Quantcast
Channel: let the beast in!
Viewing all 142 articles
Browse latest View live

Hal-Hal Berfaedah Untuk Minggu Ini

$
0
0
Mumpung minggu baru, ada baeknya gue share hal-hal bijak dan menyenangkan di sini, sebagai pengganti Mario Teguh Golden Ways yang konon sekarang kurang laku untuk kasih sesi motivasi. Ya, iyalah!

1. Bikin Daftar "Things I Didn’t Buy"

from @swissmiss

Ide ini lucu banget, deh.

Daftar Things I Didn’t Buy adalah semacam daftar anti-wishlist, terinspirasi dari ide minimalisnya Marie Kondo.

Biasanya kita—apalagi cewek-cewek—selalu punya wishlist, dimana kita mencatat barang-barang yang kita pengenin. Sepatu A, tas B, baju C, dan seterusnya. Begitu ada duitnya (atau ketemu barangnya), cusss langsung beli.

Begitu terus tiap bulan. Pantesan boqeque-nya nggak kelar-kelar.

Instead of doing that, kenapa nggak bikin daftar Things I Didn’t Buy? Jadi setiap kita pengen beli sesuatu—terutama sesuatu yang mahal—kita catat aja, termasuk harganya. Trus… ya udah, nggak dibeli.

Gue sendiri belum pernah mempraktekkan metode ini, tapi gue bisa ngebayangin bakal puas banget ngeliat daftarnya setelah beberapa lama kemudian. Gue kayaknya bakal bersyukur nggak jadi beli barang-barang di daftar itu. It would be a great reminder of how much money I'd have saved!

2. Bikin Daftar "Things I Didn’t Eat":

Konsep yang sama, tapi untuk makanan. Ada yang bikin tumblr-nya, lho.

4. Nonton video ini


Iklan ini gue tujukan untuk temen gue, Frida, yang cintanya terhadap Momo, kucingnya, mulai bikin dia jadi cewek ini :D This one’s for you, baby girl!

5. Jawab pertanyaan ini

from @swissmiss

4. Last but not least, penting, nih...

Menurut gue, kelemahan terbesar Young Lex (dan Awkarin) adalah ketidakmauan mereka mendengar kritik.

Mereka mayoritas dikritik seputar penampilan, kelakuan, omongan, lirik lagunya, dan sebagainya, tapi kritik yang sangat harus mereka dengar adalah soal karya mereka, deh.

Sampai detik ini, YoungLex masih terus-terusan bikin musik yang kualitasnya jelek, dan liriknya selalu hanya berisi pembelaan terhadap diri sendiri. Atlet pencak silat 'kali aaah.

Padahal seandainya musik YoungLex berkualitas dan dia nggak terus-terusan MEMBELA DIRI, mungkin dia nggak akan sedicerca sekarang.

Video klip YoungLex yang terbaru (yang featuring Awkarin itu) bicara tentang bagaimana mereka nggak mau dengerin omongan jelek orang lain. Intinya, pede aja, bor! Tapi kualitas dan kemasannya, ya oloh, klise dan sampahnya khanmaen.

Apalagi di hari yang sama gue denger lagu mereka, gue denger lagu barunya Bomba Estereo, berjudul Yo Soy, yang menyuarakan topik yang sama, yaitu kita harus percaya dengan kepribadian diri sendiri, apapun kata orang lain. Tapi soal kualitas, kalau dibandingkan dengan YoungLex jangan ditanya lah, ya.

Anyway, tak sudi lah ogut nambah exposure YoungLex dengan naro video barunya di sini, but here's Bomba Estereo, supaya minggu kamu makin semangat dan penuh percaya diri ya, gaes. Salam super! *main suling*



Bagaimana Cara Gue Ngulik Nyari Hotel

$
0
0

Salah satu pertanyaan yang gue sebelin—selain “Kok gendutan?” atau “Kok tambah jerawatan?”—adalah, “La, gue mau ke (sebutkan kota yang mainstream untuk liburan, misalnya Bali atau Singapura). Enaknya nginep di mana, ya?”

Seb, seb, seb, sebel.

Kesebelan ini dipicu satu hal utama—karena gue orangnya sangat seneng ngulik.

Waktu kecil, kalo gue butuh suatu jawaban atas sebuah rasa penasaran—yang seringkali nggak penting—gue akan membongkar segala buku, koran, dan ensiklopedia yang ada di rumah, untuk cari jawabannya.

(Alhasil, pas kelas 6 SD, gue jadi paham bahwa berhubungan seks itu adalah penis masuk vagina. Makasih, lho, ensiklopedia kesehatan mamake! Lengkap dengan diagramnya pula! *merinding*)

Selain itu, sebagai seorang introvert sejati, gue nggak suka bertanya. Memang betul kata pepatah, malas bertanya, sesat di jalan. Tapi berhubung gue orangnya shy-shy cat, gue lebih senang cari jawaban hasil ngulik sendiri.

Pas kuliah, skill ngulik gue semakin terasah, karena gue sering harus riset untuk bikin esai atau makalah. Akibatnya, makalah gue bisa setebel buku telepon, karena isinya information overload (lantas makalah gue pun dikasih nilai E). Nguliknya bablas, sis!

Sampe sekarang, skill ngulik gue masih terus diasah. Mulai dari dengan ngulik kehidupan artis, ngulik kehidupan mantannya mantan (mantanception!), ngulik calon sekolah anak, ngulik seputar kehamilan, sampai—tentu saja—ngulik serba-serbi travelling.

Alhasil, setiap kali travelling, gue jarang sekali nanya rekomendasi tempat ke orang lain. Entah saat travelling ke destinasi yang sangat mainstream, maupun ke destinasi yang antah berantah bagi gue, seperti Hanoi, Siam Reap, Praha, atau Kopenhagen. Buat apa? Internet is SO reliable and SO full information, lho. Kayaknya tips jalan-jalan ke bulan sampe jalan-jalan ke masa lalu pun ada, deh.

Makanya, kalo ada orang nanya pertanyaan “Enaknya nginep di mana, ya?” atau “Enaknya main ke mana, ya?” Ingin rasanya kumenjerit, “Bok, Google. Google segera!” Hahaha, bukannya sok, ya. But if I could solely rely on internet for travelling back in early 2000s, anyone can do it TODAY.

Lagian pertanyaan model begitu terlalu luas. Kebutuhan nginepnya seperti apa? Budgetnya berapa? Pergi bareng siapa? Agenda jalan-jalannya apa? Perlu berapa kamar? Pengennya hotel, villa, Airbnb, atau apa? Maunya di daerah mana? Perginya kapan? Peak season atau off season?

Sebaliknya, kalo ada orang nanya, “La, gue mau ke xxx tanggal xxx, maunya nginep di daerah xxx, bareng keluarga xxx orang. Gue berusaha cari hotel dengan bujet xxx, tapi nggak nemu. Elo punya referensi nggak?” Nhaaa, baru deh dengan senang hati gue bantu, sebisa mungkin.

***

Hakekat dari post ini adalah, kali ini, gue mau coba sharing metode untuk cari hotel. Ihiy.

Dalam meriset, ada banyak sekali metode dan logaritma yang bisa dilakukan, tapi kali ini, gue mau sharing metode yang paling biasa gue lakukan. Semoga pembaca yang budiman terbantu, ya!

1. Buka situs booking hotel, seperti booking.com, agoda.com, traveloka.com, dan sejenisnya. 


Kalo lagi rajin, gue bisa buka 2-3 situs booking sekaligus, untuk membandingkan harga. Oya, sepengalaman gue, harga traveloka.com dan agoda.com paling oke untuk hotel domestik dan seputar Asia. Sementara harga booking.com oke untuk hotel luar Asia, misalnya Eropa.

Ini adalah pengamatan by feeling aja, so correct me if I’m wrong, yes!

Selanjutnya, gue pake contoh booking.com. Pura-puranya mau ke Singapura.

2. Masukkan kota destinasi, dan tanggal kepergian.

Trus, jreeeng, lihat hasilnya. Ada hotel apa aja yang available di tanggal keberangkatan tersebut.


3. Filter hasilnya.

Biasanya, gue memfilter hasil-hasil hotelnya berdasarkan harga per malamnya.

Misalnya, bujet per malam gue antara Rp700.000-Rp1.5000.000, maka gue tick deh box bujet tersebut. Alhasil, hotel-hotel di luar bujet tersebut nggak bakal ditampilkan.


Setelah itu, gue akan mengurutkan hotel-hotel yang muncul berdasarkan urutan review. Maka hotel yang review-nya paling bagus akan berada di urutan pertama, dan hotel yang review-nya paling busuk akan berada di urutan paling bawah.


By the way, ini terserah, kok! Kalo lo mau mengurutkan hotel-hotelnya berdasarkan harga (hotel termahal ditaro di urutan pertama, dan hotel termurah ditaro di urutan paling bawah), silahkan. Sesuai preferensi dan kebutuhan aja.

4. Setelah itu, gue akan buka sekitar SEPULUH laman hotel teratas, atau yang sesuai dengan pilihan gue, in random order.

Bukanya sekaligus ya, di sepuluh tab yang berbeda. Jadi bukan buka satu-satu.


Wow, kerajinan, much? Hahaha, tapi memang biasanya itu yang gue lakukan—buka sekitar sepuluh laman hotel yang tampaknya paling menarik, dari daftar hotel hasil filteran tersebut. Kadang lebih dikit, kadang kurang dikit.

5. Nah, kalo udah, gue akan buka Tripdvisor di tab atau window baru. Kemudian gue buka laman review SEPULUH hotel tersebut.

Lagi-lagi, bukanya sekaligus ya, di sepuluh tab yang berbeda. Bukan buka satu-satu.


Sampe sini, jangan overwhelmed, ya!

6. Urutkan tab laman hotel tersebut, sesuai ranking-nya di Tripadvisor.

Misalnya, menurut Tripadvisor…

Hotel A ranking-nya adalah “#30 in #150 hotel in Singapore”
Hotel B ranking-nya adalah “#25 in #150 hotel in Singapore”
Hotel C ranking-nya adalah “#14 in #150 hotel in Singapore”
Hotel D ranking-nya adalah “#89 in #150 hotel in Singapore”
Hotel E ranking-nya adalah “#70 in #150 hotel in Singapore”

Maka gue akan mengurutkan tab laman hotelnya menjadi: hotel C, hotel B, hotel A, hotel E, hotel D

Nggak ada tujuan yang signifikan banget dari langkah ini, cuma untuk “merapihkan” perspektif aja, kok. Bisa di skip, sih.

7. Selanjutnya gue akan teliti kesepuluh hotel yang udah gue buka di Tripadvisor tersebut, lalu gue sisihkan sesuai prioritas.

Misalnya, kalo gue butuh hotel yang berada di tengah kota / dekat akses tempat wisata, maka akan gue singkirkan hotel-hotel yang lokasinya agak jauh, meski kamarnya oke.

Atau, kalo gue butuh hotel yang kamarnya luas dan fasilitasnya lengkap—misalnya, karena bawa anak-anak / bayi—gue akan utamakan hotel yang kamarnya luas, meski lokasinya nggak ideal.

Oya, soal luas kamar, booking.com biasanya memberikan info ini secara konsisten. Di situs satu hotel (di booking.com), klik tipe kamarnya, maka ada info lebih detil tentang kamar tersebut, termasuk luas kamarnya berapa meter persegi.

Jangan lupa, luas kamar itu termasuk kamar mandinya, ya!

8. Dari situ, biasanya pilihan hotelnya sudah mulai mengerucut. Misalnya, dari 10 hotel jadi 6 hotel.


Kemudian gue mulai teliti ke-6 hotel ini dengan teliti.

Dua hal yang sangat gue teliti adalah:

a. Foto-foto kamar hotelnya.

Jangan pernah percaya dengan foto di website hotel, atau situs booking. Pokoknya, jangan percaya dengan apapun foto dari manajemen hotel, deh. Soalnya foto-foto tersebut hampir selalu “menipu” persepsi kita.

Bukannya mereka berbohong, ya, tapi ada 1001 hal yang bisa membuat sebuah kamar hotel terlihat lebih bagus dan lebih luas daripada kenyataan yang sebenarnya akan kita rasakan.

Misalnya, angle pemotretan, cahaya, kualitas kamera, hasil editing, dan sebagainya. Semua bisa dimainkan, sis. Yah, ibaratnya seperti membandingkan foto-foto selfie kita di Instagram, dengan wajah asli kita di cermin, pas baru bangun tidur, hihihi.

Jadi, gue nggak pernah mencermati foto-foto hotel hasil jepretan manajemen hotel yang bersangkutan.

Instead, gue selalu mencermati foto-foto hasil jepretan turis, yang ada di Tripadvisor. Semakin jelek kamera yang digunakan, semakin baik, karena hasilnya semakin “real” dan nggak membuat gue berekspektasi tinggi.

