Quantcast
Channel: let the beast in!
Viewing all 142 articles
Browse latest View live

Pahit-Manis Menjadi yang Paling Tua Sendiri

$
0
0

I love taking dance classes, dan sejak 2014, gue loncat-loncat ikut dance classesdari satu studio ke studio lain

Sejak 2014 itu, gue pernah ikut kelas di tiga studio yang berbeda, plus beberapa kelas private.

Per sekarang ini, gue tercatat sebagai murid di sebuah studio tari bernama Gigi Art of Dance. Masalahnya dengan GAoD adalah—buat gue pribadi—murid mereka didominasi oleh anak-anak SMP dan SMA.

Kebayang nggak, jadi murid berumur 30an tahun di antara dedek-dedek gmz?

Untungnya, aku tidak sendirian, saudara-saudara! Selama hampir setahun terakhir, gue ikut kelas dance di GAoD bareng dua teman baik gue, Ayu dan Muthia. Kami semua sebaya, kami semua emak-emak. Hidup emak-emak!

Yang pertama kali join di GAoD adalah gue dan Muthia, baru kemudian disusul Ayu, setengah tahun kemudian.

Selama jadi MMM (Mak-Mak Menari) yang paling tua di kelas—bahkan kami lebih tua enam tahun dari guru kami—ada banyak kesan pahit, asem, dan manis, yang kayaknya harus banget gue share di sini.

Apa aja? Ini dia!

1. Jompo dan lemotnya minta ampun

Soal ini mah, jangan ditanya, deh. Umur nggak bisa bohong, mak.

Gue, Ayu, dan Muthia gampang banget jompo dan loyo di setiap kelas dance. Sementara dedek-dedek temen sekelas kita, keringetan pun enggak.

Selain stamina, memori gue pun lemah sekali. Padahal dance adalah sebuah kegiatan yang butuh stamina, koordinasi gerak, DAN memori buat ngafalin koreografi.

Jadi, selain sering bengek di kelas, gue pun suka lupa koreografi. Bahkan gue punya vitamin memori semacam ginko biloba—yang khusus di-PO dari Amerika—untuk membantu menggenjot daya tangkap tiap kali gue harus manggung atau ikut workshop yang bebannya berat.

Iba, ya?


 Being the oldest in class be like...

2. Mengalami generation gap budaya yang warbiyasak

Murid di kelas dance kami ada sekitar 15-an orang. Semuanya berumur SMP. That’s right, SMP. Mungkin ada beberapa yang SMA, tapi nggak ada yang lebih tua dari itu.

Dengan demikian, referensi pop culture kami dengan mereka jauh banget. Generation gap lima belas tahun plus-plus, sis!

Gue mungkin masih lumayan paham, ya, dengan pop culture mereka. Soalnya gue kerja di media yang target audience-nya anak muda.

Muthia juga dulu bekerja sebagai tim editorial majalah GADIS, jadi agak paham dikit juga.

Tapi Ayu, sungguhlah bak anak ayam yang tersesat di hutan. Clueless.

Suatu waktu, gue dan Ayu ikut sebuah workshop tari. Pesertanya teteup, dedek-dedek semua.

Sebelum kelas dimulai, dance teacher-nya memutarkan sedikit sneak preview lagu yang akan dipakai. Setelah memutar lagunya selama beberapa detik, sang guru bertanya ke kami, para peserta workshop.

“Pasti tau dong, kita mau pake lagu apa?”

Semua orang menjawab, “Tauuuuuu!” termasuk gue.

Tapi diantara koor “Tau” ini, ada satu suara yang menjawab, “Enggak tauuuuu!”

Itulah suaranya Ayu.

Padahal lagunya adalah Flawless-nya Beyonce, yang udah dirilis sejak 2013. Hihihi. Ini mah Ayu-nya aja, ya, yang kuper kebangetan.

Trus, di akhir workshop, kami semua group photo bareng gurunya. Sekonyong-konyong, semua pesertanya—yang masih bocah-bocah itu—berfoto dengan pose “The Dab”, sebuah pose kekinian yang dipopulerkan oleh seorang rapper Amerika siapa lah, gitu.

Kalo belum pernah liat pose “The Dab”, percayalah, aneh banget. Kayak lagi nyium ketek sendiri.

Tentunya, cuma gue dan Ayu yang berpandang-pandangan, bingung mau pose apa.

Pose / gerakan dance yang hit di 2015, dan masih hit tahun ini. Ki-ka: Whip / Nae-Nae, Hit the Quan, Shmoney, The Dab. Apalin!

OOT sebentar, ya. Keluar dari konteks dedek-dedek dance dulu, tapi masih dalam konteks generation gap.

Tahun lalu, sewaktu Andien-Ippenikah di hutan, tersiar kabar bahwa teman-temannya Andien harus hadir ke resepsi mereka tersebut dengan dress code.

Dress codenya, antara lain, yang cowok-cowok harus pake celana jogger. Lantas Ayu ngomel ke gue, “Kok kawinan harus pake baju Joger, sih? Emangnya bagus?!”

Ternyata Ayu pikir “jogger” adalah baju Joger, yang pabrik kata-kata dari Bali itu, tuh. Hihihihi. Ciyan, ya.

3. Fokus kepada hal-hal kurang penting

Fokus ibu-ibu yang utama adalah hal-hal yang printilan. Bener nggak?

Waktu dulu elo pertama kali mau karya wisata bareng teman-teman SD, nyokap elo pasti membekali elo dengan 1001 barang-barang printilan—mulai dari teri abon dua bungkus, oralit, sampai minyak gosok—yang ujung-ujungnya malah bikin tas berat.

Itulah ibu-ibu.

Nggak heran ketika Ayu pertama kali mau gabung kelas dance gue, hal yang pertama kali dia tanya adalah, “Latihannya pake baju apa?”

Setelah dijawab (“Baju santai yang agak hiphop ya. Jangan tampil erobik banget lo!”), pertanyaannya bersambung ke, “Belinya di mana?” Trus lanjut lagi ke pertanyaan, “Murahan mana sama kalo beli di…?”

Ibu-ibu banget ‘kan, ujung-ujungnya bandingin harga baju? Padahal, apakah baju akan ngaruh ke skill nari kami? Tentu tidak.

Trus, pada suatu waktu, gue, Ayu, dan Muthia harus Gladi Resik untuk persiapan resital tari GAoD. Yang namanya Gladi Resik itu, pasti selalu harus nunggu berjam-jam. Dedek-dedek lain, sih, santai aja. Paling banter bawa game untuk membunuh kebosanan. Tapi Ayu sibuk bawa… arem-arem.

Urusan perbekalan ini malah sempat jadi diskusi seru sebelum hari-H.

Sementara dancers lain tegang latihan menjelang pentas, Ayu yang, “Oke, pas GR lo bawa apa? Risol? Gue bawa arem-arem, ya! GR ‘kan berjam-jam. Kasian ntar kalo ada laper… Eh, di bawah gedung pertunjukannya ada yang jual rujak enak, lho!”

Gue dan Muthia pun manggut-manggut semangat, hihihi.

Mak-mak banget, ya. Mau naik panggung, yang dipikirin ransum duluan.

Ayu, gue, Muthia. A.k.a. Geng Arem-Arem

4. Harus menahan gengsi dan martabat, ketika umur asli ketauan

Sama teman yang lebih muda 5-6 tahun, gue nggak pernah malu buka-bukaan umur. Biasa-biasa aja, lah.

Tapi kalau sama dedek-dedek di kelas dance gue, jujur aja, gue menyembunyikan umur asli gue. Nggak sampe ngibul, sih, tapi nggak pernah ngebahas juga.

Dari kulit kendor, kerutan wajah, dan tatapan lesu mata budak korporat gue, sih, mereka pasti tahu bahwa gue jauh lebih tua daripada mereka. Muka tergerus beban hidup nggak bisa bohong, shay. Tapi malu juga kalo ketahuan, lebih tuanya di atas LIMA BELAS TAHUN.

Gue takut mereka memandang gue sebagai ibu-ibu pathetic yang kepengen sok muda. Neli. Nenek-nenek lincah. Bukannya ngangon anak di rumah, malah ikut kelas dance begini.

Pernah liat nggak, ibu-ibu paruh baya umur 40-50an yang ngeceng di mall pake sneakers putih, overall ketat jeans, jilbab pashmina yang berusaha trendi, serta lipstik-bibir-tebal bernuansa Kylie Jenner?

Setiap gue melihat kaum tersebut, gue pasti membatin, “Naudzubillah...” Maaf-maaf aja, tapi bagi gue, they are really trying too hard. Ada, kok, mak-mak yang hip effortless, but not them.

Gue khawatir, dong, kalo dipandang seperti itu oleh dedek-dedek kelas dance gue? Padahal gue, Ayu, dan Muthia ikut kelas tari karena kami memang murni suka nari.

Kekhawatiran gue bukannya nggak beralasan, kok.

Pada suatu hari, di saat break kelas, gue dan Muthia mojok ngobrolin sekolah anak. Kebetulan, anak kami sebaya.

Karena pembicaraannya makin seru, tanpa sadar, volume suara kami juga makin keras. Alhasil, seorang dedek-dedek nggak sengaja mendengar pembicaraan kami. Mukanya langsung berubah antara syok dan geli, seakan-akan berkata “I can’t believe there are MOMMIES in my cool dance class!

Lirikannya penuh ekspresi kaget campur hina. Kayak menemukan cicak di dalam kotak bekal makanan.

Di kesempatan berbeda, seorang dedek-dedek lain pernah langsung ‘nembak’ gue, “Hey, are you a mom?!” Pas gue jawab iya, dia langsung terkesiap, menutup mulutnya dengan syok,  trus kabut keluar studio, bak menemukan fosil dinosaurus di halaman rumahnya.

Mungkin karena bagi dia, gue memang semacam fosil dinosaurus. Purbakala.


Makanya, gue nggak pernah bangga kalo dipuji teman-teman, “Kalo lagi nge-dance, elo kayak ABG banget, sih!” Soalnya yang muji teman-teman sendiri, yang jumlah kerutan di wajahnya sama dengan jumlah kerutan di wajah gue.

Kalo teman-teman sekelas dance gue bisa percaya gue anak SMA—minimal mahasiswa—nah, itu baru prestasi.

5. Jadi sering gondok dan ngomel kayak nenek-nenek

Tau nggak kenapa stereotipe nenek-nenek adalah tukang ngomel? Karena semakin tua, kita semakin sering annoyed sama banyak hal. Hal besar maupun sepele. Liat aja ibu-ibu kalo nonton berita. Mulutnya nggak pernah berenti ngedumel.

Nah, karena gue harus sekelas dance sama anak-anak ABG, jiwa gampang annoyed khas ibu-ibu gue jadi tumbuh.

Contoh, bagi gue, sneakers adalah barang mewah. Terutama sneakers elit dari merk Nike, Adidas, dan sejenisnya. Harganya aja tembus jutaan rupiah ‘kan?

Makanya, kalo lagi di kelas, gue sering lirik-lirik jengkel ke dedek-dedek yang Nike Airmax 90 atau Nike Huarache-nya dekil banget. Warna putih sepatu-sepatu mahal tersebut malah udah berubah jadi abu-abu, saking kotornya.

Walaupun gue sebenarnya paham juga, sih, sama pola pikir mereka, karena pernah mengalami sendiri.

Jaman gue masih kuliah, sepatu Converse sangatlah cupu kalo keadaannya bersih. Semakin dekil sebuah Converse, semakin keren. Dan nyokap gue sebel banget liatnya.

Sekarang, gue berada di posisi nyokap gue. Jengkel setengah mati melihat sepatu mahal-mahal sengaja dibuat kotor begitu.

Nggak hanya sampai situ. Gue pun selalu gondok kalau…

* Ada anak yang latihan dengan sepatu yang NGGAK pantas. Misalnya, sepatu non-merk olahraga (Pull n Bear!) yang ber-wedges pula. Kalo kakinya lecet dan keplitek gimana?

* Ada anak yang latihan dengan pakaian yang nggak appropriate. Misalnya, hot pants jeans. Selain aurat berlebihan, kalo selangkangannya lecet gimana?

* Ada anak yang nggak mendengarkan instruksi sang dance teacher dengan baik (padahal, yaelah, remaja mana yang ngedengerin instruksi guru dengan baik?)

Gue suka ngomel dalam hati liat hal-hal seperti itu, sampe gue mengingatkan diri gue sendiri, “Shut up, La. Nggak usah ngurusin dedek-dedek. Elo emak-emak banget.”

Ih, iya juga.

Dan gue lupa, bahwa naluri anak muda adalah, “mendingan mati daripada nggak kelihatan cool.”

Huft.

6. Jadi lebih rendah hati

Tapi satu hal yang gue syukuri menjadi yang paling tua di kelas adalah, gue jadi sangat humbled alias rendah hati.

Semasa hidup gue—ini di luar konteks nari, ya—gue pernah jadi “yang paling muda” atau “yang paling jago”. Di kantor, di sekolah, di lingkungan ekstrakurikuler, di pertemanan.

Tapi di kelas dance ini, gue menjadi yang paling tua, tapi bukan yang paling jago. Jujur aja, hal ini seakan-akan mencopot segala titel “Yang paling…” gue sebelumnya.

I am nothing in my dance class
. Pada masanya dulu, mungkin gue pernah “lumayan jago”. Tapi sekarang, gue hanyalah setitik debu di sol sneakers dekil dedek-dedek tersebut. Gue jadi nggak bisa sombong ataupun GR.

Yang lebih gawat, gue lebih tua 10-15 tahun dari teman-teman sekelas gue, tapi gue harus mengejar skill mereka. Cemana cobak itu?

Bocah-bocah ajaib. Decades apart, skills apart pun.

So yes, I am humbled. Menjadi yang paling jompo (literally) di kelas membuat gue jadi terpicu untuk latihan lebih keras, berusaha lebih keras, nggak gampang patah semangat, dan nggak sombong.

Penyakit utama angkatan gue—Generasi 90an—adalah, kami terlalu nostalgic dan bangga dengan generasi kami, nggak mau beradaptasi dengan generasi muda, dan terlalu meremehkan Gen Y (Millenials) dan Gen Z.

Gue sendiri juga nggak nge-fans sama Gen Y, apalagi Gen Z. Tapi dengan menjadi yang paling tua di kelas begini, gue jadi sadar, bahwa untuk maju, kita harus beradaptasi atau mati, and catch up harder. Nggak bisa terjebak di Generasi 90an terus.

Man, we’re old! And these young kids’ talents are getting crazier!


Nah, kalau elo terbiasa menjadi “yang paling muda” atau “yang paling jago” di sebuah lingkungan, coba cari lingkungan lain, dimana elo terpaksa menjadi “yang paling uzur” atau “yang paling bego”. Kutipan dari Steve Jobs memang klise, tapi nggak pernah salah—stay foolish.

I promise you, it will surprises you and motivates you like crazy.


Game of Thrones - Episode 9: Marhaban Ya House Stark!

$
0
0

Sesibuk-sibuknya gue, secuek-cueknya gue, gue nggak mungkin terlalu sibuk untuk nge-blog tentang…

BATTLE OF THE BASTAAAARDS! ALLAHUAKBAR! *kibar-kibar bendera House Stark*

Sebelum gue mulai blog post ini, mari kita simak sejenak puisi indah ini (yang tentunya bukan karangan gue).

"When winter comes...
You’ll hear no lions roar…
No stags grazing the fields…
No roses growing in the meadows…
No snakes in the sand…
The krakens will freeze where they swim…
The flayed men will rot and wither…
No trouts swimming in the river and no falcons flying in the air…
Not even the dragon’s breath will warm you in your halls.
You shall hear only the wolves howl…
And then you will know. Winter has come.”

Keren, ya? Jiwa lebay gue sampe menitik pas pertama kali baca puisi ini... di kolom forum fan Game of Thrones. Ih, dasar generasi Internet.

Dulu gue nggak suka sama House Stark, lho. Nggak sebel, tapi  nggak memfavoritkan aja. Soalnya kayaknya kurang keren gitu, nggak kayak House Targeryen. Tapi makin kesini, betapa gue sadari bahwa House Stark adalah trah yang paling honorable dari semua house di Seven Kingdoms.

(lebay dan cinta butanya mulaaai…)

Anyway,

Kali ini gue mau bahas sedikit soal episode yang jadi penyejuk jiwa kita semua di Season 6 ini, yaitu Battle of the Bastards. Here are my thoughts:

1. Predictable But Satisfying


Pasti pada setuju dong, bahwa tiga kata ini mendeskripsikan episode Battle of the Bastards dengan sangat tepat?

Bahkan secara keseluruhan, jalan cerita Season 6 memang ketebak, nggak terkecuali Episode 9. Sejak jauh-jauh hari, para geeks udah memprediksikan bahwa Sansa minta bala bantuan Littlefinger, hingga akhirnya pihak Stark menang.

Dalam Hollywood, hal ini adalah formula pakem. Jagoan pasti menang di detik-detik terakhir. Tapi di Game of Thrones, harusnya nggak se-predictable ini.

Lagian di Episode 9 ini, Jon Snow juga nggak mungkin mati lagi, lah. Cukup mati sekali aja. Emangnya dia kucing, nyawanya ada 9?

Kematian Ramsay D'Terong juga ketebak. Eventually, we know he WILL die in a tragic death, seperti Joffrey.

Tapiii, terlepas dari segala predictability-nya, Episode 9 ini sangat memuaskan. Cara Ramsey mokat memuaskan, cara Daenarys merebut Mereen kembali memuaskan, cara Stark menang memuaskan, bahkan cara Yara Greyjoy berkongsi dengan Daenarys pun memuaskan. Pokoknya semuanya memuaskan! Bak berhasil bersin setelah ketahan lima menit.

2. Psikopat Memang Jenius


Menurut gue, taktik perang Ramsay jenius banget.

Pertama, Jon Snow dipancing ke tengah medang perang, dengan Rickon sebagai umpan.

Kedua, pas Rickon udah mati, Jon dipancing lebih dekat ke arah kubu Ramsay, dengan menembaki dia dengan panah.

Jon, tentu saja, kepancing dengan SEMUA umpan Ramsay.

Ketiga, ketika seluruh tentara Stark udah turun ke medan perang, baru Ramsay mengepung mereka.

Serunya, katanya formasi kepungan Ramsay ini meniru formasi kepungan tentara Romawi waktu perang melawan Hannibal. Jadi, pihak Hannibal dikepung pake barikade setengah lingkaran gitu, trus akhirnya tentara Hannibal mati karena kedesek-desek tentaranya sendiri.

Bravo, writers!

3. Goddammit, Rickon, Run Zig Zag!


Angkat tangan buat yang teriak-teriak begini pas Rickon lari sambil diburu oleh panah nerakanya Ramsay!

Frida cerita, sepanjang nonton, dia dan Eki teriak-teriak, “Lari zig-zag dooong, jangan lurus! Bahluuuul!” Tegaaaa… :)))

Ciyan, Rickon. Sampe ada banyak memenya pula :D


Ternyata semua geeks Game of Thrones juga teriak-teriak hal yang sama pas adegan ini. Jadi gaes, kalo suatu waktu elo diburu oleh busur panah (duileee, siapa juga yang mau ngeburu kita pake busur panah? Kecuali panah asmara kali, ya. Itu mah sering …), ada beberapa hal yang bisa lo lakukan:

a. Lari zig zag, supaya pemburu lo agak sulit membidik lo dengan tepat
b. Lari mundur ke arah penembak panah, supaya panah yang ditembakkan bakal melayang melewati elo (ini yang dilakukan Jon Snow pas dia dihujani panah sebelum perang)
c. Mendadak berhenti lari ketika panahnya sudah dilayangkan. Alasannya seperti poin b.

Selain serial TV MacGyver, memang hanya Game of Thrones yang bisa-bisanya ngajarin gue survival skill penting tapi nggak akan kepake kayak gini!

4. Engap, Bro!

Beberapa pemirsa—termasuk temen-temen gue sendiri—merasakan momen klaustrofobia pas Jon kedesek-desek army-nya sendiri, pas kekepung tentara Bolton. Engap, brooo… Nontonnya sampe kipas-kipas!

Kalo kita Dara, “Jadi inget jaman SMA kedesek-desek nonton PL Fair…” Mmm… yaaah, jauh kali ya, sis. Tapi paham deh maksudnya, eungap banget.

Alhamdulillah, Jon nggak menyerah dan akhirnya bangkit menyeruak dari kerumunan, ya.

5. Positif? Negatif?


Sejak episode-episode sebelumnya, banyak orang yang memperkirakan Sansa hamidun dengan anaknya Ramsay. Contoh hintnya adalah, waktu Sansa mengkonfrontasi Petyr Baelish, dia bilang bahwa dia masih bisa “merasakan” efek perbuatan Ramsay di badannya. Trus, pas di Castle Black, dia nggak napsu makan.

Yang paling bikin gondok, sih, pas sebelum Ramsay mati, dia bilang “I'm a part of you now, Sansa.” Kzl nggak sih, dikasih hint begitu?

