, bak megang kolor basah. Seandainya semua Lego dan Duplo pieces ini bisa gue Dettol-in satu-satu, yah!

Setelah Raya puas main (baca: ngobrol sama patung sapi dan anjing) di Duplo Village, kita keliling-keliling dikit di lantai dasar Legoland Discovery Center ini. Walaupun kecil dan sumpek (lokasinya di underground banget sih, shay…), it’s not a bad place, kok. Kalo suasananya nggak serame ini, pasti menyenangkan, lah.

Btw, gue suka, deh, sama Birthday Rooms di sini. Jadi, Legoland Discovery Center Berlin ini punya dua ruang makan private, masing-masing dengan tema Kerajaan dan tema Hutan. Nah, kalo ada anak yang mau merayakan ulang tahunnya di Legoland Center, makan-makan dan tiup lilinnya, tuh, di ruangan ini.

Ruangannya, sih, keciiil. Palingan kapasitas 15 anak, lah. Jangan bandingin sama birthday rooms di playground-playground Jakarta, ya. Tapi tetep lucu, kok. I like.

Setelah nengokin Birthday Rooms, kita mampir ke area Lego Friends, yang sebenernya ditujukan untuk anak cewek. Jadi area ini dibuat seperti rumah-rumahan, lengkap dengan ruang TV, dapur, ruang makan, dan sebagainya.

Berhubung gue udah capek berat, dengan tidak tahu malunya gue masuk ke ruang TV rumah-rumahan ini, trus numpang tidur di sofa mininya, HAHAHA. Bodo amat lah, gue dilirik-lirik sebel sama ortu-ortu lain, karena area rumah-rumahan ini sebenernya kids only.

Enivei, pas lagi asik-asik molor, tiba-tiba gue disamperin Raya, yang abis ngubek-ngubek tumpukan Lego dan playset di area Lego Friends ini. Dia nanya, “Bu, Bu… nih, apel, Bu…”

Gue kira Raya nyodorin apel mainan, eh, ternyata dese megang potongan apel beneran, mak! Pasti ada bocah yang main sambil makan apel, trus kececer, deh. Ewwww…

I would expect this kind of stuff di playground mall pinggiran kota Jakarta, tapi gue nggak nyangka bakal ada juga di Legoland Discovery Center Berlin ini.

Gue nggak lantas ngecap Legoland Center Berlin jorok, kok. Sure, the cleaning service could do better, tapi memang inilah resiko datang ke tempat rekreasi anak-anak di peak hours. Huvt.

DSCF0572

DSCF0576 

Setelah main-main di Duplo Village, ngintipin Birthday Rooms, numpang molor di area Lego Friends, bikin rumah-rumahan di area Lego City (trus bosen setelah lima menit), ngebujukin Raya masuk ke area Lego Ninjago (yang ditolak mentah-mentah sama bocahnya, karena bentuk areanya adalah hutan-hutanan remang-remang, ngebujukin Raya nonton 4D Cinema-nya (juga ditolak), akhirnya gue nyerah di jam 17.30. Capek, braaay!

Total, kita main di Legoland Discovery Center ini "cuma" selama 1,5 jam. Sejujurnya, dalam kesempatan ini, gue dan Raya juga kurang enjoy, sih, akibat suasananya yang kelewat rame dan kondisi badan gue yang udah kecapekan. Salah timing kali, ya. Ditambah, duo ibu-anak ini juga kagak hobi main Lego, hihihi.

DSCF0578

Yuk, Raya, kita pulang ke hotel!

Terimakasih atas pengalamannya ya, Legoland Discovery Center. Kita seneng, kok, berkesempatan nyicipin dunia per-Lego-an yang heboh. But I think we better leave it to the real Lego maniacs to enjoy your world.

Wassalamualaikum warrohmatullohi wabarokatuh!

DSCF0516

Anakku Si Asal Goblek

$
0
0
DSCF2325

Raya, 3,5 tahun, adalah anak yang super anxious dan introvert. Bukan pemalu ya, tapi introvert. It’s pretty challenging raising an introvert kid in this extroverted world, terutama di Indonesia, dimana sifat introvert dianggap sebagai “kelemahan”, bukan sebagai spektrum sifat yang netral.

Meski demikian, gue nggak pernah berhenti mensyukuri dan membanggakan kelebihan Raya, yaitu  kemampuan verbalnya.

Sejak kecil, kemampuan verbalnya Raya memang unggul. Hobinya ngemeng, dan kalo lagi ngemeng, logikanya jalan banget. Meskipun Raya cuma mau ngemeng tanpa beban sama orang-orang terdekatnya, ya. Raya nggak bisa bahasa Inggris sama sekali—karena memang belum gue perkenalkan—tapi dengan begitu, kosakata bahasa Indonesia Raya jadi kuat banget!

Kalo kata seorang temen, Raya itu anaknya asal goblek, alias kalo ngomong ceplos banget (katanya kayak emaknya… siaaal!). Alhasil, omongannya suka kocak, nyinyir, sekaligus bikin gondok. Kata Dara, Raya bisa diasah supaya jadi kayak Ucup. Ahahahaha. Duuuh… antara pengen dan nggak pengen, ya…

Berikut contoh-contoh terkininya:

#1
Pada suatu pagi, gue lagi siap-siap nganterin Raya pergi sekolah. Pagi itu, gue tumben-tumbennya pake sepatu pantofel yang agak feminin, sementara biasanya sendalan ala-ala Birkenstock aja.

Raya: “Ibu cantik sekali sepatunyaaa…”

Gue: “Terimakasiiih…”

Raya: “Sepatunyaaa, bukan orangnya!”

Iye, iye, setdah.

#2
Dulu kita sempet pergi liburan keluarga, trus nginep di kamar hotel yang balkonnya ngadep hutan kecil. Nah, di hutan kecil ini ada banyak monyet macaque (jenisnya monyet Ubud / Uluwatu gitu, deh), dan kadang-kadang, mereka nangkring di balkon kamar hotel.

Suatu pagi, tiba-tiba ada seekor monyet lompat ke balkon kamar kita. Waktu itu kebetulan gue lagi ganti baju. Otomatis, gue balik badan ‘kan (sesama turunan primata, bukan muhrim :D). Sekonyong-konyong Raya—yang lagi ngeliatin si monyet itu—bilang ke gue,

“Ibu! Ganti bajunya ngadep sini aja dong, biar monyetnya kabur!”

Eeeeh, maksud lau apaaa…? *menatap kedua pepaya busuk di dada*

#3
Ngomong-ngomong soal dada, bulan lalu Raya lagi belajar tentang bentuk-bentuk di sekolah. Trus, gue iseng ngetes, "Raya, apa contoh benda yang bentuknya lingkaran?" Maka dipencetlah dadaku, bak terompet abang roti. Net not! Untung ini bukan contoh benda yang bentuknya segitiga ya, nak...

#4
Raya suka main teka-teki. Teka-teki bocah gitu, lah, seputar tema binatang atau buah-buahan. Tapi alih-alih ngasih pertanyaan yang normal dan logis (misalnya, binatang apa yang kakinya empat? Buah apa yang punya rambut?), Raya suka ngasih pertanyaan teka-teki yang sulit dan subyektif, misalnya:

“Buah apa yang pernah Raya makan waktu di Eropa?”
“Binatang apa yang nggak suka ditusuk?”
“Binatang apa yang nggak punya apa-apa?” (Heh?)
“Binatang apa yang ada di kebon binatang?” (ya banyak, keleus...)

Tapi pertanyaan teka-teki Raya yang paling embarrassing adalah ini:

“Air apa yang warnanya coklat, trus orang suka buang sembarangan ke situ? Jawabannyaaa… Kalijodo!”

FYI, bulan lalu, Raya sempet diajak nenek buyutnya (yes, nenek buyutnya) main ke Kalijodo untuk liat-liat ekskavator, sekaligus bikin kenang-kenangan sebelum kawasan itu dihancurkan (bikin kenang-kenangan, kok, di Kalijodo). Alhasil, Raya jadi sering pengumuman ke orang-orang, “Raya pernah ke Kalijodo, lhooo!”

Lah, ibunya yang jadi kagak enak ati.

#5
Sejak nonton Zootopia, Raya jadi suka banget sama lagu Try Everything, sontrek Zootopia yang dinyanyiin Shakira. Berhubung gue udah eneg banget denger lagu itu diputer seribu kali sehari setiap hari, gue coba memperkenalkan Raya ke lagu Shakira yang lain, yaitu Waka-Waka. Eeeh, anaknya jadi suka juga. Lumayan, lah, buat jadi selingannya Try Everything.

Ujung-ujungnya, Raya jadi ngefans dan naksir banget sama Tante Shakira, sampe pernah mengeluarkan statement, “Menurut Raya nih, Bu, Tante Shakira tuh cantik banget,” (pas ditanya, “Kalo Ibu cantik nggak?” Jawabannya tentu saja, “Enggak!”).

Pernah, pada suatu malam, sebelum tidur, Raya bilang ke gue, “Bu, Raya pengen mimpiin Tante Shakira, deh. Gimana caranya?” Sambil nahan ketawa, gue suruh Raya merem sambil nginget-nginget Tante Shakira.

Lima menit kemudian, setelah merem dengan gelisah, Raya ngomong, “Raya kok nggak bisa-bisa mimpiin Tante Shakira? Gimana caranyaaaaa?!”

Zzzz.

Pernah juga, kita lagi nonton tayangan di channel Animal Planet tentang ular beracun. Gue jelasin, bahwa ular beracun ini ada di Afrika. Trus sekonyong-konyong Raya teriak dengan khawatir, “Tapi ‘kan Tante Shakira ada di Afrika?! (mengacu kepada Waka-Waka) Tante Shakira gimana dong?!”

Kikikikik.

Gongnya adalah, Raya mengumumkan bahwa di ulang tahunnya bulan Juli nanti, Raya mau tiup lilin (di sekolah) dengan kue bertema Tante Shakira. Eaaaa… inilah anti-mainstream yang sebenarnya. Wujudin aja kali, ya *lalu dicekek kepala sekolah Raya*

DSCF2275
"Tunggu aku di Jakarta ya, Kakanda..." | "Baiklah, adikku..." Piala Citra-material banget nggak, sih, gaesss...?
 

The P Word

$
0
0

Sebelumnya, gue mau menghaturkan permohonan maaf sebesar-besarnya, karena postingan kali ini sama sekali nggak mengangkat topik-topik bijak penuh kearifan palsu seperti yang biasa gue angkat. In fact, postingan kali ini bakal mengundang ketidaknyamanan.

Oh, tidak, tidak. Gue nggak mau membahas tema SARA, pornografi, pornoaksi, kekerasan, ataupun hasutan, kok. Postingan ini hanya membahas salah satu dari kebutuhan manusia yang paling hakiki, yaitu…

… boker!

(yes, you may leave the blog now)

Jadi, beberapa hari yang lalu, Twitter heboh gara-gara ada seorang cewek di Amerika yang nge-twit soal pengalaman nge-date-nya yang bak mimpi buruk.

Ceritanya, dia lagi nge-date sama seorang cowok. Pergilah do’i ke rumah si cowok. Pas di rumah si cowok, dia kepengen boker. Setelah boker, eeeh ternyata toiletnya rusak nggak bisa di-flush. Panik, dong. Udah berulang-ulang di-flush, nggak bisa-bisa juga.