Sebaliknya, kalo ada hotel yang difoto pake kamera hape aja tetap bisa bikin gue naksir, berarti hotelnya emang kece bingits.

Jadi saat mencermati foto-foto hotel di Tripadvisor, gue justru sengaja nyari foto yang busuk-busuk. Bahkan banyak turis yang sering memotret “kebusukan” kamar hotel tersebut. Misalnya, stop kontaknya somplak, handuknya dekil banget, dan sepreinya robek. Do not look away from those photos. Look at it. Face it! #galak


Selain itu, perhatikan tanggal fotonya. Kalo bisa, perhatikan foto-foto yang baru-baru aja. Ada hotel yang lima tahun lalu masih kinclong, tapi sekarang udah dekil. Sebaliknya, ada hotel yang lima tahun lalu masih jadul dan gelap, tapi sekarang udah direnovasi dan jadi kece.

b. Ulasan para turisnya

Pastinya lah, ya!

Membaca review, tuh, harus dilakukan dengan teliti, ada “seninya”, dan tergantung sikonnya.

Contohnya, ada banyak hotel di Ubud yang mendapat skor tinggi dan review penuh puja-puji dari para turis bule. Pujiannya selangit banget, deh. Padahal hotelnya sendiri cuma berbentuk gubuk derita yang menghadap sawah, dan minim fasilitas.

Jangan heran kalo hotel tersebut dipuji para bule, karena memang hotel seperti itulah yang mereka cari. Pengalaman eksotis di sawah, tanpa wi-fi! Nooooo….

Nah, kalo elo seperti gue—mending nginep di hotel kelas Amaris yang “standar aja”, daripada mandi pake gayung di toilet kayu jongkok pas liburan—maka jangan terlalu kemakan dan cepat terpesona dengan ulasan-ulasan indah tersebut. Perhatiin foto-fotonya juga!

Walaupun dalam beberapa kasus, yang terjadi malah sebaliknya. Kadang ada hotel yang dikomplen banget sama turis bule, karena berbagai macam hal. Ya sempit lah, jorok lah, dan sebagainya. Padahal pas kita rasakan sendiri, biasa-biasa aja tuh!

Ternyata ya jelas aja hotelnya dibilang sempit. Soalnya yang me-review adalah bule-bule Belanda yang ukuran badannya raksasa. Sementara kalo untuk ukuran orang Asia, kamar hotelnya baik-baik aja, kok.

Trus, pantes juga hotelnya dibilang jorok, karena bule nggak terbiasa liat cicak di kamar mereka. Sementara mungkin kita lebih biasa, ya. 1-2 cicak doang, masih merem, lah. Asal jangan tau-tau ada kadal buang hajat!

Kemampuan membaca “hal-hal tersirat” dalam ulasan begini hanya bisa didapat dengan sering-sering latihan, alias sering-sering  membandingkan review sebuah hotel dengan bentuk aslinya. Dengan kata lain, mau nggak mau, kita harus punya jam terbang travel planning dan travelling yang cukup banyak dulu untuk “fasih” membaca review.

Misalnya, karena sering baca review, gue jadi paham bahwa salah satu turis yang kritikannya paling pedas adalah turis asal India. At least, berdasarkan pengamatan gue di Tripadvisor, mereka hobi komplen untuk hal-hal kecil yang sebenernya nggak penting.

Alhasil, kalo gue baca review jelek yang ditulis oleh seorang India, gue nggak akan terlalu musingin.

Kita juga harus punya kemampuan “mengukur” yang bagus.

Misalnya, ada reviewer yang bilang, jarak hotel A di Singapura ke stasiun MRT terdekat cuma 10 menit jalan kaki. Kayaknya cincai, ya? Padahal jalan kaki 10-15 menit, tuh, bisa 1-1.5 kilometer, lho. Lumayan juga buat betis-betis manja anak Jakarta.

Belum lagi kalo harus sambil bawa anak, dan tiap hari harus bolak-balik stasiun MRT itu karena padat acara. Di bawah terik matahari pula.

Kita juga harus jeli. Contohnya, gue pernah nginep di sebuah hotel yang airnya kamar mandinya bau banget. Kayak bau got, gitu. Pas review hotelnya gue baca ulang, memang ada beberapa reviewer yang menyebutkan isu air bau ini, tapi nggak gue perhatikan, karena gue lebih fokus ke hal-hal lain dalam review hotel tersebut (luas kamarnya, kebersihannya, dll). Jadinya poin air bau itu kelewatan, deh :( Padahal mengganggu banget.

Last but not least, kalo ada sebuah hotel yang review-nya baguuuus sekali, gue tetap akan nyari review negatifnya (di Tripadvisor, kita bisa klik opsi untuk menampilkan review-review jelek—yang diberi rating 1-2 bintang—terlebih dahulu). Tujuannya supaya gue tau, apa masalah-masalah yang kemungkinan bakal gue temukan di hotel ini? Apakah staf yang jutek? Suasana bising di luar kamar?


Setelah menelaah finalis-finalis hotel lewat foto-foto dan review-nya sampe juling, pasti akan ketemu, deh, 2-3 kandidat utama, yang dirasa sreg jadi hotel pilihan kita.

***

Akhir kata, dengan metode seintens ini, Alhamdulillah gue hampir nggak pernah kecewa pilih hotel, meskipun di destinasi yang sangat asing sekalipun. Sesuai ekspektasi lah, for better or worse. Tanpa nanya-nanya! Bisa sombong nih, yeee.

Tapi tentunya, ini adalah metode gue pribadi. Mungkin ada yang bisa kasih masukan metode yang lebih praktis dan akurat? Silahkan banget komen di bawah, ya :D

PS. Jangan tanya dulu soal Airbnb, because that is a whole different game to play with! :D

(image is from from travelandleisure.com)

A Funny Video and An Announcement

$
0
0
Udah nonton videonya Female Daily yang ini belum?



KEZEL NGGAK, SIH?! Asli, gue ngakak!

FYI, kantor Youthmanual 'kan barengan dengan kantor Female Daily, dan konsep kantor kami adalah open office, dimana semua orang bisa ngeliat semua orang (which is sort of a bad news for introverted me *lari cari meja yang paling mojok dan nggak madep banyak orang).

Alhasil, gue sering  liat geng IT ini wara-wiri, mulai dari Han (yang by the way bukan sok nginggris, tapi do'i memang bukan orang Indonesia), sampai Uud si kriwil (yang dulu sempet gue kira cewek, hahaha). Admittedly, gue nggak pernah kenalan sama mereka, tapi gue sering liat mereka. Jadi gue ngakak setelah liat video ini. Ooo, ternyata mereka orangnya begitu! 

Kata Gyanda, produser video ini, sehari setelah syuting video ini, Uud beneran dateng ke kantor pake celak, lho. Hahaha. Katanya, dia memang percaya, celak bagus untuk kesehatan mata. Mungkin dia ada turunan Arab / India, ya, yang dari bayi memang suka pake celak demi kesehatan? :D

Bicara soal Female Daily, mau bikin pengumuman juga, niiih...


Info lengkapnya, bisa klik di sini, ya.

Why am I announcing this? Karena di antara para pembicara yang bersinar bagaikan berlian dalam acara ini (Diana Rikasari, Astrid Satwika, Michael Cools, Jovi Adhiguna, dll), akan ada satu remah rempeyek nyempil sebagai mentor workshop, yaitu SAYA! Matek.

Matekkk

Ketika ditawarin oleh Female Daily, pikiran pertama gue adalah, "Oh my God, are they desperate?!" Hahahaha. Soalnya jujur, public speaking gue lemah, gue nggak pedean, dan merasa belum cukup kompeten untuk berdiri di panggung tersebut. Siapalah saya, sister? Tahun 2014, sesi yang sama diisi oleh Leila Safira, Editor in Chief majalah CLEO, lho. Talk about pressure!

Sisi introvert gue hampir menolak tawaran ini dan bilang, "Makasih, ya, but no, thanks! Kecuali kalo emang pada mau liat aku munti nervous di panggung, Pitch Perfect-style."


Tapi sisi Mario Teguh gue berkata, lo cuma hidup sekali, La. Udahlah, cobain aja sekali-kali jadi pembicara. Kalo gagal atau merasa fail, tinggal siapin visa pindah ke Timbuktu aja 'kan? Huft.

So yeah, do come, bring a "YOU CAN DO THIS!" banner, or at least send some prayers for frail, little me. Kayaknya gue nggak punya masa depan bicara di TEDx sometime soon, ya :D

Apakah Dunia Cuma Milik Seleb Internet yang Kece dan Eksis?

$
0
0

Kalau seminggu hampir berlalu, tapi trus nggak ada blogpost baru...
... percayalah, rasanya kayak konstipasi.

So many things to write, so very little time! Arrrggghhh, klasik banget, ya. Jadi maafkan, kali ini gue mau mengisi blog gue dengan langkah pemalas, yaitu me-repost tulisan gue dari Youthmanual.

Ada beberapa artikel Youthmanual yang menjadi favorit gue seperti ini, ini, dan ini (walaupun nggak laku dan nggak viral juga... *kibar bendera putih sama kemalasan membaca dedek-dedek* *teropong seleranya*) dan artikel ini adalah favorit terbaru gue.

Topik media sosial selalu jadi topik favorit gue, terutama karena sekarang ini, media sosial magnifies and glorifies everything and everyone, dari mulai orang-orang yang benar-benar berbakat dan bekerja keras, sampai orang-orang yang modal tampang doang, dan tentunya everyone in between. Ajaib, lho, kalo dipikir-pikir. 

Topik ini pernah gue bahas dengan panjang, lebar, dan awur-awuran di sini, tapi kemudian ide tersebut gue coba olah lagi menjadi tulisan yang lebih ringan, sehingga (semoga) bisa lebih dicerna dedek-dedek. Aamiin? Aamiiin...

Apakah Dunia Cuma Milik Seleb Internet yang Kece dan Eksis?

Makin ke sini, manusia makin hobi marah-marah di Internet ya, gaes? Pokoknya, setiap ada hal yang nggak sreg di hati netizen—mulai dari hal besar seperti politik, sampai hal sepele seperti jingle lagu tahu bulat—pasti digembor-gemborkan di segala online platform.

Minggu lalu, netizen di negara barat kembali marah-marah, kali ini tentang Kendall Jenner.

Melihat judulnya aja, langsung bosan nggak, sih? Kendall Jenner lagi, Kendall Jenner lagi. Memangnya nggak ada subjek omongan lain ya, selain keluarga Kardashian?

Tetapi setelah menelaah isunya, saya jadi merasa harus menulis sesuatu untuk menanggapi hal tersebut.

***

Ceritanya, beberapa minggu lalu, Kendall Jenner menjadi model pemotretan fashion majalah Vogue edisi Spanyol. Dalam pemotretan tersebut, Kendall “berperan” sebagai penari balet. Dia melakukan pemotretan di studio tari, mengenakan pointe shoes khusus balet, leotard, dan rok tutu.

Pemotretan tersebut menuai kritik dari kalangan para balerina, karena Kendall bukan penari.


Lah, memangnya kenapa kalau dia bukan penari?

Karena, akibatnya, segala pose yang dilakukan Kendall jadi salah. Posisi kakinya salah, posisi tangannya salah, pokoknya segala detil gerakan yang dia lakukan nggak mencerminkan gerakan seorang balerina.

Awalnya, saya merasa kritik dari kalangan penari ini lebay. Well, Kendall Jenner 'kan model profesional? Kalau dia diinstruksikan harus jadi "balerina", ya dia harus jadi balerina, dong.

Tetapi kemudian saya membaca surat terbuka dari seorang balerina Amerika Serikat, menjelaskan kenapa para penari geram terhadap Vogue dan gemes terhadap Kendall.

Saya pun jadi lumayan paham dan berempati.

Saya coba wakili perasaan penari tersebut di tulisan ini, ya.

Vogue adalah sebuah majalah yang sangat bergengsi. Bisa tampil dalam majalah Vogue tentunya adalah sesuatu yang warbiyasak. Semua orang—apalagi cewek-cewek—pasti ingin masuk Vogue, termasuk para balerina.

Maka mereka sedih, ketika Vogue Spanyol membuat suatu pemotretan yang berkonsep “balet”, tetapi nggak menggunakan balerina “beneran”—minimal, model yang bisa menari dan pernah les balet—
sebagai modelnya.


 Kelly Tandiono, seorang model Indonesia, adalah contoh model yang memang pernah belajar balet. Ini adalah pemotretannya untuk sebuah majalah lokal.

Mereka kecewa karena Vogue nggak memilih penari sungguhan yang sudah belasan tahun berlatih sebagai balerina, yang tahu teknik balet yang benar, dan tahu cara menampilkan detil teknik tersebut di depan kamera.

Sebaliknya, Vogue Spanyol memilih Kendall Jenner sebagai model pemotretan ini, (kemungkinan besar) karena dia sedang sangat naik daun.