Mari kita sisihkan waktu di Ramadan ini untuk berdoa, supaya jalan ceritanya nanti nggak kesitu. Mumpung lagi bulan penuh rahmat gini, gaesss…

6.  The Real Psychopath Please Stand Up!

Bicara soal Ramsay, inget nggak sama ekspresi muka dese pas tentara Vale dateng? Agak datar-datar nggak panik gitu, ‘kan? Bahkan pas udah digebukin Jon, dia masih bisa senyam-senyum. Hal ini tentunya bukan karena akting Iwan Rheon jelek, tapi karena kalo kata penjelasan di Wiki…

Ramsay cannot mentally process that he is losing. This explains his bizarre lack of fear up until almost the moment of his death: he is so used to sadistically torturing people he has complete control over in his dungeons that when a situation finally goes beyond his control, he cannot mentally accept the reality of what is happening - instead he just continues to hold on to the confidence that somehow, he'll be able to employ cunning and tricks to get out of this, until it becomes an outright break with reality.

Sereeeem. Selain Petyr Baelish, memang Ramsay lah psychopath yang sebener-benernya! Jadi jangan suka ngatain mantan lo psycho, ya. Amit-amit kita beneran kenal sama orang yang karakternya begitu. Diumpanin ke anjing, lho, hiiiii.

7. Dilema Daenarys


Sejauh ini, kita semua yakin bahwa Jon adalah the true hero, karena sifatnya mulia dan “lurus” banget.

Nah, kalo Daenarys Stormborn gimana?

Dari dulu, sebenernya gue kurang suka sama taktik politiknya Daenarys. Bermodalkan naga dan kekuatan anti apinya, dia asal rebut dan bakar-bakar tanah leluruh orang aja, mulai dari tanahnya Dothraki sampai Slaver’s Bay.

Walaupun alasannya “baik”, tapi sebenernya hal ini nggak mencerminkan intelektualitas Daenarys, deh (maklum, sih, masih bocah).

Beda banget sama taktik-taktiknya Tyrion atau bahkan Cersei. Taktik mereka penuh negosiasi, dan ada prosesnya. Nggak mendadak mengubah budaya yang udah berdiri ribuan taun.

Makanya, walaupun momen negosiasi Daenarys dan Yara Greyjoy kayaknya #girlpowermoment (atau #lesbianmoment) banget, sebenernya gue dagdigdug sih karena Daenarys sekonyong-konyong minta tradisi (buruk)nya Iron Islands dihapus. Nggak pake proses.

Gue lebih dagdigdug lagi ketika Dany nanti ke Westeros, trus asal menuntut tahta di Iron Throne. Duile, menginjakkan kaki di Westeros aja Dany belum pernah. Cuma bermodalkan nama bapaknya. Apa bedanya sikap Dany dengan sikap Euron Greyjoy? #baper 

I can only put hope in Tyrion as her advisor.

8. The Mad Queen

Banyaaaak banget yang memprediksi bahwa Cersei bakal snap dalam waktu dekat karena frustrasi, trus membumihanguskan Kings Landing, berhubung dia punya banyak stok wildfire. Belakangan ini, teori ini jadi sangat pakem, sepakem teori R+L = J

Tapi ada satu teori yang gue suka.
Katanya, teori Cersei ngebakar Kings Landing ini decoy aja buat para fans.

Sebenernya, nanti pas disidang, Cersei bakal mengakui bahwa Tommen adalah bastard, bukan anak asli Robert Baratheon, sehingga Tommen nggak bisa jadi raja yang sah. Trus, mungkin Cersei bakal bilang bahwa Robert Baratheon punya bastard laki-laki yang masih hidup—yang nggak sempat dibunuh Joffrey—yaitu Gendry.

Dengan demikian, Tommen nggak bakal kongsian lagi sama High Sparrow. Walaupun kalo Tommen lengser, High Sparrow bisa aja malah makin berkuasa ya, sebelum ada raja baru.

***

Akhir kata, menurut gue, Season 6 ini adalah season paling straightforward dan predictable dalam sejarah Game of Thrones.

Meskipun begitu, I have to say, this is my FAVORITE season so far.

Alasan-alasan utamanya gue jabarkan minggu depan aja kali, ya. But one thing I can say now, salah satu alasannya adalah karena episode “The Door”.

 Waktu itu, gue nonton episode laknat tersebut sambil ngebopong Raya (Raya lagi tidur pules), dan di adegan terakhir tersebut, gue nangis meraung-raung sambil gendong anak gue. Sungguh kayak adegan film G30SPKI.

Enam season sudah berjalan, dan cuma episode “The Door” tersebut yang bikin gue bener-bener nangis, sampe airmata mengalir-ngalir. I truly love/hate that episode.

This is all of us!!!

Jadi wajar, dong, kalo minggu depan gue rasanya pengen gelar tahlilan akbar, mengenang Season 6 yang sudah berakhir. Huaaa huaaa huaaa :( Setaun banget, nih, baru bakal ketemu lagi? :(

By the way, we have to have a Burlington Bar versi Jakarta. Pengen banget deh, ada nobar buat yang hardcore-hardcore tiap minggu!



8 Ciri Kelakuan Fans Game of Thrones

$
0
0

1. Nggak bisa berhenti ngemeng

… terutama ke para sesama fans, dan terutama seputar hari Senin sampai Rabu. Soalnya kalo di Indonesia, seri baru Game of Thrones tayang setiap Senin pagi. 

Kalimat-kalimat pembukanya tentu saja seputar, “Gilaaa… lo liat nggak yang bagian itu? Blablabla…” “Eh, sumpah, kesel banget si anuanuanu…”, “Duh, gue kecewa deh yaddayaddayadda.” Kelompencapir banget, ya. Kelompok Pencaci dan Pencibir.

2. Nggak bisa berhenti membaca, membuat, dan membahas teori

Bagi para fans, Game of Thrones adalah serial terbaik dalam sejarah pertelevisian (dan George R.R. Martin adalah penulis cerita fantasi terbaik dalam sejarah genre fantasi #sotoy #bacanovelnyaajaenggak), dan setiap episodenya selalu membuat para fans KETAGIHAN.

Nah, jadi setiap selesai nonton satu episode, fans Game of Thrones nggak pernah merasa puas. Pengen buru-buru tau what will happens next.

Tapi berhubung harus sabar, akhirnya para fans Game of Thrones suka kelewat inisiatif bikin berbagai gosip dan teori, tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Gimana nasib si A? Apa yang akan dilakukan si B? Cemmana sejarah hidup si C? Dan seterusnya.

Teori-teori yang dibuat oleh para fans Game of Thrones, tuh, ada boanyaaaak banget, dan semuanya seru-seru.  Jadi kalo udah ngumpul, dijamin para fans Game of Thrones nggak akan berhenti ngomongin teori.

Kalo kata Frida, fans Game of Thrones, tuh, halu semua. Berasa warga Seven Kingdoms, sehingga nggak bisa berhenti nggosipin politik “negaranya” (padahal sama isu Indonesia sendiri cuek ya, brooo…).

Inget ‘kan, pas masanya pemilu Jokowi vs Prabowo, segala teori, konspirasi, dan dugaan seliweran dimana-mana setiap hari? Nah, itulah yang terjadi di dunia para fans Game of Thrones. Selalu ada teori seliweran, dan semuanya menarik untuk dibahas, bahas, bahaaaas melulu sampe tenggorokan hamba yang berpuasa makin kering kerontang!

3. Kadang bisa lebih militan dan ngeselin daripada agen MLM

… karena seringkali berusaha meng-convert non-pengikut-GoT jadi pengikut-GoT.

 "Apaaa...?! Lo nggak ngikutin Game of Thrones?"

Soalnya lagi-lagi para fans, tuh, suka halu dan cinta buta. Suka merasa, kok bisa sih ada orang nggak suka / nggak nonton Game of Thrones? Jadi setiap ketemu non-pengikut-Game of Thrones, kita pasti yang, “Lo nonton Game of Thrones nggak? Kok enggak? Nonton dong! Suka nggak? Haaaa, nggak suka?!”

Ngeselin banget nggak tuh? :D

Sebagai contoh nyata, kemaren sempet terjadi percakapan ini di kantor gue,
Fans GoT: Lo mulai nonton GoT dong!
Bukan fans GoT: Tapi gue nggak suka action perang-perang.
Fans GoT: Eeeh, inti GoT tuh justru bukan action perang-perang. GoT tuh tentang intrik politik dan drama!
Bukan fans GoT: Tapi gue udah keburu tau siapa-siapa aja yang matiii…
Fans GoT: Tapi elo nggak tau KENAPA mereka mati ‘kan?

… dan seterusnya. Pokoknya, selalu ada alasan kenapa elo harus ngikutin Game of Thrones!

4. Punya obsesi yang berbeda-beda


Ada temen gue yang terobsesi sama teori Game of Thrones. Pokoknya, setiap abis nonton satu episode, do’i pasti langsung menjelajah Internet untuk nyari teori, about what will happen next.

Temen gue yang lain terobsesi sama dunia Seven Kingdoms. Dia hobi mempelajari berbagai benua yang ada, petanya, iklimnya, budayanya, dan sebagainya,

Gue sendiri? Lagi terobsesi sama reaction videos! Setiap habis nonton episode Game of Thrones yang seru, gue pasti bakal nungguin upload-an Youtube reaksi orang-orang nonton episode tersebut. Semacam minta justifikasi, “Tuh ‘kan, yang nangis bukan gue doang! Yang histeris bukan gue doang!”

Trus anehnya (atau jahatnya), gue hepi ngeliat cowok-cowok geeks bisa nangis atau syok banget karena suatu adegan Game of Thrones. Xixixixi… Ih, ‘napa sih, La?

5. Halunya minta ampun

Kalo gue lagi capek atau frustrasi sama kerjaan, kadang gue pasang headphone, trus…. memutar main theme song-nya Game of Thrones. Abis itu, semangat jadi membara lagi, deh.

Yassalaaam, baper amat.

Bukannya baper, sih. Gue cuma merasa diingatkan, masa’ berjuang melawan kerjaan kantor aja keok? Liat dong Jon Snow yang berjuang melawan semua orang, dari mulai Wildlings, White Walkers sampe temen-temen Night’s Watch-nya sendiri.

Suami temen gue, Gyanda, katanya juga kadang memutar theme song Game of Thrones di mobilnya, dalam perjalanan ke kantor. Trus pada suatu hari, temennya Gyanda nebeng, dan dia bingung sendiri, “Gy… ini lagu apa gy… kenapa instrumen semua gini Gy, nggak ada nyanyinya…” :)))

6. Bisa mengubah kepribadian orang

Gue punya rekan sekantor yang watak aslinya (katanya)  haluuuus banget, bak putri keraton. Tapi pas nonton Episode 9 kemaren, ketika adegan Ramsay lagi ngeselin-ngeselinnya, si Putri Keraton ini bisa-bisanya memuncratkan kata-kata, “Diem lo, anjeeeeng!” sampe semua orang syok :)))

Mantab *angkat jempol gemeter*

7. Matanya jeli semua



Kayaknya cuma fans Game of Thrones, deh, yang bisa mempersoalkan, “Kok Sansa bisa tau anjing-anjingnya Ramsay nggak dikasih makan 7 hari? ‘Kan Sansa udah cabut duluan!” Dan “Sansa kayaknya hamil, deh, soalnya dia ngomong blablabla…”

Wooow, mata apa teropong bintang Boscha tuh? Jeli-jeli amat!

Tapi gue paham, sih. Karena pada faktanya, nggak ada satupun tindakan atau bahkan dialog di Game of Thrones yang mubazir / nggak ada maknanya.

Contoh, nih. Kalo manteman ingat, ketika dulu Daenarys Targaryen disandera di Temple of Undying, dia sudah diramal akan “membakar dirinya”  sebanyak tiga kali, untuk tujuan yang berbeda-beda.

Pembakaran yang pertama untuk life (pas Daenarys “netesin” telor-telor naganya), pembakaran yang kedua untuk enemy (pas Daenarys membakar kuil Dosh Khaleen bersama para Khal-nya), dan pembakaran yang ketiga katanya untuk love. Entah gimana manifestasinya.

Tuh, jadi aksi Dany membakar dirinya sendiri di Dosh Khaleen bukan cuma buat keren-kerenan, mak.

Trus, sebelum adegan Hodor mati, Jaqen H’ghar ‘kan juga sempet ngomong gini ke Arya Stark, “Memangnya yang pantas mati cuma orang-orang yang bersalah? Orang inosen juga bisa mati.” Siapa sangka ini adalah hint adegan selanjutnya? #RIPHodor

Jadi wajar, dong, kalo mata dan telinganya para fans Game of Thrones jeli semua. Di sekolah pasti pada jago nyontek, deh!

8. Last but not least, paham akan nikmatnya nobar Game of Thrones


Kenapa, sih, fans Game of Thrones selalu bersemangat nobar? Kayaknya fans serial TV lainnya nggak begini, deh. Bahkan mungkin ada bertanya-tanya, apa enaknya, sih, nobar nonton serial TV?

The thing is, Game of Thrones bukan sembarang serial TV. It is so packed with emotions, actions, and scandals. Seru banget! Alhasil, adrenalin yang dihasilkan dari nonton Game of Thrones setara dengan adrenalin yang dihasilkan dari nonton pertandingan olahraga.

Seruan mana, nonton final World Cup sendirian di kamar, atau rame-rame sama temen-rame? Rane-rame dong, ya. Biar makin semangat teriak-teriak, maki-maki, dan nangis-nangisnya. Nah, nonton Game of Thrones juga begichu.

Jadi, siapa yang bikin acara nobar akbar Senin besok, kabar-kabarin akuh, yaaa… Valar morghulis!

Game of Thrones - Episode 10: Debay Jon is Everything :')

$
0
0
 Welcome back to Winterfell, House Stark!

“Eeehmehgeeerd semeleketehe%$&^%%#$”

Begitulah kira-kira jeritan hati gue selesai nonton episode Season Finale Game of Thones hari ini. Puas, seneng, terharu, gemes, membara, semua campur aduk jadi satu. Tapi emosi yang paling prominen tentunya adalah gelisah! Gelisah nunggu setaun lagi, meeen :(

Yakin deh, semua fans Game of Thrones merasakan kegalauan yang sama.

Oke, tanpa banyak cingcong lebih lanjut, here are my brain farts for Episode 10, Winds of Winter, yang sekaligus merupakan episode penutup dari season ini.

1. Di akhir Season 6 ini, harusnya Beyonce tiba-tiba muncul sebagai cameo, teriak, “Who run the world?” trus dijawab rame-rame “Girls!” sama Daenarys Targaryen, Cersei Lannister, Lyanna Mormont, Arya Stark, Sansa Stark, Ellaria Sand, Olenna Tyrel, dan Yara Greyjoy.

Gileee, posisi penting di Seven Kingdoms sekarang dipegang cewek semua, gaes!

Valar Morghulis. All men must die. “Men”, not “women”. Ihiiiy…


2. Speaking of which, Season 6 ini juga sukses membuat gue pengen segera melangkahkan kaki mantap ke dokter kandungan, trus bilang, “Dok! Segera inseminasi saya dengan anak perempuan! Hidup saya nggak akan tenang sebelum saya punya anak cewek, yang akan saya namakan Lyanna!”

I mean, how awesome is Lyanna? BOTH Lyanna Stark dan Lyanna Mormont, ya, walaupun gue utamanya kagum sama si kecil-kecil cabe rawit Lyanna Mormont.

Secara usia, Lyanna Mormont hanyalah seorang bocah (kalo di buku, usianya dibilang 10 tahun. Sementara aktor pemerannya, Bella Ramsay, masih 8 tahun), tapi dia cerdas, galak, straightforward, pemberani, setia, dewasa, dan pemimpin sejati. Dia ikut perang, lho! Walaupun nggak terjun ke medan perang, Lady Lyanna mendampingi tentaranya sampai camp, bahkan ikut ketemu sama Ramsay sebelum perang.

Tuh, gimana tuh, Joffrey? Tommen? Robyn, si bocah doyan ASI? Hm?

Siapapun orang HBO yang ngasih ide untuk menampilkan tokoh Lyanna Mormont—dan memilih Bella Ramsay sebagai aktornya—patut dikasih THR 3x lipat tahun ini. Beri! Lyanna Mormont for president! Lyanna Mormont for everything!

3. Mong-omong soal #girlpower, dengan situasi seperti sekarang ini, gue jelas lebih mendukung Daenarys Targaryen menjadi ratu daripada Cersei Lannister. But how creepy it was when Dany said she felt nothing, ketika harus “mutusin” Daario Naharis? Kok dingin gitu, sih, sis?

Tapi di beberapa episode lalu,  do’i masih bisa ngembeng sih pas “mengusir” Jorah Mormont. Jadi mungkin Dany masih punya hati, tapi trus hatinya tertutup pelan-pelan. Aih.

4. Maygat, teori R + L = J akhirnyaaa terkonfirmasikan! Di Episode 10 ini, adegan Tower of Joy lah yang paling monumental dan pasti paling bikin para fans menggelinjang. Bayangin dong, teori R + L = J ‘kan udah dirumuskan oleh para fans sejak lamaaaa banget. Dua dekade lalu, shay!


Bagi gue, setahun lalu teori ini kayaknya hanya impian belaka. Eeeh, akhirnya terwujudkan juga di Episode 10.  It’s like a dream come true :')
 
Hati keibuan gue juga mlenyot nggak karu-karuan dikasih penampakan debay Jon Snow (yang ternyata mukanya udah cemas sejak lahir) serta penampakan sang ibunda, Lyanna Stark, yang cantik dan ternyata mirip sama Jon. Duh, terharuuu… 

YOU ARE SO BEAUTIFUL. AND SO CEMAS. *nangis pelangi*

Apalagi kalo mengingat perjuangan Ned Stark bertahun-tahun untuk menjaga Jon Snow bak anaknya sendiri, demi sumpahnya kepada Lyanna. Hiks. Makin terharu.

By the way, para fans berteori bahwa nama asli Jon Snow mungkin bukan “Jon”, lho. Mungkin Blablabla Targaryen, tapi trus disingkat jadi Jon. Jon Banting.

Tapi teori fans yang lebih bikin hati gue nyut-nyutan adalah katanya, sesaat sebelum Ned Stark dipenggal, beliau komat-kamit sedikit kalimat, dan kalimat tersebut adalah… “I kept my promise”.

Ember mana ember, aku mau nangis :((((


 
5. Di Season 6 ini, cinta haluku terhadap Jon Snow akhirnya tumbuh sepenuhnya.

Selama Season 1-5, gue nggak pernah naksir sama do’i. Tapi di Season 6 ini, akhirnya gue naksir abis-abisan. Mungkin karena sekarang rambutnya udah cepol hipster, mungkin karena dia (makin) badass dan honorable sampe akhirnya dielu-elukan jadi King of The North (thanks again, Lady Lyanna Mormont!), mungkin karena status Jon Snow semakin jelas sebagai Azor Ahai, The Prince That Was Promised. 

Azor Ahai, The Prince That Was Promised, was born beneath a bleeding star

Whatever it is, di season ini Jon Snow makin kece!

*sablon poster Jon Snow di sarung guling*
*ngayal jadi jidatnya Sansa, supaya dikecup*

6. Arya Stark is back in Westeros!

7. Gue nggak sepakat dan nggak akan sepakat sama teori apapun yang bilang bahwa Jon Snow dan Sansa Stark nantinya akan saingan atau berantem. NOOOO!!! I will deny this forever!

8. Tapi gue setuju sama usul seorang fans di Internet, bahwa mendingan Bron, Olenna Tyrell, dan Lyanna Mormont bikin spin-off sitcom sendiri, deh. Berhubung mulut tiga-tiganya pedes banget semua! BARBARO. Hahaha. Barbaro Walden, kaleee…

9. Kalo diliat dari tatap-tatapannya, kayaknya cinta antara Jaime dan Cersei berpotensi musnah nggak, sih? I do hope so. Soalnya gue yakin banget sebenernya Jaime orang baik, tapi kebaikan hatinya ketutup sama pengaruh Cersei.

10. Last but not least,  kalo kata Frida, nyadar nggak bahwa di entourage kapalnya Daenarys, udah ada kapalnya House Martell dan House Tyrell? Wow, aliansi udah terbentuk banget ya, Khaleesi! Season 7 will be epicness.


Akhir kata, setelah dua bulan dimanjakan oleh serial TV terkeren sepanjang masa ini ini, akhirnya kita harus kembali ke masa kegelapan selama 12 bulan, sampai Season 7 tiba :(

Sesuai analisa para fans, gue setuju kalo jalan cerita Season 7 pasti masih seputar berantem rebutan tahta dan kuasa bak sinetron. Tapi jalan cerita Season 8 Insya Allah akan berkutat seputar perang dengan the White Walkers. Insya Allah, ya, gaes! Sejauh ini, sih, analisa para fans hampir nggak pernah meleset. Pinter-pinter banget, sih?!

Sampai tahun depan!

What To Do Until Next Year?

$
0
0
Will I ever move on from Game of Thrones Season 6?

Probably, not. So I'm gonna survive until next year by re-watching awesome videos like these...





