I love taking dance classes, dan sejak 2014, gue loncat-loncat ikut dance classesdari satu studio ke studio lain.
Sejak 2014 itu, gue pernah ikut kelas di tiga studio yang berbeda, plus beberapa kelas private.
Per sekarang ini, gue tercatat sebagai murid di sebuah studio tari bernama Gigi Art of Dance. Masalahnya dengan GAoD adalah—buat gue pribadi—murid mereka didominasi oleh anak-anak SMP dan SMA.
Kebayang nggak, jadi murid berumur 30an tahun di antara dedek-dedek gmz?
Untungnya, aku tidak sendirian, saudara-saudara! Selama hampir setahun terakhir, gue ikut kelas dance di GAoD bareng dua teman baik gue, Ayu dan Muthia. Kami semua sebaya, kami semua emak-emak. Hidup emak-emak!
Yang pertama kali join di GAoD adalah gue dan Muthia, baru kemudian disusul Ayu, setengah tahun kemudian.
Selama jadi MMM (Mak-Mak Menari) yang paling tua di kelas—bahkan kami lebih tua enam tahun dari guru kami—ada banyak kesan pahit, asem, dan manis, yang kayaknya harus banget gue share di sini.
Apa aja? Ini dia!
1. Jompo dan lemotnya minta ampun
Soal ini mah, jangan ditanya, deh. Umur nggak bisa bohong, mak.
Gue, Ayu, dan Muthia gampang banget jompo dan loyo di setiap kelas dance. Sementara dedek-dedek temen sekelas kita, keringetan pun enggak.
Selain stamina, memori gue pun lemah sekali. Padahal dance adalah sebuah kegiatan yang butuh stamina, koordinasi gerak, DAN memori buat ngafalin koreografi.
Jadi, selain sering bengek di kelas, gue pun suka lupa koreografi. Bahkan gue punya vitamin memori semacam ginko biloba—yang khusus di-PO dari Amerika—untuk membantu menggenjot daya tangkap tiap kali gue harus manggung atau ikut workshop yang bebannya berat.
Iba, ya?
2. Mengalami generation gap budaya yang warbiyasak
Murid di kelas dance kami ada sekitar 15-an orang. Semuanya berumur SMP. That’s right, SMP. Mungkin ada beberapa yang SMA, tapi nggak ada yang lebih tua dari itu.
Dengan demikian, referensi pop culture kami dengan mereka jauh banget. Generation gap lima belas tahun plus-plus, sis!
Gue mungkin masih lumayan paham, ya, dengan pop culture mereka. Soalnya gue kerja di media yang target audience-nya anak muda.
Muthia juga dulu bekerja sebagai tim editorial majalah GADIS, jadi agak paham dikit juga.
Tapi Ayu, sungguhlah bak anak ayam yang tersesat di hutan. Clueless.
Suatu waktu, gue dan Ayu ikut sebuah workshop tari. Pesertanya teteup, dedek-dedek semua.
Sebelum kelas dimulai, dance teacher-nya memutarkan sedikit sneak preview lagu yang akan dipakai. Setelah memutar lagunya selama beberapa detik, sang guru bertanya ke kami, para peserta workshop.
“Pasti tau dong, kita mau pake lagu apa?”
Semua orang menjawab, “Tauuuuuu!” termasuk gue.
Tapi diantara koor “Tau” ini, ada satu suara yang menjawab, “Enggak tauuuuu!”
Itulah suaranya Ayu.
Padahal lagunya adalah Flawless-nya Beyonce, yang udah dirilis sejak 2013. Hihihi. Ini mah Ayu-nya aja, ya, yang kuper kebangetan.
Trus, di akhir workshop, kami semua group photo bareng gurunya. Sekonyong-konyong, semua pesertanya—yang masih bocah-bocah itu—berfoto dengan pose “The Dab”, sebuah pose kekinian yang dipopulerkan oleh seorang rapper Amerika siapa lah, gitu.
Kalo belum pernah liat pose “The Dab”, percayalah, aneh banget. Kayak lagi nyium ketek sendiri.
Murid di kelas dance kami ada sekitar 15-an orang. Semuanya berumur SMP. That’s right, SMP. Mungkin ada beberapa yang SMA, tapi nggak ada yang lebih tua dari itu.
Dengan demikian, referensi pop culture kami dengan mereka jauh banget. Generation gap lima belas tahun plus-plus, sis!
Gue mungkin masih lumayan paham, ya, dengan pop culture mereka. Soalnya gue kerja di media yang target audience-nya anak muda.