FYI, Kendall bukan penari, nggak pernah les balet, dan—menurut para balerina—menampilkan detil-detil yang salah di setiap posenya.


Bayangkan kalau kamu sangat hobi menyanyi dan memang benar-benar berbakat. Kamu pun sudah belasan tahun ikut les vokal, rajin ikut kompetisi dan perlombaan, serta aktif di paduan suara sekolah. Singkat kata, sudah usaha mati-matian.

Suatu hari, seorang vlogger beken datang ke sekolah kamu, mencari penyanyi untuk diajak kolaborasi di videonya.

Tetapi akhirnya yang dipilih adalah teman kamu, yang suaranya pas-pasan banget dan nggak pernah les vokal, tetapi memang kece, cantik, populer, dan punya banyak follower Instagram.

Kamu bakal sakit hati nggak?

Faktanya, di era media sosial ini, “kecantikan” dan “kepopuleran” semakin mengungguli “bakat”, dan hal ini rasanya nggak adil untuk orang-orang berbakat.

Nggak heran kalau Awkarin dihujat habis-habisan saat dia ditampilkan dalam video klip Bad bersama Younglex.

Younglex sendiri memang telah lama konsisten sebagai rapper, tetapi Karin bukan seorang penyanyi ataupun rapper. Menurut banyak pendapat, suaranya nggak enak, bahkan offbeat. Jadi kenapa harus Karin yang menjadi pendamping Younglex? Padahal di luar sana ada banyak penyanyi atau rapper perempuan lain yang jauh lebih berbakat. Apakah hanya karena Karin beken?

Fenomena ini juga banyak terjadi di dunia blogging Indonesia. Ada banyak blogger yang sudah belasan tahun menulis—dan berusaha menyempurnakan skill menulisnya di platformblog—namun nggak pernah tersorot, apalagi diajak kerjasama atau dilejitkan oleh brand-brand besar.

Sebaliknya, ada bloggers yang baru muncul 1-2 tahun terakhir, tetapi langsung melejit dan mendapat endorse kanan kiri, mungkin karena penampilannya "menjual", aktif di medsos, dan punya banyak fans.

Kini fashion bloggers "suaranya" semakin lebih didengarkan daripada perancang busana dan editor majalah mode yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia fashion. Akhirnya berantem, deeeh...

Lagi-lagi, inilah efek dari selebriti internet. “Kepopuleran” jadi semakin mengungguli “bakat”,

Trus, gimana dong nasib orang-orang yang benar-benar berbakat? Orang-orang yang skill, sikap, dan otaknya cemerlang? Mojok dan tersisihkan oleh para kaum kece dan beken? Sedih banget :(

Contoh lainnya, nih, dikutip dari artikel ini.

Tahu Diane von Furstenberg? Beliau adalah desainer legendaris berumur 69 tahun, yang menciptakan baju bergaya wrap-dress yang menjadi iconic sampai sekarang. Fashion brand-nya sudah mendunia, dan baju-baju rancangannya sudah dipakai seleb internasional, mulai dari Madonna, Jennifer Lopez, sampai Michelle Obama.


Di Instagram, follower Diane “hanya” 1.5 juta orang, sementara YouTuber remaja Bethany Mota punya 5 juta follower. Sejak pertama kali nge-vlog tahun 2009, kepopulerannya Bethany sekarang sudah super melejit, sampai dia bisa tampil di acara Dancing with The Stars, kerjasama dengan label Forever 21, sampai masuk dapur rekaman segala.

Walaupun Bethany kece, baik, menarik, dan tampak punya kepribadian yang asyik, Bethany Mota bukan icon. Gimana mau disebut icon, kalau dia nggak punya karya?

Selain punya vlog dan video klip sendiri, apakah Bethany punya perusahaan fashion sendiri, menciptakan lapangan kerja untuk ribuan orang, dan menjadi mentor bagi puluhan karyawan perusahaannya, seperti yang dilakukan Diane von Furstenburg setiap hari?


Bethany memang cantik dan seru. Tapi cantik, stylish, dan rajin eksis nggak lantas membuat seseorang pantas dibilang icon dan “influencer” masyarakat.

Selain itu, gara-gara para selebriti internet dan medsosnya, kita kadang "lupa" bahwa motto “live life to the fullest” bukan berarti travelling setiap bulan seperti Rachel Vennya, dan #bodygoals bukan berarti punya perut setipis kertas.

Kita mungkin tahu, tapi kita jadi sering “lupa”, dan jadi susah membedakan hal-hal yang hanya enak dipandang mata sesaat, dengan hal-hal yang memang inspiratif dan harus jadi panutan untuk jangka waktu lama.

***

Bagi saya, pesan yang bisa ditangkap dari Kendall, Awkarin, dan Bethany ini adalah, punya #goals “menjadi beken dan awesome” memang seru, tetapi #goals “menciptakan hal-hal beken dan awesome” nggak kalah penting.

Apa jadinya kalau misalnya, belasan tahun lagi, #goals SEMUA anak muda adalah menjadi selebriti internet, sehingga jarang ada yang mau bekerja di balik layar? Nanti siapa yang akan jadi CEO, insinyur, ilmuan, desainer, seniman, produser, dokter, dan pengacara?

Pesan terakhir saya adalah untuk para brand, nih, mulai dari brand besar sampai online shops Instagram: saya paham, kok, kalian ingin mendapatkan profit sebesar-besarnya, dengan menyorot dan meng-endorse sosok sebeken-bekennya.

Tapi ayolah, jangan hanya mencari sosok yang enak dilihat dan sudah beken, tetapi juga sosok yang benar-benar inspiratif, atau punya karya nyata (THIS is a cool example).

Ada yang bilang, profesi guru di Indonesia kurang diminati, karena insentifnya kurang besar. Makanya, pemerintah harus menaikkan gaji dan gengsi guru, supaya banyak orang ingin jadi guru (yang baik).

Sama halnya dengan anak-anak muda yang rajin, giat, pintar, berbakat (bukan hanya berbakat tampil di depan kamera, lho!). Kalau mereka nggak diberikan insentif dan “panggung” yang layak, jangan heran kalau anak muda sekarang lebih kepingin menjadi selebriti Internet, supaya bisa dapat banyak fans, bisa aji mumpung jadi penyanyi, dan di-endorse jalan-jalan keliling dunia.

My Top 4 Dream Holiday Destinations

$
0
0

Jumat-Jumat gini enaknya ngapain, ya? Ya, ngayal babu, dooong…!

1. Firenze dan Roma, Italia:

Kenapa: karena SENI, SENI, SENI!

Intinya, agenda utama gue adalah menyerap segala karya seni di dua kota ini, dalam berbagai bentuk—lukisan, arsitektur, performing arts, patung, apapun. Kalo bisa, sekalian kemping di museum, sampe kena Stendhal syndrome.

Sama siapa: idealnya sendiri, karena museum-hopping paling nikmat dan bebas kalo sendirian.

Namun mengingat kenyataan bahwa gue penakut (dua kota ini penuh turis, sehingga banyak kriminalitas juga), boleh, deh, bareng satu orang lain. Tentunya orang dewasa, tapi terserah siapa. Kalo bisa yang pendiem, nggak dikit-dikit minta foto norak ala foto nganga di depan air mancur Merlion Singapore, dan mau nurut ditenteng dari satu museum ke museum lain, tanpa ngeluh kebosanan. Ini kriteria rekan travelling atau asisten pribadi-slash-pembantu, yaaa?

Durasi: 5-6 hari di masing-masing kota



2. Walt Disney World, Orlando Florida, Amerika Serikat

Kenapa: karena mungkin udah pada tau, ya, soal obsesi-tidak-sehat gue terhadap Disney theme parks. Dan kayaknya, kalo udah sekali ngerasain dipatil Walt Disney World, Orlando—yang luasnya bak se-Jabodetabek itu—Disneyland cabang lain terasa cimit *sombooong…*

Sama siapa: Raya dan Aydin.

Durasi: total 14 hari, karena Walt Disney World punya 4 theme park dan 2 water park, yang masing-masing idealnya dikunjungi dua hari. Plus, harus selipin “hari istirahat” diantaranya.


Vlogging way before Awkarin, yo!

3. New Orleans, Louisiana, Amerika Serikat

Kenapa: Karena gue nggak (hanya) penasaran banget sama kota New Orleans, tetapi juga budayanya. Mulai dari budaya makanannya, budaya musiknya, budaya mistisnya. Lagian kalo New York atau Los Angeles, kayaknya udah sering liat di felem-felem, ah… *trus kalo udah sering liat di felem, berarti udah paham banget, gitu, sis?*

Apalagi kalo datengnya pas Mardi Gras. Hiii, seruuu.

Durasi: di New Orleansnya sendiri, mungkin 7-10 hari?

Sama siapa: Idealnya bareng orang yang juga penasaran dengan budaya New Orleans. T is a decent travel partner, tapi anaknya kurang blek gitu, sih. Apa gue harus pergi sama Younglex?



4. Kaatsheuvel, Belanda, lalu lanjut ke Stockholm, Swedia.

Kenapa: Sejujurnya, gue nggak pernah terlalu tertarik untuk mengunjungi Amsterdam atau Belanda pada umumnya, karena seperti kata Miund, Belanda itu kayak Indonesia di-AC-in. Dalam artian, komunitas Indonesianya banyak beuneur, hahaha. Maklumlah, kita ‘kan sok, ya. Kalo traveling pengen dapet foreign experience semaksimal mungkin.

Tapi sampai sekarang, gue masih terobsesi mengunjungi theme parkEfteling di Kaatsheuvel, yang jaraknya kurang lebih dua jam dari Amsterdam.

Kalo gue bisa ke Belanda cuma untuk ke Efteling—dan nggak kemana-mana lagi—gue mau banget, lho. Efteling adalah impian gue selama bertahun-tahun, and it’s definitely on top of my bucket list.

More about my Efteling obsession here.

Kekakuan khas orang Belanda. Nge-host-nya lemesin dikit dong, shay.

Kemudian, Stockholm.

Dulu gue penasaran banget sama Stockholm, tapi keinginan ini lalu terkubur, karena denger-denger ongkos di sana mahalnya yassalam bhaaay.

Tahun lalu gue ke Kopenhagen, dan jatuh cinta habis-habisan sama kota itu. Gue pikir, okelah, kalo udah nyicipin Kopenhagen, mungkin rasa penasaran gue terhadap zona Skandinavia dan Nordik udah cukup terpenuhi (ih, kok gue pukul rata gitu, ya…)

Tapi tahun ini, seorang temen gue ke Kopenhagen DAN Stockholm, trus dia bilang Stockholm wins over Copenhagen big time. Semua temen gue yang pernah ke Stockholm pun memberikan testimoni serupa. Stockholm is AWESOME, dari segala aspek. Mulai dari aspek estetis, alam, sampai kualitas hidup. Gileeee… Stockholm, here I come! Brb, beli tuyul di Kaskus dulu!

Durasi: di Efteling idealnya dua malam, dan menginap on-site alias di hotel resmi Efteling, supaya dekat dan gampang bolak-balik ke theme park-nya. Di Stockholm mungkin… seminggu? 


Aaaah, nikmatnya khayal babu menjelang wiken *lalu dikirimin Whassap pengingat deadline*

(image: pauletpaula.com)

Gimana Caranya Mengatasi Krisis Pede? Bukan (Cuma) Pake Rexona, Ya.

$
0
0

Biasanya, gue mengidentikkan Oktober dengan Halloween, perayaan favorit gue! *tenggak darah kambing*

Tapi Oktober taun ini, gue harus menghadapi sesuatu yang lebih mengerikan daripada hantu-hantuan Halloween, yaitu… public speaking

Meskipun di dunia maya gue suka tampil malu-maluin, aslinya gue adalah orang yang pemalu dan super anxious, lho. Trus, yang pasti, gue nggak bisa public speaking. I simply do not know how to speak attractively di front of an audience,“mengikat” perhatian mereka untuk sekian lama, sekaligus memberikan sesuatu yang berfaedah.

Hiiiii, serambiiiih! Bayanginnya aja begidik.

Maka ketika Female Daily nawarin gue untuk mengisi acara Blogger Workshop mereka, sebenernya hampir gue tolak. Tapi gue pikir, ya udahlah, umur udah segini. Hidup nekat dikit lah, jangan main aman mulu!

Alhamdulillah, sesi workshop yang gue bawakan cukup lancar, dan katanya, sih, berfaedah banget (kata siapa? Kata perasaan sendiri mungkin, yaaa…).

Beberapa orang pun bilang gue tampak percaya diri.

Di luar itu, orang-orang juga suka nanya, “Elo nggak pedean? Bohem! Suka tampil nge-dance gitu, kok!”

Nah, mari kita bicara soal kepercayaan diri.