Hari-Hari Playgroup

$
0
0
DSCF3056

Apaaa? Anak gue udah mau TK? Perasaan baru kemarin keluar dari perut gue! Huaaa…

But yes, bulan Juli ini, anak gue akhirnya masuk TK, setelah tahun lalu guenya sempet galau dan rempes memutuskan Raya sebaiknya masuk TK mana, berhubung jaman sekarang, TK more or less menentukan SD. Trus, nanti SD menentukan SMP. Dan seterusnya. Oh, peta pendidikan Indonesia….

Anyway, I digress!

Karena bulan ini Raya mulai TK, berarti Raya udah resmi sekolah selama dua tahun penuh. Waktu umur 2, Raya sekolah di kelas Toddler. Waktu umur 3, Raya sekolah di kelas Playgroup.

FYI, sekolahnya Raya masih sama terus, dari jaman dia kelas Toddler sampai TK nanti.

Waktu sekolah Toddler, kegiatan sekolah Raya cukup garing, hihihi. Namanya juga sekolah bayi ya, jadi masih basa-basi. Durasi serta frekuensi sekolahnya pendek banget, dan hampir nggak pernah ada kegiatan apa-apa, which I believe is right juga untuk anak toddler.

Nah, di kelas Playgroup, baru ada, deh, segelintir kegiatan yang agak bermakna.

Kebetulan sekolahya Raya adalah sekolah nasional old-school,  klasik dan sederhana yang udah berdiri sejak tahun 80an (pegel ya, berdiri tiga dekade… #zzz #lawakanlawas). Prinsip-prinsip dasarnya kuat dan cucok sama gue. Salah satu prinsipnya adalaaah… sekolah bocah ya main-main santai aja kaleee, nggak usah kebanyakan ektiviti, hihihi.

Alhamdulillah, gue cocok banget sama prinsip ini. Jadi Alhamdulillah juga, gue (dan Raya) sans ajah ngeliat sekolah-sekolah lain yang tiap minggu mengadakan acara field trip, show and tell, craft projects, performance, dan sebagainya. To each of their own aja, kok.

Anyway, pas Raya udah playgroup, Raya baru mulai menjalankan beberapa kegiatan yang bermakna di sekolahan. Apa sajakah itchu?

1. Karya wisata

Beberapa bulan lalu, Raya pertama kali pergi karya wisata bareng sekolahnya.

Tujuan karya wisatanya adalah Museum Kebangkitan Nasional di daerah Senen. Kegiatannya, sih, cuma piknik di halaman museum, makan-makan, nyanyi-nyanyi, keliling kota sebentar naik bis, trus balik lagi ke sekolah (eaaa, masuk museumnya aja enggak). Total durasi door-to-door-nya tiga jam aja. Sederhana dan basa-bas :D

Kegiatan karya wisata ini nggak bisa gue pamer-pamerin di sosmed, soalnyaaa… gue kagak boleh ikut. Bukan hanya gue, tapi seluruh orang tua murid yang lain. Bahkan nggak ada perwakilan ortu atau chaperone yang boleh ikut.

Selain itu, guru-guru Raya juga pada nggak pegang handphone. Kalau ada emerhensi, kepala sekolahnya ikut, kok, dan beliau lah yang handphone-nya stenbe.

(FYI, sehari-hari, guru-guru Raya memang nggak boleh ada yang bawa hape saat ngajar atau berkegiatan bareng murid. Jadi para ortu nggak bisa ngontak gurunya kapan saja, dan nggak pernah dikasih laporan live report anaknya ngapain aja di kelas. Kalau ada emerjensi, bisa telpon ke kantor sekolahan, kok.)

Karena guru-guru pada nggak ber-hape, maka kalo ada ortu yang cemas karena takut anaknya ngompol, nangis, atau nggak mau makan selama karya wisata… ya, bodo amaaaat, hihihi. Harus yakin dan pede, dong, anaknya bisa pergi mandiri bareng guru dan teman-temannya.

Menurut gue, ini latihan mandiri yang bagus, ya. Nggak cuma untuk anaknya, tapi juga ortunya.

Nah, karya wisata ini adalah kegiatan luar sekolah pertamanya Raya. Alhasil, para ortu pada heboh! Pagi-pagi semua udah siap stenbe di sekolahaan, untuk melepas anaknya berangkat naik bis. Termasuk gue? Ya iya, dooong :D

DSCF3048

DSCF3076

Sesi pelepasan anak karyawisata ini lebheynya warbiyasak, melebihi lebheynya pelepasan rombongan haji. Ada seorang ibu yang beneran keluar airmata, dan ada seorang bapak yang kasih pesan "Nyetirnya ati-ati ya, Pak!" ke Pak Sopir Bis dengan tatapan streng dan mengancam. Nggak kebayang pas nanti melepas anaknya di meja akad nikah, yaaa… Celemmm.

DSCF3067 

DSCF3071

Alhamdulillah, karya wisatanya berjalan lancar, aman sentosa. (Katanya sih) Nggak ada anak yang nangis, rewel, ngompol, atau ngambek makan. Berhubung cah lanangku cuexxx dan introvert, tentu saja dese nggak reliable pas ditanyain, jalan-jalannya seneng apa nggak. Tapi kalo dari hasil potret-potret para guru selama karya wisata, gue menyimpulkan Raya cukup hepi. Ihiiy… Udah bisa pergi sendiri nih, yeee.

2. Hari Kartini

Seperti banyak sekolah lain, pada hari Kartini, sekolah Raya menghimbau murid-murid Playgroup dan TK untuk memakai baju daerah.

Sebenarnya gue termasuk orang yang heran, apa hubungannya hari Kartini dengan baju daerah. Sebagai orang yang sok kritis, biasanya gue nggak suka, nih, sama tradisi-tradisi yang nggak relevan kayak gini. Tapi anehnya, gue sama sekali nggak keberatan dengan tradisi baju daerah pas Kartinian ini.

Kenapa? Karena Raya anaknya tradisionil banget, sis! Nggak tau kenapa, Raya, nih, anaknya Indonesia banget. Nggak suka sama hal yang kebule-bulean, tapi amused banget sama berbagai ritual dan tradisi Indonesia. Cocok, deh, jadi dukun manten.

Dulu gue kira ini hanya sekedar fase, jadi gue belum mau GR. Tapi Alhamdulillah, minat ini bertahan sampai sekarang, tanpa ada dorongan dari siapa-siapa. Dengan demikian, biarlah anak gue belum bisa bahasa enggres sama sekali—bahkan pronounciation Inggrisnya bak pembantu Tegal (“sow!” (maksudnya, show), “fisss!” (maksudnya, fish))—dan punya cita-cita ikutan kakak-kakak rombongan ondel-ondel yang suka ngamen di jalanan, tapi penting akar Indonesianya tertanam kuat. Lumayaaan...

Akibatnya, gue menyambut himbauan berbaju daerah ini dengan gegap gempita.

Biasanya, untuk Kartinian, ortu mendandani anaknya dengan baju adat sesuai garis keturunannya. In Raya’s case, pilihannya adalah baju adat Sunda, Bugis, atau Minang. Atau paling banter, tergantung baju adat apa yang tersedia di tempat penyewaan, hihihi.

Tapi buat gue, Raya HARUS pake baju Betawi.

Kenapa? Karena gue selalu bilang bahwa Raya itu anak Jakarta. Raya lahir dan besar di Jakarta. Raya udah akrab sama suasana Jakarta, mulai dari udaranya yang panas, jalanannya yang macet, orang-orangnya yang seru, aneh-aneh, dan kreatif, sampai aktivitasnya yang dinamis.

On top of that, sejak umur dua taun, Raya cinta banget sama ondel-ondel dan hapal banyak lagu khas Betawi. Pokoknya si bocah lekat banget, deh, sama budaya tradisional Betawi. Rasanya aneh, deh, kalau harus memakaikan Raya baju Sunda, Bugis, atau Minang, sesuai garis keturunannya.

So, baju pangsi it is!



Baju pangsi—alias baju khas Betawi—sebenernya guampang banget dijahit sendiri. Tapi gue bertekad, baju pangsi Raya harus lengkap dengan sabuk haji, peci, dan goloknya. Untuk itu, gue harus cari tempat jualannya. Relain beli aja, deh, bukan sewa. Itung-itung ikut melestarikan budaya Betawi, ya.

Dari hasil Googling, ketemu lah penjual baju adat Betawi di daerah Jl. M. Kahfi, deket Setu Babakan situ.

Yang bikin terharu, menjelang hari Kartini itu, gue lagi terjebak kerjaan banget. Akhirnya yang berangkat ke Setu Babakan bokap gue aja, dong, bareng Raya yang kudu ikut untuk nge-fitting ukurannya. Sore-sore, macet-macet, tapi bokap berangkat aja tanpa banyak tanya atau ngeluh. Bapakkuuu… aylafyu bapakkuuu…

Bokap pun beli baju pangsi pleus segala aksesorisnya, komplit dengan sepasang boneka ondel-ondel dan sendal kulitnya. 

Sebagai pelengkap, pas hari-H, gue gambarin Raya kumis palsu pake pensil alis, dan nggak lupa memakaikan cincin-cincin akiknya. 

DSCF3177 

DSCF3180

Cerita singkat tentang cincin akiknya Raya.

Tahun lalu, gue punya sopir yang sayang banget sama Raya. Nah, Raya suka mainin cincin-cincin akik si Pak Sopir. Maka pada suatu hari, si Pak Sopir pergi ke tukang cincin untuk bikin cincin akik child-size enam bijik buat Raya. Warrrbiyasak.

3. Pentas Seni

Di akhir tahun ajaran kemarin, sekolah Raya mengadakan acara Pentas Seni untuk anak-anak Playgroup dan TK.

Agendanya standar aja, sih. Intinya, anak-anak mementaskan 1-2 lagu yang sudah mereka pelajari sejak beberapa bulan sebelumnya.

Untuk anak-anak Playgroup, Pentas Seninya nggak punya tema atau jalan cerita tertentu. Pokoknya mereka dibagi ke beberapa kelompok, trus tiap kelompok nyanyi dan nari lagu yang berbeda-beda. Udah, gitu aja.

Serunya, Pentas Seni ini super dirahasiakan dari para orang tua. Jadi meskipun para murid latihan berbulan-bulan, sebelum hari-H, para ortu nggak dikasih bocoran sedikit pun anaknya bakal mementaskan apa. Kostum pun diurus sepenuhnya sama sekolah.

Pokoknya ortu tinggal datang, duduk, dan nonton.

Lucunya, anak-anak juga di-brainwash dengan super efektif oleh para guru, untuk nggak membocorkan soal Pentas Seni ini ke para ortu. Jadi, tiap ditanya “Kamu nanti nyanyi lagu apa? Gayanya kayak gimana?” Raya (dan teman-temannya) kayak on cue nggak jawab, jawab tapi asal-asalan, atau mengalihkan pembicaraan. Matanya pake ngawang pura-pura bego segala. Duileee, kecil-kecil... The parents really had to guessed real hard until D-Day. Guru-gurunya canggih, deh. Antara punya ilmu hipnotis Pak Tarno atau ilmu cuci otak agen intelijen.

Seperti ortu rookie pada umumnya, saat hari-H, gue meweeek wek wek ngeliat Raya tampil. Soalnya Raya ‘kan anaknya penuh kecemasan (persis kayak ibunya) dan bukan tipe anak yang suka tampil di depan orang banyak. Jadi gue khawatir, anak gue bakal ngadat di panggung. Minimal keluar air mata buaya.

Selama berminggu-minggu sebelum hari-H Pentas Seni, setiap ngejemput Raya sekolah, gue bakal nanya ke gurunya, “Raya mau latian buat Pentas Seni?” Dan tentu saja dijawab, “Mau, Buuu… Raya pinter dan berani, kok!”

Tapi ‘kan siapa tau sang guru hanya menghiburkyu saza.

Tapi Alhamdulillah, cah lanangku beneran perform dengan lancar, kece, dan nggak pake ngadat. Mukanya tetep kecut, sih, but then again, kebanyakan anak-anak yang lain juga pada gitu, hihihi. Tegang semua, ya.

Bangga!

Selamat jadi anak TK, cayangku. Akhirnya Raya bakal sekolah tiap hari juga, nih. Ibu antara hepi karena jadi punya me-time lebih banyak, dan nelongso karena harus gedombrangan nyiapin dan nganterin Raya sekolah tiap hari, dan lebih pagi pula. Huft. #momlyfe

Pada Suatu Hari, Saya (Hampir) Nonton Ngaben

$
0
0
DSCF3965

Kalo elo ngikutin blog post gue sejak lama, elo pasti sadar bahwa gue selalu berusaha keras tampil intelek dalam hal seni dan budaya. Saking usahanya, mungkin sampe tampak norak.

Gue ‘kan hobi, tuh, bikin postingan blog tentang museum, galeri, atau art fair. Trus di setiap postingan, kesannya gue paham banget sama segala kesenian dan kebudayan yang gue saksikan. 

Padahal 80% tulisan gue, sih, nyontek dari brosu, ahahaha.

Yang penting majang postingan yang nyeni-nyeni di Instagram, deh. Kayaknya bisa bikin haters gue minder, gitu! :D

Salah satu perhelatan seni budaya yang dari dulu sangat kepengen gue saksikan adalah upacara adat di Bali. Upacara apa pun itu. Entah itu upacara Galungan, parade Ogoh-Ogoh, Omed-Omedan, bahkan upacara bendera sekolah dasar di Bali pun bakal gue tonton. Siapa tau pengibaran benderanya diiringi gamelan? #mulaingigo

Tapi kenapa upacara adat? Dan kenapa harus di Bali?

Pertama, tentunya supaya gue bisa pamer anti-mainstream di media sosial. Apa?! You ke Bali cuma nongkrong di kafe lagi, di kafe lagi? Gue dong nongkrong sama pedanda. Ain’t I so intellectual and cultural and shit? ("Enggak.")

Kedua, karena gue cukup sering ke Bali, tapi nggak pernah sekalipun berjodoh dengan satupun upacara adat di sana. Bahkan upacara skala kecil. Padahal masyarakat Bali terkenal sering bolos kerja karena dikit-dikit harus upacara adat bareng keluarga atau banjarnya. Kok gue nggak pernah liat, sih?

Gemesnya lagi, gue nggak pernah bisa datang ke Bali saat lagi hari besar mereka. Padahal kalau masyarakat Bali mengadakan upacara adat yang gede, serunya 'kan nggak tanggung-tangggung.

Maka seperti halnya penasaran menangkap Pikachu, gue jadi sangat penasaran “menangkap” upacara adat di Bali. Plis dong, ah. Saban ke Bali, gue basisnya udah di Ubud melulu, nih—which is as pretentiously cultural as I can be—bukan di party town Kuta atau Seminyak. Please give me something!

Akhirnya, dewa-dewa Pulau Dewata mendengar doaku.

Beberapa waktu lalu, gue sekeluarga pergi ke Bali. Dan seperti biasa, kami membasiskan diri di Ubud. Dan secara tidak sengaja, di sana gue mengikuti prosesi Ngaben! Dan bukan sembarang Ngaben, tapi Ngaben masal! OMG! Sampe ngetik tanda seru melulu, nih!!!

Begini cerita lengkapnya.

Pada suatu malam, setelah gue sekeluarga nonton pertunjukan Tari Legong dan Barong di Puri Ubud, kami jalan melewati alun-alun Ubud Central. Di sana, kami melihat ada sekitar selusin patung berbentuk bermacam-macam binatang aneh dipajang.

Semua patung binatang tersebut berwarna hitam atau merah polos, dengan ornamen emas. Ada binatang yang bentuknya jelas, seperti lembu. Ada binatang yang bentuknya serem dan nggak jelas, seperti hibrida singa/naga/garuda/mantan gue. Entahlah.

DSCF3758

Mengikuti jejak turis-turis norak lainnya, reaksi pertama kami tentunya foto-foto centil di depan patung-patung binatang aneh ini. Setelah foto-foto, baru gue nanya ke sekumpulan bapak-bapak yang nongkrong di situ. “Pak, ini patung apa?”

Dijawab, “Buat Ngaben.”

Oh. Jadi ternyata, dari tadi kita foto-foto centil di depan sarcophagus, alias peti mati yang akan dibakar. Baiklah *melipir*

DSCF3760 
Dik, sebenernya kamu itu lagi foto-foto di depan...

Gebleknya, gue nggak nanya-nanya lebih lanjut. Ngaben siapa? Kenapa patungnya ada banyak? Ngabennya kapan? Dimana?

Besoknya, pas kami lagi makan siang, tiba-tiba lewat lagi iring-iringan masyarakat Bali yang berpakaian rapih dan berarakan membawa sajen. Ada apa, sih? Lagi persiapan apa? Tapi lagi-lagi, gue nggak nanya siapa-siapa.

DSCF3883

DSCF3910

DSCF3898

Sampai keesokan harinya lagi, kami belanja di sebuah toko kerajinan di Ubud. Sambil bebelian, gue ngobrol bareng bapak pemilik toko. Nah, beliau cerita bahwa besok akan ada Ngerit alias Ngaben masal di Ubud! HAAAAA?! Oalaaa, pantes beberapa hari ini Ubud kok hawa-hawanya rame banget!

Karena melihat gue excited, si bapak pun ngasih sekelumit informasi, seperti mulainya jam berapa, dan lokasinya dimana.

Meskipun trus gue masih agak bingung karena merasa nggak punya info yang cukup (apakah prosesinya terbuka untuk umum? Kalau mau nonton, apa ada syarat-syarat tertentu untuk bisa nyelip ikutan dalam prosesi tersebut?), gue tetap mau coba menyelinap  di acara Ngaben masal tersebut, ala-ala jurnalis lihai. Kapan lagi, coba? My Instagram would look so cool! *ternyata shallow*

***

Keesokan harinya harinya, gue bangun pagi dan langsung siap-siap. Sarapan banyak? Siap. Batre dan memory card kamera? Siap. Hape? Siap. Sendal jepit tahan banting? Siap. Mental jurnalis ala-ala? Siap.

Persiapan ini bukan (cuma) karena gue lebay, tetapi karena timing Ngaben masal ini sebenernya riskan banget. Soalnya siang hari itu, kami harus check-out dan pulang ke Jakarta. Padahal puncak acara Ngaben tuh sekitar jam 12-1 siang.

Pesawat kami sih terbang sore. Tapi check-out hotel-nya tetap maksimal jam 1 siang. Bentrok banget nggak, sih?! Huft.

Maka dengan berat hati, gue menyiapkan mental untuk kemungkinan nggak bisa menyaksikan pembakaran alias puncak acara Ngaben. Mungkin cuma bisa nonton persiapannya.

Ya udah, lah, namanya juga hidup. Nggak ada yang sempurna. Ibaratnya, gue udah pinter dan kaya, nggak adil kalo juga cantik jelita #halu

Pagi hari itu, hujan turun deras di Ubud, dan nggak menunjukkan tanda-tanda reda sampai jam 10 lewat. Gue senewen. Sempet pasrah mau ganti piyama, dan tidur lagi aja.

Tapi jam 10.30, langit cerah dan matahari bersinar terang. Hujan berhenti! Gue pun langsung memacu Pak Kusir (baca: T) untuk memacu kuda kencana kami (baca: Avanza sewaan), dan nge-drop gue di pusat kota Ubud, depan Puri Saren Agung. Setelah itu, T dan Raya muter-muter Ubud nyari parkiran, trus nanti ketemu gue somewhere.

Pagi itu, Ubud chaos!

Sebenernya, Ubud—yang sehari-harinya juga udah jadi biang macet—udah terasa kacau dan super macet sejak H-2 Ngaben masal ini. Penyebab utamanya karena beberapa jalanan mulai ditutup.

Tapi pagi hari ini, kekacauan Ubud tambah berisik berhubung para polisi yang mengatur lalu lintas di sekitar Puri Saren Agung sibuk teriak-teriak di megaphone dan speaker, “Mobil jangan berhenti! Jangan liat-liat, Pak! Macet! Maju teroooos!”

Biarpun begitu, gue tetap bahagia, karena setibanya di depan Puri Saren Agung, gue disambut oleh pemandangan indah ini…

DSCF3950

DSCF3948

DSCF3902

Seru, ya?

Trus, ternyata angan-angan gue untuk menyelinap ikutan prosesi Ngaben ini bak jurnalis lihai hanyalah angan-angan semata. Menyelinap apaan? Wong ternyata ratusan turis pada santai aja hadir  mengikuti prosesi ini, dan nggak ada satupun warga Bali yang peduli. Hihihi. Cis, aku nggak eksklusif.

Memang, kayaknya ada banyak sekali wisatawan yang udah tahu tentang Ngaben ini sebelumnya. Dan seperti gue, mereka semua datang berbondong-bondong untuk menyaksikan keriaan yang (bagi kami) eksotis banget ini.

DSCF3932

DSCF3945

Sarcophagus yang akan dibakar nanti. Mewah, deh. Padahal ini sarcophagus rakyat jelata, lho. Nggak kebayang kalau Ngaben Agung, ngabennya anggota kerajaan Bali, yang sarcophagusnya bisa setinggi 20 meter!

DSCF3934

Banyak turis asing yang tampak siap sedia mengikuti prosesi ini. Malah pakaian mereka lebih ke-Bali-Balian daripada warga Bali beneran, deh. Banyak bule yang pakai kain, ikat kepala, dan kebaya lengkap, lho. Gue nggak tau apakah mereka sengaja datang ke Bali saat Ngaben masal, atau juga kebetulan baru tahu trus niat syoping kostum dulu.