Di tengah kepanikannya, si cewek punya ide “brilian” untuk menciduk pupnya tersebut dari toilet (untung cuma sebiji) pake tisu, trus dia bungkus tisu, lalu dia SIMPEN di dalam tasnya. Aduh, ngakaaak…

Setelah keluar dari toilet, cewek ini sempet-sempetnya, lho, ngobrol mesra-mesraan sama cowoknya (ini cowok punya idung nggak, sih?), sembari senewen mikirin pup yang ada di dalam tasnya tersebut.

At one point, si cowok gantian ke kamar mandi, dan si cewek mendengar toiletnya bisa di-flush. Aha! Berarti toiletnya udah dibenerin sama si cowok, ya. Mungkin tadi mampet dikit. Setelah cowoknya keluar, si cewek buru-buru masuk ke kamar mandi, membuka “bingkisan cantik”nya dari tas, trus di-flush. Sukses! Horeeee!

***

Anyway, tadi pagi kisah tersebut masuk Buzzfeed, dan langsung rame dibahas di salah satu grup Whatsapp gue. Kenapa? Karena geng Whatsapp gue yang satu ini memang identik banget dengan… tai.

Tentunya bukan karena wajah dan perilaku kita kayak tai, yaaa (well, some will say that’s debatable), tapi karena entah kenapa, kita sering banget berurusan sama pup.

(FYI, kita semua perempuan ya… perempuan terhormat, pula…)

Sebagai contoh!

A, salah satu anggota grup Whatsapp ini punya masalah sama pencernaan. Pencernaannya jebol banget, jadi meskipun penampakannya jelita lagipula sosialita, dia sering banget kebelet pup, sampe sering cepirit. Katanya, sih, gara-gara dulu dia pernah kerajinan mengkonsumsi obat pencahar demi kesingsetan nyata. Eeeh, bablas. Eeeh, pencernaannya jadi jebol sampe sekarang!

More on her later, ya.

Sebaliknya, gue, B, dan C adalah tiga orang anggota grup Whatsapp ini yang susah banget boker. Jadi, kecil-kecil gini, sebenernya gue semi-sembelitan. Pup gue limited edition, shay.

B, sih, lebih-lebih lagi. Orangnya cantik, manis. Perawakannya pun halus dan kemayu bak putri keraton. Tapi konon, pas jaman kuliah, dia boker cuma tiap hari Kamis. Duile, seminggu sekali amat.

Ajaib banget, deh, kita masih bisa idup sampe sekarang, mengingat penumpukan kotoran di usus kita mungkin udah ngalahin penumpukan sampah di Bantar Gebang.

Walaupun katanya, sih, pencernaan B dan C udah normal sehingga mereka udah bisa boker rutin tiap hari. Sementara sampe sekarang, gue masih nggak lancar boker meskipun udah dicekokin pepaya, peach, buah naga, yogurt, dan kopi. Cuma mempan sama obat pencahar! Ciyan.

Moreover, grup Whatsapp ini ‘kan kalo becanda bebas lepas banget, ya. Jadi kalo lagi ketawa-ketiwi atau kalo lagi nggosipin orang, kita sering banget menggunakan emoji tokai. Lucunya, D adalah anggota geng Whatsapp kita yang paling alim. Boro-boro nyumpah nyerapah, mencet emoji tokai di Whatsapp aja dia nggak sanggup, karena menurutnya kasar banget.

Alhasil, dulu kita suka “ngospek” si D. Kita bilang, “Pokoknya, you harus bisa pencet emoji tokai dulu, baru sah masuk geng! Otherwise, you are out!

Pada akhirnya, D cuma sanggup mencet emoji yang menurut dia paling mirip sama emoji pup, yaitu… emoji gurita. Dari mana miripnyaaa?! :)))

Jadi, pas kisah tokai-dibungkus-tisu-di-dalam-tas ini tayang di Buzzfeed, kita pada ngakak-ngakak dan kembali membuka sesi sharing soal per-tokai-an, walaupun dari dulu, sesi sharing topik ini udah sering dibuka :D


Kalo lagi sesi sharing soal tokai, A selalu menjadi bintangnya, karena kisah per-pup-an dia memang luar biasa, akibat pencernaannya yang jebol tersebut.

Berikut adalah salah satu kisah klasiknya A:

A ini udah nikah. Nah, jaman dulu, pas baru pacaran SEMINGGU sama suaminya (dulu masih pacar lah, ya), mereka go out on a date makan seafood.

Di perjalanan pulang, A kebelet pup setengah mati, sampe… cepirit (FYI, anaknya emang hobi cepirit). Karena A udah nggak kuat banget sementara kondisi jalanan lagi macet, akhirnya A pup di plastik, di kursi mobil paling belakang. Trus, plastik berisi pup beserta celdal ternodanya dibuang di jalan tol. Maygaaaat!

Maka bertanyalah kita, “Elo pake rok apa celana?”
Dress.”
“Trus, lo nggak cebok?”
“Enggaaak…”
“Pulang-pulang nggak pake celana dalem?”
“Iyaaa…”

Yang lebih gong, katanya selama aksi perbokeran dalam mobil tersebut, cowoknya A nggak buka jendela mobil, demi dibilang tabah dan menerima A apa adanya. Jadi sok-sok nggak mau kebauan, gitu! Gilaaaa… :)))

Tapi berarti cinta cowoknya A memang luar biasa, ya, karena terbukti menerima si A se-tokai-tokainya, bahkan sejak baru pacaran seminggu. Pantes dikawinin!

Tapi kata A, setelah sekian taun nikah, kesabaran suaminya udah menipis, bahkan mungkin habis. Selalu ngamuk tiap A bikin kasus per-boker-an.

Sebenarnya, masih ada banyak kisah A yang lebih epic, cuma kayaknya nggak bisa gue share di sini. Soalnya kamu-kamu ‘kan pada nggak kenal A ya, jadi pasti pada eneg dan sebel denger cerita-ceritanya.

Sementara kita—temen-temen A—udah maklum sama kondisi A sejak bertaun-taun lalu, dan tetep sayang sama dia, walaupun A pernah cepirit di dalam lift gedung kantor sampe… ah, sudahlah…


ANYWAY! Menyangkut kisah toilet mampet seperti kisah yang diangkat Buzzfeed tadi, A bilang bahwa dia baru aja ngalamin kisah serupa, dua hari lalu.

Jadi, dua hari lalu A minum teh daun jati, sehingga dia pup banyak. Eh, ternyata toilet rumahnya mampet! Mana kagak ada ember buat nyiram!

Suaminya A ngamuk banget (as I’ve said, setelah sekian taun nikah, kesabaran si suami putus juga untuk hal perbokeran), sehingga si A terpaksa mungutin pupnya satu-persatu untuk dibuang ke sampah :)))

Trus, karena penasaran kepengen nge-unclog toilet sendiri tanpa panggil tukang sedot WC, suami A Googling cara nge-unclog toilet. Katanya, toilet bisa di-unclog dengan cara dikasih baking soda campur cuka. Sayangnya, di rumah mereka lagi nggak ada baking soda, adanya baking powder. Eeeh, baking powder-nya tetep nekat dicemplungin ke dalam jamban. Akibatnya, air jambannya berbuih sampe meluap keluar. Ahahahah...

Sumpah, ini kisah nyata, bukan adegan film komedi murahan humor mahasiswa!

Trus, B cerita, bahwa suami dan anaknya selalu boker jongkok, meskipun toiletnya toilet duduk biasa, termasuk kalo lagi di rumah. Jadi, toilet seat-nya dinaikin gitu, dengan posisi jongkok. Soalnya, kata suami B, bisa boker jongkok adalah salah satu survival skill penting dalam hidup. Iya, sih. Kalo kita nyasar di hutan atau di pasar yang kagak ada toilet duduknya, ‘kan harus jongkok ya.

Selain itu, kodrat manusia memanglah buang hajat dengan posisi jongkok, did you know that? Google it. Maka sebenernya, memang lebih sehat begitu.

Alkisah, B sempet ngalamin musibah yang serupa dengan musibah A, yaitu toilet di rumahnya mampet. Akibatnya pun sama. B harus nyidukkin pupnya satu-persatu dari jamban pake sendok (pake sendok banget?!). Tapi ujung-ujungnya, sih, nggak pake solusi baking soda, ya, melainkan tetep panggil tukang sedot WC.

Selesai toiletnya dibetulin, suami B mau boker. Eh, pas naik toilet dengan posisi jongkok, gubrak! Dese jatoh, boookkk. Bagian toiletnya ada yang ambrol, karena tukang sedot WCnya lupa ngesekrup balik bagian tersebut.

Mengutip B, “Drama rumah tangga gue, kok, gini bangeeettt…” Kurang elit ya, B!

Trus, E, temen kita yang satu lagi juga cerita.

Pada suatu malam, dia lagi nonton konser musik di daerah SCBD. Tiba-tiba perut E melilit buanget. Ngacirlah dese ke WC.

Tapi walaupun udah pup, perut E belum lega juga. Akhirnya sepanjang konser, E keringet dingin nahan mules, sambil mengulang-mengulang afirmasi Buddha di kepalanya, “Rasa sakit hanyalah ada di pikiranmu” (trus nggak ngaruh) dan nyender-nyender ke tiang demi “ngeganjel pantat yang udah kembang kempis.”

Anjiiir, ngeganjel bo’ol pake tiang banget, sis? :)))

***

Alhamdulillah, gue sendiri nggak punya cerita yang aneh-aneh (banget) tentang perbokeran. Palingan cerita pas gue diare parah saat umroh dulu, sehingga gue kayaknya sholat tobat seratus kali depan Ka’bah, berhubung gue merasa diare tersebut adalah suatu bentuk kualat.

(padahal, sih, gara-garanya, tiga hari sebelum berangkat umroh, gue field trip ke kampung Baduy dan berkali-kali minum air sungai mentah. YAPANTES!)

Ujung-ujungnya, gue masuk RS di Mekkah, diinfus, dan pantat gue ditujes pake jarum suntik versi Arab yang segede tombak.

Another story is, dulu, pas gue keluar kota sama pacar (ehem), gue diare sejak berangkat sampe pulang. Yakin, deh, diare gue itu adalah sebentuk jampi-jampi perlindungan dari nyokap, supaya gue nggak aneh-aneh!


Not so bad, ‘kaaan? Padahal gue, B, dan C adalah Geng Pencahar, lho, sehingga kita pernah ngerasain kebelet di berbagai tempat dan kesempatan. Untungnya nggak pernah cepirit di lift sampe… Ah, sudahlah… *lirik A*

Ngomong-ngomong soal pencahar, nyokap gue juga orangnya sembelitan, sehingga beliau pun kadang minum teh pencahar. Nah, minum pencahar tuh ada seninya, karena kalo minumnya salah timing, kebeletnya pun akan salah timing.

Kayak waktu dulu, nyokap gue pernah minum teh pencahar di malam takbiran. Akibatnya, ketika sholat Ied besok paginya, pas rakaat kedua, nyokap tiba-tiba jumpalitan buka mukena, trus lari kocar-kacir ke WC. Sholat gue hampir ikutan batal karena ngakaaaak!

Akhir kata, dengan mengucap bismillah, gue mau nekat nanya, nih, kepada pembaca yang budiman—what is your craziest poop story? *siapin kresek buat munti*

Don't Blink!

$
0
0
Are the pictures moving? Are they not?

Kece amit!

Klik di sini untuk lihat selengkapnya (might not work if your Internet is slow).