Dari mana datangnya rasa percaya diri?


“Gimana, sih, Kak, caranya supaya bisa jadi percaya diri?”

Artinya, krisis pede adalah sesuatu yang cukup mewabah untuk dedek-dedek, at least dedek-dedek pembacanya Youthmanual. Mungkin banyak dari kita yang dulu juga gitu, ya.

Trus, kalo kita Googling atau buka-buka majalah, ada ratusan artikel yang memberikan tips dan nasehat, tentang bagaimana cara jadi percaya diri. Setelah dibaca-baca, bisa disimpulkan bahwa 99% tips tersebut… basi.

Contohnya, “Yakinlah pada diri sendiri…” atau “Jangan cepat menyerah…” Ceileee, nasehatnya klise dan nggak konkrit semua nih, yee.

Tapi pada suatu hari, gue mendapat pencerahan dari penulis dan aktris Mindy Kaling.


Di buku memoir-nya, Why Not Me, Mindy Kaling cerita bahwa suatu hari, dia hadir di sebuah panel tanya jawab. Di panel tersebut, dia mendapat pertanyaan dari seorang remaja umur 15 tahun yang berbunyi, “Gimana caranya supaya saya bisa jadi pede?”

Waktu itu, Mindy menjawab dengan jawaban klise, karena lagi nggak kepikiran jawaban yang pas.

Tetapi setelahnya, Mindy berpikir lama, dan dia baru mendapat jawaban yang tepat yaitu… kerja keras.

(baca ceritanya lengkapnya di sini)

Banyak orang mengira, percaya diri adalah sifat bawaan lahir, atau sesuatu yang bisa diciptakan lewat sugesti. Salah banget.

Menurut Mindy—dan gue juga setuju—rasa percaya diri tuh seperti respect atau trust: you have to earn it. Rasa percaya diri hanya bisa lahir lewat kerja keras.

Contoh sederhananya nih, ya.

Setelah gue meng-iya-kan tawaran dari Female Daily untuk jadi mentor di workshop mereka, gue langsung tahu bahwa gue harus usaha ekstra, karena public speaking adalah kelemahan gue.

Gue mulai mengumpulkan materi workshop sejak H-tiga minggu. Setiap hari, materinya gue susun dikit-dikit, sampai menjadi bukit.

Setelah itu, gue minta bantuan orang lain untuk menyusunnya menjadi sebuah Powerpoint yang menarik dan efektif, soalnya gue nggak jago bikin Powerpoint, dan nggak punya skill desain. Gue tau, kalo Powerpoint gue nggak meyakinkan, gue akan makin gugup ngomong di depan orang banyak.

Trus, sejak H-10, gue rutin ngemeng sendiri depan cermin, melatih hal-hal yang mau gue omongin, dari mulai kalimat pembuka sampe penutup. Ngucapin “Slamlekum, apa kabarnya semua?” aja pake latihan, gaes. Subhanallah, noraknya.

H-3, gue “gladi resik” sendiri di kamar, sambil merekam “pidato” gue dari awal sampe akhir di hape. Ngemeng sejam gue rekam, bok.

Lalu rekaman tersebut gue denger berulang-ulang, misalnya ketika lagi di mobil, atau sebelum tidur, supaya gue tau kekurangan gue dimana.

Sampai situ saja? Oh, tidak! Pas hari H, gue dandan pake makeup artist bak Syahrini. Ciyan, ya? Sama sekali nggak bisa santai dan effortless *bakar dompet yang jebol*. Yabis, salah satu kunci kepercayaan diri ‘kan tampilan paripurna, gimana dong :D

Gue sendiri juga sadar, usaha gue tersebut lebay. Apalagi ketika hari H, performa gue ya biasa-biasa aja. Lancar, tapi nggak sampe bikin orang meneteskan air mata haru, standing ovation, lalu salim tangan sama gue kelar acara. Dikata gue habib abis tabligh akbar?!


Tapi bagi gue, usaha-usaha tersebut membuat gue jadi percaya diri. I put a lot of effort working on it, sehingga gue merasa berhak untuk merasa percaya diri.

Buktinya, pas hari H, I was incredibly calm. Bangun masih bisa santai, makan masih bisa santai, pokoknya ongkang-ongkang kaki sampe detik-detik menjelang “naik panggung”. Jadi kalo pemirsa melihat gue santai di workshop itu, ternyata persiapan di balik layarnya panjang dan norak banget :D

Begitu juga halnya kalo gue manggung nge-dance.

Setiap mau manggung, gue memastikan diri gue udah latihan berulang-ulang-ulang, sampe koreografinya nggak hanya diingat oleh otak, tapi juga oleh otot gue, alias sudah jadi muscle memory yang membuat gue refleks bergerak.

Kalo gue merasa nggak punya waktu untuk latian total—walaupun udah lumayan apal sama koreonya—gue lebih baik mundur, alias nggak jadi manggung.

Karena tanpa latian dan kerja keras, gue nggak mungkin bisa merasa pede. I'm not a natural born dancer. Sama seperti halnya, I'm not a natural born public speaker.

Jadi, gue membuktikan ucapan Mindy Kaling, bahwa rasa percaya diri itu harus diusahakan. Rasa percaya diri AKAN lahir, kalo kita udah benar-benar menguasai suatu bidang.

Nggak heran kalo banyak pengusaha sukses yang gayanya santai banget. Misalnya, almarhum Bob Sadino (yang selalu bercelana pendek a la Beyonce) dan Mark Zuckerburg (yang nggak pernah ganti baju). Om Bob atau Mark nggak perlu dandan kece untuk memoles penampilannya, karena mereka udah pede. Mereka sadar mereka pintar dan kompeten, berkat kerja keras selama bertahun-tahun.

Jadi menurut gue, rasa percaya diri bukanlah sikap bawaan lahir, dan nggak akan bisa lahir dari afirmasi belaka (misalnya, ngomong sendiri ke cermin, “Lo pasti bisa, La!” atau majang wallpaper bertuliskan “You Can Do It!” di desktop dan hape), apalagi hanya dari doa.

Rasa percaya diri baru akan timbul setelah kita bekerja keras. Hasil nggak akan mengkhianati usaha, sister!


Rasa nggak percaya diri bukanlah hal jelek, lho

Iya, menurut gue, rasa nggak percaya diri bukanlah hal jelek.

Karena, pertama, bikin kita jadi ELING.

Sewaktu Mindy Kaling baru mulai kerja di industri TV—tepatnya, gabung di tim penulis serial komedi The Office—Mindy merasa nggak pede dan gugupan banget. Koleganya sampe suka bilang, “Stop. Udah. Jangan nggak pedean.”

Tapi bertahun-tahun kemudian, Mindy merasa bahwa dulu itu dia memang SEPATUTNYA nggak pede. Ngapain juga merasa pede? Wong dia baru mulai kerja di industri TV, belum punya ilmu apa-apa, dan sama sekali belum jago. Sudah sepatutnya Mindy merasa nggak pede dan ingin belajar sebanyak-banyaknya, karena dia memang masih anak bawang.

Setelah Mindy menguasai ilmu-ilmu menulis dan pertelevisian, barulah dia berhak merasa pede.

Sayangnya—curhat dikit nih, ya—kayaknya banyak anak muda jaman sekarang yang terlalu kemakan kutipan-kutipan motivasi nan cantik di Instagram dan Tumblr (“You can do it!”, “Who run the world? You!”), sehingga mereka seringkali merasa kepedean tanpa paham bahwa rasa pede itu datang dari kerja keras, kalo nggak mau jadi pepesan kosong.

Youthmanual sering, lho, mendapat lamaran kerja dari anak-anak lulusan universitas unggulan yang bersikap kepedean, tanpa sadar bahwa mereka BELUM berhak merasa pede, hanya dengan modal titel "lulusan UI / ITB / UGM / dll". Perjalanan masih panjang, sis dan brooo. Even I am still in the first part of my journey.

Rasa nggak percaya diri juga bukanlah hal jelek karena, kedua, bikin kita selalu menyiapkan diri dengan baik.

Karena gue seringkali merasa nggak pede—seperti Mindy Kaling—gue seringkali overprepared dalam mengerjakan sesuatu. Pengerjaan dan persiapannya lebay, gitu.

Contohnya, ya, saat gue mau jadi mentor workshop itu.

Contoh lainnya, beberapa orang bilang bahwa tulisan gue di blog enak dibaca dan sangat mengalir. Tapi tahukah kamu, bahwa tulisan-tulisan yang mengalir tersebut adalah hasil di-edit 5-7 kali? Overprepared apa lebay sih?

Rasa percaya diri—terutama dalam suatu bidang—adalah sebuah entitlement. Sesuatu yang baru berhak kita rasakan, setelah kita bekerja keras untuk menguasai bidang tersebut.

Jadi kalo kita merasa nggak pede, mungkin karena kita memang belum menguasai apapun yang kita nggak-pede-in itu. Then, it’s our cue to work hard on it.

 ***

Semoga sesi Mario Teguh kali ini membantu, ya. Kalo masih krisis pede juga, ya pake Rexona aja (buat anak 90an yang paham referensi lawas ini, jangan pura-pura muda dan nggak paham, yaaa… :D).

Halloween Horror Nights: Antara Cari Gara-Gara, Dan Menguji Persahabatan

$
0
0

Yang namanya manusia, kadang suka nantangin diri sendiri.

Dikasih hidup aman, tentram, jauh dari marabahaya, eeeh malah hobi bungee jumping. Dikasih ketenangan batin dan rasa aman, eeeh trus malah bikin film horor, atau bikin kegiatan jurit malam.

Ya, manusia memang suka cari gara-gara… termasuk saya!

Soalnya akhir bulan ini, Insya Allah gue akan kembali menyambangi Halloween Horror Nights di Universal Studios Singapore.

Allahu akbar! Nggak kapok, La?

Auk deh, udah gilak kali gue. Tahun 2013, gue datang ke event yang sama, dan rasaan sempet ampun-ampun tobat. Eh, tahun ini diulang lagi. Memang hidup manusia nggak lengkap, kalo belum cari gara-gara, ck ck ck.

***

Bagi yang belum tahu, gue cerita dikit, ya.

Halloween Horror Nights adalah sebuah event yang diadakan setiap Oktober (bulannya Halloween) oleh Universal Studios.

Event ini dilakukan di semua cabang Universal Studios (Amerika, Jepang, Singapura), meskipun penerapannya berbeda-beda. Penerapan di Jepang agak beda—dan nggak terlalu serem—sementara penerapan di Universal Studios cabang Amerika dan Singapura hampir persis sama, dan jauh lebih mengerikan.

Konsep Halloween Horror Nights di Universal Studios Amerika dan Singapura begini:

Selama bulan Oktober, setiap hari Jumat-Sabtu-Minggu, seluruh area Universal Studios disulap jadi area “jurit malam” raksasa.  Cuma saat weekend, dan cuma saat malam hari, ya.

Jadi kalo nggak salah, pada hari-hari tersebut, Universal Studios ditutup lebih cepat, dipersiapkan dengan ngebut, trus dibuka kembali sekitar jam 7-8 malam dengan tampilan “jurit malam”, sampai jam 12-1 malam.

Isi “jurit malam”nya apa aja, nih?

Fitur utamanya, sih, rumah hantu.

Pasti pada tau dong, ya, rumah hantu temporer yang modelnya walkthrough? Kayak yang suka dibikin di BSD atau Blok M itu, lho. Rumah hantu ini biasanya dibangun secara temporer dengan tema tertentu, trus pengunjung harus masuk ke dalamnya dengan berjalan kaki. Siakeknya, rumah hantu begini diisi oleh hantu “beneran”, alias para aktor yang berperan sebagai hantu.

Selain berperan sebagai pelengkap derita, objektif mereka adalah menyergap dan menakut-menakuti pengunjung dengan seefektif mungkin. Kalo pengunjungnya nggak jerit, keknya mereka nggak bakal digaji, deh! Bencik!

Tahun 2013, gue datang ke event Halloween Horror Nights di Universal Studios Singapore (juga ke event serupa, Sentosa Spooktacular di Sentosa Resort. Dua malem berturut-turut, broh! Heran, ya, sekarang gue masih idup).



Tahun itu, Halloween Horror Nights cuma menampilkan tiga rumah hantu. Tahun ini, ada LIMA rumah hantu. Mantap, gan.

Apalagi, Halloween Horror Nights nggak cuma menampilkan berbagai rumah hantu, tapi juga “scare zones”.

Scare zones” adalah kawasan yang disulap menjadi area menyeramkan. Meski bukan rumah hantu, tapi konsepnya mirip-mirip. Ada temanya, ada aktor hantunya. Jadi semacam rumah hantu terbuka, lah!

Misalnya, tahun ini, kawasan Jurassic Park di Universal Studios Singapore disulap jadi Suicide Forest (mungkin terinspirasi dari Aokigahara?). Ada, lho, satu pohon yang didekorasi oleh boneka-boneka bayi digantung. Ceritanya mereka adalah janin dari ibu-ibu yang aborsi atau keguguran.