Kalau mau ikut nonton Ngaben, apakah kita harus banget memakai sarung Bali? Untuk menunjukkan sikap hormat, mungkin sepantasnya iya, tapi sebenarnya nggak wajib. Gue nggak pake, dan nggak masalah, tuh. Malah pada akhirnya, siapapun yang memakai baju apapun boleh ikutan, kok, termasuk yang bercelana pendek dan tengtop. Lokasi Ngaben ini ‘kan di pemakaman, bukan di pura.

Yang makmur tentunya para ibu-ibu penjual kain, karena mereka sukses “nakut-nakutin” banyak bule untuk beli sarung kalau mau bisa nonton Ngaben. Per kain dijual 250 ribu, mak! Inilah yang namanya taktik pemasaran.

DSCF3937

DSCF3940

HOT DUDES ALERT! Siapakah cowok-cowok keren Bali ini? Setelah diulik, ternyata mereka adalah anggota keluarga kerajaan Ubud. Lirik aku bli Tjokorda, lirik aku!

Oya, belakangan gue baru tau bahwa ada Pangeran Tjokorda Bagus Dwi Santana Kerthyasa di antara mereka. Iya! Tjok Gus yang gantengnya kelar itu! *oles es batu di leherku yang keringetan napsu* Dan kalau diintip dari Instagramnya, sih, harusnya ada Jero Happy Salma juga.

DSCF3942

DSCF3968

Duh, keren-keren banget, sih?! Mungkin bapak-bapak yang terhormat ini adalah para Don Corleone versi kerajaan Ubud, ya. Yang pasti aura-aura bangsawan bapak-bapak ini sungguh tak dapat ditampik #Gangsters of Gianyars

Sekitar jam 11 lewat, gamelan mulai bertalu-talu, dan upacara Ngaben masal pun dimulai. Satu persatu, sarcophagus-sarcophagus ini diarak menuju setra (pemakaman) lokasi pembakaran.

DSCF3982

DSCF3978

DSCF3985

DSCF3958

DSCF3961

 DSCF3964

Setelah sekitar 30 menit nonton arak-arakan sarcophagus ini, gue akhirnya gabung dengan rombongan jalan ke pemakaman, dan ketemu T dan Raya—yang nongkrong kepanasan di pinggir jalan nungguin gue—dalam perjalanan ke sana.

DSCF3987

DSCF4016

DSCF4022

DSCF4031

Sayangnya, sesuai dugaan, kami nggak bisa menyaksikan keseluruhan prosesi.

Sampai jam 12.30, sarcophagus-sarcophagus ini belum juga dibakar, sementara kalo kami nggak buru-buru check-out, bisa-bisa kena extra charge oleh hotel. Huuu :( Kalau paginya nggak hujan, mungkin Ngaben ini bisa dimulai lebih awal, ya.

DSCF3992

DSCF3996

DSCF3998

DSCF4009

Tapi lagian, yang namanya prosesi adat Indonesia memang selalu bertele-tele dan ngaret *lirik semua prosesi akad nikah se-Indonesia*. Untungnya, gue sebagai orang Indonesia udah cukup terlatih menghadapi kebertele-telean dan kengaretan logistik ini. Yang kasian, sih, turis-turis mancanegara.

Maka dengan gontai, kami meninggalkan areal pemakaman, sebelum benar-benar bisa melihat upacara Ngerit ini secara keseluruhan.

***

Biarpun begitu, gue tetep hepi.

Hepi karena akhirnya berkesempatan menyaksikan salah satu upacara adat Indonesia yang paling unik dan beken, hepi karena bisa belajar BANYAK sekali hal baru, hepi karena mengalaminya bareng anak gue, dan hepi karena my Instagram would look so cool! *diulang*

Gue juga kagum sama masyarakat Bali.

Bukan cuma kagum terhadap budaya mereka yang begitu detil (dan mahal!), kesenian mereka yang indah, dan kekeluargaan mereka yang erat, tapi juga kagum dengan sikap mereka yang terbuka banget terhadap pendatang.

Bahkan untuk upacara sesakral Ngaben pun, mereka terbuka mengajak turis dan pendatang untuk gabung. Mereka nggak tersinggung, caper, kamseu, atau bersikap protektif terhadap wisatawan yang ingin ikut jadi bagian prosesi ini. Sebaliknya, semua turis yang bergabung juga bersikap sangat hormat.

Nggak heran kalau budaya dan pariwisata Bali tetap jadi ikon Indonesia. Soalnya mereka benar-benar membuka diri, sih. Memang, membuka diri kepada dunia pastinya membawa segudang risiko, tapi secara keseluruhan, masyarakat Bali nggak takut budayanya habis tergerus globalisasi. And I think it won’t.

The more you give, the more you receive, man.


Keren banget sih lo, Bal?

**Semua foto diambil oleh gue sendiri dengan susah payah. Please don't use them without permission. Terima kasih!

Haruskah Kita Peduli Dengan Karin-Gaga? Pengen Banget Bilang Enggak, Tapi...

$
0
0

Siapa itu Karin "Awkarin" Novilda? Muhammad Gaga? Should we care?!

I would like to say NO (ingat, jangan pernah kasih panggung ke orang-orang yang nggak pantas), tapi sebagai ebeus-ebeus, gue nggak bisa nggak peduli sama sekali. Maka gue nulis tentang mereka di Youthmanual.

Di Youthmanual, gue harus menjaga emosi dan tata bahasa gue. Tapi seandainya gue bisa nulis sepuasnya, gue jamin vocabulary gue nggak akan kalah sampah dengan vocabulary ciki-ciki SMA itu. I am disgusted with today's youth scene. Oh, betapa naifnya aku.

Begini banget, nih, kemungkinan masa depan anak-anak Jakarta? Termasuk anak gue? Should I move Raya to Timbuktu?! *mandi Aseton*

Cekidot, kak!


Ready To Be Gen Z, Mommies?

$
0
0
Apakah kita semua sudah move-on dari Awkarin? Udah, ya? #akubosan #akulelah

Gue juga nggak kepengen media terus-terusan berusaha mendongkrak traffic mereka dengan membahas Awkarin lagiii, Awkarin lagi. Semacam males banget, deh, usaha nyari topik lain yang bisa viral.

Plus, udahan aja nggak, sih, ngasih “panggung” ke orang-orang yang nggak layak dapat panggung?

WHY?!

Tapi harus gue akui, isu Karin ini memberikan pencerahan yang bagus banget untuk gue, sebagai seorang orangtua.

Pencerahannya adalah: Karin bukan sosok istimewa. 

Sebenarnya anak muda setipe Karin sudah mulai menjadi standar normal—minimal kiblat—remaja perkotaan. Kita kaget bukan karena Karin parah banget. Kita kaget karena selama ini kita ignorant aja. Nggak tau apa-apa selama ini.

Tetapi sebelum ebes-ebes sekalian rame-rame menyemburkan air zam-zam ke dedek-dedek jaman sekarang, coba pada inget-inget lagi, deh. Masa mudanya dulu pada kayak apa, sih? Masih pada inget nggak?

I do. I had my first taste of clubbing and probably a bit of drugs (ARE MY PARENTS READING THIS?!) before high school. One or two friends of mine lost their virginity during high school, and a bunch of them during college years.

Intinya, nggak ada generasi yang “suci” pada masa mudanya. Kita semua pasti pasti pernah bandel dan alay pas remaja, pada taraf yang berbeda-beda.

Tapi apakah berarti gue bakal ongkang kaki santai kalau Raya jadi bandel dan alay juga nanti? Apalagi mengingat tingkat kebandelan, kealayan, dan kenorakan generasi Raya bakal berkali lipat lebih jauh dibandingkan generasi sekarang.

Masalah, dong. Sebagai orangtua, gue berkewajiban rem-rem dikit, dan memberitahu anak gue mana yang salah, mana yang benar.

Trus, kita bisa apa? Kita ‘kan nggak mungkin menghentikan jaman. Lagian sesuai dengan kodrat Tuhan, semakin lama jaman memang akan semakin mendekati kehancuran, kok *pasang jilbab Mamah Dedeh*

What we CAN do, though, is to jump into today’s teens’ world, sehingga kita bisa memahami, dunia mereka sekarang kayak apa. Nggak sepenuhnya buruk, kok, tapi jelas beda banget dengan jaman kita dulu.

Berikut adalah secuil action plan yang gue simpulkan sendiri, yang kayaknya bisa dilakukan untuk para ebes-ebes lain.

1. Jangan bangga gaptek dan ketinggalan jaman.


Teman-teman seangkatan gue (baca: generasi 90an) banyak yang tampak bangga dan bahkan berusaha mempertahankan ke-gaptek-an dan ke-ketinggalan-jaman-an mereka. Terutama teman-teman gue yang belum punya anak, ya.

Alasan utamanya adalah karena… males. Capek, mak, ngejar teknologi dan tren.

Alasan keduanya adalah karena angkatan gue terlalu terjebak nostalgia. Generasi 90an memang generasi transisi yang ngalamin revolusi digital. Ngerasain era analog, tapi juga ngerasain era digital sekarang ini. Jadinya agak-agak gamang, gituh.

Sebagian besar generasi 90an merasa bahwa generasinya adalah yang terkeren, sementara generasi anak muda jaman sekarang shallow banget. So why would they want to be in the same crowd with those young punks?

Seorang teman gue pernah bilang, “Gengsi, dong, punya sosmed yang sama dengan bocah-bocah generasi instan yang bahkan nggak tahu The Beatles itu siapa! Ya nggak?”

Nggak.

Saat kasus Awkarin heboh, kebanyakan orangtua cuma ngintip Instagram Karin, dan menonton SATU vlog Karin. Padahal akun Instagram dan vlog nangis-nangisnya Karin itu SAMA SEKALI nggak mewakili keseharian Karin.

Harusnya para orangtua tekun nontonin vlog-vlog-nya Karin yang lain, supaya mereka liat adegan Karin cium-ciuman sama Gaga, trus ereksi Gaga disorot, lalu ditepuk-tepuk. Yes, on goddamn Youtube, for the world to see.

Harusnya para orangtua juga tekun nontonin Snapchat-nya Karin, supaya mereka liat profanities dan kelakuan-kelakuan ndesonya yang sama sekali nggak ditampilkan di Instagramnya.

Jadi kalo, misalnya, kita nggak punya (dan nggak paham) Snapchat, we are missing out on witnessing those daily behaviors, lho.


2. Ikuti perkembangan sosmed anak muda. 

Walaupun platform-nya sama, dunia sosmed-nya dedek-dedek tuh beda, lho dengan dunia sosmed kita.

Sebagai contoh, gue—dan kebanyakan teman gue—menggunakan Instagram sebagai semacam visual diary yang menampilkan keseharian kita, in chronological order.

Tapi bagi para selebgram SMA, Instagram adalah sebuah platform untuk memajang foto-foto cantik ala fashion editorial, dan endorsement melulu. Instagram dijadikan semacam “portfolio” dan lapak jualan mereka.

Alhasil, mereka bakal jaga image di Instagram. Foto-fotonya dibuat secantik mungkin. Maka seperti yang tadi gue bilang, keseharian Karin yang sebenarnya sama sekali nggak terefleksikan di Instagramnya.

Contoh lainnya adalah ask.fm.

Buat yang masih asing, Ask.fm adalah salah satu platform sosmed favorit anak-anak SMA, bahkan kayaknya jauh sebelum Instagram. Platform-nya seperti apa? Intinya platform tanya-jawab, sih. Meski yang pasti bukan tanya-jawab materi pelajaran, zzzz. Ulik sendiri, ya.

Gue beberapa kali menemukan akun Instagram dedek-dedek SMA yang followers-nya banyaaaak sekali, padahal postingan fotonya baru sedikit. Apakah mereka beli follower? Nggak juga. Biasanya, sih, mereka adalah “artis ask.fm” yang baru punya akun Instagram, sehingga fans-fans mereka di ask.fm juga ikut hijrah ke Instagram.

Selain itu, ibu-ibu, jangan cuma tau Whatsapp, ya. Make LINE one of your primary chatting platforms, dan jangan cuma buat chatting sama sis-sis online shop. Pahami juga Snapchat, Musically, Phhhoto, Tumblr, bahkan Tinder. Yes, (some) college kids are on Tinder.

Memang capek, sih, kalo harus mulai memakai dan memahami semua aplikasi tersebut. Mungkin nggak harus langsung diselami semua, ya, butchoose your primary weapons, deh.

3. Pahami bahasa mereka.

Salah satu faktor yang bikin angkatan gue males follow sosmed dedek-dedek adalah karena bahasa mereka roaming banget. Pada ngomong 'paan sih?!

Generation gap ini diperparah karena generasi gue suka merasa jijay untuk paham bahasa anak muda. Paham istilah “baper” dan “gabut” aja pada suka merasa, “Iiih, kok gue paham, yaaa…? Bahasa anak jaman sekarang enggak banget, deh!”

Padahal dengan men-jijay-jijay-kan dedek-dedek begitu, kita jadi semakin ”jauh” dengan dunia mereka.

Coba pahami apa arti dari istilah sehari-hari mereka seperti baper, gabut, sebats, AF, lit, savage, on fleek, squad, #goals, queen, slay, yaaasss, jones, no chill, PAP, juga tren-tren sosial media seperti #runningmanchallenge, dabbing, ghosting, dan sebagainya.

Nggak mau nanggung? Pahami juga lagu-lagunya! Gue sendiri rutin mencekoki diri gue sendiri dengan playlist kekinian di Spotify. Awalnya tersiksa, eh lama-lama jadi hapal sama lagu-lagunya Desiigner sampe se-album barunya Drake. Baaaabyyyy… I like your styyyle… 

 Don't be uncool like this guy. Learn how to dab properly!

4. Follow akun dedek-dedek, on various platforms.


Mulai dari Instagram sampe Snapchat. Rutin juga cek-cek ask.fm mereka yang nggak di-private, dan tonton daily vlog-nya.

Bagi gue, mem-follow sosmed dedek-dedek ini adalah sebentuk siksaan, karena sebagian dari mereka—harus diakui—norak banget. Daily vlog-nya juga mundane berat, tanpa karya yang benar-benar berarti.

Nggak semuanya begitu, sih. Ada dedek-dedek yang otak bisnisnya jalan banget.

Contoh, ada seorang selebgram SMA yang punya geng yang tampak keren banget. Persahabatan keren mereka pun suka dipamerkan di Instagram dan vlog si selebgram. Kalah, deh, “squad”nya Taylor Swift.

Kemudian terbongkar bahwa persahabatan mereka tidaklah asli. Jadi, si selebgram semacam scouting alias berburu cewek-cewek keren di Instagram, trus si selebgram mengirimkan mereka message, mengajak masing-masing cewek-cewek keren itu untuk hang-out bareng, photoshoot bareng, travelling bareng, untuk ditampilkan di sosmednya.

Ujung-ujungnya, mereka semua akan untung, kok, karena jadi saling mendongkrak ketenaran satu sama lain.

OTAK BISNIS JALAN BANGET NGGAK, TUH?!

5. Don’t public shame them
.

Dalam perjalanan menyelami dunia dedek-dedek ini, kita pasti akan menemukan banyak tren dan kecenderungan yang nggak sesuai dengan prinsip dan pandangan kita, sebagai ibu-ibu basi.  But don’t always public shame them. Jangan dikomentari, jangan (sering-sering) meng-skrinkep dan menjelek-jelekin mereka di sosmed kita sendiri.

Tujuan gue pribadi menyelami dunia dedek-dedek ini bukan untuk nyela hal-hal kecil yang mereka lakukan, tetapi melihat dunia mereka secara keseluruhan. Utamanya untuk menyiapkan mental dan pola pikir gue sebagai orangtua.

Jadi gue merem aja, deh, ngeliat dedek-dedek umbar tetikadi, vaping melulu, ngomong “njing” dan “ntot” tiga menit sekali, dan hobi bikin tutorialmakeup look untuk… ke sekolah (sekolah ya, bukan kampus).

Lagian, kalo kita sering public shaming dedek-dedek ini, lama-lama mereka paham bahwa mereka sedang “diawasi”. Nanti pada makin kabur, deh!

Have fun, mommies! (or not).

Berbela sungkawa

$
0
0

How do you say “sorry”? 

Maksudnya bukan sorry minta maaf, ya (bukan juga nyanyi lagunya Justin Bieber), tapi berduka cita. Giving condolences or sympathy.

Kalo ada temen atau sodara yang ketimpa musibah—misalnya, anggota keluarganya ada yang meninggal atau sakit keras—biasanya kita bilang “Turut berduka cita, ya” atau “Sabar, ya…” atau “Gue juga dulu pernah ngalamin pas blablabla…”

But I always wonder, apakah yang bersangkutan bakal beneran lega dengan “bersabar” atan dengerin “nasehat” dan cerita pengalaman kita? Apakah kata-kata tersebut beneran bikin dia lega? 

Seandainya orangtua gue, anak gue, atau diri gue sendiri sakit keras, gue rasanya nggak akan langsung adem kalo disuruh sabar, apalagi disuruh denger pengalaman temen, terutama saat kesedihan gue masih di tahap-tahap awal. Meskipun niat mereka pasti baik.

Kalo kita lagi kena musibah, mungkin yang “seharusnya” kita lakukan memang bersabar dan berdoa. But we don’t always feel that way, don’t we? Kadang kita pengennya ngamuk, banting piring, nangis, teriak, dan jujur aja, merasa Tuhan nggak adil. Merasa cara kerja Tuhan terlalu misterius untuk dipahami. Kadang kita pengen bilang ke temen dan keluarga seisi chat group yang memberikan belasungkawa, “Sabar, sabar… palelo sabar! Kayak paham aja lo!”

I think it’s very normal and very human.

Tapi gue pribadi juga nggak tau, ekspresi simpati dan belasungkawa seperti apa yang tepat untuk disampaikan ke teman atau kerabat dekat, saat dia sedang mengalami kesedihan mendalam. Sehingga gue beneran selalu bertanya-tanya... how do you say “sorry”?

Postingan ini terinspirasi oleh beberapa teman dekat yang anggota keluarganya sedang sakit keras dan meninggal baru-baru ini. Juga terinspirasi oleh desainer kartu ucapan Emily McDowell, yang selalu bikin kartu ucapan simpati dengan kalimat-kalimat yang sangat jujur. I wish there are Indonesian versions of them.









Kampanye Olimpiade 2016

$
0
0

Olimpiade datang, mewek-mewekan pun dimulai!

Kok mewek-mewekan, sih?

Soalnya setiap menjelang Olimpiade, perusahaan-perusahaan besar yang jadi sponsor resmi Olimpiade selalu berlomba-lomba bikin kampanye iklan tentang perayaan olahraga akbar ini. Dan hampir semua iklannya bagus dan menggugah.

Beneran, deh, walaupun elo bukan penggemar olahraga—atau bahkan nggak sadar bahwa Olimpiade musim panas 2016 AKAN MULAI MINGGU INI (hoooi, baca koran hoooi...)—you should check out the video campaigns from the official sponsors seperti Samsung, Nissan, dan sebagainya.

Iklan favorit gue tahun ini ada dua.

Pertama, dari Channel 4.

Oke, gue curang. Iklan dari Channel 4 ini sebenernya bukan tentang Olimpiade, tapi tentang Paralimpiade, alias olimpiade untuk atlet difabel. 

Memang, setiap Olimpiade musim panas biasanya akan diikuti oleh Paralimpiade. Jadi kalo Olimpiade 2016 bakal berlangsung bulan ini (Agustus), Paralimpiade akan digelar bulan depan (September).

Trailer Paralimpiade 2016 yang bergaya musikal ini seru banget, karena nggak cuma nampilin para atlet Paralimpiade berlaga di medan olahraga, tapi juga musisi dan penari difabel. They truly are superhumans. Keren abis!


Kedua, dari P&G.

Goddammit, P&G. You did it again. 

Masih sama seperti tahun 2012, P&G membuat iklan kampanye Olimpiade yang lagi-lagi mengangkat tema ibu. Tahun 2012, gue cirambay nonton mereka yang ini. Sekarang gue nangis lagi nonton iklan Olimpiade terbaru mereka.

It takes someone strong to make someone strong.

Kalo lagi nggak ada kerjaan, boleh juga cek channel Youtube P&G, dan tonton seri dokumenter-mini mereka yang judulnya Raising an Olympian. Video yang ini favorit gue, karena nggak hanya mengangkat isu determinasi, tapi juga rasisme:

0:42 "Do you want me to hide?"
Lihat juga ekspresi sang ibu di menit 1:02 "I'm so proud of you!" T___T

Taun ini ngikutin Olimpiade, ah. Trus nabung buat nonton langsung di Tokyo taun 2020. Ashek, ngayal bebas...

Don't Eat Coal For Breakfast

$
0
0

Ehem, ehem.

Jadi, mumpung di blog sendiri, gue mau buka-bukaan nih.