Ewan McGregor

 
Bryce Dallas Howard

Joe Jonas

Brooklyn Decker

Matt Damon 

 Chad Michael Murray


Maya Rudolph

The Ballad of a Work-From-Home Mom

$
0
0

Bulan lalu, Miund tau-tau message gue untuk bilang, "Laaaa... we want to feature bloggers' essays di bagian Lifestyle-nya The Jakarta Post online. Elo mau yaaah!"

Glek. Awalnya gue, si forever-krisis-pede, ini reluctant BANGET, apalagi kalau diminta nulis rutin. But then I bite the bullet, dan tadaaaa...! Jadilah tulisan pertamaku untuk The Jakarta Post. Pamerin dikit di sini boleh, ya. Boleh, dong. 

 ***

The Ballad of a Work-From-Home Mom

Whenever I tell my full time working-mommy friends that I am a WFH—work-from-home—mom, they would squeal with delight and envy. Little they realize that being a WFH mommy means…

My work uniform is daster

I heard several famous mommy bloggers treat their “working hours” seriously, although they work from home with no one to impress with their appearances.

They’d shower every morning, dress in their boyfriend jeans and Commes des Garçons shirts, put on some make up, and sit daintily in front of their laptops, in their straight-out-of-Design Sponge home offices, ready to seize the day before 9 a.m.

I love that idea. Tried it. Didn’t happen. Well, I got to the showering part, but I couldn’t make myself dress properly, let alone put on make up.

Not always because I’m lazy. It’s also because of the sweating. Have you realized that when you have kids from infant to toddler age, you will always sweat at some point during the day, trying to catch up with their Energizer Bunny stamina?

I soon discovered that I work best and most comfortably in sleepwear. Specifically, daster.

I once tried breaking this habit by limiting the number of sleepwear I own, so I wouldn’t get tempted to wear them during the day. So I threw some of them away, saving only the most decent ones for sleeping at night.

But after a month or two, I realized I desperately need my dasters back to work comfortably and productively.

So one day, I gave up and went back to the very glamorous sleepwear section of Matahari Department Store, and bought a dozen of their latest collections for my working attires. 

Nevada, do endorse me.

Things can be a bit lonely (and so I talk to flowers)

Working from home with no adult interactions can be lonely from time to time.

There were days when I miss real, adult conversations. For instance, conversations that use full sentences, instead of short directives such as, “No putting the Playdoh in your ears!”

One morning, while walking around my neighborhood, I spotted a new flower bloomed from my neighbor’s front yard, peeking from the fence. I remembered talking to plants is actually good for them, so I started to talk to the flower. Nothing too crazy, just simple talks like, “My, my, such a pretty flower! Hello, pretty flower. How are you this morning…” until I realized my neighbor’s maid was staring at me from behind the fence, ready to call the security guard.

It was at that point I decided that coffee time with an adult is called for, stat.

All of my makeup is expiring

I am not a big makeup person. And not having to go to office means I have even LESS need to wear makeup. However, thanks to the strong makeup trend on social medias for the past few years, I ended up having way more makeup than I need, anyway.

Therefore, naturally, almost all of my unnecessary makeups are expiring for being underused. So if you see me at Alfamidi sporting a hot pink lipstick and full eyebrows, it’s not because I’m having an early midlife crisis and trying to seduce the cashier. I’m simply trying to use up my poor, underused makeup before they turn into fossils.

My laptop is badly bruised

My toddler son sees the laptop as The Enemy, because every time the laptop is open, it means that mommy is going to ignore him.

Therefore, from time to time, he will always try to get rid of The Enemy, from throwing a tantrum whenever he sees me with The Enemy, to literally throwing it away.

Three times my laptop was pushed from my bed or desk to the floor, three times it survived, with ugly dents as its proof of survival.

Always being asked, “Why do you have a nanny?”

Whenever I say I “work from home”, most people assume that “work” is an online makeup shop or an arts & craft blog, so I must have tons of time to care for my son.

So when I tell them I have a nanny, they would cocked their head, give me a judging look, ask “But why?”, then look at me as the mom-version of Kylie Jenner who is rumored to not know how to do laundry.

They don’t realize that I really work work. I still have to report to a supervisor, manage my team, hold Skype meetings, do interviews, meet deadlines, copy edit, and write.

And, of course, I still want to maintain my hobbies and social life. Who doesn’t?

And I suppose they would look after my son while I do all that?

Bad eating habits (thanks to you, Nadiem Makarim)

People usually assume that we, the WFH clan, have better control over out diet, because we don’t get tempted by gazillions of food vendors that are right outside our offices.

Well, I bet that was once true… before Go-jek arrives. Once the Go-jek and Go-food era begins, all sorts of delectable, exquisite junk food are literally just a click away, wherever and whenever I crave for it.

Damn you (or love you), Nadiem Makarim!

It’s the best kind of work in the world

You know I have to eventually say this, right?

But I’m not saying it to sound appropriate. I’m saying it because it’s true.

At times, a part of me still thinks that I should be working in a real office—preferably in a high-rise building—on a real desk, wearing crisp, white Zara shirt and MAC Ruby Woo lipstick, sporting an employee ID card around my neck (I’ve always wanted to have one of those!), having colleagues that actually have faces and an Office Boy to take my lunch orders.

Instead, I am typing these words on my bed, besides my son who is sleeping while holding onto my boobs as his lovey. In lieu of working in crisp, white Zara shirts, I work in dasters, almost always near my son, with amazing time flexibility—I can go to my dancing classes whenever I want!—and marvelous ability to have that elusive working-and-parenting balance.

You know how most people think work-life balance is as mythical as the unicorn? Well, I didn’t just find the unicorn. I am riding it.

I am living every mother’s dream, and I wouldn’t trade it for the world.

 What every mother feels inside: berantakan, capek, kucel, mabok, tapi hepi (but actually, I look high here)

Brace Yourself, Nobar Giveaway is Coming. Oh My GoT!

$
0
0

My noble, kings, queens, lords, ladies, khal and khaleesis, first of all, Valar Morghulis.

Second of all
, UDAH MENGHITUNG HARI BANGET NIH, GAAAEEES?

Bagi para penggemar Game of Thrones, nggak usah gue jelasin lagi, ya, maksudnya menghitung hari apa. Yang pasti bukan menghitung hari menuju pergi saaajaaa, cintamu peeeergi.

Persiapannya apa, nih, gaes?

Gue sendiri udah siap banget dengan coloring book Game of Thrones, kitab suci The Noble House of Westeros, dan kaos Game of Thrones yang gue titip kheuseus sama sepupu gue yang tahun lalu main ke Dubrovnik, Kroasia, alias lokasi syuting Kings Landing. Ciyeee, pamer.

Tapi yang paling penting adalah persiapan mental lah, ya, mengingat betapa kejam dan berdarah dinginnya Opa George R.R. Martin kalau bikin jalan cerita.

***

Anyway, kabar gembira untuk kita semua, hari ini gue mau bagi-bagi giveaway khusus untuk pecinta Game of Thrones!

Gue mau ngasih 1 (cuma satu!) tiket/akses nonton bareng Season Premiere Game of Thrones season 6, bareng HBO Indonesia langsung.

Acara nobar ini resmi, bukan gue yang mengadakan (nggak kayak tahun lalu), dan akan berlangsung di Cinemaxx fX Sudirman, Jakarta, hari Senin tanggal 25 April 2016, jam 8 pagi.

Jam 8 pagi amat?! Yaaa, berhubung ini nobar official, kudu live dengan penayangan di Amerika lah, ya.

Memang tantangan banget, sih, ke Sudirman jam 8 pagi, hari Senin, saat 3-in-1 dihapuskan pula. Apalagi kalo kamu tinggalnya di Surabaya. Beuh, tantangan banget *krik krik* Tapi kalo kamu bener-bener cinta sama Game of Thrones dan Opa George R.R. Martin, harusnya nggak masalah, ya.

Cara ikut giveaway ini gampang-gampang-susah (karena ceritanya gue pengen pemenangnya adalah true fan, ciyeeeh), yaitu dengan menjawab dua pertanyaan ini di kolom komen:

1. Menurut kamu, apa yang akan terjadi (atau apa yang akan dilakukan) Sansa Stark di season 6? Apa alasan kamu?

2. Menurut kamu, siapa yang akan mati di season 6? Apa alasan kamu?


Nggak ada jawaban benar atau salah, ya. Tujuan pertanyaannya adalah mendengar pendapat dan analisa pribadi kamoh ajah :D Jadi kalau jawaban kamu nggak sesuai bukunya, misalnya, nggak apa-apa. Gue aja nggak pernah baca bukunya.

Gam-gam-sus, ‘kan?

Sertakan juga email kamu di komen jawabannya. Pemenangnya akan gue kontak via email :)

Giveaway ini akan ditutup hari Sabtu, 23 April, jam 8 malam Waktu Indonesia Barat.

All men must enter, ya. Good luck!



Sampai jumpa sama Queen Cercesi (pra-"shame, shame"), Lady Olenna, Daenarys Targeryan, dan Night Watch!

Update: .... AAAND THE GIVEAWAY IS OFFICIALLY, CLOSED YA! Pemenangnya akan di-email pagi ini. Bagi yang nggak mendapatkan email apa-apa setelah jam 10 pagi WIB, Minggu 24 April ini, berarti kamu belum beruntung :(

Thank you so much for participating, and Valar Morghulis! 

Kembali ke Dokter Kulit

$
0
0

Maygaaaat, udah se-tuak gini, kirain udah nggak bakal ketemu lagi sama yang namanya dokter kulit. Ngana pekeeeer?

Ceritanya, sejak akhir 2015, kulit muka gue kembali ke fitrahnya, yaitu jerawatan. Gue bilang “fitrahnya” karena memang sejak SD, kulit gue selalu bermasalah. Pas SD sampai SMP, gue eksim parah. Begitu menginjak pubertas, gue jerawatan sampe sekarang. Ciyan.

Tahun 2014-2015, kulit wajah gue sempet kece effortless se-effortless-effortless-nya. Awalnya dicurigai karena faktor sebuah serum mahal, tapi setelah ditelaah, kayaknya, sih, karena hidup lagi hepi dan santai aja.

Alas, good things never lasts. Akhir tahun 2015, gue mulai kembali bekerja, dan gerbang bad lifestyle pun kembali terbuka—begadang, stress, berantem kanan-kiri, dan berada di depan layar komputer terus 24/7. Sebagai orang yang memang pada dasarnya punya anxiety issues, nggak heran, deh, kalo gue pun jerawatan lagi. Bagi yang follow Snapchat gue, pasti pernah liat, ya, formasi jerawat di pipi gue yang sampe kayak formasi rasi bintang. It’s the Big Bear and The Little Dipper!

Tentunya, gue udah coba segala macem usaha untuk mengatasi masalah jerawat ini. Mulai dari gaya hidup “sehat” (well, I tried), perawatan di klinik kecantikan, sampe skincare over-the-counter dari penjuru dunia. Nggak ngaruh!


So last week, I braced myself and went back to a dermatologist. Ini berarti gue harus kembali menjadi hamba krim pagi-krim malam racikan khas dokter Indonesia yang keras, sangat kimiawi, bikin kulit merah, pedih, dan mengelupas.

I’ve always hated it so much. Selain karena efek sampingnya pedih banget, juga karena krim-krim ini selalu berasa kayak limbah beracun, saking kimiawinya. Merananya ampun, deh. Tapi apa mau dikata? Sejak dinosaurus masih menguasai bumi, emang cuma krim-krim begitu yang bisa “mengembalikan” muka bonyok gue ke titik nol.