Muthia juga dulu bekerja sebagai tim editorial majalah GADIS, jadi agak paham dikit juga.
Tapi Ayu, sungguhlah bak anak ayam yang tersesat di hutan. Clueless.
Suatu waktu, gue dan Ayu ikut sebuah workshop tari. Pesertanya teteup, dedek-dedek semua.
Sebelum kelas dimulai, dance teacher-nya memutarkan sedikit sneak preview lagu yang akan dipakai. Setelah memutar lagunya selama beberapa detik, sang guru bertanya ke kami, para peserta workshop.
“Pasti tau dong, kita mau pake lagu apa?”
Semua orang menjawab, “Tauuuuuu!” termasuk gue.
Tapi diantara koor “Tau” ini, ada satu suara yang menjawab, “Enggak tauuuuu!”
Itulah suaranya Ayu.
Padahal lagunya adalah Flawless-nya Beyonce, yang udah dirilis sejak 2013. Hihihi. Ini mah Ayu-nya aja, ya, yang kuper kebangetan.
Trus, di akhir workshop, kami semua group photo bareng gurunya. Sekonyong-konyong, semua pesertanya—yang masih bocah-bocah itu—berfoto dengan pose “The Dab”, sebuah pose kekinian yang dipopulerkan oleh seorang rapper Amerika siapa lah, gitu.
Kalo belum pernah liat pose “The Dab”, percayalah, aneh banget. Kayak lagi nyium ketek sendiri.
Tentunya, cuma gue dan Ayu yang berpandang-pandangan, bingung mau pose apa.
Pose / gerakan dance yang hit di 2015, dan masih hit tahun ini. Ki-ka: Whip / Nae-Nae, Hit the Quan, Shmoney, The Dab. Apalin!
OOT sebentar, ya. Keluar dari konteks dedek-dedek dance dulu, tapi masih dalam konteks generation gap.
Tahun lalu, sewaktu Andien-Ippenikah di hutan, tersiar kabar bahwa teman-temannya Andien harus hadir ke resepsi mereka tersebut dengan dress code.
Dress codenya, antara lain, yang cowok-cowok harus pake celana jogger. Lantas Ayu ngomel ke gue, “Kok kawinan harus pake baju Joger, sih? Emangnya bagus?!”
Ternyata Ayu pikir “jogger” adalah baju Joger, yang pabrik kata-kata dari Bali itu, tuh. Hihihihi. Ciyan, ya.
3. Fokus kepada hal-hal kurang penting
Fokus ibu-ibu yang utama adalah hal-hal yang printilan. Bener nggak?
Waktu dulu elo pertama kali mau karya wisata bareng teman-teman SD, nyokap elo pasti membekali elo dengan 1001 barang-barang printilan—mulai dari teri abon dua bungkus, oralit, sampai minyak gosok—yang ujung-ujungnya malah bikin tas berat.
Itulah ibu-ibu.
Nggak heran ketika Ayu pertama kali mau gabung kelas dance gue, hal yang pertama kali dia tanya adalah, “Latihannya pake baju apa?”
Setelah dijawab (“Baju santai yang agak hiphop ya. Jangan tampil erobik banget lo!”), pertanyaannya bersambung ke, “Belinya di mana?” Trus lanjut lagi ke pertanyaan, “Murahan mana sama kalo beli di…?”
Ibu-ibu banget ‘kan, ujung-ujungnya bandingin harga baju? Padahal, apakah baju akan ngaruh ke skill nari kami? Tentu tidak.
Trus, pada suatu waktu, gue, Ayu, dan Muthia harus Gladi Resik untuk persiapan resital tari GAoD. Yang namanya Gladi Resik itu, pasti selalu harus nunggu berjam-jam. Dedek-dedek lain, sih, santai aja. Paling banter bawa game untuk membunuh kebosanan. Tapi Ayu sibuk bawa… arem-arem.
Urusan perbekalan ini malah sempat jadi diskusi seru sebelum hari-H.
Sementara dancers lain tegang latihan menjelang pentas, Ayu yang, “Oke, pas GR lo bawa apa? Risol? Gue bawa arem-arem, ya! GR ‘kan berjam-jam. Kasian ntar kalo ada laper… Eh, di bawah gedung pertunjukannya ada yang jual rujak enak, lho!”
Gue dan Muthia pun manggut-manggut semangat, hihihi.
Mak-mak banget, ya. Mau naik panggung, yang dipikirin ransum duluan.
Fokus ibu-ibu yang utama adalah hal-hal yang printilan. Bener nggak?