Tujuan gue menulis artikel ini bukan karena gue bener-bener passionate terhadap isu ini. Bahkan bisa dibilang, gue  nggak punya kepentingan langsung sama isu full-day school. Toh gue udah bukan anak sekolahan lagi, dan Raya SD-nya masih lama.

Pemicu utama gue menulis artikel ini adalah karena gue prihatin ngeliat netizen yang langsung ngamuk terhadap gagasan ini, padahal gagasannya masih mentah dan belum jelas. 

Ngamuknya pun kampungan, lho. Di sosmed, Pak Muhadjir dikata-katain "peler", "goblok", dan sebagainya. Coba bapak lau yang dikata-katain gitu. Trust me, I kinda know how it feels. I have a vice president for an uncle.

Mengutip kata-kata Yayi di Path, katanya menghujat Awkarin? Lah, kok kelakukan kita jadi kayak Awkarin?

Karena gue nggak mau terseret cela-celaan dan berantem di sosmed, mendingan gue bikin artikel yang mudah-mudahan nggak ikut-ikutan menyakitkan hati.

Artikelnya, sih, biasa banget. Wong diketiknya ngebut dalam waktu dua jam aja. Gue nggak sempet riset mendalam sama sekali, sehingga nggak bisa ngasih ide solutif juga. Tone artikelnya pun masih berkesan memihak gagasan full-day school. Padahal sebenernya gue netral, kok. Cuma pengen kasih liat sudut pandang lain, yang berseberangan dengan pendapat populer. Kali-kali membuka hati dikit.

Pokoknya, I tried to do something better daripada marah-marah di sosmed, lah. 

***

Plis yah, gaes. Jangan keseringan nyarap batubara. Jangan gampang panas, tanpa berusaha memahami sudut pandang lain. Nggak setuju dan mengkritik boleh banget, tapi sebisa mungkin solutif dan nggak usah kasar 'ica kali, yhaaa...

(juga jangan sekali-kali nontonin Snapchatnya Awkarin x Younglex, kalo emang nggak berkepentingan, kecuali kalo emang kepengen tau rasanya dicium dementor. Semua keademan hati sirna, hoekkk...)

Ultah Kearifan Lokal

$
0
0
DSCF4162

Don’t Be Afraid To Be Different (atau, Banggalah Dengan Kearifan Lokalmu)

Kayaknya itu, deh, dua judul yang cucok buat ulang tahunnya Raya yang ke-4, bulan lalu.

Pasalnya, ini anak minta berulangtahun dengan tema Barong. Iya, Barong Bali itu. Nggak kurang unik, broh?

Sejarahnya sebenernya udah lama, sejak dua taun lalu. Ceritanya, di akhir 2014, kami sekeluarga pergi ke Bali, dan untuk pertama kalinya, Raya nonton berbagai tari-tarian Bali langsung dengan mata kepalanya sendiri, mulai dari Kecak, Legong, sampai Barong.

Dese terpesona banget, dan sejak itu, tari-tarian Bali adalah salah satu hal favoritnya di dunia.

Gue antara bangga banget dan cemas banget. Soalnya, kok, anak balitaku tau-tau apal chant dan lantunan tarian Kecak (gara-gara keseringan nonton Youtube-nya)? Is this safe?! Gimana kalo rapalan mantranya tau-tau mendatangkan perwujudan Hanoman di atep rumah gue?

Malah pernah pada suatu waktu, gue kecolongan mendapati Raya lagi nonton video Youtube-nya tarian/upacara Calon Arang, yang penuh dengan adegan warga Bali kesurupan secara eksplisit. MATEK.

Trus, pas libur Lebaran kemarin, kami lagi-lagi ke Bali, dan lagi-lagi nonton tari-tarian, termasuk tari Barong di Puri Saren Ubud. Waktu itu sesi nontonnya agak spesial, karena kami sempet sneak-in ke belakang pura sebelum pertunjukkan dimulai, ngintipin para penarinya dandan, dan ngeliat kostum Barongnya diparkir di sebuah lorong gelap (serem juga ya, mak…)

DSCF3857

DSCF3867

Sampe beli DUA topeng barong versi mini di Ubud

Intinya, Raya suka banget sama tokoh-tokoh dalam tarian Bali yang ikonik, baik tokoh-tokoh protagonisnya maupun antagonisnya. Maka alih-alih tokoh superheroes Marvel atau My Little Pony, hapalan wajib gue adalah epos Ramayana, Barong Ketet, Barong Bangkung, Barong Singa, dan sebagainya. Sampe gue tau hal-hal semacam… nama anak perempuannya Rangda sang penyihir. Vhy? Pentingkah bagi kehidupan gue? ‘Kan atuuut!

Gue jadi serasa mau ujian jadi staf Mendikbud, deh (atau pemandu TMII, mungkin?).

Anyway, nggak lama setelah pulang dari Bali, Raya berulangtahun. Otomatis, bocahe rekues kue dengan tema Barong.

Untungnya, ulangtahun Raya (lagi-lagi) nggak dipestain. Cuma potong kue dan bagi-bagi setitik snack box di sekolah. Jadi yang harus di-“tema”-in cuma kue dan snack box-nya. Repot juga, yaaa, kalo harus bikin pesta, trus manggil atraksi barong beneran, lengkap dengan debus nusuk diri pake keris. Bisa-bisa pestanya digrebek Kak Seto.

DSCF4149

DSCF4156

Ini adalah kedua kalinya Raya berulangtahun dengan kue dari Delicakes @shopdelicakes. Mereka bukan spesialis kue fondant 3D, tapi rasanya yassalaaam… endeus banget! 

Tahun lalu, abis Raya potong kue di sekolah, guru-guru Raya pada bisik-bisik muji kuenya. Tahun ini, kuenya nggak nyisa. Jadi Alhamdulillah, kemakan banget.



For the cherry on top (no pun intended), pemilik Delicakes adalah si serba bisa @iamdewiutari alias @suaraemas yang baik dan multitalenta. Istighfar istighfar istighfar!

*ala TayTay*
*cek Instagram @suaraemas dulu biar paham*

DSCF4205

DSCF4208

DSCF4211

Anak dari pemilik Ini Ibu Budi @helloibubudi adalah temen kuliah gue, Sindi, dan dari jaman kuliah dulu, semua temen-temen kami paham banget, emaknya Sindi jago masak dan bikin kue-kue kecil.  Jadi walaupun belum pernah coba order Ini Ibu Budi sebelumnya, gue pede pesen snack box dari mereka, sebagai goodie bag ultah Raya.

Trus, sebenernya Ini Ibu Budi cuma menyediakan aneka snack dan makanan untuk hajatan, tanpa jasa tambahan. Tapi—dengan kurang ajarnya—gue nekat nanya ke Sindi, bisa pesen kotak snack yang custom designed nggak? I asked this because she has a design background (and a great taste to boot).



Alhamdulillah disanggupin, padahal waktunya mepet banget, and here it is! Kalo ada yang tertarik pesen ke mereka juga, try their sugar donut. It's kinda awesome.

DSCF4175

Acara potong kue dan bagi-bagi snack box di sekolahan berjalan lancar. Walaupun ultah Raya berlangsung di minggu pertama tahun ajaran baru, si bocah introvert nggak awkward ataupun sungkan dengan temen-temen sekelasnya yang nyaris baru semua. Tetep hepi dan bisa senyam-senyum. Seneng banget liatnya :D

Selamat ulang tahun, kecintaanku. Semoga selalu sehat, bahagia, soleh, baik hati, tahan banting, penasaran, dan bikin dirimu sendiri bangga. We love you!

DSCF4197

Indonesia di Berbagai Negara (part 1)

$
0
0
Bulan Agustus adalah bulannya Indonesia. 

Merayakan kemerdekaan tanah air—sekaligus berkontemplasi tentang Indonesia—sih, gampang kalau tinggal di Indonesia. Tapi gimana kalau lagi tinggal di negara lain?

Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Jakarta, Indonesia, konsep “memandang Indonesia dari jauh” (alias dari negara lain) adalah konsep yang sangat asing buat gue, lho. Memandang Jakarta dari jauh aja nggak pernah. Itu adalah sebuah sensasi yang nggak pernah gue rasakan. So I was quite curious!
 

Di bulan Agustus ini, gue “ngobrol” dengan delapan teman yang sedang tinggal di negara lain.  Berikut adalah obrolan dengan 4 dari 8 teman tersebut.
 

Stay tune for part 2!

Mia Aryani (Mia), tinggal di Puteaux, Prancis selama hampir dua tahun terakhir. Mia tinggal di Puteaux karena penugasan di kantor pusat selama tiga tahun, sekalian karena suaminya bercita-cita mengambil gelar master di sekolah internasional. Dulu tinggal di Bandung dan Jakarta, Indonesia.

Apa, sih, yang dilakukan kalau lagi kangen Indonesia?

Kalo lagi kangen suasana Indonesia. kadang suka iseng liat-liat di Google Map, jalan di sekitar rumah seperti apa, sekolah anak dulu, sampe gedung kantor dulu.

Kalo lagi kangen obrolan khas Indonesia, lumayan sedikit terobati dengan gavung Whatsapp grup. Trus, kalo lagi kangen makanan Indonesia, lumayan masih bisa sering icip-icip makanan Indonesia dari ibu-ibu komunitas Indonesia.

IMG-20160820-WA0024

Bagaimana hari nasional Perancis biasanya dirayakan?  

Selebrasi hari nasional Perancis—tanggal 14 Juli—hebohnya ngalahin malam tahun baru, lho. Dimana-mana pasti ada pesta kembang api, mulai yang paling extravagant di sekitar Menara Eiffel, sampai yang kecil-kecilan di tiap kelurahan. 



Di Paris, biasanya ada parade "14 Juillet" (14 Juli) di sekitar Champs-Elysees. Tapi tahun lalu, kami milih untuk menyaksikan defile pesawat-pesawat Perancis yang melewati La Defense (dekat tempat kami tinggal) sebelum pesawat-pesawat itu tiba di Champs-Elysees. Soalnya, anak saya suka banget pesawat, dan kami juga jadi nggak harus desak-desakan di Champs-Elysees.

Tahun ini, ada yang bikin saya sedikit stress soal perayaan "14 Juillet". Saya bersama keluarga dan ipar saya sedang berlibur di Nice, tepat saat tragedi penabrakan truk yang menewaskan lebih dari 80 orang, saat sesudah perayaan. Padahal saya sempat nawarin ke anak dan ponakan saya untuk nonton kembang api sebelum perayaan, hiks, hiks. Alhamdulillah, anak-anak memilih diam di rumah, istirahat dan main iPad. Kami masih dikasih selamat sama Allah.

Berhubung Prancis belakangan ini sering jadi target penyerangan, rasanya lebih baik menghindari kerumunan-kerumuman, deh.

IMG-20160823-WA0015

Apa, sih, hal-hal yang kepengen banget “dibawa” dari Prancis ke Indonesia? 

Family time! Jumlah cuti di sini 50 hari setahun, lho, dengan waktu kerja dari jam 9 pagi hingga jam 6 sore. Dengan cuti sebanyak ini, kami jadi lebih leluasa merencanakan cuti panjang karena bisa menyesuaikan dengan libur sekolah anak. Kami juga bisa lebih fleksibel kalau anak sakit dan terpaksa meninggalkan kantor, karena nggak ada mbak.

Kami pun jadi punya waktu lebih banyak bersama anak, karena waktu nggak habis di jalanan yang macet.

Oya, karena di sini nggak punya asisten rumah tangga, otomatis semua anggota keluarga harus bahu-membahu dalam hal urusan pekerjaan rumah. Jadinya kami merasa lebih kompak di sini.

IMG-20160814-WA0040

IMG-20160816-WA0031

Apa hal-hal di Prancis yang menurut Mia inspiratif?

Selain work-life balance tadi, saya terinspirasi banget dengan gimana mereka sangat organized dan handy dalam mengerjakan pekerjaan di rumah (konsukuensi biaya hidup serba mahal!).

Juga bagaimana mereka sangat menghargai hidup, dari hal-hal terkecil. Mungkin dari kebiasaan mereka senang baca buku dan senang berfilosofi, ya.

Menyenangkan sekali, deh, berdiskusi dengan orang-orang Prancis, bahkan tentang hal-hal mungkin kita anggap sepele!

IMG-20160814-WA0037

Marisa Santosa (Marisa), tinggal di Perth, Australia Barat selama 9.5 tahun terakhir. Marisa sudah jatuh cinta dengan Perth sejak tahun ‘90an, ketika sedang mengunjungi keluarga. Akhirnya Marisa sekolah S2, lalu bekerja di sana. Dulu tinggal di Jakarta, Indonesia.

Hal-hal yang dikangenin dari Indonesia?

1. Jajanan (Jakarta)nya yang hampir semua bisa di delivery kapan aja, 24 jam. Juara tiga besarnya cendol dan sate Mayestik, Soto Agus Barito, dan Ketoprak Ciragil.

2. Abang-abang teh botol yang tiap 10 meter ada.

3. Salon, tukang pijet, dan tempat karaoke yang mumpuni ((mumpuni!)). Pijet di sini mahal, trus rasanya kayak diusap-usap doang. Cemen! Karaoke di sini juga masih pake sistem buka folder segede gaban, yang berisi kode lagu-lagu yang pengen dinyanyiin. Kebayang nggak, di ruangan karaoke yang gelap, kita harus kutak-kutik nyari kode lagu? Pe-er banget!

Akibatnya, kalo lagi ke Jakarta, biasanya gue pijet dua kali seminggu, dan pernah suatu kali karaoke 4 kali dalam seminggu :D


Gimana, sih, perayaan 17 Agustus di Perth? 

Saat 17an, Konsulat Perth biasanya mengadakan upacara bendera, macam-macam lomba. sini, dan kumpul-kumpul silahturahmi. Tahun ini ada lomba nyanyi Konsulat Idol segala, lho!

Gue sendiri jarang berpartisipasi 17an di Konsulat, karena biasanya gue lagi kerja. Padahal sebenernya kemarin ini pengen ikutan lomba main gaplek, hahaha.

Biasanya, kalo 17an, gue dan teman-teman piknik di weekend-nya. Tahun lalu, kita rame-rame kumpul di rumah temen gue, makan-makan masakan Indonesia, trus bikin lomba kecil-kecilan buat anak-anak mereka, seperti makan kerupuk dan balap karung.


Gimana dengan perayaan hari nasional Australia?  

Setiap Australia Day (26 Januari), biasanya orang-orang pada piknik sekeluarga, ke pantai, atau barbeque-an rame-rame di rumah. Beberapa tahun terakhir ini, gue selalu barbeque-an di rumah sahabat gue.

Ada satu radio lokal, namanya Triple J, dan di Australia Day, mereka selalu bikin countdown 100 hottest song selama setahun. Jadi orang-orang biasanya suka barbeque-an sambil dengerin Triple J ini, menebak-nebak asik, siapa nomor satunya. Termasuk gue juga!


Kemudian biasanya kita main ke pantai sampai lepek, trus jam 8 malem nonton kembang api di Perth foreshore.

Australia Day adalah salah satu liburan favorit gue, karena harinya terasa panjang, meriah, tapi santai. Dari pagi leha-leha, santai-santai, ngopi, makan, ngebir, kenyang bego, terus bengong-bengong, sampai akhirnya nonton kembang api malam-malam.


Apa, sih, hal-hal yang kepengen banget “dibawa” dari Perth ke Indonesia?

Kalo edisi halu-nya, gue pengen mindahin infrastruktur Perth ke Indonesia, termasuk transportasi umum, perpustakaan yang ada di setiap suburb, ruang hijau publik, dan sebagainya. Supaya masyarakat, khususnya di Jakarta, punya pilihan lain selain pergi ke mall / cafe.

Gue juga pengen mindahin budaya antri, rasa terima kasih, dan sense of urgency. Meskipun orang Indonesia katanya ramah-ramah, kadang nggak keliatan sama sekali. Mas-mas loket imigrasi di bandara yang mustinya jadi “ring 1 penyambutan” aja mukenye manyun semua, terus geraknya slow motion. Seakan-akan waktu gue hanya untuk nungguin dia ngecap paspor aja. Ashem! :D

Kalo edisi nggak halu-nya, gue pengen coffee shop favorit gue di Perth buka cabang di Jakarta, karena menemukan kopi yang enak di Jakarta itu susah banget.


Apakah tinggal di luar negeri jadi mengubah pandangan terhadap Indonesia?

Dulu, sebelum pindah ke Perth, hal-hal soal Indonesia yang terpikir oleh gue, tuh, pasti yang jelek-jeleknya aja. Tapi ada pribahasa berbunyi, distance makes the heart grow fonder. Nah, pribahasa itu berlaku, tuh, buat gue. Apalagi pas Pemilu 2014 kemaren, nasionalisme gue jadi naik (dikit), dan gue jadi peduli (dikit) terhadap Indonesia.

Gue juga penganut prinsip “jangan jelek-jelekin negara lo sendiri, ketika lo ada di negara orang lain.” Karena lo adalah perwakilan negara lo, jadi jangan ikut-ikutan nyinyir kalo ada orang [asing] ngehina policy negara lo, meskipun saat lo juga nggak setuju sama policy itu. Apalagi bule-bule sini kalo ngomongin Bali udah berasa paling ngerti. Nge-feel abis!

Pokoknya, kalo kesel sama Indonesia, nggak usah diumbar sana sini, deh.


Rika Raudah (Rika), tinggal di Singapura sejak 2010 karena mengikuti lokasi pekerjaan suami. Sudah mendapat Permanent Residence sejak 2012, dan sudah merasakan “homesick” ke Singapura kalau terlalu lama pergi jauh dari negeri singa tersebut. Sebelumnya tinggal di Jakarta, Indonesia dan Kuala Lumpur, Malaysia.

Apa, sih, hal yang paling sering dikangenin dari Indonesia?

Suasana Ramadan di Jakarta!

Sebelnya, semenjak tinggal di Singapura, aku malah nggak pernah mudik pas Ramadan atau Lebaran, soalnya suamiku kebetulan selalu lagi sibuk-sibuknya [di kantor] sekitar bulan Juli-Agustus.


Gimana, sih, perayaan 17 Agustus di Singapura? 

Aduh, sebenernya aku nggak pernah berpartisipasi 17 Agustusan selama di sini, hihihi. Soalnya dari jaman tinggal di Jakarta dulu pun aku juga bukan yang aktif berorganisasi. Kayaknya terakhir kali ikut rama-ramean 17 Agustusan, tuh, pas kuliah, deh.

rika2

Kalau perayaan hari nasional Singapura biasanya gimana?  

Aku suka dengan semangat orang sini merayakan hari nasionalnya. Hingar bingarnya, tuh, kerasa banget, apalagi 2-3 tahun belakangan ini.

Tapi udah 7 kali merasakan hari nasional Singapura, aku belum pernah nonton langsung gladi resik atau latihannya yang udah diadain setiap akhir pekan, sejak dua bulan sebelum hari-H. Padahal seru kali, ya, kalo ngeliat orang-orang nongkrong di Marina Bay dan nonton pertunjukan kembang apinya.

Screen Shot 2016-08-23 at 10.11.09 PM

Apa satu hal dari Singapura yang kepengeeen banget rasanya dipindah ke Indonesia?

Pemerintahan yang efisien, “bersih”, dan dapat diandalkan.

Aku percaya, kalau pemerintahan suatu negara bersih dan berdedikasi untuk melayani publik, hal-hal baik akan datang dengan sendirinya ke negara itu. Misalnya, pendidikan yang bagus, fasilitas publik yang dapat diandalkan dan dibanggakan, serta stabilitas keamanan.

Nggak terlalu muluk, kok, untuk berharap Indonesia bisa begitu. Semua yang Singapura punya saat ini ‘kan hanya berawal dari modal semangat dan keinginan founding fathers Singapura untuk maju, setelah "dibuang" karena Singapura diliat “nggak punya apa-apa”.

rika1

Apakah tinggal di luar negeri jadi mengubah pandangan terhadap Indonesia?

Aku justru makin cinta dan bangga sama Indonesia, sebagai bangsa dan negara, karena kerasa banget betapa majemuk dan kayanya negara kita. Tapi jujur, kalau nggak kepaksa kondisi dan situasi, aku belum mau balik pindah ke Indonesia

Hampir 10 tahun aku ninggalin Jakarta. Aku berubah banyak, baik karena pengaruh umur yang bertambah satu dekade dan pengaruh bersosialisasi dengan manusia dari berbagai negara. Jakarta dan Indonesia pun sudah sangat jauh berbeda. Di satu sisi, aku bangga banget dengan segala perkembangan yang terjadi di Jakarta, khususnya 3-5 tahun belakangan ini. Tapi di sisi lain, isu sosialnya semakin mengkuatirkan ya?

image1
 
Rika Melissa (Rika), tinggal di Kerava, Finlandia selama tujuh tahun terakhir. Rika sudah tinggal di Eropa sejak kuliah S2. Rika sekarang tinggal di Kerava karena berkeluarga dengan seorang warga Finlandia. Dulu tinggal di BSD, Tangerang, Indones
ia.

Hal-hal yang dikangenin dari Indonesia?


Makanannya, teman dan keluarga, serta kemudahan berbahasanya.