Seperti biasa, rencana gue adalah perawatan di dokter dulu sampe jerawat-jerawat gue dan bekas-bekasnya tergerus habis, trus di-maintain, deh, dengan skincare over-the-counter.

Untungnya, pada periode “pake krim dokter kulit” kali ini, gue nggak terlalu menderita kesakitan. Mungkin karena udah paham trik-triknya juga, sih (jangan pake krim di daerah dagu dan bawah mata!), jadi muka rasanya nggak kayak digiles kertas amplas banget. Dan yang pasti nggak sampe lecet dan berdarah.

I have passed the worst first week, dan ajaibnya, the second week isn’t so bad.

Anyway, sebagai orang yang seumur hidupnya punya masalah dengan jerawat, gue jadi memperhatikan perilaku orang-orang dengan adult acne, lho. Yang gue amati, kecenderungan sikap mereka begini:

Pertama, mencari support group alias teman senasib.

Buat yang hobi ngulik Internet, biasanya mereka pasti buka-buka forum diskusi tentang jerawat serta berbagai solusinya. Nah, selain untuk saling bertanya dan ngasih rekomendasi, forum-forum begini biasanya jadi ajang pity party banget. Semua meratapi kondisi kulitnya, tapi juga saling menghibur satu sama lain. Hihihi. Solidaritasnya tinggi, deh. Apa gue sekalian bikin pertemuan orang-orang yang bermasalah dengan adult acne, ya? Bak Alcoholic Anonymous, gitu. Pasti aksi tangis-tangisannya nggak kalah drama.

Kedua, menjadi orang yang humble dan bersyukur. Walaupun kesannya “sepele” (kalo kata orang, “Hey, at least you have your health, La!”), jerawatan, tuh, nggak enaaaak banget. I mean, c’mon. Literally the first thing people see on you is your face! Bukan kaki, apalagi kepribadian dan inner beauty. Jadi punya “cacat” di muka, tuh, bener-bener menghantam rasa percaya diri.

Akibatnya, orang jerawatan biasanya jadi lebih humble, lebih bijak, nggak caper, lebih ikhlas, dan pastinya banyak bersyukur. Ciyeee… ini semacam muji diri sendiri, ya?

Tapi bener, lho. Being a person with forever adult acne, gue pribadi nggak kepengen-kepengen amat punya tas anu, sepatu itu, baju onoh. Cuma kepengen muka mulus! Kelar!

Dan menurut gue—sama seperti kebahagiaan—muka mulus adalah sesuatu yang nggak (selalu) bisa dibeli dengan uang. Misalnya, buat gue, nggak ada satupun skincare over-the-counter (apalagi perawatan alamiah) yang efektif mengobati jerawat gue. Skincare over-the-counter cuma bisa me-maintain kondisi kulit gue kalo udah “beres”. Tapi kalo gue lagi jerawatan, nothing works. Malah ada, lho, orang yang mukanya nggak mulus-mulus juga walaupun udah di-LASER. Mau nangis nggak, sih?

Akibatnya, people with acne memang harus selalu ikhlas, legowo, dan berdoa. Mengatasi jerawat memang jihad! Allahu akbar.

Ngana pikir muka akika buku braille?!

***
Anyway—mungkin gue bakal jadi dibenci sama pemirsa, nih, for telling you this—ada yang tau DrPimplePopper nggak?

Beberapa minggu lalu, seorang teman “memperkenalkan” gue kepada channel Youtube DrPimplePopper, yaitu channel Youtube-nya seorang dokter kulit asal Amerika, bernama dr Sandra Lee.

Dari nama channel-nya, udah ketauan lah, ya, isi video-video dese apaan. Eyaaaakkkk… isinya adalah video-video rekaman dr Sandra Lee mengekstraksi (alias mengeluarkan) 1001 jenis jerawat pasiennya, mulai dari blackhead terkecil sampai cyst terbesar.

Sebelum gue dikirimin sumpah serapah karena elo eneg, plis ngaku aja bahwa mencetin jerawat dengan sukses itu satisfying banget. NGAKU! Ngakuuu! Mencetin jerawat yang udah mateng—apalagi jenis blackhead yang geda dan item gitu—tuh bikin puas orgasme nggak, sih? Gue, sih, puas gilak. Setiap kali berhasil ngeluarin blackhead segede dosa di kulit siapa pun, bisa sampe jerit-jerit gemes. Guenya, bukan "pasien"nya :D

Dan berhubung seumur hidup gue “bersahabat” dengan jerawat, gue jadi lumayan ahli, lho, mengekstraksi jerawat tanpa bikin iritasi. Gue juga lumayan ahli membedakan mana jerawat matang, mana jerawat belom matang, mana blackhead yang isinya dikit dan susah dikeluarin, mana blackhead yang bagaikan kue soes Merdeka—dipencet dikit, isinya mojrot banyak. I would say I am a pimple popper myself! *kok bangga* *lalu bikin channel Youtube tandingan*

Jadi nggak heran kalo nontonin video-video ekstraksi dr Sandra Lee ini bagaikan nontonin porn buat gue. Nontoninnya pun bisa bikin gue mengeluarkan efek-efek suara macem “Ugghhh…. Yesss… Sssshh, omaygaaat….” Pokoknya highly satisfying, dan bisa sampe kebawa mimpi.

Nggak semua video DrPimplePopper sanggup gue tonton. Misalnya, gue nggak kuat nonton “pengorekan jerawat” yang terlalu dalam sampe kulitnya berdarah-darah. Tapi kalo untuk blackhead extractions, give it to momma!!!



Enjoy, gaes, tapi nontonnya jangan sambil makan cream cheese, ya. Hoekkk.

Basi, Madingnya Udah Terbit!

$
0
0


Kapan, sih, kamu merasa tua atau dewasa? Ada yang bilang, pas nikah, pas pertama kali gajian, pas pertama kali bisa beli mobil sendiri, pas pertama kali beli rumah sendiri, dan sebagainya.

Gue sendiri merasa benar-benar tua ketika semua anak magang di kantor gue bilang, nggak ada yang pernah nonton AADC 1 (di bioskop), karena saat filmnya keluar, mereka masih TK atau baru masuk SD. Ada yang masih balita. TIDAAAAAAKKKK!!! *guling-guling di skincare anti-aging*

Men, 14 taun yang lalu, men! Siakek, emang.

Sementara bagi gue, AADC identik banget sama masa remaja, karena memang pas filmnya keluar, gue lagi SMA banget. Lagi ranum-ranumnya (halah). Wajar, dong, kalo gue sempet kepengen ngangkat AADC di Youthmanual, karena Youthmanual = anak muda, dan bagi gue, masa muda = AADC.

Tapi ya siape bilaaaaang…? AADC bukanlah untuk anak muda jaman sekarang. Buktinya, pas gue survei kecil-kecilan, anak-anak magang di kantor gue nggak ada yang nonton AADC 1. Ada, deng, yang nonton satu orang. Itu juga baru beberapa tahun yang lalu, di RCTI, dan adegan ciumannya di-sensor, hihihi.

Batal nulis di Youthmanual, deh!

Trus, karena AADC 2 melanjutkan cerita gengnya Cinta, tentunya kisah AADC 2 juga nggak mengisahkan tentang masa remaja. Kesimpulannya, wahai media anak muda (yang editornya udah pada setua gue), tolong nggak usah bawa-bawa AADC ke medianya, deh. Pembacanya pada nggak relate, tuh, hihihi. At least, nggak se-relate kita, ya.

But thanks to AADC, Generasi 90an jadi punya film klasik yang iconic banget. Sampe-sampe kita jadi punya bahan nostalgiaan dan becandaan internal yang nggak dipahami oleh dedek-dedek. Ya nggak, sih? *pelukan sama Generasi 90an yang udah pada buncit-buncit*

Parodi terbaik yang gue temukan sejauh ini ada dua.

Pertama, parodi reenactment dari malesbanget.com 


Ceritanya, sih, sama kayak AADC 1, tapi setting-nya dibikin jaman sekarang, ketika mading udah beneran basi, karena udah tergantikan oleh sosmed. Cukup menghibur, sih, walaupun…
  1. Casting Rangga dan Cintanya di Jakarta Barat banget, nih? :D
  2. Ekting vlogger Ria Sukma Wijaya cukup oke sebagai Cinta, tapi tetep ingin kutepuk-tepuk wajahnya pake kertas minyak. Tim mekap mana, nih, tim mekap?!
Sementara momen-momen favorit gue di video ini adalah...
  1. Ketika esensi generasi milenial terangkum dengan sederhana namun sempurna di dialog, “Elo tuh sahabat kita. Kalo ada apa-apa, langsung share, dong… di Google Drive”. Eaaak.
  2. Ketika Alia yang alus dan lembut bilang “Sakit, anjing.” Ahahaha, blengcek. Biarpun putri keraton, memar ya jangan diteken, anzing.

Kedua, parodi kocak-kocak-ngeselin dari blogger dan penulis jenaka Haris Firmansyah. Baca tulisan parodi ini bikin emosi teraduk, kayak semen. Soalnya tulisannya sukses membangkitkan nostalgia adegan-adegan iconic di AADC, tapi sekaligus menghancurkan imej Rangga dan Cinta sendiri. Kzlnya kanmaen, lah!

Silahkan langsung baca, ya. Jangan pake sebats, dulu!

Ada Apa dengan Mamet?
  
Nama saya Rangga. Saya hanyalah seorang pelajar SMA biasa. Saya lebih memilih mengisi jam istirahat dengan baca buku di perpustakaan daripada baca koran di toilet khusus guru.

Semua berubah ketika Pak Wardiman sang penjaga sekolah, tanpa sepengetahuan saya, mengikutkan puisi buatan saya dalam lomba cipta puisi tahunan yang diadakan oleh pihak sekolah. Lomba tersebut berhadiah sepeda kumbang.

Tak dinyana, puisi buatan saya menang. Pak Wardiman mengambil hadiah sepedanya, kumbangnya untuk saya. Setelah saya resmi jadi pemenang lomba puisi tanpa sengaja, ada cewek mading yang ngejar-ngejar saya untuk minta wawancara.

“Kamu Rangga, kan?” tanya cewek mading tersebut sambil ngajak salaman. Tapi saya abaikan tangan halusnya yang terjulur. Berhubung lupa kobokan, tangan saya masih ada bumbu rendang. Sebab saya makan siang di RM Padang.

“Bukan. Saya sebenarnya siluman tengkorak,” kata saya berpura-pura.

“Oh.” Cewek itu langsung percaya dan pergi.

Keesokan harinya, saya menemukan surat kaleng dari seseorang bernama Cinta. Cinta pastilah si cewek mading itu. Isi suratnya hanyalah nama ayah saya digambar dengan doodle. Ternyata masih zaman ngata-ngatain nama orangtua.

Saya langsung marah dan labrak Cinta di ruangan mading.

“Bisa ngomong sebentar?” Saya menarik tangan Cinta sampai kami berdua berada di bawah pohon belimbing.

“Mau ngomong apa?” tanya Cinta sambil gigitin kukunya.

Saya langsung menendang batang pohon belimbing sampai buah-buahnya berjatuhan menimpa kepala Cinta. Cinta pun keliyengan. Saya lari sambil ngakak.