Nggak nyaman amat liatnya. Bencik!



Jadi, event Halloween Horror Nights ini cuma berlangsung malam hari, setiap weekend selama Oktober aja. Tiketnya pun beda sama tiket masuk Universal Studios Singapore biasa.

Most importantly, no kids allowed! Ini acara kheuseus orang dewasa.

Kalo mau baca-baca info lebih lengkap, bisa cekidot di sini.

***

Mungkin pertanyaan pemirsa yang utama adalah, “‘Nape kok ide banget dateng ke HHN lagi tahun ini? Apa hidup lo lagi kurang menantang, La?”

Tentunya tidak. Dengan segala prahara kerjaan dan keluarga, hidup gue cukup menantang, kok. Gimanapun juga, hantu deadline dan KPI lebih menyeramkan dari hantu kuburan.

Jadi ceritanya, gue punya geng temen-temen SMA. Cewek-cewek semua. Dari duluuuu banget, kami berencana pengen jalan-jalan bareng. Sejenak aja, 1-2 malem gitu. Mommies only, no husbands or kids allowed ngintil.

Tapi namanya juga orang Jakarta. Kalo bikin wacana, biasanya tetap menjadi wacana.

Sampai pada suatu hari di bulan lalu, gue ngeliat pengumuman tiket HHN USS tahun ini udah mulai dijual. Duh, kok pengen datang ya… tapi sama sapose? Yang jelas, dari pengalaman 2013, T terbukti nggak layak jadi partner (long story), dan gue nggak mungkin pergi sendirian. Cari mati?!


Iseng-iseng, gue lempar ide ini ke Whatsapp grup geng SMA gue, “Pada mau nggak, sih, pergi bareng ke acara Halloweennya Universal Studios Singapore?”

Tak dinyana, ebes-ebes sahabatku yang kukira lembek-lembek (hahaha, monmap, yak!) pada setuju. Mungkin cuma pada nangkep dan tertarik sama kata “Singapore”-nya aja, ya. Nggak ngeh ada embel-embel “Halloween”-nya :’) #jebakanBetmen

Setelah kasak-kusuk selama kurang lebih seminggu, akhirnya dapat lah tanggal yang disepakati, plus orang-orang yang fix ikut. Dari sekitar sepuluh orang, akhirnya yang bisa pergi cuma lima, yaitu gue, Ayu, Mira, Ami, dan Mawar.

Gue berperan sebagai travel agent tunggal, sehingga gue yang sibuk booking-in tiket pesawat kami semua (ada yang jam pulang dan perginya beda pula. Rempes!), tiket HHN-nya, dan hotel.

Plus, bakal ada rapat akbar terakhir sebelum berangkat, menentukan itinerary dan tempat makan Duileee… :D Ya inilah resikonya pergi ramean. Sama ebes-ebes pula.

***

Yang pasti, perjalanan ini bakal jadi ujian persahabatan yang sesungguhnya.

Percayalah, kalo kita main ke rumah hantu model begini, karakter kita yang sesungguhnya akan muncul. Memang, di saat kepepet, Allah langsung menyingkap, mana orang-orang yang ternyata egois, yang rela ninggalin temen, yang tega ngumpanin temen ke aktor hantu, yang pelindung, yang sabar, yang pemberani, keliatan semua! Hahahaha. Tahun 2013 aja, rumah tangga gue nyaris bubar gara-gara gue dan T emosian parah.

Kalo udah begini, nggak mungkin inget pertemanan

Sekitar tahun 2010, geng kuliah gue juga pernah main ke rumah hantu model begini di Serpong/BSD. Lantas kelakuan asli masing-masing pun terungkap. Ada yang langsung lari kabur ninggalin temennya, ada yang jadi sensi bentak-bentakin semua orang, ada yang masuknya pake kacamata item (katanya supaya nggak bisa liat apa-apa, hahaha), sampe ada yang mau muntah (saking takutnya) trus nanya ke hantunya, “Mas, maaf punya kresek nggak? Saya mau muntah.”

Gue yakin itu hantunya langsung lebih takut lagi! Warrrbiyasak!

Maka, dari sekarang, GengSMA Goes to HHN gue ini udah dikit-dikit susun strategi. “Eh, si Ami ‘kan anaknya paling skeptis dan logis. Dia nggak bakal takut, tuh. Ya udah, dia jalan paling depan, lah! Atau paling belakang!”

Ngomongnya depan Ami pula, tanpa peduli perasaan dia yang sebenarnya :’)

All is fair in love, war, and haunted houses, guys!

Tapi untungnya, kami akan datang ke acara ini di penghujung bulan, jadi di Internet udah ada banyak blogpost review dan vlog yang mengulas Halloween Horror Nights Singapore 6. Dengan sikap overprepared gue, vlognya udah gue tontonin satu-satu, sembari diapalin... "Oh, di rumah hantu ini, nanti hantunya keluar di pojokan ini... di rumah hantu itu, bentuk hantunya kayak mantan gue begitu..."

Apakah bakal ngaruh dalam mengurangi kehisterisan gue? Kayaknya nggak, sih!

Namanya juga usaha :')




See you in Halloween!

PS. Kalo memungkinkan, rencananya gue pengen vlog perjalanan ini. Niat udah ada, apalagi niat tampilnya. Namun…. kamera dan tongsisnya kagak ada yang punya. Sedih, ya. Nggak ada yang mau endorse? (“Nggak…”)

Berempati dan Bertoleransi


#ReadMoreBooks What Leija Reads, From May to October 2016

$
0
0
DSCF6130

Tengah tahun ini, sebagai warga #kelasmenengahngehe yang nggak mau ketinggalan tren, tentu saja gue ikut menyambangi pameran buku Big Bad Wolf di BSD. Menyambanginya juga pake aksi-aksi ambisi gitu. Misalnya, nyari jam paling sepi walaupun tengah malam sekalian, dan datang ke sana berkali-kali.

Untungnya, keambisiusan gue diimbangi oleh sifat penuh perhitungan, jadi jumlah buku belanjaan gue—menurut gue—nggak lebay.

Tapi bagi T, jumlah buku yang gue beli masih nggak berimbang dengan porsi kesibukan gue.

“Kayak ada waktuuuu aja baca buku segitu banyak!”

Ditambah, abis borong di Big Bad Wolf, gue masih belanja buku anu-itu lagi di toko buku biasa. Makinlah ogut dicibir. Gue dianggap memperlakukan belanja di Big Bad Wolf sebagai sebuah kompetisi dengan peer gue. Bukunya sendiri belum tentu dibaca.

Gue gengsi, dong, dibilang kayak gitu… soalnya bener, hihihi.

Enggak, deng. Soalnya sejak SD, gue memproklamirkan diri sebagai orang yang hobi baca buku, Statement harus dibarengi dengan aksi, dong!

Karena merasa tertantang oleh cibiran T, selama beberapa bulan sejak Big Bad Wolf, gue ngebut banget baca buku-buku yang gue beli, baik di Big Bad Wolf, maupun di toko buku lain. I think it was my most intense reading period, for the last… three years?

Sampai sekarang, bukunya belum kelar semua, sih. Tapi kalo buku-buku yang udah selesai gue baca tumpuk, lalu gue panjat, tinggi gue bakal sama ama T (dan gue bisa cibir do’i balik). Lumayan banyak, dong! :D

Siapa tahu ada yang penasaran—atau sekedar butuh referensi buku—berikut ulasan-ulasan singkatnya.

What Leija Reads From May to October 2016

The BFG Road Dahl
Jenis: novel
Genre: fiksi, anak-anak, fantasi

DSCF6132

Gue baru baca The BFG setelah denger kabar akan ada filmnya dan ternyata… lebih bagus dari dugaan gue!

Seperti karya Roald Dahl lainnya, ide utama buku ini sangat imajinatif. Bercerita tentang seorang raksasa baik hati (Big Friendly Giant) yang “berprofesi” sebagai pengumpul dan penyebar mimpi. Dia hidup di negeri raksasa, bersama raksasa-raksasa lain yang jahat, juga lebih besar dan kuat dari  BFG. Saking baiknya, si BFG maksain diri makan sayur doang, dan nggak mau makan manusia. Padahal dalam cerita ini, makanan utama raksasa sebenarnya manusia.

Layaknya vegan atau vegetarian yang selalu dianggap norak di lingkungan gue (hihihi), BFG juga selalu dibully oleh teman-teman raksasanya yang bengis.

Banyak yang bilang, versi film The BFG agak dragging dan bertele-tele, khususnya untuk anak-anak. Setelah baca buku ini, gue jadi paham kenapa.

The BFG memang penuh dengan percakapan (panjang), dan “bahasa-bahasa plesetannya” si BFG juga kontekstual bahasa Britania Raya banget. Mungkin itu sebabnya?

Grotesque – Natsuo Kirino
Jenis: novel
Genre: fiksi, crime, drama, erotika

DSCF6135

Dari dulu gue selalu merasa, kalo orang Jepang bikin sesuatu yang twisted, twisted-nya parah banget. Gue pernah film nonton Mister Q, dan langsung nggak bisa tidur sebulan karena batin trauma berat (lagian siapa suruh nonton?)

Gue juga pernah coba baca novel Battle Royale, trus setelah beberapa bab, gue langsung kibar bendera putih. Tolong, aku nggak kuat dengan permainan psikologis cerita ini!

Grotesque punya kecenderungan “hawa” seperti itu. Novel ini—kurang lebih—menceritakan tentang sebuah kasus pembunuhan di Tokyo, sekaligus tentang kerasnya kehidupan remaja perempuan di Jepang, dari sisi akademis maupun peer pressure.

Novel ini diceritakan dari sudut pandang tiga tokoh utama, secara bergantian. Tiga-tiganya perempuan, tiga-tiganya bukan protagonis maupun antagonis, dan narasi tiga-tiganya nggak bisa dipercaya.

Grotesque masuk ke dalam kategori kriminal, karena inti ceritanya memang tentang pembunuhan salah satu dari tiga tokoh utama tersebut. Tapi secara keseluruhan, novel ini lebih “membedah” human nature masyarakat—terutama masyarakat perempuan—Jepang.

Novel ini juga gue kategorikan sebagai erotika, karena juga bercerita tentang inses, pedofilia, dan prostitusi (ini porsi cerita yang paling besar). Bahkan katanya, versi Amerika dari Grotesque—yang gue baca ini—sama sekali menghapus cerita tentang prostitusi laki-lakinya, karena dianggap terlalu tabu.

Gue hanya sanggup baca kira-kira ¾ novel ini. It’s a gripping, exciting, disturbing, tapi semakin lama ceritanya semakin metaforis dan otakku semakin nggak konek, mak!

Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children – Ransom Riggs
Jenis: novel
Genre: fiksi, fantasi, young adult

DSCF6136

Setelah baca beberapa bab novel ini, gue langsung, “OOO, INI BUKU YOUNG ADULT, THO!”

Hampir bukunya gue lempar ke tong sampah.

Ih, jahat. Kenapa? Soalnya young adult bukanlah genre buku favorit gue, baik young adult fantasi-fantasian, apalagi cinta-cintaan.

Nah, karena cover bukunya sangat dark dan konsep visualnya sangat unik—konsep awal Miss Peregrine adalah coffee table book berisi foto-foto antik koleksi si pengarang aja, lho, bukan novel fiksi—gue sama sekali nggak menyangka bahwa Miss Peregrine’s adalah buku young adult, dengan segala formula klisenya.

Tapi walaupun klise, surprisingly, menurut gue buku ini masih oke. Agak kayak perpaduan antara Harry Potter dengan X-Men. Bercerita tentang sebuah ras manusia yang punya “kekuatan istimewa” (mutan?), tapi harus selalu bersembunyi dari sejenis makhluk gaib jahat yang nggak pernah berhenti memburu ras ini sampe akhir jaman. Semuanya dikemas dalam setting yang “dark”.

Gue masih mikir-mikir untuk baca buku kedua dan ketiganya. Penasaran sama ceritanya, sih, tapi sepengalaman gue, buku-buku young adult yang trilogi biasanya cuma bagus di buku pertama doang. Hello, The Hunger Games. I’m looking at you.

Why Not Me? – Mindy Kaling
Jenis: koleksi esai
Genre: non-fiksi, komedi, memoir

DSCF6140

Gue cinta sekali sama buku memoir / koleksi esai (bagi yang nggak kebayang, buku koleksi esai itu seperti Majelis Tidak Alim atau buku-bukunya Raditya Dika) yang ditulis oleh aktris / penulis komedi perempuan Amerika. Selalu lucu dan selalu inspiratif, dengan cara yang nggak terduga.