Sampai sekarang, gue belum lancar-lancar amat berbahasa Finlandia. Jadinya kalau mau ngomong sesuatu, suka stres duluan nyusun skenario percakapan dalam bahasa sini. Trus, pas respon lawan bicaranya nggak sesuai dengan yang gue bayangkan, stres gue makin berlipat ganda!

Sampai kadang kalau lagi sakit aja, gue males ke dokter. Mau nunggu mudik aja biar ngomong ke dokternya gampang!

IMG_20160510_185804

Gimana, sih, perayaan 17 Agustus di Finlandia? 

KBRI Helsinki selalu menggelar acara untuk menyambut 17 Agustusan. Biasanya ada dua perayaan, yang dilangsungkan di dua akhir pekan yang berbeda, sebelum tanggal 17 Agustus.

Acara yang pertama diisi dengan berbagai macam perlombaan seperti jalan sehat, balap karung, balap bakiak, dan sebagainya.

Acara yang kedua, minggu depannya lagi, diisi dengan “panggung gembira” dan bazaar makanan daerah, sekaligus pembagian hadiah untuk pemenang perlombaan minggu lalunya. Panggung gembiranya selalu rame sama acara nyanyi-nyanyi dan joged dangdutan.

Gue, sih, semangat banget ikut dua acara tersebut. Gue pernah, lho, jadi juara kedua jalan bakiak! Kebetulan gue juga tergabung dalam grup gamelan Banyu Petak Helsinki, dan kalau di acara 17 Agustusan, kami pasti manggung di panggung gembira.

Pas tanggal 17 Agustusnya sendiri, diadakan upacara bendera di KBRI, yang boleh dihadiri oleh siapa aja.

Screen Shot 2016-08-23 at 10.28.45 PM

Bagaimana hari nasional Finlandia biasanya dirayakan?  

Hari Kemerdekaan Finlandia dirayakan setiap tanggal 6 Desember. Nggak ada acara seru-seruan atau pesta kembang api di sini. Perayaannya sederhana banget, mungkin karena pas musim dingin dan langit lagi gelap-gelapnya, ya.

Di hari ini, digelar malam gala di istana presiden. Tokoh-tokoh penting di Finlandia pada diundang, seperti politikus, diplomat, artis, atlet dan sebagainya. Semuanya dateng dengan baju pesta yang cantik-cantik. Acara ini ditayangkan langsung di TV dan dianggap sebagai Academy Award's Red Carpet versi Finlandia lah, gitu.

Selain itu, ada juga Vappu yang sebenernya lebih mirip festival, tapi sudah dianggap sebagai hari nasional di Finlandia.

Vappu dirayakan mulai dari 30 April sore, sampai besok harinya, tanggal 1 Mei.

Pada tanggal 30 April, para pekerja pada kerja setengah hari aja. Mereka biasanya sudah mulai keluar kantor sejak pukul 12 atau 14 siang.

Di Helsinki, orang-orang akan memenuhi daerah Esplanadi untuk ngeliat acara pemakaian topi di kepala patung Havis Amanda pada pukul 6 sore. Topi yang dipakaikan adalah topi khusus “ylioppilaslakki”, didapat para pelajar Finlandia ketika lulus lukio (SMA).

Acara Vappu identik banget dengan mabuk-mabukan. Konsumsi minuman alkohol di hari ini melonjak drastis! Bahkan sebelum dipakaikan topi, patung Havis Amandanya “dimandikan” dulu dengan minuman alkohol.

Tapi di hari ini, banyak sekali balon-balon berbagai bentuk muncul di jalanan. Jadi biarpun orang mabuk dimana-mana, tetap banyak orang tua yang turun ke jalanan sambil bawa anaknya.

Nah, tanggal 1 Meinya adalah hari piknik nasional. Semua orang pergi piknik ramai-ramai di taman besar, sambil memakai “ylioppilaslakki”. Kegiatan piknik di Helsinki berpusat di daerah Kaivopuisto, sebuah taman besar di Helsinki.

Apa, sih, hal-hal yang kepengen banget “dibawa” dari Finlandia ke Indonesia? 

Sistem social security-nya, pelayanan untuk ibu hamilnya, sistem daycare dan sekolahnya, program integrasi buat orang asingnya, birokrasinya yang cepat dan sederhana, keseteraan gender-nya, dan banyak lainnya!

Gue udah pernah merasakan hidup di Jerman dan Belanda, tapi buat gue, Finlandia lebih unggul untuk hal-hal di atas.

Kejujuran orang sini juga satu hal yang pengen gue pindahin ke Indonesia. Telepon gue berkali-kali ketinggalan—laptop suami gue malah pernah ketinggalan di kereta—tapi Alhamdulillah semuanya balik dengan selamat.

Kesetaraan juga salah satu hal yang sangat gue kagumi dari Finlandia, termasuk kesetaraan pendidikan. Di sini sekolah digratiskan, supaya semua orang bisa  menikmati pendidikan yang baik. Jadi semiskin atau setajir apapun sebuah keluarga, anaknya tetap sekolah di sekolah negeri.

Mimpi indah gue buat Indonesia adalah perbaikan sistem pendidikan, penambahan jumlah sekolah negeri, dan penghilangan persepsi "sekolah elit - sekolah non elit, sekolah unggulan - sekolah non unggulan".

Screen Shot 2016-08-23 at 10.33.15 PM

Hal lain yang mau gue boyong dari Finlandia? Udaranya yang segar, airnya yang bersih, dan lingkungannya yang hijau. Cuaca di sini memang dingin semriwing sepanjang tahun, tapi udara dingin lebih memungkinkan kita untuk berada di luar daripada panas. Udara dingin juga memicu kita untuk bergerak, jadi orang sini suka banget sama kegiatan outdoor yang jelas berefek positif buat kesehatan.

Biarpun gue suka cemberut ke suami minta dibeliin mobil, sebenernya gue kerasa banget bahwa gue jadi lebih fit selama di tinggal Finlandia.

Selain itu, gue juga jadi terbiasa dengan keadaan yang nggak terlalu ramai. Walaupun kalau nonton konser atau acara rame-ramean lainnya, gue ngerasa di sini, kok, crowd-nya loyo? Serunya crowd Indonesia memang nggak ada yang ngalahin!

IMG_20150927_143133_HDR

Apakah tinggal di luar negeri jadi mengubah pandangan terhadap Indonesia?

Gue selalu diingatkan suami untuk nggak selalu memandang Indonesia sebagai Jakarta. Indonesia jauh lebih luas daripada itu.

Gara-garanya gue sering membandingkan kehidupan di Finlandia dengan kehidupan di “Indonesia”, padahal sebenernya gue membandingkan dengan kehidupan di Jakarta.

Misalnya, gue bilang ke suami kalau di Indonesia enak bisa punya ART dan babysitter. Suami selalu mengingatkan kalau nggak semua orang Indonesia bisa begitu.

Kalau gue mengeluh soal hidup di Kerava, ada jutaan orang di Indonesia yang pasti mau bertukar posisi dengan gue dan mereka nggak akan mengeluhkan hal-hal seperti capek ngurus anak sendiri, capek karena nggak punya mobil.

Jadi, sejak tinggal di sini, gue disadarkan kalau Indonesia, tuh, plural banget.

Apalagi kalau ketemu bule-bule yang pernah berkunjung ke Indonesia. Biasanya ‘kan mereka travelling-nya ke daerah yang eksotis dengan alam yang masih perawan. Mereka lumayan heran kalau gue cerita orang Indonesia suka gadget yang canggih, males jalan kaki, dan hobi nongkrong di mall. Soalnya mereka nggak liat begituan, tuh, selama travelling di Indonesia! Ya, karena gue emang asal menggeneralisasikan gaya hidupnya orang Indonesia seperti di Jakarta, sih.



Screen Shot 2016-08-23 at 10.29.59 PM

Tapi di balik keragaman bangsa kita, gue juga jadi merasa kalau secara umum, orang Indonesia masih sulit menerima hal asing. Waktu dulu gue baru mau mulai hidup di luar negeri, ada aja yang nasehatin gue untuk nggak berubah jadi kebarat-baratan. Jangan mau kalau disuruh makan babi, jangan mau diajak pindah agama, jangan tergoda dengan alkohol dan seks bebas. Moral negara Barat, tuh, dianggap rusak banget.

Pas gue sampai di Eropa, baik-baik aja, tuh. Orang-orang di jalanan nggak ada yang telanjang. Nggak pernah juga ada yang maksa gue makan babi, dan nggak ada yang mendadak rasis waktu tau gue Muslim.

Gue jadi berkesimpulan kalau bangsa Indonesia ternyata penuh prejudis terhadap bangsa Barat. 


Trus, sejak tinggal di Eropa, apresiasi gue terhadap makanan Indonesia meningkat drastis. Sebelum tinggal di Eropa, gue mengidolakan banget makanan Barat. Sampai di Eropa, hasyeeem... kenapa ini makanannya hambar semua? Makan sandwich rotinya keras, ayam KFC terasa hambar. Ternyata makanan di Indonesia umumnya udah disesuaikan sama lidah Asia. Rasa aslinya, mah, sayup-sayup semua!

Oya, satu lagi. Belakangan ini gue juga makin sadar kalau orang Indonesia, tuh, lucunya luar biasa. Liat aja meme-meme yang bermunculan di medsos. Apapun skandalnya, pasti ada memenya.

Gue rasa ini karena sifat bangsa kita yang lebih "nrimo" dibandingkan bangsa Barat. Mau ada masalah sebesar apapun, kita terbiasa untuk pasrah, malah sekalian dijadiin guyonan. Beda sama orang sini yang cenderung panik dan marah-marah dalam menghadapi masalah kecil, seperti kereta atau bis yang terlambat datang.

IMG_20150911_120024

Terimakasih banget semua, and stay tune for part 2!

If Life Gets Heavy, Be A Sundanese...

$
0
0

It’s been a tough couple of weeks for me, a working mom (mobile working, but still legit-ly working!) with no nanny, an incredibly busy and almost-never-at-home partner, and a young son with short temper. Setiap pagi—sembari bergulat nyuapin anak di jalan menuju sekolah—gue selalu berdzikir dan berdoa dalam hati dengan satu doa yang nggak pernah berubah: Ya Allah, kasih saya tenaga, kasih saya energi…

Akika capcay, maaakkk… capeeek!

Tapi katanya, 10 kesedihan bisa terlupakan dengan 1 kegembiraan. Alhamdulillah, kemaren gue mendapat 1 kegembiraan tersebut.

Kemaren sore, gue lagi pergi naik mobil bareng Raya, adek gue, ponakan gue, dan Pak Sopir yang duduk di muka. Pak Sopir ini kebetulan supis. Sunda pisan.

Di perjalanan, ponakan gue nanya, “Pak, CD musiknya Raya mana?”

Pak Sopir: “Wah, nggak di mobil ini. Di mobil Inopa (baca: Innova).”

Ponakan: “Emang ini mobil apa?”

Pak Sopir: “Pret (baca: Freed).”

Spontan, gue dan adek gue—yang duduk di kursi belakang—langsung tatap-tatapan. Demi menjaga perasaan Pak Sopir, kami setengah mati nahan ketawa, sampe air mata ngalir-ngalir dua ember!

Gawatnya lagi, Raya lanjut nanya dengan polos,

“Maksudnya, ‘pret’ kayak karet gitu? Ngejepret?”

Pak Sopir diem aja lempeng, sementara gue dan adek gue udah sampe gigit bogem masing-masing, nyumpel mulut supaya nggak ngakak histeris! Muka kira-kira udah begini, lah.

Sayangnya, Raya jadi agak panik ngeliat ibu dan tantenya nunduk silent, tapi bahu bergunjang-gunjang keras, dengan air mata mengalir di pipi. Dia pun jejeritan, mengira gue lagi kesakitan, “Ibuuuu?! Ibuuuu kenapaaaaa?! IBOOOOOOO!! IBOOOOO!!”

Gue pun harus ngarang-ngarang alasan keselek anggur, padahal anggur yang lagi gue pegang belum gue makan. Kzl.

Pas gue nge-share situasi sitkom ini ke Path, temen gue Yayi menanggapi,

"Kalo mbak ART-ku di rumah bahasa lisannya nggak kebalik [antara P dengan F/V], tapi bahasa tulisannya suka kebalik. Jadi bayangkan dia suka SMS aku begini, 'Mbak tolong veli tomato 2 fak, salad 2 fak, afel 2 kilo'"

((2 fak))

Subhanallaaah. Gimana nggak makin sayang sama orang Sunda? Memang betul ya kata pepatah. Kalau hidup terasa “heavy”, jadilah orang Sunda, agar “heavy” menjadi “hepi”.

Mari mang… *ngibing*

Indonesia di Berbagai Negara (part 2)

$
0
0
Merayakan kemerdekaan tanah air—sekaligus berkontemplasi tentang Indonesia—sih, gampang kalau tinggal di Indonesia. Tapi gimana kalau lagi tinggal di negara lain?

Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Jakarta, Indonesia, konsep “memandang Indonesia dari jauh” (alias dari negara lain) adalah konsep yang sangat asing buat gue, lho. Memandang Jakarta dari jauh aja nggak pernah. Itu adalah sebuah sensasi yang nggak pernah gue rasakan. So I was quite curious!
 

Di bulan Agustus ini, gue “ngobrol” dengan delapan teman yang sedang tinggal di negara lain.  Berikut adalah obrolan bagian dua, dengan 4 dari 8 teman tersebut.

Baca bagian pertama di sini.
***

Ismira Anindia (Anin), tinggal di Belanda selama 12 tahun terakhir, di kota Delft dan Schiedam, lalu sebentar lagi pindah ke Bodegraven. Awalnya tinggal di Belanda karena mengambil gelar Master dan PhD, kemudian lanjut bekerja di sana. Pada akhirnya, Anin berkeluarga dengan seorang warga negara Belanda. Dulu tinggal di Jakarta dan Bandung.

Apa, sih, hal-hal yang paling sering dikangenin dari Indonesia?

Pertama, MAKANANNYA, of course! Walaupun di Belanda relatif gampang mendapatkan makanan Indonesia, tetep aja gue nggak bisa ketemu sama sop kaki kambing atau serabi oncom. Cara ngobatinnya, cari restoran Indonesia, masak, atau cari orang Indonesia yang punya usaha katering makanan Indonesia, hahaha.

Cara lainnya, datang ke KBRI kalau Lebaran—ketupat sayurnya selalu enak!—atau datang ke Pesta Rakyat pas 17 Agustus-an

Kedua, berbagai kemudahan di Indonesia, seperti tukang makanan yang suka lewat depan rumah, Go-Jek, dan asisten rumah tangga (how i want them badly!). Di Indonesia, kalau mesin cuci rusak, kita bisa langsung telpon tukang servis, dan hari itu juga, mesin cucinya bisa dibetulin. Kalau di Belanda, harus janjian dulu untuk diservis minggu depan.

Ketiga, kangen keluarga, tentunya. Kalau lagi kangen keluarga, terutama di musim dingin, gue suka nyesek membayangkan jarak 10.000 KM yang harus gue tempuh untuk ketemu mereka.

Untungnya ada teknologi, jadi gue bisa telponan dengan keluarga setiap hari.

Gimana, sih, perayaan 17 Agustus di Belanda?

Setiap 17 Agustusan, KBRI selalu mengadakan acara semacam pesta rakyat. Acaranya selalu sama, yaitu bazaar makanan Indonesia dan panggung musik. Biasanya mereka ngundang artis-artis dari Indonesia. Kadang artisnya bagus, kadang gitu, deh… hahaha.

Terus terang, gue sendiri cuma pernah datang sekali, karena makanan yang dijual biasanya overprized, dan acaranya overcrowded sama pengunjung yang bikin nggak nyaman. Pada akhirnya, tujuan utama acara pesta rakyat ini memang lebih untuk kumpul-kumpul, ketimbang merayakan hari kemerdekaan Indonesia. Which is fine, of course, cuma gue kadang suka males, hihihi. 

 
Gimana dengan perayaan hari Belanda?  

Hari nasional Belanda yang paling rame dirayakan adalah Hari Ratu/Raja, untuk merayakan ulang tahun Ratu/Raja Belanda. Suasana Hari Raja (sekarang kebetulan Raja), tuh, selalu seru! Semua orang keluar dan berpesta, pakai baju oranye. Trus, banyak panggung dan musik.

Yang paling khas di Hari Raja itu adalah free market, dimana semua orang boleh jualan apapun yang mereka mau, dimana pun mereka mau. Mau barang baru, barang bekas, semua boleh.

Apa, sih, hal-hal yang kepengen banget “dibawa” dari Belanda ke Indonesia?

1. Udaranya yang bersih, sehingga bikin badan segar dan jarang sakit.

2. Sebagai seorang traffic engineer, gue pengeeen banget mengimpor transportasi publik Belanda ke Indonesia. Di Belanda, nggak ada tempat yang nggak bisa dijangkau dengan transportasi publik. Kita gampang banget survive tanpa kendaraan pribadi.

3. Kedisiplinan dan etiket orang-orang di tempat umum. Gue nggak hanya pengen mengimpor transportasi publik, tapi juga mental penggunanya, hahaha. Bisa nggak, ya? Gue merasa sebenarnya Indonesia punya banyak SDM pintar, yang bisa bangun Indonesia jadi lebih maju. Hal yang nggak kita miliki adalah mentalitas masyarakat yang baik. Kenapa, ya?

4. Work-life balance di Belanda yang menurut gue sangat bagus. Di sini, kerja nggak boleh bikin stres dan nggak boleh mengganggu kehidupan pribadi. Dalam setahun, cuti kerjnya banyak. Pemerintah juga ngasih segudang benefit ke para pekerja, seperti subsidi daycare, tunjangan anak, dan sebagainya. Kerja part-time di sini lumrah banget, baik untuk laki-laki maupun perempuan, supaya masyarakat juga punya cukup waktu untuk keluarga. 


Apakah tinggal di luar negeri jadi mengubah pandangan elo terhadap Indonesia?

Sejak tinggal di sini, gue jadi banyak melihat berbagai hal tentang Indonesia yang tadinya nggak gue lihat… terutama yang jelek-jelek. Tapi entah kenapa, cinta gue terhadap Indonesia sama sekali nggak berkurang, malah bertambah, karena gue justru jadi merasa makin kenal Indonesia. Buat gue, Indonesia tetap tanah air beta, dan tumpah darahku.

Sejak tinggal di sini, gue jadi makin sedih kalau baca berita jelek soal Indonesia. Gue juga sedih karena merasa pengen berkontribusi buat Indonesia, tapi nggak tau gimana caranya. It's rather complicated.

You know that feeling when you love somebody so much, it hurts?
Kayak begitulah cinta gue sama Indonesia.

Tinggal lama di luar negeri bikin gue semakin menghargai “akar” gue, walaupun gue juga bersyukur banget bisa tinggal di negara seperti Belanda. I don't love one more than another. I simply have two homes that I love very much.


Bening Mayanti (Bening), tinggal di Singapura selama 1,5 tahun terakhir. Tinggal di Singapura karena memang mendambakan bekerja di luar negeri, setelah dua tahun bersekolah di Belanda. Akhirnya, Bening mencoba mendaftar bekerja di Singapura, dan di terima. Dulu tinggal di Bandung.
 

Apa, sih, hal yang paling dikangenin dari Indonesia?

Orang-orangnya!

Astaga, orang Indonesia, tuh, juara banget, yak. Mereka bisa luar biasa menyebalkan sekaligus luar biasa menyenangkan. Kayaknya cuma orang Indonesia, deh, yang saat pertama kali ketemu setelah sekian lama nggak jumpa, langsung bisa nyerocos, “Eh, lo iteman/gendutan/jerawatan, ya?” (Gue, sih, biasanya kombo ditanya tiga-tiganya. Cih!)

Singapura dan Indonesia itu tetanggaan, tetapi kultur dan karakter orang-orangnya bisa sangat berbeda. Sebelum pindah ke Singapura, seorang temen sempet pesan untuk tebel-tebelin kuping, karena orang Singapura suka nggak ramah.

Kejadian dong. Baru tiga hari di Singapura, gue disamperin seorang aunty yang ngomel-ngomel curhat sama gue. Karena logat Singlish-nya kental, gue nggak bisa nangkep detil omongannya, tapi gue ngeh dia mengeluh soal pemerintah dan banyaknya pendatang. Karena nggak paham dengan omongannya, gue berkali-kali bilang, “Sorry,” yang kemudian dia timpali, “Why say sorry a lot, ah? Are you deaf? Just take this off (sembari nunjuk jilbab gue) so you can hear!

Luar biasa!

Balik lagi ke orang Indonesia, kangen gue terhadap orang Indonesia sepaket dengan cara bercanda dan bahasa sehari-hari mereka. Cuma di Indonesia, deh, kita bisa nggosip pake bahasa binan a la Debby Sahertian dengan lancar. Gimana coba, menjelaskan bahasa binan ke orang asing?


Gimana, sih, perayaan 17 Agustus di Singapura?

Setahu gue, untuk perayaan HUT Indonesia, biasanya ada serangkaian acara yang diorganisir oleh KBRI di Singapura.

Pastinya ada upacara penaikan dan penurunan bendera, trus ada lomba-lomba khas 17-an, panggung gembira, juga bazaar.