Setelah hari itu, saya kualat, buku favorit saya hilang. Buku favorit saya adalah buku rapor. Di sana ada nama ayah dan ibu saya. Kalau ditemukan pihak tak bertanggung-jawab, nama orangtua saya bakal tersebar ke seantero sekolah dan saya bakal di-bully sampai lulus SMA. Sebab ayah saya dikenal sebagai pendukung utama Farhat Abbas dalam pilpres tahun lalu. Keluarga saya pun dikucilkan masyarakat sekitar karena hal itu. Ibu dan kakak-kakak saya pun meninggalkan ayah saya karena tidak tahan dengan bisik-bisik tetangga.

Untungnya, rapor saya ditemukan Cinta. Saya langsung berterima-kasih dengan mengajaknya ke toko buku bekas di Kwitang. Saya ingin menunjukkan kepada Cinta bahwa masih banyak buku-buku yang lebih seru daripada isi rapor saya yang nilai penjaskesnya merah.

Ketika saya asyik memilih buku bekas, Cinta tepuk jidat.

“Ya ampun! Aduh! Gue lupa hari ini ada janji sama temen-temen nonton Gigi Raisa Cokelat,” ucap Cinta sekonyong-konyong.

“Emang kenapa gigi Raisa sampai cokelat? Sering minum kopi?” sahut saya.

“Bukan. Itu konser kolaborasi antara Gigi, Raisa dan Cokelat,” ralat Cinta.

“Nggak ada kamu, mereka tetep manggung, kan?” sinis saya.

“Jangan begitu dong. Saya udah nyiapin bendera Slank dari kapan tahun.” Cinta mengibarkan bendera yang sejak tadi dibawanya.

“Kayak nggak punya kepribadian aja,” sungut saya.

“Hah? Apa kamu bilang?” Cinta tersinggung.

“Iya. Nonton harus sama-sama. Pulang sekolah juga harus sama-sama. Sampai bayar SPP ke ruang TU juga harus sama-sama. Apa namanya kalau bukan mengorbankan kepentingan pribadi demi sesuatu yang kurang prinsipil?” ucap saya dengan nada judes-judes ganteng.

“Rugi gue buang-buang waktu sama lo! Mending gue ngobrol sama Haji Bolot sekalian!” Kemudian Cinta pergi dengan wajah merengut.

Pemilik toko buku menyuruh saya mengejar Cinta.

“Kejar! Ayo! Cepet! Laki bukan sih?” kata beliau. “Kau perhatiin ya. Kalau sampai dia menengok kemari, itu berarti dia mengharap kau mengejar dia! Perhatiin!”

Saya lihat Cinta masih tetap jalan ke depan. Di hitungan ketiga, Cinta beneran nengok dan melambaikan dompet. Dompet saya. Emang minta dikejar nih cewek!

Saya langsung kejar Cinta sambil teriak, “Copet!”

***

Sewaktu di sekolah, saya meminta dompet saya ke Cinta secara baik-baik.

“Makanya, jangan jelek-jelekin temen-temen gue. Kalau lo nggak punya temen di Facebook, salah gue? Kalau tiap lo update status yang like cuma diri lo sendiri, salah temen-temen gue?” cerocos Cinta sembari memberikan dompet saya yang telah dikuras isinya. Ketika dicek, tersisa KTP dan kartu BPJS doang.



Setelah menangisi isi dompet, saya ngeloyor ke gudang sekolah. Di sana saya disamperin oleh cowok bernama Borne yang mengaku pacarnya Cinta. Borne bawa teman-temannya dari STM jurusan otomotif. Hari itu, saya digebukin sampai ‘turun mesin’.

Akibatnya, saya tidak masuk sekolah selama tiga hari. Di hari ketiga, Cinta datang ke rumah saya. Dia kaget melihat wajah saya babak-belur kayak bubur diaduk.

“Kayaknya sehat-sehat aja nih,” ucap Cinta ngeledek.

“Ayo, masuk,” ajak saya tidak menanggapi candaannya.

Ketika duduk di sofa, perut Cinta bunyi.

“Kirain kamu kesini mau jengukin saya yang digebukin oleh cowok yang ngaku-ngaku pacar kamu. Nggak taunya mau minta makan toh,” kata saya kecewa.

Cinta hanya nyengir sambil menahan lapar dan dahaga.

Kemudian saya mengajak Cinta ke dapur. Ketika saya sibuk masak, Cinta ikut ngerecokin.

“Kamu pasti nggak bisa masak,” vonis saya.

“Bisa,” elak Cinta.

“Masak apa? Masak air?” kejar saya.

“MASAK BODO!” Cinta meleletkan lidah.

Saya melengos.

“Nggak ada yang bisa saya bantu ya?” tanya Cinta yang mati gaya.

“Ada. Tetangga saya lagi bangun rumah tuh!” ucap saya asal.

Kemudian Cinta beneran ikut bantu bangun rumah. Cinta ngaduk semen dengan telaten. Selesai saya masak, Cinta selesai bikin satu bedengan.

Ketika saya tawari makan, Cinta sedang ngaso sambil ngerokok samsu.

“Ayo, Ta. Makan dulu,” ajak saya.

“Bentar, Ga. Sebats dulu,” ucap Cinta santai.

Malamnya, saya mengajak Cinta ke sebuah kafe. Di sana ada acara stand up comedy. Kebetulan saudara saya yang jadi MC. Cinta pun dipaksa open mic.

“Selamat malam. Pernah nggak kalian ketemu ibu-ibu bawa motor matik nyalain sein kiri, tapi belok ke kanan?” Cinta masuk ke bit pertama.

Penonton hening.

“Menurut saya, ibu-ibu itu masih mending daripada Rangga. Rangga nyalain sein ke kiri, malah lari ke hutan, lalu belok ke pantai.” Setelah melempar punchline yang tumpul, Cinta ketawa-ketawa sendiri.

Penonton masih hening dan mencari-cari dimana lucunya. Singkat kata, Cinta nge-bomb.

Malu, saya tinggalkan Cinta dan pulang duluan ke rumah.

Sejak itu, Cinta menjauhi saya di sekolah. Tiap saya telepon, nggak diangkat. Giliran saya nggak nelepon karena nggak punya pulsa, dia kirim SMS minta ditelepon. Ngeselin banget.

Sampai akhirnya, saya pamit ke Pak Wardiman karena saya harus pergi ke Amerika.


"Saya mau kuliah di Washington. Biar malamnya, saya bisa main ke Las Vegas," pamit saya.

"Kayak lirik lagu Kangen Band," komentar Pak Wardiman.

Ketika saya berpelukan dengan Pak Wardiman, salah satu teman Cinta yang bernama Karmen memergoki. Kabar saya yang ingin ke Amerika sampai ke telinga Cinta. Akhirnya, Cinta bersama teman-temannya mengejar saya ke bandara.

Teman-teman Cinta terdiri dari empat cewek dengan kepribadian berbeda. Karmen si tomboy hobi basket yang tiap marah bawaannya pengen nimpa orang, mirip Squash di game Plants vs Zombies. Milly si lemot yang ketika teman-temannya sedang bahas fitur-fitur iPhone 6 Plus, dia masih nanya gimana cara mindahin foto pake inframerah. Alya si gadis rapuh yang kesehariannya diisi dengan mendengar pertengkaran ayahnya yang merasa diabaikan karena ibunya asyik nonton Uttaran. Dan Maura yang paling cantik dan seksi. Seksi pembinaan dan kaderisasi.

Tapi karena mobil Milly kejebak di parkiran, mereka membawa lari mobil milik pelajar culun bernama Mamet. Ketergesa-gesaan membuat Cinta seperti preman di game GTA (Grand Theft Auto).

Ketika di bandara, Cinta ditahan oleh petugas bandara. Tapi Alya bisa mengalihkan perhatian petugas bandara dengan menunjukkan trik sulap memasukkan handphone ke dalam botol. Saat petugas bandara bengong, Cinta pun nyelonong.

“Untuk terakhir kalinya, saya mau jujur. Saya nggak marah sama kamu karena ninggalin saya sewaktu open mic. Saya marah sama diri saya sendiri karena saya nggak serius nulis materi.” Cinta menahan kepergian saya.

“Tapi saya tetap harus pergi, Ta.” Saya siap-siap angkat koper.

“Gimana kalau sebelum pergi, saya cium kamu dulu?” tawar Cinta. "Biar kayak di film-film Barat."

Saya memejamkan mata seperti Sadam ketika dicium Sherina di Bosscha.

Ketika Cinta mencium jidat saya, jidat saya terasa panas dan melepuh. Ternyata Cinta nyium saya dengan rokok samsu. Itu sih bukan nyium, tapi nyundut.

Sejak itu, saya memutuskan untuk tidak pulang lagi ke Indonesia. Saya takut dianiaya oleh Cinta untuk kesekian kalinya. Biarlah posisi saya digantikan oleh Mamet.

Lagi-Lagi Game of Thrones - Episode 2, Nobar, dan Jon Chow

$
0
0

Berhubung Episode 2 Season 6 Game of Thrones kemaren PECYAH banget, kayaknya udah saatnya gue fangirling lagi di sini. Mari, Pak, Bu, kita bahas?

Oya, gue nggak bahas semua subplot, ya. Seperti misalnya, subplot Cave of the Three Eyed Raven, subplot Arya di Braavos, subplot Sansa, dan subplot Sand Snakes di Dorne. Cuma yang seru-seru aja, deh.

KINGS LANDING


Belum ada kejadian seru, nih, di Kings Landing. High Sparrow dan geng Faith Millitant masih berkelakuan bak FPI, Margaery dan Loras masih dipenjara, dan Cersei masih berkabung (tapi pasti diem-diem sambil merancang bales dendam).

Setuju nggak, sih, kalo karakter Cersei di season 6 ini makin “dalem”? Kalo di season-season sebelumnya, Cersei ‘kan palingan nenteng-nenteng gelas wine aja, sambil ngomong-ngomong silet dengan gigi terkatup. Tapi di Season 5, she went through a lot. Trus, dendam kematian Joffrey aja belum terbalaskan, Myrcella udah ikutan meninggal pula! Beuh.

Meskipun Cersei identik dengan sifat dingin, egois, dan haus kekuasaan, tapi sebenernya sifat dese yang paling kuat adalah sifat keibuannya. Jadi ketika anak-anaknya direcokin, duka Cersei terlihat tulus dan dalam banget. Gue trenyuh, sih, ngeliat Tante Cersei jadi pendiem gini.

Tapi yang bikin gue agak gmz—terutama di episode 1—adalah Tommen. Duuh, anak ABG jadi raja, apa yang mau diarep, ya? Suaranya aja baru pecah. Trus, bawaannya kangeeen mulu sama bojone. Yaolooh… kalo dia punya LINE, pasti isi timeline-nya quote kangen galau semua.

WINTERFELL


*ambil telpon, pencet nomor*

“Tuuut… tuuut…” *ceritanya nada sambung*

“Halo, neraka? Merasa kehilangan Raja Setan nggak? Ada di Winterfell, nih!”

Ramsey, oh Ramsey.

Oke, kita semua sepakat kalo karakter si anak haram keluarga Bolton ini satu dimensi banget. Pokoknya kejam dan sakit jiwa, titik. Nggak punya sisi positif acan. Tapi gue nggak nyangka, lho, Ramsay bisa segitunya amat. Jenazah Miranda, pacar / sidekick-nya aja boro-boro didoain, apalagi disholatin. Langsung dijadiin makanan anzing, men! 