Sejauh ini, gue punya Bossypants-nya Tina Fey, Yes Please-nya Amy Poehler, Not That Kind of Girl-nya Lena Dunham, dan I Feel Bad About My Neck-nya Norah Ephron.

Tadinya gue kira nggak akan ada yang bisa mengalahkan kerennya Bossypants... sampai gue baca Why Not Me-nya Mindy Kaling.

OMG, I love this book! 

Buku ini adalah kumpulan esai aktris dan penulis naskah komedi Mindy Kaling, yang menceritakan tentang hidupnya. Mulai dari masa kecilnya, rutinitas kerjanya, sepenggal kisah asmaranya, dan cerita-cerita belakang layar di industri televisi. Benang merah yang mengikat esai-esai ini adalah tema approval dan entitlement. Cocok sekali buat gue yang cenderung anxious dan nggak pedean.

This book ticks all the box—lucu, inspiratif, dan memikat dari awal sampai akhir. Nulis memoir itu susah, lho! Harus charming, tapi jangan sampai terkesan narsis dan kelewat cari simpati. Yes Please dan Not That Kind of Girl masih punya “hawa” seperti itu, tapi Why Not Me? nggak punya kesan begitu sama sekali.

Tiga hal random dari buku Why Not Me? yang membekas di kepala gue:

- Dalam hal kecantikan: sepengalaman Mindy bolak-balik didandanin makeup artist, lebih baik punya noda di wajah, daripada jerawat. Dimana-mana, makeup artist pasti lebih pilih harus menutup tato di muka Mike Tyson, daripada harus menutup satu jerawat cilik. Soalnya lebih gampang menutupi warna daripada dimensi.

Ini informasi yang random banget, but I remember reading this ketika lagi jerawatan parah mblendung-mblendung, and I thought, “IH, IYA BANGET” sambil berlinang airmata dan mencocolkan concealer ke muka dengan emosi.

- Dalam hal kerja keras: Mindy Kaling bilang dia susah banget diet, karena nggak bisa menahan godaan duniawiyah dalam bentuk makanan enak.

Tapi dia bisa kerja non stop tanpa liburan sama sekali selama… delapan tahun. Delapan tahun berturut-turut nggak liburan! Padahal setiap hari Mindy kerja dari jam lima subuh sampai jam 12 malam, lho. Fix, gue harus bersyukur kalau gue bisa getaway sejenak, walaupun cuma ke Jonggol.

- Dalam hal kepercayaan diri: kepercayaan diri hanya bisa datang dari kerja keras. Titik.

Joyland – Stephen King
Jenis: novel
Genre: fiksi, crime, misteri

DSCF6133

Gue adalah fans berat Stephen King, tapi gue hanya mau baca cerpen-cerpen dia, yang terangkum dalam buku-buku antologinya. Gue nggak pernah baca novel Stephen King—termasuk yang legendaris kayak Misery, Carrie, It—apalagi novelnya yang berseri.

Joyland adalah novel Stephen King pertama yang gue baca, tapi gue langsung merasa Joyland bukanlah karya standar Stephen King.

Bagi gue, Joyland terasa sangat “enteng” untuk seorang King. Jalan cerita dan bahasanya jauh lebih ringan daripada jalan cerita dan bahasa yang biasa dia gunakan.

Mungkin karena Joyland termasuk dalam seri novel Hard Case Crime, ya. Seri ini mengangkat novel crime dengan gaya dan citarasa novel paperback Amerika tahun 1940-50an, yang kayaknya memang santai dan cenderung lebih enteng.

Ada 100an lebih novel yang sudah terbit di bawah seri novel Hard Case Crime, dan Joyland adalah salah satunya.

Joyland bercerita tentang misteri hantu dan pembunuhan di sebuah taman bermain Joy di Amerika Serikat, bernama Joyland, pada tahun 1950an. Tokoh utama novel ini, Devin Jones, adalah mahasiswa yang bekerja di Joyland sebagai summer job-nya.

Meski ini buku “enteng”—and didn’t give me the chill like usual—risetnya King nggak lantas ikutan “enteng”. Deskripsi, budaya, dan jargon industri taman bermain di era 50-an tetap digambarkan dengan sangat mendetil oleh King. Karena gue adalah penggemar budaya taman bermain, faktor ini lumayan “menyelamatkan” Joyland di hati gue.

Duile, menyelamatkan. Siape juga yang kelelep?

The Hills Have Eyes
Jenis: graphic novel
Genre: fiksi, horor, gore

DSCF6144

Gue belum pernah nonton film The Hills Have Eyes, baik versi asli maupun versi remake-nya, tapi franchise film ini ‘kan memang udah terkenal banget sebagai film cult classic yang sadis dan gory.

Jadi sedikit-sedikit, gue tau lah tentang cerita The Hills Have Eyes.

Walaupun belum pernah nonton filmnya, gue merasa graphic novel ini mewakilinya dengan cukup bagus. Ilustrasi gore-nya dapet, dan ketegangannya lumayan terasa.

Yang pasti, bikin gue penasaran pengen nonton franchise filmnya.

The Blumhouse Book of Nightmares: The Haunted City – Jason Blum
Jenis: kumpulan cerpen
Genre: fiksi, horor

DSCF6134

Mungkin sampai di sini, pemirsa bisa lihat, gue suka banget sama genre horor atau thriller, dan udah lumayan terlatih membedakan horor murahan dan horor berkelas (ciyeee...)

Sayangnya, bagi gue, The Blumhouse Book of Nightmares masuk ke dalam kategori horor murahan :( Padahal konsepnya seru, lho.

Pada suatu hari, Jason Blum—seorang produser Hollywood spesialis film horor (Paranormal Activity, Insidious, dll)—punya ide bikin buku kumpulan cerpen horor.

Dia kumpulkanlah teman-temannya sesama pekerja film—aktor, sutradara, penulis naskah, cameraperson, dll—untuk membuat cerita horor. Ceritanya bebas, yang penting horor, dan harus berlokasi di perkotaan.

Akibatnya, membaca buku ini serasa membaca naskah filmnya Insidious, The Conjuring, Sinister, Anabelle, dan film-film horor blockbuster Hollywood lainnya.

Masalahnya, gue kurang suka film-film tersebut, karena mengandalkan adegan kaget-kagetan dan penampakan serem. Banyak aksi, tapi nggak membekas di sanubari. Secara psikologis, nggak nendang, gitu.

Beberapa cerpen di antologi ini punya ide cerita yang bagus, kok. Bahkan ada yang benar-benar bagus. Tetapi secara keseluruhan, buku ini lebih bikin gue, “Apaan, siiih? Norak, ah!”

Trigger Warning: Short Fictions and Disturbances – Neil Gaiman
Jenis: kumpulan cerpen
Genre: fiksi, horor

DSCF6142

Neil Gaiman adalah salah satu penulis yang gue anggap sangat hebat, plus gue cinta banget sama antologi cerpen Gaiman yang gue baca sebelumnya, Fragile Things. Jadi gue punya ekspektasi tinggi terhadap kumpulan cerpennya ini.

Sayangnya, ternyata gue nggak suka :(

Ralat, bukan nggak suka, tapi nggak ngerti!

Gue merasa cerpen-cerpen dalam antologi ini menarik, tapi gue nggak nangkep “intisari”nya. Duh, ciyan amat. Pasalnya, cerpen-cerpen dalam Trigger Warning sangat penuh dengan metafora, alegori, dan referensi yang nggak bisa gue pahami (Ray Bradbury itu siapa, sih?).

Seriously, I never felt more stupid and shallow in my life. Seandainya gue paham berbagai referensi yang digunakan Gaiman, mungkin sebenarnya antologi ini kuat banget.

Untungnya, ada beberapa cerpen dalam antologi ini yang gue pahami (dan memang bagus banget), tapi lebih banyak yang nggak gue pahami.

Gue bahkan nggak yakin cerpen-cerpen dalam novel ini jenisnya apa. What was I reading? Horror? Drama? Mistery? Apa jangan-jangan harlequin? Tolong!

The Girl on The Train – Paula Hawkins
Jenis: novel
Genre: fiksi, crime, misteri

DSCF6131

Gue sangat tertohok dengan novel Gone Girl. Maka ketika The Girl on The Train digadang-gadang sebagai the next Gone Girl, gue langsung merasa harus menyikat buku ini *ambil sikat WC*

Buku ini bercerita tentang Rachel, seorang alkoholik yang depresi karena pernikahannya yang gagal. Walaupun sudah bertahun-tahun cerai, dia masih terobsesi dengan mantan suaminya.

Selain mantannya, Rachel juga terobsesi dengan sepasang suami-istri yang nggak dia kenal, tetapi selalu dia lihat saat naik kereta ke kota setiap hari. Trus, suatu hari, sang “istri” yang dia idolakan tersebut menghilang. Mana dimana… anak kambing saya?

Premisnya seru, ya? Sayang, bagi gue, The Girl on The Train belum bisa menyamai Gone Girl, baik dari segi jalan cerita, twist, maupun narasi. Alurnya pun cukup ketebak, sementara Gone Girl… siapa, coba, yang bisa nebak jalan cerita Gone Girl? Twisted banget!

It’s an okay book on itself. Cuma karena media terlanjur “menjanjikan” buku ini sebagai pesaingnya Gone Girl, ekspektasi gue jadi kelewat tinggi. Seandainya reputasi buku ini berdiri sendiri, tanpa disandingkan dengan Gone Girl, mungkin gue nggak akan kecewa.

***

Waaaw, bukunya banyak juga! Memang, selalu “sedang baca buku” itu menyenangkan sekali, ya. Hepi, lho, selalu punya jawaban kalau ditanya, “Lagi baca buku apa sekarang?”

Walaupun hari gini, jarang juga, sih, ada orang nanya begitu. Ciyan :D

Semoga bulan depan, bisa kasih review buku lagi.

Read more books, everyone!

Girl's Trip to Halloween Horror Nights! Part 1

$
0
0
DSCF5771

Akhirnyaaa... ditulis juga trip report ke Singapura kemaren!

Sebelum gue menggelontorkan kisahnya, cerita latar belakang para oknumnya dulu, ya.

Waktu SMA, gue punya geng yang terdiri dari 11 orang cewek-cewek. Kita mulai temenan deket dari kelas 1 SMA, sampe sekarang. Kita bisa kenalan karena tergabung dalam satu ekskul, yaitu ekskul modern dance& cheerleaders. Padahal, mah, yang bener-bener suka dance kayaknya cuma 2-3 orang. Sisanya ikutan karena a) dijebak kakak kelas b) bingung c) ikut-ikutan. Hihihi.

Walaupun nggak menghasilkan skill joget yang mumpuni, seenggaknya ekskul ini menghasilkan persahabatan, ya, gaes.

Cerita soal kenapa tau-tau kita liburan bareng ke Singapura udah diceritain di sini, ya.

Awalnya, yang bisa ikutan pergi cuma gue, Mawar, Ayu, Mira, Ami, dan kita udah heboh merencanakan liburan ini dari dua bulan sebelumnya (because planning is half the fun, right?).

Sebenernya, Icha (dan suaminya, Mekka) kepengeeen banget ikutan, tapi sayang Icha nggak bisa cuti di hari Jumat (kita pergi hari Jumat-Minggu) dan nggak ada yang bisa jagain anak-anak mereka di Jakarta.

Tau-tau, di detik-detik terakhir—detik terakhirnya H MINES SATU HARI, sis!—Icha bilang mau ikut… sekeluarga.

Karena Icha dan Mekka nggak bisa ninggalin anak-anak mereka di Jakarta, akhirnya semua diboyong ke Singapura. Gokils! Udah H-1 amat, sekeluarga diboyong pula.

Trus jadinya, selama Icha pergi ke HHN bareng kita, Mekka bakal stay di hotel aja sama anak-anak. Sebenernya Mekka pun PENGEEEN BANGET ikut ke HHN (mereka berdua fans berat genre horor dan gore), tapi kali ini Mekka “rela berkorban” sebagai hadiah ultah awal buat Icha. Awww…

Anyway, sebelum lanjut, gue perkenalkan cast of characters satu-persatu ya, supaya kisahnya bisa dihayati:

DSCF6116 

Ayu: ibu rumah tangga beranak dua, yang setelannya senantiasa semanis namanya. Punya motto “mending lupa makan daripada lupa pake bulumata palsu” dan menjadikan Victoria Beckham sebagai kiblat style-nya. Sampe-sampe kalo difoto, dese suka usaha irit senyum. Takut cepet keriput. Ilmu ini tentunya didapat dari Vic Beckham.

Orangnya ceria, optimis, selalu berenergi, mirip tokoh Poppy di film Trolls. A very girly girl, dan salah satu kebiasaannya adalah jerit-jerit manja. Pokoknya kalo ada kehebohan dikit, jerit!

Berangkat ke Singapura dengan pressure luar biasa harus mendapatkan mainan Peppa Pig lengkap untuk anak-anaknya. Akan sukseskah? Ikuti kisahnya!