Untuk acara bazaar dan panggung gembira, setiap warga Indonesia bisa ikut berpartisipasi. Bahkan untuk panggung gembira, ada audisi untuk warga Indonesia banci tampil yang kepengen bisa perform di acara ini.

Tahun ini, tema yang diangkat adalah Balik Kampung, dan audisinya terbagi menjadi kategori solo pop dan dangdut, grup dangdut dan qasidah, juga kategori band dan tarian. Ada juga artis-artis ibukota yang diundang dan tampil memeriahkan panggung gembira. 


Gimana dengan perayaan hari nasional Singapura?  

Hari nasional Singapura biasanya dirayakan dengan sangat meriah, apalagi tahun 2015 kemarin, karena bertepatan dengan ulang tahun Singapura yang ke-50 alias SG50.

Yang pasti, setiap tahun ada National Day Parade (NDP) yang diisi dengan berbagai atraksi, dan ditutup dengan kemeriahan kembang api.

Menjelang NDP, warga Singapura yang tinggal di wilayah timur sudah terbiasa dengan bisingnya pesawat jet militer yang mulai latihan akrobat di udara.

Tiket untuk menghadiri NDP ini nggak diperjualbelikan, melainkan cuma bisa didapat lewat undian. Sayangnya, undian ini hanya bisa diikuti oleh warga Singapura dan Permanent Resident.

Tapi acara NDP ini selalu disiarkan live di TV maupun streaming online, kok! Plus, masyarakat umum tentunya bebas menikmati kembang api saat NDP. Yang penting standby di titik-titik tertentu aja, saat acara kembang apinya berlangsung.

Tahun ini, untuk pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir, NDP kembali diselenggarakan di National Stadium, Kallang. Stadion ini sempat direnovasi (FYI, Singapura hobi banget melakukan renovasi, yang kadang before dan after-nya nggak ada bedanya) sampai akhirnya dibuka kembali tahun 2014. 

Tradisi lain dari NDP adalah membuat theme song.

Setiap tahun, ada theme song baru untuk perayaan NDP, meskipun tradisi ini sempat terputus di tahun 2014, karena panitia penyelenggara ingin menggunakan theme song klasik yang sudah lebih akrab di telinga warga.

Di luar NDP, kemeriahan hari nasional bisa dirasakan di berbagai sudut kota/negara Singapura, mulai dari community centers, shopping mall, sampai area residensial. Tahun lalu, ketika SG50, setiap rumah tangga mendapatkan goodie bag yang berisi pernak-pernik hari nasional Singapura, termasuk bendera Singapura yang disarankan untuk dipasang di luar jendela setiap rumah/apartemen. Tapi gue kurang tahu, apakah ini tradisi tahunan atau nggak.

Bagi gue, hal paling menyenangkan dari hari nasional Singapura adalah… diskon-diskonnya!

Apalagi hari nasional Singapura juga biasanya bertepatan dengan periode Great Singapore Sale (GSS). Dobel, deh, segala godaan syaiton. Diskon dan promonya nggak hanya untuk berbelanja, lho, tetapi juga untuk masuk museum, amusement park, serta berbagai tempat wisata lainnya. Bahkan di hari-H, transportasi publik Singapura digratiskan untuk sehari penuh.  

Apa, sih, satu hal yang kepengen banget “dibawa” dari Singapura ke Indonesia?

Kalau cuma boleh satu, gue pilih sistem transportasi publiknya.

Sebagai mantan ratu angkot di Bandung, gue sangat menikmati kemudahan mobilitas sehari-hari di Singapura, berkat transportasi publik yang mumpuni, tarifnya jelas, dan nggak pake ngetem.

Percaya atau nggak, orang-orang Singapura sendiri sering ngeluh, lho, tentang publik transportasi mereka. Menurut mereka, frekuensi bus di Singapura terlalu jarang, rutenya nggak efisien, dan kadang agak telat. Sedangkan MRT penuh melulu kalau peak hour, frekuensinya kurang sering. Padahal kalau lagi peak hour, frekuensi MRT jalur tertentu bisa datang setiap 2-5 menit sekali, lho!

Tapi tentu saja, dibandingkan dengan di Indonesia, sistem transportasi di Singapura sungguh surgawi.

Di Singapura, hampir semua tempat bisa dijangkau dengan transportasi publik yang bisa diandalkan, dengan jam operasi per hari yang cukup panjang. Trus, untuk orang yang rentan nyasar kayak gue, MRT, tuh, sangat gampang dinavigasi, karena MRT berhenti di setiap stasiun. Kalau pun kebablasan, kita tinggal turun dan naik ke arah berlawanan.

Selain itu, meski tarif taksi di Singapura lumayan mahal dan banyak biaya tambahannya, taksi Singapura tetap reliable. Setelah di-booking, datangnya cepat sekali. Semua taksi juga dilengkapi argo dan GPS, jadi supirnya nggak akan nanya, "Tolong kasih petunjuk ya, Bu," Minta petunjuk, kok, sama gue? Emangnya gue Yang Maha Kuasa?


Karina Anggraeni (Karina), tinggal di Tokyo, Jepang selama 9 bulan terakhir karena menemani suami penempatan kerja di cabang Tokyo. Dulu tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan.

Apa, sih, hal-hal yang paling sering dikangenin dari Indonesia?

Masakan Indonesia! Cara mengobatinya dengan masak masakan Indonesia kesukaan kami sebagai menu sehari-hari, mulai dari rendang sampai mie aceh.

Tapi di sini saya jadi lebih jago masak, sih, karena sering bertukar menu dengan sesama perantau dan kadang masak bareng juga. Saya juga jadi menghargai keanekaragaman rempah Indonesia, yang di sini harganya mahal dan nggak lengkap.

Trus, percaya atau nggak, saya juga kangen dengan udara di Indonesia, khususnya ketika di Jepang sedang musim panas. Musim panas di sini sangat lembab, dan anginnya pun panas. Kadang malah nggak ada angin sama sekali. Jadi kalau memilih pakaian benar-benar harus yang adem banget!

Sepanas-panasnya Jakarta, seenggaknya masih ada angin sepoi, deh, walaupun banyak debu, hehehe.

 


Gimana, sih, perayaan 17 Agustus di Tokyo?

Perayaan HUT RI di sini terbilang meriah. Sejak awal Agustus, sudah ada beberapa lomba khas 17 Agustusan, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Tahun ini, saya ikut lomba tarik tambang dan tenis meja. Untuk tarik tambang, tim kami juara pertama, lho!

Upacara pengibaran dan penurunan bendara pada tanggal 17 Agustus diadakan di Wisma Duta KBRI Tokyo, dihadiri oleh beberapa undangan, termasuk murid-murid Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT). 



Puncak dari perayaan HUT RI adalah Pesta Rakyat atau Indonesian Week, yang diselenggarakan tanggal 20 Agustus.

Acaranya banyak, termasuk festival kuliner, kompetisi film pendek, lomba-lomba yang lebih seru seperti Penalti Pinang (perpaduan antara sepak bola dengan panjat pinang), serta pertunjukan seni dan budaya oleh para pelajar Indonesia di Jepang. Ada juga workshop dan bazaar batik yang bertujuan. memperkenalkan batik sebagai budaya asli Indonesia.

Oya, festival kuliner tahun ini tercatat di rekor MURI, lho, karena diselenggarakan di 17 tempat secara serentak di seluruh Jepang, dengan total durasi 8 jam untuk memasak 45 varian hidangan khas Indonesia.

Pada Pesta Rakyat tahun ini, saya turut membantu teman saya yang ikutan acara demo masak.


Gimana dengan perayaan hari besar Jepang?  

Beberapa hari besar Jepang yang saya tahu adalah Golden Week (minggu pertama di bulan Mei), Hari Anak (5 Mei), dan Festival Musim Panas.

Saat Golden Week, warga Jepang libur selama seminggu, mulai dari Hari Showa pada tanggal 29 April. Tanggal 29 April itu tanggal ulang tahun saya juga, lho. Liburnya berasa spesial, deh, hehehe.

Golden Week adalah salah satu momen yang pas banget untuk menikmati keindahan sakura. Pada periode ini, masyarakat Jepang ramai-ramai hanami, alias piknik bersama di bawah pohon sakura.


Tapi menurut saya, perayaan paling meriah di Jepang adalah Festival Musim Panas, yang berlangsung selama bulan Juli-Agustus. Bahkan kalau mau nonton kembang api, tontonlah pada saat musim panas ini, jangan saat Tahun Baru. Di Jepang, Tahun Baru malah dirayakan dengan sangat syahdu, lho. Orang-orang pergi berdoa ke kuil, dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Tokyo juga sepi karena warganya pada mudik.

Saat musim panas, summer sale di Jepang juga meriah banget. Banyak penjual toko yang berdiri di depan tokonya sambil teriak-teriak seperti di ITC, “Ayooo, baju seribu tiga, seribu tiga, dibeli dibeli dibeli!”

Di musim panas ini, ada juga yang namanya Obon Day, di mana warga Jepang biasanya berziarah dan membersihkan makam.

Apa, sih, hal yang kepengen banget “dibawa” dari Jepang ke Indonesia?


1. Pengelolaan sampah.

Baru saat tinggal di Jepang, saya punya tong sampah 4 biji. Kalau dulu saya hanya mengenal sampah daur ulang dan sampah bakar, di sini ada sampah non-bakar, kertas bekas, dan sampah besar seperti misalnya perabot.

Sampah daur ulang pun masih dibagi lagi menjadi empat bagian—sampah plastik dan bungkus makanan (bento), botol PET, botol minuman, dan kaleng. Masing-masing jenis sampah tersebut dibungkus secara terpisah, dan dibuang sesuai jadwalnya di tempat pembuangan sampah yang sudah disediakan di beberapa blok.

Di Jepang, setiap warga diberikan Living Guide Book oleh kelurahan setempat (yang kantornya sama bagusnya dengan kantor walikota Jakarta Selatan!). Living Guide Book ini mencakup info jadwal pembuangan sampah, dan apa saja barang yang termasuk dalam jenis-jenis sampah yang sudah disebut tadi.

Pokoknya orang Jepang benar-benar mengaplikasikan “kebersihan sebagian dari iman”, deh!

2. Mental yang kuat.

Masyarakat Jepang dididik mandiri sejak awal. Dari kecil, mereka sudah pulang pergi ke sekolah sendiri. Ketika makan siang di sekolah pun, yang menghidangkan makanannya adalah murid-murid sendiri.

Selesai kelas, murid-murid langsung bagi tugas—ada yang menyusun meja, mengambil makanan, membagikan makanan kepada teman-temannya, membereskan meja dan sebagainya.

Ibu-ibu di sini juga nggak kalah tangguh. Saya sering sekali melihat ibu-ibu naik sepeda mesin, yang keranjang depan dan belakangnya diduduki anak-anaknya, dan doski sambil menggendong bayi dengan baby carrier pula!

3. Menjunjung budaya malu.

Saya baru tahu kalau mayoritas masyarakat Jepang nggak tahu bahwa dulu Jepang pernah menjajah Indonesia. Hal ini baru saya ketahui ketika salah satu teman—yang punya pasangan orang Indonesia—bilang kalau setiap pembacaan detik-detik pembacaan Proklamasi pada upacara bendera Indonesia, mereka malu!

Ada juga cerita dari teman saya yang sedang studi di Eropa. Di sana, dia berkenalan dengan mahasiswi Jepang, dan ketika mahasiswi Jepang itu tahu bahwa teman saya berasal dari Indonesia, dia langsung minta maaf karena Jepang pernah menjajah Indonesia.

Saya jadi melihat bahwa orang Jepang sangat menjunjung tinggi budaya malu, dan nggak segan minta maaf jika merasa salah.

4. Keamanan

Di Jepang, kalau barang kita ketinggalan, dijamin nggak akan hilang. Biasanya kita bakal disamperin orang yang menemukan barang kita, atau tiba-tiba ditelpon polisi yang memberi tahu soal barang kita. Kita juga bisa balik aja ke TKP untuk mengambil barang tersebut. Pasti masih ada di sana.

Saya pernah lupa ngunci pintu rumah, bahkan pernah lupa mencabut kunci dari pintu rumah sebelum pergi. Aman-aman aja, lho!



Arman Tjandrawidjaja (Arman), tinggal di Los Angeles, Amerika Serikat selama 8,5 tahun terakhir. Arman dan keluarganya pindah ke Amerika karena mencari kehidupan yang lebih baik, baik dari sisi keamanan, penghasilan, maupun pendidikan. Dulu tinggal di Surabaya dan Jakarta.  

Apa, sih, hal-hal yang paling sering dikangenin dari Indonesia?

Pertama, pastinya kangen keluarga, karena ortu dan kakak-kakak gua semua tinggal di Jakarta. Obatnya, setiap Sabtu malam (Minggu pagi di Indonesia) kita selalu Facetime sama mereka.

Kedua, kangen teman-teman. Dulu, di Jakarta, setiap minggu pasti ada aja acara kumpul bareng teman. Acara ulang tahun lah, reunian lah, dan sebagainya. Dulu gua tinggal jalan ke mall Plaza Indonesia, maka pasti ada aja teman yang lagi di sana. Jakarta lebih terasa seperti “rumah”, karena gampang ketemu orang yang kita kenal.

Sementara Los Angeles ‘kan gede sekali (FYI, luas LA County itu 19 kali lebih besar dari luas Jakarta), jadi jarang abanget ketemu teman kalau lagi jalan-jalan, hehehe. 


Ketiga, makanan Indonesia. Untungnya di LA ada banyak restoran Indonesia plus penjual bahan makanan Indonesia, mulai dari sambal ABC, bumbu instan Bamboe, sampai kerupuk putih. Apalagi istri gua, Esther, juga pintar masak. Walaupun tentunya ada makanan-makanan tertentu yang nggak bisa didapat di sini, kayak Bakmi GM, Baji Pamai, Lindung Ca Fumak, juga jajanan keliling semacam tukang somay dan abang sate... Yah, jadi ngiler dah gua!

Keempat, pembantu! Gua paling sebel dengar orang-orang di Indonesia yang suka kurang menghargai pembantunya. Dikit-dikit ngeluh pembantunya bego lah, kurang gesit lah, ini lah, itu lah... Lah, namapun digajinya cuma segitu, maunya sepintar apa? Udah bagus ada pembantu, lho! Di sini nggak ada.

Dulu, waktu masih di Jakarta, tiap pulang kantor gua bisa tinggal mandi, makan, main sama anak, trus tidur-tiduran sambil nonton TV [karena ada pembantu]. Sekarang, nonton TV pun kudu sambil melipat atau setrika baju.


Gimana, sih, perayaan 17 Agustus di LA?

KJRI selalu mengadakan acara buat 17 Agustusan. Biasanya ada bazaar makanan, trus ngundang penyanyi dari Indonesia. Gua pernah datang ke acaranya, tapi nggak rutin setiap tahun, karena lama-lama bosan. Penjual makanan [Indonesia] yang ikutan bazaar di sini, tuh, itu-itu aja. Mau lagi bazaar 17 Agustusan, bazaar Imlek, bazaar di gereja, yang jualan, ya, lu lagi-lu lagi :D

Pernah juga ikutan acara 17 Agustusan di gereja, yang kebaktiannya memang dalam bahasa Indonesia. Nah, untuk perayaan HUT RI, mereka suka bikin acara lomba-lomba khas 17 Agustusan, plus lomba karaoke.


Apa, sih, hal-hal yang elo suka banget dari Los Angeles?

Gua suka banget sama cuaca di LA, khususnya di West Area, bukan di East atau Valley. Nggak pernah terlalu panas ataupun terlalu dingin. Perfect weather all year long! Hampir nggak pernah ujan, pula. Dalam setahun, hujan di LA bisa diitung pakai jari satu tangan doang, lho. Walaupun akibatnya kadang jadi krisis air.


Gua juga suka banget sama ketertiban orang-orang sini. Kalau lampu lalu lintas sedang mati dan polisi belum datang, pasti mobil tetap gantian lewat dari setiap arah dengan tertib. Nggak ada yang nyelonong boy, trus bikin stuck di tengah jalan.  Atau kalau naik lift, orang yang di dalam pasti dipersilahkan keluar duluan, sebelum orang dari luar lift masuk. Hal-hal kecil begitu, sih.

Gua juga suka sama kebiasaan orang sini yang suka nyapa, termasuk ke orang asing. Walaupun sekedar basa-basi “How are you?” atau “How is it going?”, tetap jadi terkesan ramah.

Gua juga suka dengan sikap kekeluargaan orang-orang di sini. Kita sering dengar bahwa bule itu individualis, padahal sebenernya nggak, lho. Orang Amerika sangat dekat dengan keluarganya, dan mereka selalu saling suportif. Acara-acara kecil di sekolah bisa rame banget, karena sampai om-tante dan kakek-nenek muridnya pada hadir semua, untuk menyemangati si anak/keponakan/cucu.

Los Angeles juga menyenangkan karena sangat mixed culture, berhubung ada banyak imigran. Kita jadi bisa bergaul, bekerja, dan banyak mengenal orang dari berbagai macam bangsa. Kadang memang jadi membentuk stereotipe, sih, tapi seru aja ‘kan, bisa jadi tau, “Oh, orang bangsa X, tuh, kebiasaannya blablabla… Hati-hati, lho, sama orang dari negara Y, biasanya suka sok tau.” Huahahaha!

Last, but the most important thing, gua suka sama LA karena ada banyak theme park! Ada Universal Studios Hollywood, Six Flags Magic Mountain, Knott's Berry Farm, dan tentunya the original Disneyland and Disney California Adventure Park. Trus, tinggal ngesot dikit ke San Diego, ada Legoland dan Seaworld. It's definitely theme park heaven in here!



Apakah tinggal di luar negeri jadi mengubah pandangan elo terhadap Indonesia?

Nggak, sih, tapi tinggal di luar negeri bikin gua jadi lebih menghargai hal-hal yang dulu gua miliki di Indonesia, namun nggak bisa gua dapatkan di LA.

Tinggal di luar negeri nggak jadi merubah pandangan gua terhadap Indonesia, tapi membuka pengetahuan gua tentang pandangan orang asing terhadap Indonesia.

Contohnya, ternyata Indonesia nggak seterkenal yang gua kira. Banyak orang asing yang nggak tau—bahkan sama sekali nggak pernah dengar—tentang Indonesia. Kalau Bali mereka tau, tapi Indonesia belum tentu.

Kalaupun tau, mereka kira Indonesia itu negara terbelakang banget. Mereka nggak nyangka kalau Indonesia udah maju dan modern. Ini bisa jadi PR buat pemerintah Indonesia, untuk lebih mempromosikan Indonesia ke luar Asia.

Tinggal di luar negeri juga menyadarkan gua, bahwa memang masih banyak yang perlu dibenahi di Indonesia. Tapi bukan berarti gua jadi malu sama Indonesia, lho. Gimanapun juga, Indonesia tetap kampung halaman gua. Walaupun mungkin nggak akan membawa perubahan apa-apa, gua suka cerita tentang Indonesia ke teman-teman orang asing di sini. Seenggaknya jadi ada beberapa orang yang jadi tau (atau lebih tau) tentang Indonesia, ya ‘kan? :)

Kirim-Kirim Surat Penggemar

$
0
0

Gue suka sedih, deh, kenapa sih tradisi fanmail nggak dibudidayakan lagi? (ikan mujaer di tambak kali aaah, dibudidayakan!).

Gue tau, sih, salah satu penyebabnya adalah karena sosmed. Sosmed lagiii, sosmed lagi, ya. Karena adanya sosmed, kita bisa dengan gampang mengikuti keseharian seleb idola, trus sesekali lempar-lempar komen di platform tersebut. Kalo selebnya nggak beken-beken amat ((nggak beken-beken amat)), kadang komen kita pun dibales. Entah yang balas dia sendiri, atau manajernya, pokoknya dibales.

Wajar kalau budaya kirim surat penggemar jadi mati.

Meski sebenernya, dari dulu, gue bukan tipe orang yang suka kirim fanmail ke seleb idola.

Apakah gue pernah mem-frame foto Keanu Reeves—yang digunting dari majalah—trus ditaro di samping tidur, dan fotonya gue cium tiap malam sebelum tidur? Yha, pernah.

Apakah waktu SMA gue pernah berangkat sendirian ke Jogja, demi nyariin Sheila on 7? Yha, pernah.

Apakah gue pernah nelpon hapenya Duta Sheila on 7 pas dia ulang tahun, nggak diangkat (tentu saja), trus akhirnya meninggalkan pesan di voicemail-nya dalam bentuk nyanyian cinta? Yha, pernah.

Tapi kalo kirim surat a la Smita gini, kayaknya gue nggak pernah (btw, harus banget ya, baca blog post Smita yang itu. Ampun, ngakak!)

Eh, kalo diingat-ingat lagi, gue pernah, sih, kirim surat ke seleb atau orbek, tapi bukan sebagai penggemar, tetapi untuk menyatakan kekaguman. Wah, bedanya apa?