Trus, walaupun udah diprediksi oleh beberapa orang, gue juga nggak nyangka Ramsay bakal bunuh bapaknya, plus setega itu bunuh debay baru lahir (biar ala alay Instagram yang hobi nyingkat “dek bayi” jadi “debay”). Bunuhnya juga sadis banget, lagi :’(

Apakah gue terlalu naif?

Sejujurnya, gue emosi banget pas nonton adegannya Ramsay di episode 2. Inget nggak, pas jaman sinetron Indonesia masih berjaya di tahun 1990an, para aktris spesialis tokoh antagonis Leli Sagita dan Anna Tarigan sempet diancam mau dibunuh oleh pemirsa, dengan cara dibakar? Nah, gue sampe merasakan hal yang serupa sama aktor Iwan Rheon. Kzl mksml! Graaaah!

Udah waktunya gantiin Ramsey Bolton sama Ramzi D’Terong aja, deh.

THE DOTHRAKI KHALASAR


Siapa yang hepi Daenerys balik gabung sama kaum Dothraki? Sayaaa…

Seperti yang pernah gue bahas dulu, sepanjang Game of Thrones ini, subplot Daenarys itu paling seru dan menarik pas dia masih berurusan sama kaum Dothraki.

Pas dese udah merambah ke Slaver’s Bay—apalagi pas udah menginvasi Meereen—duh, subplot-nya jadi garing, deh. Soalnya, meskipun Dany adalah gadis baik-baik ((gadis baik-baik)), I don’t think she can rule. Mana rakyat Meereen juga stengki-stengki yang ngehormatin dia. Jadinya serba salah, deh, kayak Raisa.

Trus, kalo kata Dara, kehidupan Dothraki, tuh, emang primitif dan simpel banget, ya. Kegiatannya cuma memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar aja. Makan, tidur, ngesek, makan, tidur, ngesek. Plus bunuh-bunuhan dikit, lah, biar nggak ocen.

Tapi yang paling seru dari para kaum Dothraki ini tentu saza cangkem pria-prianya. Liat, dong, pas mereka menggiring Daenarys ke Khal Moro. Mulutnya bener-bener mulut mamang-mamang anak gang semua. Ngeliat cewek dikit, langsung disiulin trus digodain dengan anonoh. Iih, nakal. Suka, deh. #lho

 

Trus, meskipun kata Anditry muka para Khal Dothraki, tuh, nggak ada bedanya—gara-gara semua pada seragam berambut gondrong dikuncir genit, dan ber-eyeliner tebel bak anak band gotik (goyang itik)—tapi gue ngerasa Khal Drogo jauuuuh lebih kece daripada Khal Moro. Menurut gue, aura penguasa dan aura seksinya Khal Drogo tuh keluar banget. Dukun mantennya jago, ya, ngeluarin aura. Liat aja paesan alisnya Khal Drogo. 

 
Liat caption di Instagram-nya Jason Momoa. Histeris!

Jason Momoa memang sing ada lawan. Momoa bikin momogi! Mo mo lagiii…. *hoek*

MEEREEN


Tyrion is still my favorite character ever, dan—menurut banyak prediksi—pada akhirnya akan menjadi tokoh protagonis sejati di keseluruhan Game of Thrones.

*SPOILER ALERT* Bagi yang hobi baca teori-teori Game of Thrones, pasti udah tau, ya, bahwa Tyrion diprediksi menjadi salah satu dragon riders, bersama Daenarys dan Jon.

Pada prinsipnya, dragon riders mustik punya darah Targaryen. Dany, ya, udah jelas. Trus, dengan kemunculan Lyanna Stark di Episode 2 dan flashback ke Tower of Joy di preview Episode 3, para fans makin yakin bahwa Jon Snow adalah anaknya Lyanna Stark dan Rhaegar Targaryen.

Naaaah… adegan Tyrion sukses mendekati Rhaegal dan Viserion—para naga—di Episode 2 kemaren, kayaknya semakin mengukuhkan teori bahwa Tyrion adalah anaknya Aerys Targaryan. Soalnya, di dunia Game of Thrones, naga cuma bisa didekati oleh orang yang udah familiar banget sama mereka (contoh, Missandei) dan orang berdarah Targaryen. Tyrion ‘kan nggak deket sama naga-naga itu, tapi bisa langsung sukses ngedeketin mereka. Jadi….? JENG, JENG.

Last but not least…

CASTLE BLACK

 
Diana papilaya bangun pemuda-pemudi, maaak...

Siapa yang mixed feeling liat Jon Snow bangun pemuda-pemudiiii? Sayaaa…

Lho, kenapa? Padahal di Internet,  kebangkitan Jon Snow ini sampe dibandingkan sama kebangkitan Isa Almasih, saking gegap gempitanya.

Iya, sih. Dulu, di akhir Season 5, gue patah hati banget, trus berdoa siang malam kepada the Old Gods and New—cieee—supaya Jon dihidupkan kembali.

Tapi setelah setaun berlalu, gue udah lebih “nrimo” kalo Jon nggak idup lagi. Gue udah “nrimo” sama kekejamannya George R.R. Martin. Plus, gue agak bingung, sih. Kalo pada akhirnya Jon idup lagi, kenapa dulu dia dimatiin? Soalnya, sepengamatan gue, Game of Thrones nggak pernah bikin jalan cerita yang sia-sia, apalagi cuma demi cliffhanger.

Trus, kekhawatiran gue yang paling besar adalah kalo Jon Snow 2.0 ini jadi punya kepribadian yang berbeda. Jadi jahat, jadi dingin, atau jadi kejam (walaupun tetap berniat baik) kayak Lady Stoneheart yang juga bangkit dari kubur.

“Tapi Thoros of Myr berkali-kali bangkit dari kubur nggak apa-apa, tuh!”

Yaaa, Thoros of Myr ‘kan pendeta. Elmunya beda. Sama kayak elmunya Melissandre yang kagak mokat-mokat walaupun udah idup berabad-abad lamanya.

Intermezzo, nih. Did you know,  ilmu yang dipakai Melissandre untuk menyembunyikan wujud nenek lampirnya itu bernama “glamor”? Wow, glamor banget, sis… kirain cuma Syahrini yang punya ilmu itu. Jangan-jangan dress merahnya Melissandre itu Valentino, ya.

***

Terakhir, mau pamer foto-foto dikit, ya, kak. Pas nobar Season Premiere bareng HBO di Cinemaxx fX Sudirman, nih. Gue kesana bareng the unofficial fan group “Valar Morghulis”, komunitas fans ala-ala yang isinya cuma gue, Frida, Inga, dan Dara, hahaha. Sepi ya, ciyan.

Nggak ketinggalan Ratri, yang menang giveaway kemaren, yay!




Berhubung Episode 1 kemaren itu agak garing, jadi nobarnya biasa-biasa aja, sih. Beda sama nobar finale taun lalu yang penuh ketegangan, keharuan, dan rasa frustrasi.

Untungnya, berhubung ini adalah nobar resmi dari HBO, jadinya banjir merchandise, kak. Dari Mbak Agnes yang baik, kita sukses menyabet tote bag, folder, stiker, sampe lanyard Game of Thrones. Hepiii. Itu merchandise yang dibagiin untuk penonton umum, lho. Sementara untuk hadiah kuis, HBO menyediakan merchandise yang lebih dahsyat, seperti misalnya action figures. Ih, pengen!

Nobar ini ‘kan dihadiri oleh undangan dari berbagai pihak, ya, seperti media dan komunitas fans. FYI, komunitas fans Game of Thrones terbesar di Indonesia (setau gue) adalah Westeros ID.

Nah, di akhir nobar, MC acaranya menggelar kuis kecil-kecilan, gitu.  Salah satu pertanyaannya adalah, apa sigil alias simbol dari House Targaryen? Ada penonton yang jawab “Naga”, dan dibenarkan oleh MC. Sontak, para Westeros ID protes sampe berdiri-diri, “SALAAAAH! SALAAAAH!” Syetdah. Soalnya menurut mereka, jawabannya harus spesifik, yaitu “three-headed dragon”. Eaaak… jangan main-main sama komunitas fans, brooo.

Ngomong-ngomong soal komunitas fans, taun lalu “Valar Morghulis” sebenernya ditawarin untuk berpartisipasi di ComicCon Jakarta. Awalnya kita girang banget, karena dikira bakal diminta jadi Liaison Officer kru Game of Thrones, atau apa kek. Eeeh, ternyata cuma disuruh jadi SPG. Maksudnya, disuruh cosplay alias pake kostum Game of Thrones, trus mondar-mandir aja di sekitar booth Game of Thrones sebagai penyemarak suasana. Huft.

Pada akhirnya, Inga dateng ke ComicCon Jakarta ini sebagai pengunjung biasa. Trus ngeliat para cosplayer GoT-nya, dong. Bagus nggak? Hmmmm… cukup mewakili semangat The North Remembers, sih. North Jakarta, maksudnya, hihihi.

 Ginuk-ginuk dan oriental, ya. Jon Chooow...!
 
Oya, Buat yang nyari nobar GoT tiap Senin, selain ada di Gulf & Gulp Sabang, Jakarta, ada juga di Hide & Seek Swillhouse, SCBD. Mondays cannot come fast enough, ya. Selamat nonton!

Game of Thrones - Episode 4 "Yaaas, Queeeen!"

$
0
0
 #nochillTormund #tatapancinta

Gaeeesss, gaeesss…

Kalo misalnya gue ngebahas Game of Thrones tiap dua minggu sekali, pada eneg nggak, sih? Jangan, ya. Game of Thrones cuma setaun sekali banget, lho. Episode per season-nya juga sedikit. Trus, novelnya pun belum ada yang terbit lagi. Dan yang paling bikin sedih, Game of Thrones cuma bakal sampe Season 8, nih. Abis itu khalas! Habis! Tamat! Bubar! Nggak kayak Tersanjung. Hik, hik, hik.

Jadi di bulan-bulan Game of Thrones yang mulia ini, nggak apa-apa, ya, blog ini isinya fangirling melulu :D

Anyway, seperti Episode 2, bagi gue Episode 4 di Season 6 Game of Thrones ini cukup satisfying dan lumayan bikin hati menjerit emosik, akibat gemes dan puas yang bersatu padu jadi satu.

Sehingga gue jadi berteori, bahwa di Season 6 ini, episodenya bakal selang-seling—seru, trus episode berikutnya nggak seru, trus seru, trus nggak seru lagi, begitu terus sampe abis. At least buat gue, ya.

Gapapa lah, ya, supaya balens.

Jadiii, gimana, nih, Episode 4?

Castle Black (or, Shall We Say, Castle Drama)

 

Jon Snow is alive and kicking, ladies and gentlemen! Kepribadiannya masih baek dan santun, hatinya pun masih seputih salju, sesuai namanya #taekpuitis. Cuma sekarang rambutnya jadi agak pendek, dan jadi hobi dikuncir. Makin ganteng, deh.

Berhubung gue anaknya baper banget, gue sukses berkaca-kaca pas adegan Sansa ketemu lagi sama Jon. Gila, yaaa… setelah sekian lama tercerai-berai, akhirnya ada dua anak Stark yang bisa ketemu lagi. 


Oya, seperti pembahasan gue dan Frida, saking beratnya azab dan cobaan untuk keluarga Stark, suka lupa nggak, sih, bahwa anak-anak Stark sebenernya cuma 1 yang wafat (Robb)? Yang lainnya masih alive and well, lho. Perasaannya trah Stark udah punah banget gitu, ya?