Fun fact! karena orangtua kita berteman sejak kuliah, gue dan Ayu juga berteman sejak… lahir. Maygat! Kita bersahabat erat pas SD karena satu sekolah, kepisah pas SMP (tapi tetep ikrib dan hobi nginep-nginepan), trus bersatu padu kembali pas SMA. Sekelas, sebangku, satu tim dance. Plok, plok, plok.

DSCF6110

Mawar: juga ibu rumah tangga, juga beranak dua. Umur sudah tidak muda (ya, kayak kita semua, sih!) tapi jiwanya super remaja. Shawn Mendes, Taylor Swift, Fifth Harmonies... apal satu album! Paling jenaka, dan hobi ketawa, sampe OOTD-nya selama di Singapura gagal semua. Ketawa mulu, sih :D

Seperti Ayu, Mawar juga selalu ceria, optimis, murah senyum, murah ketawa, dan kalo ngemeng suka susah berhenti. Auranya senantiasa super positif banget, deh. Kalo lagi nggak positif, tinggal diumpanin coklat dan karoke aja, dijamin langsung kembali menggelora.

DSCF5911

Mira: Kalo kita buka kamus dan cari definisi “hidup ini tidak adil”, mungkin ada fotonya Mira.

Notaris beranak dua ini nikah dengan high school sweetheart-nya (pacarannya tujuh tahun, booo, sejak kelas 2 SMA) dan cinta mereka masih membara sampe sekarang. Sampe-sampe dese suka telat dateng ke berbagai janjian karena katanya, ehm, “jajan bubble tea Quickly” dulu sama suaminya (ini metafora ya, gaes. What rhymes with Quickly?).

Hobi makan dengan porsi kuli, dari breakfast sampe dinner, tapi bodinya makin ke sini malah makin kenceng, singset, dan semampai bak perawan. Rumahnya pun kece bener, sampe suka diliput majalah. Kesel ‘kan?

Tapi dalam jalan-jalan kali ini, Tuhan cukup adil, karena Mira diberangkatkan dengan perasaan senewen. Pasalnya, seminggu setelah Singapore trip ini, Mira harus ujian PPAT. Jadi selama di Singapura, dese kudu belajar. Muahahaha! *si sirik tertawa*

DSCF5852

Ami: dalam setiap geng pertemanan, pasti ada satu anggota yang agak “unik” sehingga akhirnya jadi korban bully satu geng *ciyan*

Misalnya, di film Trolls, inget nggak sama satu tokoh troll mungil berwarna hijau yang matanya agak jereng, dan suka tiba-tiba nongol di rambut Poppy, untuk ngasih komen nggak nyambung? Itulah Ami. Nyentrik, unik, tidak klenik, tapi suka bikin kita, “Hah? Apaan sih, Mik?”

Tapi biasanya, setiap tokoh “unik” suka diam-diam mengejutkan. Begitu pula dengan Ami. Walaupun gesrek dalam kehidupan sosial, ibu anak satu ini sebenernya jenius banget. Kariernya pun gilang gemilang di sebuah perusahaan prestisius. Curiga banget Bu Direktur ini gajinya dolar!

DSCF5953


Icha: walaupun temen-temennya gesrek semua, Icha yang bekerja sebagai praktisi HR di sebuah perusahaan migas ini konsisten paling kalem, paling sabar, paling diam-diam menghanyutkan, paling “lurus”, dan paling bijak di antara kita semua. Subhanallah.

Tapi jangan salah. Meskipun anaknya teduh kayak payung, do'i hobi banget nonton film horor, thriller, dan gore dengan gagah berani. Kayaknya dia nggak pernah tutup mata sekali pun, meski ada adegan orang ngunyah bola mata orang lain, misalnya. Hiiii...

Trus, mungkin ada yang inget, suaminya, Mekka, pernah gue orbitkan jadi seleb internet sesaat lewat postingan ini, hihihi

(by the way, yes, Mekka masih jadi SAHD, tapi sekarang anaknya udah dua!)

Tanpa dateng ke HHN pun, keikutsertaan Icha dan keluarganya sebenarnya udah jadi uji adrenalin sendiri.

Kenapa? As I’ve said, di hari H keberangkatan kita—yaitu hari Jumat—Icha nggak bisa cuti kantor. Alhasil, mereka baru bakal berangkat jam 2 atau 3 sore waktu Jakarta. Dari kantor, Icha akan langsung ke bandara, dan di sana ketemu sama Mekka + anak-anak + koper.

Dengan begitu, diperkirakan mereka akan sampe di Singapura jam 5-6 sore waktu setempat. Kalau nggak sempet balik ke hotel dulu, rencananya Icha bakal langsung ke Universal Studios Singapore dari Changi Airport, sementara Mekka dan anak-anak ke hotel. Gokil mamakeee… will they make it? Adrenalin ‘kan!

***

It’s D-Day!

Jadi, rombongan kita terbagi menjadi tiga kloter.

Kloter pertama terdiri dari gue, Ayu, Mawar, dan Mira yang berangkat hari Jumat, dengan flight jam 7 pagi.

Kloter kedua terdiri dari Ami (doang), yang berangkat dari Jakarta sekitar jam 9-10 pagi, sehingga akan sampe jam 12-1 siang waktu Singapura.

Kloter terakhir terdiri dan Icha dan keluarga, yang baru akan berangkat sore.

Meskipun kloter pertama terdiri dari ibu-ibu mapan, ternyata mentalnya masih mahasiswa pelit semua. Nggak hanya berangkat dengan pesawat budget, koper kita pun nggak ada yang dimasukkin bagasi. Walaupun skala receh, lumayan menghemat, sister.

Berhubung koper kita dibawa ke kabin, maka berat masing-masing nggak boleh lebih dari 7 kg dong, ya.

Tapi pada prakteknya, koper kita sedikit overweight semua. Udah pada nyadar dari rumah, sih. Lagian namanya juga perempuan ibukota. Mana mungkin travelling cuma bawa sepasang sepatu—harus dua, dong—dan nggak bawa hairdyer? Mengutip kata Ayu, “Hairdryer gue kudu yang 1500 watt! Hairdyer hotel mana bisa bikin blow mateng?” #prinsip

Apesnya, koper gue ternyata overweight-nya terlalu obvious (10 kg!). Kata temen-temen gue, dari jarak 5 meter pun koper gue udah keliatan nggak mungkin 7 kg. Nyesel, deh, bawa koper keras.

Sementara Mira ketiban sial, karena dapet counter check-in yang nyuruh dia nimbang bagasi, hihihi.

Alhasil, gue dan Mira kudu bayar denda overweight, sementara Ayu dan Mawar sukses lolos. Asyem!

Lesson learned: kalo mau travelling rame-rame tapi berhemat, boleh aja cuma pada bawa koper kabin. Tapi musti ada satu orang yang bawa koper gede, untuk dimasukkan bagasi. Nah, barang-barang berat para peserta travelling dimasukin, deh, ke koper itu. Batas bebannya ‘kan besar, tuh. Jadi nggak masalah kalo berat. Nanti biayanya dibagi rata.

Tips ini dipersembahkan oleh mertuanya Ayu yang gmz liat ibu-ibu mapan ini pada hemat-hematan, bak mahasiswa bokek. Nel ugha...

***

Kita sampe di Singapura dengan sehat, selamat, dan bahagia. Setelah ambil koper, langsung caw keluar bandara, menuju hotel.

Nginep di mana? As always, Ibis Bencoolen!

Kalo lagi males mikir, di Singapura emang paling ideal nginep di Ibis Bencoolen. Murmer, nyaman, strategis, mumpuni. Nggak heran dijadiin andalan banyak orang.

DSCF5755 
We're here!

Sampai di Ibis Bencoolen, waktu menunjukkan sekitar jam 10.30 pagi. Belum bisa check-in, jadi kita langsung jalan lagi.

DSCF5762

DSCF5765

DSCF5763

DSCF5761 
Kenapa, sih, beli payung satu dolar di 7-11 aja harus foto pose palsu?

Tujuan pertama adalah Bugis Junction dan Bugis+, dua mall terdekat dari hotel, karena a) mau cari ATM b) Mawar mau beli sendal Birkenstock Eva.

Bagaikan sudah suratan, kebetulan waktu itu Birkenstock Eva lagi diskon di penjuru Singapura. Beli 2 pasang jadi diskon 50%, beli 3 pasang jadi diskon 60%. Wooow...

Maka jikalau beli 2 pasang, harga per pasangnya jadi sekitar Rp370,000. Melihat harga Birkies Eva di Jakarta dan online shop Instagram (800 rebuan, mak), tentunya ini adalah hal yang membanggakan, ya.

(eeeh, tau-tau temen gue di Jakarta cerita, dia beli Birkies serupa di Inggris, harganya cuma Rp200,000 aja, dong. ‘Zel).

Anyways, setelah Mawar sukses dapet Birkies incarannya, kita makan di Nandos Bugis Junction. We love Nandos! We miss Nandos! Kenapa nggak masuk Indonesia lagi, sih?

DSCF5781

DSCF5789
 Kembalilah ke Indonesia, Nandos!

DSCF5792

DSCF5793

Kelar makan, dalam rangka berusaha menyetir teman-temanku tersayang untuk nggak nge-mall melulu, gue ngajak mereka ke Haji Lane, mumpung lokasinya deket. 

DSCF5795
Ngakunya seasoned traveller, tapi kalo ebes-ebes pergi bareng, adegan berantem-baca-peta tetep aja ada. Yang lebih seru, karena udah lama nggak ke Singapura, Ayu belum terbiasa dengan timing nyebrang jalan di sini. Maka setiap nyebrang jalan di traffic light, Ayu bakal lari sendiri sambil ngejerit "Aaaaaa...!" takut ketabrak. Emangnya di Jakarta?

Kalo pernah ke Haji Lane, pasti tau, ya, bahwa syoping di sana sebenernya nggak bikin hati gembira. Barang-barangnya berhawa ITC Mangga Dua, dan harga-harganya nggak murah juga. Sama aja kayak harga mall. Ada, sih, barang-barang unik, seru, atau murmer, tapi nyarinya kudu usaha.

Tapi harus diakui, Haji Lane memang fotojenik beneur. Jadi—seperti kebanyakan turis lainnya—kita bela-belain, deh, keringetan jalan ke Haji Lane cuma buat foto-foto.

DSCF5802

DSCF5811

DSCF5815

DSCF5816
Tawa-tawa palsu demi pencitraan

Eeeh, di Haji Lane, nggak sengaja ketemu Manda.

Manda ini cowok, dan merupakan temen satu SMA kita. Dia kerja di sebuah perusahaan internasional, dan akhir tahun lalu ditempatkan di Singapura.

Lucunya, sebelum pindah ke Singapura, anak pertama Manda dulu sempet satu sekolah sama Raya. Jadi gue juga kenal sama istrinya Manda. Small world!

hajilnae

DSCF5819

DSCF5824

DSCF5825

DSCF5847 
Fake posing is life, yo

DSCF5842

Kelar foto-foto dan mimik-mimik dikit di Piedra Negra, kita balik ke hotel untuk istirahat sebentar, bebenah, dan… siap-siap ke Halloween Horror Nights!

***

Sesampai hotel, kita baru ketemuan sama Ami, yang abis makan siang sendiri di Bugis Junction.

Pas lagi goler-goler istirahat di kamar, tetiba dapat kabar menegangkan dari Icha dan keluarga. Mereka ketinggalan pesawat! Matek!

Jujur, hati gue retak dengernya. Kebayang betapa rempongnya mereka—bawa satu balita plus satu bayi!—dan terpaksa harus keluar biaya ekstra untuk beli tiket pesawat berikutnya.

Mereka bakal sampe Singapura jam berapa? Icha bakal sampe USS jam berapa? Gustiii… Randaaa… :(

Yang bisa gue lakukan hanya terus-terusan Whatssap Icha untuk selalu berkabar, dan mengupayakan supaya kita nggak masuk HHN duluan, sampe Icha dateng.

Sekitar jam 7 malam, dengan mengucap basmalah seratus kali, berangkatlah kita semua ke USS. Cusss...

Stay tune for part 2!

Girl's Trip to Halloween Horror Nights! Part 2

$
0
0
Note: Kalo blog post sebelumnya penuh dengan foto-foto, sayang sekali, blog post ini bakal sebaliknya.

Selain karena pengunjung memang nggak diperkenankan motret di dalam rumah hantu HHN, juga karena di acara HHN, prioritas gue adalah nyelamatin jiwa dan batin diri sendiri. Foto-foto? Bhae!


Malam – Universal Studios Singapore

Sampe di Resort World at Sentosa, waktu menunjukkan jam 7.45 malam. Karena kelaparan, kita makan dulu di Toastbox, sekalian nungguin Icha (YANG MASIH BELUM ADA KABARNYA. At this point, kita aja nggak tau dia beneran sukses berangkat ke Singapura atau nggak).