Waktu dulu elo pertama kali mau karya wisata bareng teman-teman SD, nyokap elo pasti membekali elo dengan 1001 barang-barang printilan—mulai dari teri abon dua bungkus, oralit, sampai minyak gosok—yang ujung-ujungnya malah bikin tas berat.
Itulah ibu-ibu.
Nggak heran ketika Ayu pertama kali mau gabung kelas dance gue, hal yang pertama kali dia tanya adalah, “Latihannya pake baju apa?”
Setelah dijawab (“Baju santai yang agak hiphop ya. Jangan tampil erobik banget lo!”), pertanyaannya bersambung ke, “Belinya di mana?” Trus lanjut lagi ke pertanyaan, “Murahan mana sama kalo beli di…?”
Ibu-ibu banget ‘kan, ujung-ujungnya bandingin harga baju? Padahal, apakah baju akan ngaruh ke skill nari kami? Tentu tidak.
Trus, pada suatu waktu, gue, Ayu, dan Muthia harus Gladi Resik untuk persiapan resital tari GAoD. Yang namanya Gladi Resik itu, pasti selalu harus nunggu berjam-jam. Dedek-dedek lain, sih, santai aja. Paling banter bawa game untuk membunuh kebosanan. Tapi Ayu sibuk bawa… arem-arem.
Urusan perbekalan ini malah sempat jadi diskusi seru sebelum hari-H.
Sementara dancers lain tegang latihan menjelang pentas, Ayu yang, “Oke, pas GR lo bawa apa? Risol? Gue bawa arem-arem, ya! GR ‘kan berjam-jam. Kasian ntar kalo ada laper… Eh, di bawah gedung pertunjukannya ada yang jual rujak enak, lho!”
Gue dan Muthia pun manggut-manggut semangat, hihihi.
Mak-mak banget, ya. Mau naik panggung, yang dipikirin ransum duluan.
Ayu, gue, Muthia. A.k.a. Geng Arem-Arem
4. Harus menahan gengsi dan martabat, ketika umur asli ketauan
Sama teman yang lebih muda 5-6 tahun, gue nggak pernah malu buka-bukaan umur. Biasa-biasa aja, lah.
Tapi kalau sama dedek-dedek di kelas dance gue, jujur aja, gue menyembunyikan umur asli gue. Nggak sampe ngibul, sih, tapi nggak pernah ngebahas juga.
Dari kulit kendor, kerutan wajah, dan tatapan lesu mata budak korporat gue, sih, mereka pasti tahu bahwa gue jauh lebih tua daripada mereka. Muka tergerus beban hidup nggak bisa bohong, shay. Tapi malu juga kalo ketahuan, lebih tuanya di atas LIMA BELAS TAHUN.
Gue takut mereka memandang gue sebagai ibu-ibu pathetic yang kepengen sok muda. Neli. Nenek-nenek lincah. Bukannya ngangon anak di rumah, malah ikut kelas dance begini.
Pernah liat nggak, ibu-ibu paruh baya umur 40-50an yang ngeceng di mall pake sneakers putih, overall ketat jeans, jilbab pashmina yang berusaha trendi, serta lipstik-bibir-tebal bernuansa Kylie Jenner?
Setiap gue melihat kaum tersebut, gue pasti membatin, “Naudzubillah...” Maaf-maaf aja, tapi bagi gue, they are really trying too hard. Ada, kok, mak-mak yang hip effortless, but not them.
Gue khawatir, dong, kalo dipandang seperti itu oleh dedek-dedek kelas dance gue? Padahal gue, Ayu, dan Muthia ikut kelas tari karena kami memang murni suka nari.
Kekhawatiran gue bukannya nggak beralasan, kok.
Pada suatu hari, di saat break kelas, gue dan Muthia mojok ngobrolin sekolah anak. Kebetulan, anak kami sebaya.
Karena pembicaraannya makin seru, tanpa sadar, volume suara kami juga makin keras. Alhasil, seorang dedek-dedek nggak sengaja mendengar pembicaraan kami. Mukanya langsung berubah antara syok dan geli, seakan-akan berkata “I can’t believe there are MOMMIES in my cool dance class!”
Lirikannya penuh ekspresi kaget campur hina. Kayak menemukan cicak di dalam kotak bekal makanan.
Di kesempatan berbeda, seorang dedek-dedek lain pernah langsung ‘nembak’ gue, “Hey, are you a mom?!” Pas gue jawab iya, dia langsung terkesiap, menutup mulutnya dengan syok, trus kabut keluar studio, bak menemukan fosil dinosaurus di halaman rumahnya.