Malah Cersei yang kalem-kalem aja di Kings Landing, anaknya udah gugur dua.

Trus, sebenernya hati gue kecetit, lho, ngeliat Jon kecapekan dan defeated di Episode 3 dan 4 ini. Sehingga awalnya gue agak mafhum kalo Jon mau pensiun aja ke Selatan. Capek, brooo, berantem dan dikhianati mulu…

Tapi tentu saja, semangat gue kembali bergolak pas Jon dan Sansa terima surat cinta dari si anak setan Ramzi D’Terong. Peraaaang, ayo peraaaang!

Mong ngomong, polling kecil-kecilan aja, nih, ya. Kamu lebih bencik Joffrey atau Ramsey? Whose death would be more satisfying to you?

Trus, kenapa gue bilang Castle Black adalah Castle Drama? Karena liat, dooong, tatapan cinta Tormund Giantsbane ke Brienne of Tarth! Pandangan napsu-napsu sinetron banget nggak, sih? Ketauan banget naksirnya. Kalo GoT beneran sinetron, pasti Tormund udah ber-monolog sendiri dalam hati (tapi tentunya, bisa didengar semua orang).

Dan liat juga, dong, aura ketegangan antara Brienne-Ser Davos-Melissandre, akibat kubu masa lalu mereka yang pelik. Gue pribadi mendukung banget Melissandre mendampingi Jon Snow sampe Jon meraih masa jayanya, maka gue kuatir kalo Melissandre tiba-tiba dibunuh Brienne atas nama dendam. Huft. Peliiik.

Vale

Wow, Littlefinger is back! Memang manusia ini nggak ketebak banget jalan pikirannya. Suka banget mengadu domba (jago pula!), tapi nggak ketauan, apa motivasinya dan di mana ujungnya. Sebenernya ultimate motive-nya Petyr Baelish, tuh, apa, sih? Bakal puas kalo udah apa? Kalo udah jadi raja?

Ada penonton yang merasa Petyr Baelish ini tokoh yang charming dan culas-culas-menarik. I personally want him dead aja, deh, biar cepet #lelah. Lagian kalo baca deskripsi kepribadiannya di Wiki, celem 'ugha ya, maaak…

Sehingga tentunya gue nggak paham, kenapa Littlefinger ngajak armada perang Vale untuk melindungi Sansa. Supaya Sansa nggak ember atau mau maafin Littlefinger, karena dulu Sansa dijebak Littlefinger untuk nikah sama Ramsay?

Tapi seenggaknya, dari Vale, kita jadi dapet pelajaran berharga tentang parenting, ya, yaitu… jangan suka manjain anak!

Liat, dong, karena Joffrey dimanjain, pas jadi raja kelakuannya kayak apa. Liat juga Robin Arryn yang ditetekin sampe seumur SD, pas udah gede geblek dan klemernya kayak apa. Kalo kata Frida, makanya, apa-apa, tuh, ikutin kata Qur’an aja. Menyusui anak cukup sampe umurnya dua. Jangan dua belas!

Last but not least, Vaes Dothrak


Singkat kata, kalo kata Frida dan Inga, sebenernya nggak susah jadi Daenarys Targaryen. Untuk melindungi atau membuktikan diri sendiri, kemana-mana tinggal bawa korek ajaaa… Enak, ya? Kita mah kalo mau membuktikan diri harus kuliah tinggi-tinggi trus membangun karier yang bagus. Kalo Dany? Tinggal bakar diri aja. Langsung disembah.

Kalo kata Inga, mungkin di tongkrongannya, si Dany ini disebut si “kompor”, eaaaa…

Tapi performa Daenarys memang cakeub banget di Episode 4 ini. Semoga kekuatan si Mother of Dragons segera bersatu dengan Jon Snow, ya, sehingga metafora A Song of Fire and Ice cepat terwujud, demi Seven Kingdoms yang lebih baik *bak slogan pilkada*. Aamiiiiin… 

Walaupun nama khaleesi bikin ribet barista Starbucks...

 ... Arya Stark sebenernya bikin lebih ribet lagi.

Dude, Where's My Size?

$
0
0

Buka-bukaan kartu, ya.

Tinggi badan gue cuma 152an cm. Berat badannya jangan dibuka dulu, deh, soalnya akyu masih merasa ginuk-ginuk dan kurang proporsional. Maluuu...

Tapi secara keseluruhan, kebayang lah, ya, ukuran badan gue agak di bawah rata-rata.  Akibatnya, gue jadi susah belanja baju di online shop, terutama online shop lokal.

Sebenernya, jaman sekarang, merk fashion lokal tuh banyak yang keren-keren dan berkualitas, termasuk online shop yang masih baru-baru. Hebat, lah, pokoknya.

Sayangnya, kebanyakan—ralat, hampir semua—dari mereka nggak bikin size untuk koleksi bajunya. Mereka hanya memproduksi baju dalam ukuran “all-size”.

Kalo kata temen gue, Frida—yang juga punya line baju sendirisizing itu mahal di ongkos (which I suspected so, dan gue maklum banget), sehingga merk fashion lokal umumnya hanya memproduksi baju dalam ukuran yang mereka anggap paling umum. But of course, the concept of “ukuran paling umum” is also highly subjective.

TAPI, gue pernah meninggalkan komen di akun Instagram Cotton Ink, menanyakan kenapa nggak semua pakaian Cotton Ink pake sizing? Bahkan Devon Shirt-nya Cotton Ink yang beken itu sempet tersedia dalam berbagai ukuran, lho. Tapi sekarang balik maning ke “all-size”.

Cantik-cantik bajumu, (kadang-kadang) tiada ukuranmu

Suprisingly, Carline Darjanto ngejawab, alasannya bukan karena biaya (berarti sebenernya, Cotton Ink nggak rugi kalo baju-baju mereka diproduksi in sizes), tapi karena para pelanggan mereka lebih prefer Devon Shirt berukuran “all-size”. Kata Carline, para pelanggan udah kadung familiar dengan ukuran “all-size”nya Cotton Ink.

Yassalaaam… kasian banget, dong, kaum minoritas yang ukuran badannya kecil banget (atau gede banget) kayak gue?

All in all, gue merasa konsep jualan baju “all-size” tuh bikin makan ati, aapalagi kalo alasannya bukan karena biaya. Kalo alasannya karena biaya, gue masih maklum, sih.

Daaaan yang paling ngeselin adalah kalo online shop di Instagram nulis keterangan “ALL SIZE, fit to S to XL” di postingan baju-baju mereka.

Sister-sister online shop yang budiman, coba direnungkan. Kecuali baju jij bisa mengembang dan mengempis dengan ajaib, nggak ada baju yang bisa muat di semua ukuran badan begitu.

Mendingan keterangannya di buat jujur, deh. Misalnya, “fit to S (tapi ikat bajunya dengan tali tambang, agar tidak sekonyong-konyong melorot di tengah jalan. Caution: you will look stupid) to XL (tapi sediakan peniti, jikalau tiba-tiba bajunya robek. Caution: you will look stupid, too)”. Atau ya tulis aja ukuran sizing-nya berapa sentimeter (lingkar dada, lingkar pinggang, panjang, lingkar lengan, dsb).


Mungkin memang ada baju yang fleksibel dipakai di berbagai ukuran badan—misalnya, karena bahan bajunya stretch, atau karena bagian pinggangnya diberi karet agar elastis—tapi jatohnya ‘kan tetep nggak akan pas. Nggak akan jadi flattering di tubuh pemakainya. Dan sister-sister online shop harusnya jujur, sih, soal ini.

Bahkan se-gombrong-gombrong-nya baju berkonsep oversized atau baju kaftan, nggak ada, lho, baju yang benar-benar “all size”. Semua kaftan yang katanya “all size” pasti akan melorot di gue. Cussss... meluncur dari pundak turun ke lantai. Kalopun nggak melorot, I’d look stupid wearing it.

Padahal makin tua, kita makin susah getting away with clothes that don’t fit, lho. Dan 'kan mendingan punya baju sedikit dan berpotongan sederhana, tapi fit-nya pas dan flattering.

Hufttt, sebel *kokop bubble tea biar kalem* Kalo ada petisi atau gerakan donasi untuk para online shop bikin baju in sizes, gue nyumbang, deh.

Kalo begitu, mendingan minta masukan aja, deh. Apa aja, ya, fashion online shop lokal yang menyediakan baju dalam berbagai ukuran?

Marriage is Where...

$
0
0
Setuju nggak, sih, kalo gue bilang lukisan James Needham ini menggambarkan kehidupan pernikahan (atau long-term relationship) dengan sempurna?


Marriage is where romance... not totally died, but shifted. You fart and poop in front your spouse, because you feel very secure. You are not jealous anymore. You care less, but also care more at the same time. You can recognize your spouse's footsteps from a million miles away, and you can read his/her mind just by watching his/her eyeballs' movement. 

It's boring, challenging, and strong at the same time. It's marriage. Ya nggak, sih?

Being A Content Writer

$
0
0
Dari Millenials of New York, "plesetannya"Humans of New York, versi anak mudanya. Lebih nyebelin, dan kurang inspiring. Kayak milenials gitu, lah, hahahaha (termasuk diri sendiri, dong? :D)

"I write articles for the internet."
What was the last thing you wrote?
"Oh, it was an article called '10 Beautiful Pictures of Disney Princesses Busy Photoshopping Disney Princesses for Disney Princess Listicles.'"

Sebagai seorang content writer, cewek ini mewakili diri gue seada-adanya.

Wahai content writers Hipwee, IDNTimes, dan sebagainya, hati nurani pernah merasa terusik nggak, sih, karena menulis artikel-artikel kayak gini, misalnya?

4 Hal yang (Tanpa Disangka) Gue Temukan di Musim Dingin

$
0
0
DSCF0372

Waktu tahun lalu gue ke Berlin dan Copenhagen, gue salah kaprah.

Sebelum berangkat, gue ngecek berbagai situs prakiraan cuaca, dong, supaya packing bajunya tepat dan haqiqi.

Nah, gue haqqul yaqin bahwa berbagai situs prakiraan cuaca yang gue cek menyatakan bahwa temperatur di Berlin dan Copenhagen nanti bakal sekitar belasan derajat Celcius aja. Masih nyaman, lah, buat pake jaket Cibaduyut dan syal Cihampelas.

Eeeh, pas mendarat di Jerman… INI KOK UDARA DINGIN AMAT?! Lebih dingin dari perkiraan!

Dan selama gue di Eropa, temperaturnya nggak bergeming, lho, dari 3-9 derajat Celcius. Setiap hari. Yassalaaam … 

Gue bingung kenapa gue bisa salah kaprah, karena gue yakin banget, sampe seminggu sebelum gue berangkat, weather forecast bilang temperatur di Berlin dan Copenhagen akan belasan derajat Celcius aja. Sumpah, bukan Fahrenheit.

Walaupun nggak saltum-saltum amat, tapi baju-baju yang gue bawa nggak 100% tepat untuk cuaca tersebut. Alhasil, setiap hari, pasti ada momen di mana gue merasa bak dikecup Night King, saking kedinginannya.

Karena gue mau sombong dikit, harus gue tekankan bahwa ini bukan pertama kalinya gue travelling ke negara dingin (cieee…). Pas dulu harus ke Beijing, udaranya malah lagi 1 derajat Celcius. Hampir semaput karena terhempas (tapi nggak datang lagi) angin Siberia melulu.