Contohnya, gini. Gue bukan penggemar sutradara Hanung Bramantyo. I think he’s a good director, tapi gue biasa-biasa aja sama dese. Apalagi, waktu dulu gue baru belajar jadi jurnalis sekitar tahun 2006, gue pernah nelpon dia untuk wawancara, tapi langsung dibentak, trus telpon gue dibanting. Padahal baru juga mengajukan pertanyaan pertama. Soalnya gue memang nanyain soal Piala Citra yang waktu itu lagi jadi isu sensitif, hahaha. Dari muda, doyannya nulis isu-isu kontroversial, sih!

Tapi tahun 2011, gue nonton film besutan Mas Hanung, yang berjudul ? (Tanda Tanya). Kebetulan gue sukaaaaaa banget sama film itu, karena gue memang suka hal-hal yang breaking the stereotypes gitu, ‘kan. Sayangnya, film tersebut dicekal habis-habisan oleh berbagai pihak Islam, akibat isu pluralismenya. Di portal berita dan di Facebook, gue banyak baca tulisan-tulisan yang sangat mengeroyok Mas Hanung.

Hati gue jadi kesel dan mencelos abis-abisan. Akhirnya, gue niat nyari Facebook-nya Mas Hanung, trus gue kirim private message poanjaaaang lebaaaaar tentang betapa bagusnya film Tanda Tanya di mata gue. Surat tersebut juga dipenuhi dengan pesan-pesan penyemangat untuk Mas Hanung, supaya do’i nggak patah arang, tetap berkarya, jangan mau diatur-atur sama pihak-pihak ormas, POKOKNYA MERDEKA!

Gue ngetiknya sampe nangis, lho, karena waktu itu gue merasa ini isu genting! Tentang keragaman rakyat Indonesia, lho! Duile, bapernya lebay.

Sampe sekarang, surat gue tersebut nggak pernah dibales sama Mas Hanung. Kayaknya dibaca pun nggak deh :’)

Seinget gue, itulah “fanmail” pertama gue untuk seorang seleb.

Naaah, beberapa minggu lalu, out of the blue, gue nulis “fanmail” untuk Soleh Solihun, hahaha. Random banget, ya. Tau Soleh Solihun ‘kan? Tau deh, pasti.

Sat, set!

Waktu itu, gue merasa surat tersebut wajar-wajar aja. Mungkin waktu itu gue antara lagi PMS dan kecapekan, jadi agak gesrek. Nulisnya aja subuh-subuh pas baru bangun. Makanya pas dibaca lagi sekarang, gue yang, najiiis… kok noraknya minta ampun. Jadi nyesel. Begini isinya:

***

“Halo, Mas Soleh!

Apa kabarnya? Semoga sehat dan sejahtera, ya.

Perkenalkan, nama saya Laila. Wanita. Asal Jakarta. Umur rahasia. Pokoknya udah berkeluarga.

Manggilnya Mas Soleh boleh, ya? Walaupun saya tau Mas Soleh sebenarnya Supis alias Sunda Pisan, saya agak nggak enak manggil Kang Soleh atau Aa’ Soleh.

Mungkin karena di Jakarta, saya sudah terbiasa manggil laki-laki lebih dengan sebutan “Mas”. Mungkin juga karena walaupun Kang Soleh urang Sunda, kalau boleh jujur, di kuping saya, logat Mas Soleh ada unsur Tegalnya.

Saya nggak tau apakah surat ini bisa disebut fanmail, karena sebenarnya saya nggak (terlalu) nge-fans dengan Mas Soleh.

Pertama kali saya mendengar nama Mas Soleh itu duluuu sekali, saat saya masih kuliah. Waktu itu, saya berteman dengan beberapa kelompok musik indie yang belum punya label, seperti White Shoes & The Couples Company, Goodnight Electric, dan sebagainya. Nah, mereka suka menyebut-nyebut nama Soleh Solihun, sebagai salah satu jurnalis musik yang “ditakuti”.

Ciyeeeh, masa sih? Entah betul apa nggak, yang pasti nama Soleh Solihun ini jadi agak bikin saya repot, karena jadi suka ketuker dengan nama Saleh Husein, personil White Shoes & The Couples dan The Adams, yang waktu itu saya taksir diam-diam.

Beberapa tahun kemudian, saya malah mendengar nama Mas Soleh sebagai stand-up comic. Dari dulu itu, sampai detik ini, saya nggak pernah sekalipun melihat Mas Soleh tampil sebagai comic. Selain nggak pernah berkesempatan, juga karena sejujurnya kurang tertarik. Soalnya kalau dilihat dari sekilas iklan di Metro TV dulu, yang namanya Soleh Solihun ini, kok, datar amat, sih? Secara omongan maupun ekspresi. ‘Kan beda ya sama Pandji atau Raditya Dika yang lebih animated. Kayaknya Soleh ini nggak lucu, deh, hihihi.

Maaf ya Mas Soleh. Padahal ‘kan don’t judge a book by its cover.

Perkenalan saya dengan Mas Soleh yang sebenar-benarnya justru lewat buku Mas Soleh, Majelis Tak Alim.

Beberapa bulan lalu, saya mau menemani anak saya bermain di sebuah Timezone di mall bersama sepupu-sepupunya. Saya udah menduga, saya bakal kebosenan, karena saya nggak akan ngintil mereka main. Saya akan cuma duduk mengawasi di pojokan, macem babysitter males di mall-mall. Ih, ibu macam apa ini?

Karena bosan main HP, saya berencana beli buku dulu sebelum nongkrong di Timezone, supaya saya punya bahan bacaan sambil nungguin anak-anak.

Mampirlah saya ke toko buku.

Awalnya, saya mencomot bukunya Eka Kurniawan yang Cantik Itu Luka (wow, beda, ya, sama Majelis Tak Alim!). Tapi kemudian, saya memperhatikan ada seorang mas-mas mojok sambil ketawa-ketiwi, membaca sebuah buku. Cekikikannya nggak putus-putus lho, Mas. Setiap dua menit pasti haha-hihi.

Buku yang dipegang mas-mas itu adalah Majelis Tak Alim.

(by the way, jangan sedih, ya, bukunya dibaca gratisan begitu oleh si mas-mas, hehehe).

Karena penasaran, saya pun mencomot buku yang sama. Wow, buku apa ini? Covernya, kok, heboh (baca: norak) amat? (lagi-lagi menilai buku dari sampulnya).

Ooo, buku esainya Soleh Solihun.

Kebetulan Majelis Tak Alim yang saya pegang dikemas plastik, sehingga nggak bisa diintip. Tapi karena si mas-mas tadi cekikikan melulu, saya pede aja, deh, bahwa buku ini memang bagus dan lucu. I wanna have what he’s having.

Jadi, bungkus!

Saat akhirnya saya mojok di Timezone nungguin anak saya main, saya pun mulai membaca Majelis Tak Alim. Lima halaman, sepuluh halaman, lima belas halaman, dua puluh halaman… saya kok nggak ketawa-ketawa? Mana lucunya?!

Maaf ya, Mas Soleh. Di bab-bab awal, kebetulan saya nggak ketawa baca buku Mas Soleh. Palingan senyum-senyum sedikit. Itu pun dalam hati. Entah humor saya ketinggian, atau nggak punya selera humor sama sekali.

Akhirnya buku tersebut saya simpan lagi di tas dengan gondok. Ikutan main ding-dong bareng anak aja, deh!

Tetapi ketika di rumah saya baca-baca lagi, Alhamdulillah, saya mulai ketawa-ketiwi seperti mas-mas di toko buku tadi. Nggak cuma ketawa-ketiwi (malah sempat ngakak), tapi juga terharu-biru di bab-bab melankolis, seperti saat ayah Mas Soleh meninggal, atau saat akhirnya Mas Soleh ketemu jodohnya, Mbak Tetta.

Overall, Majelis Tak Alim is a good book, with great writing style. Selamat ya, Mas! Jadi penasaran sama buku pertamanya, deh.

Jadi, kira-kira begitulah exposure saya terhadap Mas Soleh. Hanya dari buku, bukan dari TV atau radio. Mungkin karena saya suka menulis, sehingga medium yang paling “kena” untuk saya memanglah medium buku.

Kenapa saya menulis fanmail yang bukan fanmail ini?

Karena anehnya, beberapa waktu yang lalu, out of the blue, saya mimpi pacaran sama Mas Soleh! Ya, Allahu Akbar *bangun-bangun langsung wudhu*

Dalam mimpi saya, pacaran kita cuma sebatas gandengan tangan. Ceritanya, kita baru “jadian”. Dalam mimpi tersebut, Mas Soleh masih tampak lebih buncit dari penampakan biasanya, tapi hati saya berbunga-bunga kayak anak sekolah pertama kali pacaran.

Namanya juga mimpi, ya.

Setelah bangun dari mimpi itu, saya langsung tambah meng-expose diri saya ke Mas Soleh. Saya dengarkan podcast obrolan Mas Soleh dengan Adriano Qalbi—yang kebetulan teman SMA saya—di Soundcloudnya Adri (seru, lho, btw!), saya baca-baca lagi blog Mas Soleh, trus saya juga lihat-lihat Instagram Mas Soleh dengan Mbak Tetta.

Sampai akhirnya terkonfirmasi, oh iya deng, waktu itu saya cuma sekedar mimpi. Soalnya di kehidupan nyata, saya memang nggak ada naksir-naksirnya sama Mas Soleh, hahaha.

Meskipun begitu, mimpi tersebut jadi menginspirasi saya untuk menulis surat ini untuk Mas Soleh (juga buat Mbak Tetta. Hai, mbak! Jangan sebel, ya :D), sekedar untuk halo-halo, dan menyampaikan bahwa karya Mas Soleh bagus, setidaknya untuk karya penulisan yang saya baca.

Jangan berhenti berkarya, ya, di medium apapun.

Surat ini juga salah satu bentuk usaha saya menghidupkan kembali budaya fanmail di Indonesia, karena yang saya perhatikan, orang-orang di Indonesia—seenggaknya di lingkungan saya—malas atau jarang me-reach out idola atau orang-orang yang karyanya mereka sukai. Palingan komen-komen dikit di sosmed mereka.

Padahal saya paham banget, “bensin”nya seorang seniman adalah apresiasi, dalam bentuk kritik, pujian, atau sekedar tegoran. Musisi atau penari “hidup” dari tepuk tangan penontonnya, stand-up comic “hidup” dari tawa pemirsanya, bahkan blogger “hidup” dari komen-komen yang ditinggalkan pembacanya. Asalkan bukan komen spam peninggi_pelangsing dan pembesar payudara, ya.

Semoga sukses selalu, dan salam buat Mbak Tetta dan si Iggy, ya. Btw, menurut saya Iggy dan anak saya punya banyak kesamaan, deh. Umurnya sama, sama-sama laki-laki, sama-sama baru masuk TK, dan namanya sama-sama unisex (anak saya namanya Raya). Hehehe.

Have a good day!
Laila”


***

Seperti kasus Mas Hanung, sampe sekarang “fanmail” gue itu nggak pernah dibales Soleh Solihun. Ada beberapa kemungkinan:

1. Mas Solehnya baca, tapi eneg, jadi males respon.

2. Suratnya nggak nyampe ke do’i. Soalnya gue ngirimnya bukan lewat e-mail atau direct message sosmed, lho, tapi lewat kolom Contact Us di website do’i. Ya, lagian dianya juga nggak mencantumkan email dimana-mana!

3. Mas Soleh sebel, karena judul buku dia sebenernya MAJELIS TIDAK ALIM, bukan Majelis Tak Alim. Gue pasti dianggep setitik fans palsu.

Dengan tidak dibalesnya surat gue itu, entah gue harus lega atau sedih, ya :') 

Ibu-Ibu Mengejar Mimpi

$
0
0
Hein Koh adalah seniman asal Brooklyn, New York, yang punya bayi kembar.

Beberapa waktu lalu, Hein nge-post foto throwback ini—yang menggambarkan dia kerja sambil nyusuin dua bayinya secara bersamaan, saat mereka baru lahir—di Facebook, sebagai reaksinya terhadap Marina Abramovic.


Marina Abramovic adalah seorang seniman perempuan terkenal asal Yogoslavia yang tinggal di New York. Pada sebuah wawancara dengan koran Jerman Tagesspiegel, Marina bilang bahwa sebagai seorang seniman, dia nggak mau punya anak. “I had three abortions because I was certain that it would be a disaster for my work,” dia bilang. “One only has limited energy in the body, and I would have had to divide it.

Karena nggak setuju dengan pernyataan Marina Abramovic tersebut, Hein nge-post foto ini dengan caption, “When my twins were 5 weeks old and despite the sleep deprivation and frequent (every 2-3 hours, 24-7, 45 min at a time) breastfeeding, I was still getting shit done,” tulis Hein.“Marina Abramovic thinks children hold women back in the art world, but as @dubz19 put so aptly, “FUKKK THAT”


Dulu (dulu, ya) sebelum gue baca caption-nya, dan gue suka banget sama foto ini.

Foto ini adalah salah satu penyemangat ketika kepala gue serasa retak akibat harus bagi waktu, tenaga, dan pikiran antara rumah tangga dan kerjaan. Foto ini mengingatkan gue, “Sisss, jangan manja, sisss… Look at her. Look at millions of other women in the world, terutama yang hidup di lingkungan yang nggak mendukung perempuan dengan multi-peran. Emang nggak gampang, but you can do it! Many women can do it! Begadang netekin dua bayi sambil mengejar mimpi? Bisaaaa!”

Tapi setelah baca caption dan keterangan di balik foto Hein Koh ini, gue jadi agak ilfil, karena foto ini berpotensi “nyiram bensin” untuk perdebatan ibu-ibu.

Sejujurnya, dunia ebes-ebes nggak butuh polarisasi lagi. ASI vs susu formula. Melahirkan vaginal vs melahirkan sesar. Jadi IRT vs jadi ibu bekerja. Jangan ditambah seniman beranak vs seniman nggak beranak. Udahlah, bundo. Capek, bundo.

Di samping itu, gue sangat menghargai apapun keputusan hidup Marina Abramovic, sebagai seorang performance artist. Gue nggak setuju dengan tindakan aborsi, tapi gue nggak kepengen mengutuk Marina atas keputusan aborsinya. Badan badan dia, kok. Kalau dia mau fokus jadi seniman dan nggak mau punya anak, ya terserah dia aja.

Trus, tanpa keterangan panjang lebar, foto Hein Koh ini sebenernya udah kuat banget. Sebagai seorang ibu, gue paham ada perjuangan luar biasa di balik foto ini.

Jadi gue agak ilfil ketika Hein Koh menekankan bahwa “Gue sleep-deprived, lho! Gue multitasking, lho! Tapi masih bisa berkarya, kok!”

Mungkin karena gue memang nggak suka dengan pemujaan terhadap keletihan. Di negara-negara yang work-life balance-nya udah bagus—seperti kebanyakan negara di Eropa Barat—masyarakatnya udah paham bahwa capek BUKAN sebuah prestasi.

Tapi di Amerika dan banyak negara di Asia, orang masih menganggap bahwa capek itu bagus, kerja sampe malam adalah tanda rajin, bisa begadang berhari-hari karena kerja itu talenta, terpaksa bawa anak ke tempat kerja itu heroik. Trus, orang yang ngantor teng masuk jam 9 pulang jam 6, dianggap malas (walaupun kerjanya memang udah beres).

Stigmanya nggak boleh gitu, lho. Entah kita seorang ibu atau bukan. Ya nggak, sih?

Make 'Em Smaller! (Not A Sponsored Post)

$
0
0

Sekarang ini, make-up lokal berkembang banget ya, ceu?

Sayangnya, produk yang dikembangkan oleh produsen make-up baru selalu lipstik, lipstik, dan lipstik.

Katanya, lipstik hampir selalu jadi produk pertama yang dikembangkan sebuah merek make-up baru, karena pembuatannya paling gampang.

Kalau foundation atau bedak gitu, misalnya, pembuatannya jauh lebih ribet. Shade-nya harus bener-bener tepat untuk target pasar, dan formulanya harus cocok untuk berbagai jenis kulit dan sikon.

Trus, daya jual lipstik juga lebih tinggi kali ya, karena lipstik bisa dibuat dalam warna yang hampir nggak terbatas (harus banget ada lipstik biru bak mayyit?), dan merupakan produk make-up yang paling cepat membuat dampak ke wajah.

Masalahnya—kecuali kalo elo mutan—bibir kita cuma sepasang. How much lipstick a girl can have?

Jadi kayaknya nggak perlu varian lipstik baru, deh. Kita perlu varian lipstik dalam ukuran kecil.

Mungkin sampai sini, post ini mulai berhawa tersponsor. Nggak, kok! Hihihi. Ini bukan post sponsor. Hanya saja, gue jatuh hati banget dengan konsep merek make-upStowaway, asal Amerika. Semua produk make-up mereka—dari mulai concealer, lipstick, sampe maskara—dibuat dalam ukuran kecil.



Tujuan pertamanya, supaya gampang dibawa kemana-mana. Sebagai orang yang nggak suka bawa tas, gue seneng, sih, ngebayangin bisa ngantongin lipstik di saku jeans.

Tujuan keduanya, untuk menghindari kadaluarsa. Wow, ini penting bingits.

Karena belakangan ini penetrasi produk make-up ke kehidupan sehari-hari terasa sangat menggila (thanks, social media!), cewek-cewek rasanya jadi makin sering belanja make-up. Padahal nggak semua konsumen doyan dandan sampe segitunya. Ujung-ujungnya, make-up-nya jadi mubazir.


Kapan terakhir kali lipstik lo bener-bener tandas, bahkan batangannya sampe buntung? Kapan blush-on lo bener-bener habis kosong? Kalo gue kayaknya nggak pernah, deh! Malah gue masih punya beberapa make-up berusia lima tahunan yang udah memfosil.

Trus, sedih, lho, tiap 2-3 bulan harus buang maskara gara-gara kadaluarsa, padahal isinya masih lebih dari setengahnya.




Dengan kemasan sekecil Stowaway, produk-produk make-up bakal lebih cepat habis, jadi kita nggak stuck dengan produk-produk kadaluarsa yang isinya masih banyak. Ini khususnya penting untuk make-up mata (bahaya seus, dipakai deket mata) dan lipstik (karena cewek cenderung punya banyak lipstik, and we literally EAT lipsticks when we wear them. Who would like to eat expired lipsticks?!)

Lagian, makin cepat make-up habis, kita bisa makin sering beli make-up baru, horeee..

Jadi wahai merek-merek make-up lokal, I’m giving you a free business idea, nih. Make them waaay smaller! (atau sediakan lebih banyak sample/travel sizes, lah…)

Hatiku Hangat Banget: Mendeskripsikan Warna

$
0
0

Ashley, seorang cewek di Amerika, sempat buta waktu kecil, karena koneksi syaraf-syaraf dan otot matanya nggak berkembang dengan baik. Tapi setelah pengobatan bertahun-tahun, pengelihatannya sekarang normal.

Meski begitu, waktu kecil, Ashley cukup lama nggak bisa melihat. Dia cuma bisa “melihat” gelap dan terang. Lewat medsos li.st, Ashley bercerita, gimana teman-teman dan keluarganya dulu mendeskripsikan warna untuk dia.

Deskripsi aslinya tentu dalam bahasa Inggris, tapi di sini gue terjemahin, ya:

1. Merah:

"Saya disuruh berdiri di bawah matahari. Mereka bilang panas yang saya rasakan itu merah. Mereka menjelaskan bahwa merah adalah warnanya bakar, panas, rasa malu dan marah."

2. Biru

"Mereka memasukkan tangan saya ke dalam kolam renang. Mereka bilang, sensasi yang saya rasakan waktu berenangrasa sejuk yang menyelimuti sayaitulah biru. Biru terasa seperti relaksasi."

3. Coklat

"Saya memegang tanah dan menyentuh pohon. Mereka bilang coklat terasa seperti tanah, daun kering atau bunga layu."

4. Abu-abu

"Mereka bilang ke saya bahwa hujan itu abu-abu, juga beton dan semen. Bahwa abu-abu itu warna yang keras, tegas, dan nggak punya kepribadian (maaf ya, abu-abu, sekarang saya suka kamu, kok! Tapi dulu saya takut sama warna kamu)"

5. Hijau

"Saya disuruh memegang daun-daun halus dan rumput basah. Mereka bilang, hijau terasa seperti kehidupan. Sampai sekarang, hijau masih jadi warna favorit saya."

6. Kuning:

"Saya nggak disuruh menyentuh apa-apa untuk warna kuning. Mereka cuma bilang, setiap saya ketawa ngakak sampai nggak bisa berhenti, itulah yang namanya bahagia, dan itulah warna kuning."

***

Those descriptions warms my heart so, so very much. Kok pintar dan pake hati amat? :')

Iya ya, kalau misalnya anak gue buta, bagaimana gue akan mendeskripsikan hal-hal yang nggak bisa dia sentuh?

Juga pertanyaan menarik: kalau elo harus mendeskripsikan diri lo ke seorang tuna netra yang baru lo kenal, how would you describe yourself? 

(foto: seniman Inggris Sargy Mann yang mulai buta di akhir kariernya, karena katarak. Sebelum mulai buta, Mann adalah pelukis pemandangan, tetapi setelah itu, karyanya mulai jadi kompleks dan misterius. Sargy Mann wafat April 2015)
Viewing all 142 articles
Browse latest View live