Mungkin karena bagi dia, gue memang semacam fosil dinosaurus. Purbakala.
Sama teman yang lebih muda 5-6 tahun, gue nggak pernah malu buka-bukaan umur. Biasa-biasa aja, lah.
Tapi kalau sama dedek-dedek di kelas dance gue, jujur aja, gue menyembunyikan umur asli gue. Nggak sampe ngibul, sih, tapi nggak pernah ngebahas juga.
Dari kulit kendor, kerutan wajah, dan tatapan lesu mata budak korporat gue, sih, mereka pasti tahu bahwa gue jauh lebih tua daripada mereka. Muka tergerus beban hidup nggak bisa bohong, shay. Tapi malu juga kalo ketahuan, lebih tuanya di atas LIMA BELAS TAHUN.
Gue takut mereka memandang gue sebagai ibu-ibu pathetic yang kepengen sok muda. Neli. Nenek-nenek lincah. Bukannya ngangon anak di rumah, malah ikut kelas dance begini.
Pernah liat nggak, ibu-ibu paruh baya umur 40-50an yang ngeceng di mall pake sneakers putih, overall ketat jeans, jilbab pashmina yang berusaha trendi, serta lipstik-bibir-tebal bernuansa Kylie Jenner?
Setiap gue melihat kaum tersebut, gue pasti membatin, “Naudzubillah...” Maaf-maaf aja, tapi bagi gue, they are really trying too hard. Ada, kok, mak-mak yang hip effortless, but not them.
Gue khawatir, dong, kalo dipandang seperti itu oleh dedek-dedek kelas dance gue? Padahal gue, Ayu, dan Muthia ikut kelas tari karena kami memang murni suka nari.
Kekhawatiran gue bukannya nggak beralasan, kok.
Pada suatu hari, di saat break kelas, gue dan Muthia mojok ngobrolin sekolah anak. Kebetulan, anak kami sebaya.
Karena pembicaraannya makin seru, tanpa sadar, volume suara kami juga makin keras. Alhasil, seorang dedek-dedek nggak sengaja mendengar pembicaraan kami. Mukanya langsung berubah antara syok dan geli, seakan-akan berkata “I can’t believe there are MOMMIES in my cool dance class!”
Lirikannya penuh ekspresi kaget campur hina. Kayak menemukan cicak di dalam kotak bekal makanan.
Di kesempatan berbeda, seorang dedek-dedek lain pernah langsung ‘nembak’ gue, “Hey, are you a mom?!” Pas gue jawab iya, dia langsung terkesiap, menutup mulutnya dengan syok, trus kabut keluar studio, bak menemukan fosil dinosaurus di halaman rumahnya.
Mungkin karena bagi dia, gue memang semacam fosil dinosaurus. Purbakala.
Makanya, gue nggak pernah bangga kalo dipuji teman-teman, “Kalo lagi nge-dance, elo kayak ABG banget, sih!” Soalnya yang muji teman-teman sendiri, yang jumlah kerutan di wajahnya sama dengan jumlah kerutan di wajah gue.
Kalo teman-teman sekelas dance gue bisa percaya gue anak SMA—minimal mahasiswa—nah, itu baru prestasi.
5. Jadi sering gondok dan ngomel kayak nenek-nenek
Tau nggak kenapa stereotipe nenek-nenek adalah tukang ngomel? Karena semakin tua, kita semakin sering annoyed sama banyak hal. Hal besar maupun sepele. Liat aja ibu-ibu kalo nonton berita. Mulutnya nggak pernah berenti ngedumel.
Nah, karena gue harus sekelas dance sama anak-anak ABG, jiwa gampang annoyed khas ibu-ibu gue jadi tumbuh.
Contoh, bagi gue, sneakers adalah barang mewah. Terutama sneakers elit dari merk Nike, Adidas, dan sejenisnya. Harganya aja tembus jutaan rupiah ‘kan?
Makanya, kalo lagi di kelas, gue sering lirik-lirik jengkel ke dedek-dedek yang Nike Airmax 90 atau Nike Huarache-nya dekil banget. Warna putih sepatu-sepatu mahal tersebut malah udah berubah jadi abu-abu, saking kotornya.
Walaupun gue sebenarnya paham juga, sih, sama pola pikir mereka, karena pernah mengalami sendiri.
Jaman gue masih kuliah, sepatu Converse sangatlah cupu kalo keadaannya bersih. Semakin dekil sebuah Converse, semakin keren. Dan nyokap gue sebel banget liatnya.