Tapi anehnya, di Eropa ini gue lebih tersiksa. Mungkin faktor usia, ya? #huft

Lucunya, selama ber-dingin-dingin-ria di Eropa, gue jadi “belajar” beberapa hal yang nggak pernah gue ketahui sebelumnya, seperti...

1. Gue jadi nangis melulu

DSCF1090
Grey and gloomy Copenhagen

Selama gue di Eropa, cuaca nggak hanya dingin, tapi juga sangat gloomy. Di Berlin, sih, kadang masih terik. Tapi Copenhagen nggak ada harapan banget, deh. Gerimis, mendung, dan kelabu setiap hari.

Masalahnya, ternyata cuaca kelabu begitu sangat mempengaruhi mood gue!

Sebelumnya, gue seriiiing banget mendengar bahwa di luar negeri, cuaca yang kelabu dan dingin sering bikin orang gloomy. Makanya ada istilah “winter blues”. Sampai-sampai para bule banyak menjual lampu yang bisa menirukan cahaya matahari, supaya mood penggunanya keangkat dikit. Bahkan ada lampu “replika matahari” khusus untuk bumil (lampunya gede dan bisa dipeluk, bok. Literally memberikan kehangatan fisik dan mental, ya), supaya bumil nggak jadi depresi.

As a tropical monkey, I never thought in a million years gue akan merasakan fenomena “winter blues” ini. Lagian, seumur idup, mood gue nggak pernah terpengaruh sama cuaca. Kalo Jakarta lagi hujan dan kelabu, gue nggak pernah, tuh, mendadak pengen nyender ke jendela, menatap nanar ke luar, trus masang lagu Boyz II Men. Biasa aja.

Tapi di Eropa kejadian, lho.

Nggak tau kenapa, cuaca dingin dan mendung di sana bikin gue jadi keinget segala hal buruk dalam hidup gue. Bikin gue banyak berkontemplasi, banyak menyesal, banyak meratap, dan merasa kesepian. Rasanya kayak PMS hebat, setiap hari, sepanjang hari.

Hari terdingin yang gue alami selama di Eropa. Di Copenhagen, kami kemana-mana sepedaan. Di hari ini, udara Copenhagen nggak hanya dingin, tapi juga gerimis-semi-ujan seharian. Harus bersepeda melawan angin dan ketampar gerimis tanpa punya sarung tangan dan masker muka, tuh, rasanya..........................

Baper dan lebay sekali, ya? Banget.

Makanya selama di Eropa, tiap pagi gue pasti buka jendela. Trus kalo langitnya mendung, hati gue langsung remuk. Gue sampe pernah nangis terisak-isak, lho, padahal masih pagi dan baruuu aja jalan keluar hotel.

Menyikapi hal ini, tentu saja T—being the heartless person that he is—nggak bersimpati sama sekali dan malah marahin gue. “You are in goddamn Europe. Many people would kill to be in your place. Bersyukur, nggak usah manja.” Ini ngomongnya sambil menatap lurus ke jalan, sementara gue nangis di sampingnya. HITLER, IS THAT YOU?!

Waktu itu, sih, gue langsung pengen giles T pake salah satu delman yang nangkring area Brandenburg Tor. Tapi kalo dipikir-pikir sekarang, nggak usah didebatin lah ya, siapa yang bener dan logis…

Ini momen “Men are from Mars, Women are from Venus” banget nggak, sih?

2. Kita beli banyak produk yang sebenarnya nggak tepat untuk konsumen Indonesia

DSCF1105

Selama di Eropa, banyak barang gue yang SECARA AJAIB jadi lebih efektif.

Contoh yang paling nyata adalah makeup. Lo pasti sering, dong, beli makeup karena klaimnya? Misalnya, foundation A di-klaim matte dan tahan lama. Blush-on B di-klaim awet dan enak di-blend. Lipstik C di-klaim nyaman dipakai di bibir. Tapi berapa kali juga elo kesel, karena klaim-klaim tersebut nggak terbukti?

Gue, sih, sering banget. Beli foundation dan bedak muka semahal apapun, kok, kayaknya tetep luntur dan bikin muka berminyak? Katanya matte? Katanya long-lasting?

Pas di Eropa, gue baru sadar bahwa klaim-klaim makeup gue jarang terbukti karenaaaa…

… gue pakenya di Jakarta, sementara produk-produk tersebut didesain untuk penggunaan di negara empat musim.

Di Eropa, semua makeup gue (bawanya juga cuma sedikit, sih) membuktikan klaimnya, lho! Sebagai contoh, foundation yang bikin muka berminyak pas dipake di Jakarta, jadi beneran matte dan awet pas dipake di udara dingin Eropa, sesuai iklannya.

Trus, gue punya blush-on krim yang benyek dan gitu-gitu aja. Tapi pas dibawa ke udara dingin Eropa, formulanya baru jadi “mengeras” dan memberikan efek powdery yang dijanjikan.

Soalnya ya begitu, formula produk-produk tersebut didesain untuk penggunaan di negara empat musim. Jadi kalo dipake di Jakarta, kurang efektif.

Huft. Negara tropis memang harus punya line makeup high-end sendiri, deh (apa udah ada?). Manufakturer dari negara empat musim will never, ever get it right. Summer-nya negara empat musim aja ‘kan tetap beda sama udaranya Indonesia yang jauh lebih lembab.

Contoh lainnya, nih—sprei IKEA. Nyadar nggak kalo bedding-nya IKEA tuh sebenernya nggak nyaman, karena cenderung kasar dan gerah? Apalagi yang murah-murah, hihihi. Ternyata karena bedding mereka memang di-desain untuk cuaca dingin. Pas di Eropa, bedding IKEA yang kasar gitu terasa oke aja, sih.

3. Raya jadi anak yang (lebih) baik

DSCF0980

Buat yang follow Instagram gue, pasti inget bahwa selama di Eropa, anakku si forever-muka-masam berubah jadi Andien. Ketawa-ketawa kenes mulu! Hepiiii terus.

Liat juga buktinya di sini, sini, dan sini.

Raya is originally a kind, fun, playful kid, tapi memang super pemalu, introvert dan sering tenggelam dalam deep thoughts-nya. Anaknya juga bisa sangat moody dan sensitif. Kalo lagi tantrum, bubar deh. Mending pulang aja semua.

Ajaibnya, Eropa sakseis mengeluarkan sifat-sifat positif Raya sampe ke akar-akarnya, dan menutup pintu sifat-sifat negatifnya.

Jadi selama di Eropa, Raya hepi dan baiiiik sekali. Sekalipun nggak pernah nangis, nggak pernah merengek, nggak pernah susah makan, dan nggak pernah nyusahin. Selalu pengertian, sabar, dan most of all, ketawa melulu!

Tolooong... ini anak siapa?!

Andien si gadis Pantene, waktu rambutnya masih gondrong berkibar.

Kalo teori nyokap gue, sih,  Raya bahagia karena selama liburan ini, dia bisa dekat sama ortunya 24/7 tanpa distraksi apapun. Tapi teori ini patah, karena sebelumnya kita pernah banget, kok, long holiday. Tapi sikap Raya nggak pernah jadi positif drastis gini. Soalnya dulu liburannya seputar Asia Tenggara aja ya, nak? Gerah! Hihihi.

Jadi gue tetep yakin, perubahan sikap Raya tersebut akibat udara Eropa yang dingin (dan bersih). Bahkan di antara kita bertiga, Raya tuh yang paling tahan sama dingin, lho. Selama di Eropa, dese nggak pernah ngeluh tentang udara yang menggigit, dan tahan lari-larian di playground padahal lagi gerimis, dengan jaket yang keplek-keplek nggak di-risleting. Hepi aja manjat-manjat sampe kolornya keliatan, sementara ibunya udah beku di pojokan.

DSCF1485

4. Jadi lebih menghargai matahari... dan buah tropis

Karena poin nomor #1 tadi, pas pulang ke Jakarta, tanpa disangka-sangka gue jadi menghargai matahari. Setelah dua minggu depresi di situasi cuaca dingin di kelabu, kena terik matahari Jakarta, tuh, rasanya enaaaak banget. Gue langsung merasa bersyukur dilahirkan di negara tropis. 

Sebenernya gue gampang annoyed kalo kepanasan. Kalo baru masuk mobil yang diparkir di outdoor siang-siang aja, rasanya pengen gebuk dashboard saking keselnya. Panas, mak! Ketek basah! 

Tapi pas baru pulang dari Eropa, gue selalu menenangkan diri dengan mikir, "Mending dikasih panas gini, atau harus hidup di negara yang kelabu?"

I instantly calmed down.

Memang bener banget, sun is life, sun is happiness.

Dan satu lagi.

Selama di Eropa, gue tuh kangen banget sama buah-buahan tropis yang juicy, super manis, dan berwarna-warni cerah. Gue sebenernya nggak rutin-rutin amat makan buah, tapi Raya selalu gue suapin buah tiap hari, dua kali sehari. Jadi pas di Eropa, nelongso juga, sih, setiap hari ketemunya sama apel, pir, anggur, dan kiwi asem melulu. Mana buah nagaku? Durenku? Manggisku? Rambutanku? Semangkaku? Gohok dan nangkaku?!

Memang tanah air kita sebenernya canggih banget, ya. Buang biji apapun ke tanah, pasti tumbuh jadi pohon yang berbuah. Subhanallah! *cium tanah*

***

Ada yang pernah ngerasain hal-hal yang gue rasain di atas? :)

Stereotype Schmereotype

$
0
0
I will never trade my nationality for anything, but sometimes, I'm embarassed for Indonesians. Pola pikir orang-orangnya suka bikin malu! 

Pasti udah pada tau kasus ini lah, ya.

Tapi minggu lalu, gue juga baca headline berita yang—bagi gue—nggak kalah mengganggu.

Di ujian seleksi masuk perguruan tinggi Indonesia (buat yang lahir di jaman Sipenmaru, UMPTN, dan SPMB, sekarang namanya SBMPTN ya, kak...), kalo calon mahasiswanya mau masuk jurusan spesifik seperti Seni Tari atau Seni Musik, skill mereka akan di-tes dulu lewat ujian praktik. Jadi nggak cuma harus ujian pengetahuan dasar tertulis.

Dua minggu lalu, pas ujian keterampilan di Semarang, ada penguji nanya pertanyaan ini ke seorang peserta ujian tari cowok.

dari Okezone.com

Maybe it's my hormones, tapi pertanyaan ini bikin gue eneg, deh. Memangnya etis ya, penguji nanya hal seperti ini ke peserta ujian? Apa hubungannya sama kemampuan dan teknis nari dia? Lah, pengujinya sendiri penari-penari cowok juga bukan?

Maksudnya sang penguji mau ngasih pertanyaan yang menguji mental peserta ujian, ya? UJIAN TARI APA OSPEK, PAK?

Pengen nanya balik nggak, sih, "Bapak nggak takut industri seni di Indonesia makin mundur, gara-gara pertanyaan Bapak gini?"

And my last and most important question, kalo anak itu memang gay, apa pengaruhnya sama teknik tari dan penerimaan dia di perguruan tinggi?

Selama ada diversity di umat manusia, stereotipe negatif dan parnoisme emang pasti selalu ada, sih :(

Bicara soal stereotipe, udah nonton ini?

Good job, Hijup :)
Viewing all 142 articles
Browse latest View live