Sekarang, gue berada di posisi nyokap gue. Jengkel setengah mati melihat sepatu mahal-mahal sengaja dibuat kotor begitu.
Nggak hanya sampai situ. Gue pun selalu gondok kalau…
* Ada anak yang latihan dengan sepatu yang NGGAK pantas. Misalnya, sepatu non-merk olahraga (Pull n Bear!) yang ber-wedges pula. Kalo kakinya lecet dan keplitek gimana?
* Ada anak yang latihan dengan pakaian yang nggak appropriate. Misalnya, hot pants jeans. Selain aurat berlebihan, kalo selangkangannya lecet gimana?
* Ada anak yang nggak mendengarkan instruksi sang dance teacher dengan baik (padahal, yaelah, remaja mana yang ngedengerin instruksi guru dengan baik?)
Gue suka ngomel dalam hati liat hal-hal seperti itu, sampe gue mengingatkan diri gue sendiri, “Shut up, La. Nggak usah ngurusin dedek-dedek. Elo emak-emak banget.”
Ih, iya juga.
Dan gue lupa, bahwa naluri anak muda adalah, “mendingan mati daripada nggak kelihatan cool.”
Huft.
6. Jadi lebih rendah hati
Tapi satu hal yang gue syukuri menjadi yang paling tua di kelas adalah, gue jadi sangat humbled alias rendah hati.
Semasa hidup gue—ini di luar konteks nari, ya—gue pernah jadi “yang paling muda” atau “yang paling jago”. Di kantor, di sekolah, di lingkungan ekstrakurikuler, di pertemanan.
Tapi di kelas dance ini, gue menjadi yang paling tua, tapi bukan yang paling jago. Jujur aja, hal ini seakan-akan mencopot segala titel “Yang paling…” gue sebelumnya.
I am nothing in my dance class. Pada masanya dulu, mungkin gue pernah “lumayan jago”. Tapi sekarang, gue hanyalah setitik debu di sol sneakers dekil dedek-dedek tersebut. Gue jadi nggak bisa sombong ataupun GR.
Yang lebih gawat, gue lebih tua 10-15 tahun dari teman-teman sekelas gue, tapi gue harus mengejar skill mereka. Cemana cobak itu?
Bocah-bocah ajaib. Decades apart, skills apart pun.
So yes, I am humbled. Menjadi yang paling jompo (literally) di kelas membuat gue jadi terpicu untuk latihan lebih keras, berusaha lebih keras, nggak gampang patah semangat, dan nggak sombong.
Penyakit utama angkatan gue—Generasi 90an—adalah, kami terlalu nostalgic dan bangga dengan generasi kami, nggak mau beradaptasi dengan generasi muda, dan terlalu meremehkan Gen Y (Millenials) dan Gen Z.
Gue sendiri juga nggak nge-fans sama Gen Y, apalagi Gen Z. Tapi dengan menjadi yang paling tua di kelas begini, gue jadi sadar, bahwa untuk maju, kita harus beradaptasi atau mati, and catch up harder. Nggak bisa terjebak di Generasi 90an terus.
Man, we’re old! And these young kids’ talents are getting crazier!
Nah, kalau elo terbiasa menjadi “yang paling muda” atau “yang paling jago” di sebuah lingkungan, coba cari lingkungan lain, dimana elo terpaksa menjadi “yang paling uzur” atau “yang paling bego”. Kutipan dari Steve Jobs memang klise, tapi nggak pernah salah—stay foolish.
I promise you, it will surprises you and motivates you like crazy.
Penyakit utama angkatan gue—Generasi 90an—adalah, kami terlalu nostalgic dan bangga dengan generasi kami, nggak mau beradaptasi dengan generasi muda, dan terlalu meremehkan Gen Y (Millenials) dan Gen Z.
Gue sendiri juga nggak nge-fans sama Gen Y, apalagi Gen Z. Tapi dengan menjadi yang paling tua di kelas begini, gue jadi sadar, bahwa untuk maju, kita harus beradaptasi atau mati, and catch up harder. Nggak bisa terjebak di Generasi 90an terus.
Man, we’re old! And these young kids’ talents are getting crazier!
Nah, kalau elo terbiasa menjadi “yang paling muda” atau “yang paling jago” di sebuah lingkungan, coba cari lingkungan lain, dimana elo terpaksa menjadi “yang paling uzur” atau “yang paling bego”. Kutipan dari Steve Jobs memang klise, tapi nggak pernah salah—stay foolish.
I promise you, it will surprises you and motivates you like crazy.