DSCF5850

DSCF5856
 Apaan, siiih... mau ke acara hantu-hantuan kok malah pada ca'em-ca'em amat, apaan siiih...?! (Ayu pun lengkap dengan kalung Chanelnya)

Sampai kita selesai makan jam 8.30 malam, Icha belum bisa dihubungi.

Oke, deh, masuk aja dulu ke Universal Studios.

Pas masuk, kita disambut oleh suasana khas HHN, yaitu suasana… rave party.

Gue cerita dikit, ya.

Secara umum, Universal Studios memang sengaja mengangkat nuansa yang lebih “adult” dibandingkan Disney. Mungkin supaya nggak saingan head-to-head amat, ya, secara mereka sama-sama industri theme park terbesar di dunia.

Kalo Disney sangat pakem cuma mau bikin wahana, pertunjukkan, dan event yang family-friendly, Universal berani untuk sebaliknya.

HHN adalah salah satu produk Universal Studios yang kagak family-friendly samsek. Di luar rumah-rumah hantunya, musik yang dipasang di HHN pun musik rave party, boookkk. Jedang-jedung, ditambah berbagai strobe light dan efek-efek asap. Kadang diganti musik rock. Tapi nggak pernah Beyonce. Ku tak suka. Sebal.

Disney would never do this. Mereka akan pasang musik-musik “aman” seperti musik bubblegum pop, score music dari film-film animasinya, atau musik instrumen.

OKE, NGELANTURNYA KEJAUHAN.

Walaupun gue selalu sebel sama musik penyambutan HHN, ternyata hal ini memang sukses memompa semangat pengunjung.

Ami mukanya sampe berseri-seri banget. Dese pun berjalan masuk sambil menatap strobe lighting dengan terpesona, bak laron kesirep lampu jalanan. “Aku kok hepi banget ya, La!”

Ya, tunggu aja sampe masuk rumah hantunya, MUAHAHAHA.

DSCF5857

BODY OF WORK

Rumah hantu yang pertama kita jajal adalah Body of Work. Kok macem judul DVD senam ala-ala Liza Natalia, ya (punya, sis?).

Sinopsis rumah hantu ini kira-kira begini: ada seorang seniman, bernama Damian. Suatu hari, rumahnya kebakaran dan menewaskan semua anggota keluarganya.

Karena Damian nggak terima atas tragedi ini, mayat anggota keluarganya dia simpan (namanya juga seniman. Eksentrik. Gila dikit). Kemudian dia menjadikan rumahnya sebagai museum berisi mayat, anggota tubuh, dan berbagai kenangan tentang keluarganya tersebut.

Jadi bisa kebayang, this scare house is a gore fest. Tema besarnya adalah darah-darahan dan daging-dagingan. Makanya, gue justru pede masuk ke Body of Work, karena gue nggak pernah terlalu takut dengan hal-hal yang berbau gory.

Tapi entah karena adrenalin kita lagi tinggi, karena baru selesai makan, karena kepancing sama elemen-elemen rumah hantunya yang bikin eneg, atau karena di dalam rumah hantu ini ADA KOMIDI PUTARNYA (dan pengunjung harus naik), keluar-keluar kita semua langsung hoeeekkkkk… bak hamil trimester pertama!

Okay, we were not actually puking
, tapi efek mualnya sangat terasa. Dengkul gue gemeter, kaki lemes, dan sempet mempertimbangkan untuk muntahin aja deh, shay, biar lega.

Padahal sebelumnya, gue sempet baca sebuah blog review HHN yang bilang bahwa Body of Works memang membawa efek eneg. Blog tersebut menyarankan agar pengunjung bawa minyak kayu putih atau aromaterapi yang bisa menangkal eneg.

Gue ‘kan mikir “Ah, dasar orang Singapur lebheeey… Nggak ada yang lebih tough dari perutnya orang Indonesia!” Eh, ternyata bener. Siaul.

Seperti rumah hantu walkthrough pada umumnya, jalur dalam ruhan Body of Works dibuat menjadi satu jalur sempit, sehingga pengunjung harus jalan dalam satu baris. Nggak bisa gandengan side-to-side. Bisanya gandengan ala truk gandeng.

Mawar, yang jalan di belakang Mira, sempet histeris sampe ngangkat roknya Mira, sehingga kolornya Mira terekspos ke para "hantu" di sana :D

Tapi Mawar langsung kualat, karena dese… NGOMPOL. Maklum yaaa, ibu anak dua melahirkan normal, nih. Otot kegel nggak semantap dahulu, shay. Heboh campur syok, akhirnya crut! Keluar deh sipip-nya.

Alhasil, pas keluar dari ruhan Body of Works, Mawar langsung, “Miraaaa… minta softeks dong, gue ngompoool!”

*ngakak sampe kayang*

Ruhan Body of Works sendiri sebenarnya bagus dan penuh detil. Misalnya, ada banyak potongan koran yang menceritakan kenapa rumah keluarga Damian bisa kebakaran. Tapi siapa yang bisa peduli sama detil, kalo lagi histeris?

SUICIDE FOREST

Dari Body of Work, kita lanjut ke Suicide Forest. Seperti yang pernah gue ceritain sebelumnya, Suicide Forest bukanlah rumah hantu, melainkan outdoor scare zone. Intinya pengunjung tetap ditakut-takutin juga, sih.

Suicide Forest ini bertemakan hutan tempat bunuh diri. Dalam scare zone ini, ada bermacam adegan bunuh diri, yang diperagakan oleh sejumlah aktor. Ada orang gantung diri, kuntilanak, orang stres bawa pistol, korban tabrakan mobil, dan sebagainya.

DSCF5862

Walaupun bukan sebuah rumah hantu, scare zone bisa jauuuh lebih teror daripada ruhan. Antara lain karena:

- Aktor hantunya bisa NGEJAR para pengunjung. Asyem! Soalnya zonanya ‘kan terbuka ya, nggak enclosed seperti di dalam rumah hantu. Jadi kalo mau kejar-kejaran mesra bak film Bollywood, silahkan aja.

- Ada banyak efek suara yang keras dan mengagetkan

- Di Suicide Forest, ada asap super tebal yang suka tiba-tiba disemprot. Mungkin sekitar 15-20 menit sekali. Pernah pada suatu titik, kita bener-bener nggak bisa ngeliat apa-apa di dalam Suicide Forest ini, karena efek asap lebay tersebut. Jarak visibility-nya kayaknya cuma 5 senti. Berasa disembur orang lagi nge-vape. Bikin panik parah!

- Karena scare zone adalah zona terbuka—yang nggak se-“padat” rumah hantu—kita jadi lebih memperhatikan detil-detil yang sebenernya nggak pengen diperhatikan juga. Kok… ada mayat ngesot di kaki gue… kok ada kuntilanak di atas gue… kok… ada yang ngintip di balik pohon itu…

At the same time, area ini sangat seru buat foto-foto. Meskipun… gimana sih rasanya mau foto-foto, tapi dibelakang kita ada bahaya laten mengintai? Nggak ens!

DSCF5866

DSCF5867

Alhasil, kita letih banget ngider di Suicide Forest ini. Pengen banget keluar, tapi rutenya diputar-putar.

Tapi yang paling ngeselin, di gerbang keluar/masuk Suicide Forest ada sesosok “makhluk” yang stenbe dan bakal NGEJAR setiap pengunjung yang lewat situ. Kzl! Perasaannya kayak mau pulang ke rumah, tapi ada raja preman lagi nongkrong di pengkolan rumah kita.

Pas lagi capek dan galau berat kepengen keluar dari Suicide Forest, gue dapet telp dari Icha. Hore!

Jadi, setelah ketinggalan pesawat, lari-lari di bandara bareng suami, anak balita, dan bayi 8 bulan, akhirnya Icha berhasil menginjakkan kaki di Singapura, dan sudah dalam perjalanan menuju USS dari hotel, menjelang jam 10 malam. Udah pasti belum ganti baju dari pagi, tuh!

Bener aja. Ketika akhirnya kita berhasil keluar dari Suicide Forest dan ketemuan sama Icha, (tepat jam 10 malam), dese masih pake baju kantor. Hihihi. Bajunya pun udah mengalami siklus keringetan gobyos – kering – keringetan lagi – kering lagi. Untung Icha-nya masih kece, nggak tampak bagai pel basah.

Intinya, Alhamdulillah wa syukurillah, formasi girl band ini lengkap sudah.

Alhamdulillah juga, kita semua lelet. Jadi walaupun Icha baru dateng jam 10 malam, kita baru masuk ke satu rumah hantu, sehingga Icha nggak terlalu ketinggalan.

DSCF5872

DSCF5875
Melewati parade March of the Dead

CHANGI HOSPITAL

Awalnya kita sempet gamang, karena dari hasil baca-baca di internet, konon ruhan ini paling serem. Masalahnya, walaupun baru masuk ke satu ruhan dan satu scare zone, stamina kita rasanya udah kendor, mak. Sampe Mawar terang-terangan menyatakan, “Aduh, capek banget, gimana dong. Apa gue udahan, ya… capek banget…”

Supaya eling, kulambaikan lagi tiket dan Express Pass HHN di muka Mawar, supaya inget, harganya tiketnya tuh 782,476,199 rupiah. Mahal, rek! Jangan mau rugi!

Premis rumah hantu Changi Hospital sendiri standar, yaitu tentang… rumah sakit berhantu. Self-explanatory, ya.

Changi Hospital benar-benar ada di Singapura, dan (katanya) benar-benar berhantu. Sejarah dan urban legend-nya panjaaang sekali, maka mungkin rumah hantu ini lebih “berasa” untuk warga Singapura.

Ibaratnya, orang Indonesia mungkin akan lebih berasa “serrrrr…” kalo masuk ke sebuah ruhan bertema Nyi Roro Kidul atau Si Manis Jembatan Ancol.

Drama sudah dimulai ketika kita baru ngantri masuk.

Jadi, ada seorang kakek-kakek Melayu yang nongkrong di pintu masuk ruhan ini. Dia pake kutang, sarung, jalan bongkok, dan nggak ngapa-ngapain. Cuma ngeliatin pengunjung satu persatu, dengan tatapan creepy-nya. Huhuhu.

Berbekal pengalaman ke HHN tahun 2013 lalu, gue paham bahwa semakin kita menunjukkan ketakutan, kita akan semakin dikejar oleh para aktor hantu.

Masalahnya, Ayu tipe orang yang susah untuk menahan emosinya. Maka setiap kali masuk ruhan, dia selalu histeris.

Nggak terkecuali pas mau masuk ruhan ini. Ketika mulai jalan masuk, rombongan kita diikuti oleh si kakek-kakek yang makin lama makin mendekat… trus Ayu jejeritan! Jeritnya yang bener-bener “Aaaaaa!! Aaaaaa!!” Akibatnya, si kakek bener-bener NGEJAR Ayu. Apesnya, gue jalan persis di depan Ayu.

Akhirnya gue ikutan panik dan spontan ngebentak keras, “AYU! DIEM! Makin lo teriak, makin kita semua diikutin! Diem! Jangan teriak-teriak!!!!”

Akhirnya Ayu harus menelan teriakannya, mungkin sekaligus menelan airmatanya.

Ahahaha, maafin aku ya, bebih gurl. Namanya juga panik!

Anyways, Changi Hospital memang serem, dan para aktornya juga ngeselin to the max. Aktingnya bagus, dan mereka benar-benar lompat nyergap kita (walau tetep nggak boleh nyentuh, ya). Tapi Alhamdulillah—surprisingly!—Changi Hospital nggak seserem antisipasi gue.

Mungkin karena semakin lama kita keleleran di HHN, mental kita jadi semakin tertempa, makin hapal sama taktik nakut-nakutin para aktornya, dan jadi nggak terlalu kagetan. Bagus, deh!

Kelar dari Changi Hospital, kita menenangkan diri dulu dengan naik wahana-wahana andalan USS seperti The Mummy, Transformers, dan Puss in Boots. Hepi!

It was a pretty crowded night. Antrian Battlestar Galactica 100-150 menit aja, lhooo... sekian dan trims (needless to say, we skipped it).

DSCF5878
Ini ceritanya abis naik wahana 3D Transformer, ya, bukan ala-ala disko di Stadium jam 3 pagi!

WITCHES OF SALEM

Setelah naik beberapa wahana, kita lanjut masuk rumah hantu Witches of Salem. Untungnya, ruhan ini—menurut kita—lumayan garing. Kurang serem, dan terasa pendek. Mungkin karena faktor tema-nya, ya.

Setiap tahun, HHN memang selalu menampilkan rumah hantu yang bertema Asia, dan rumah hantu yang bertema Western. Masalahnya, ruhan yang bertema Western jadi hit-and-miss, karena mayoritas aktornya tetep berwajah Cina. Agak ilfil ‘kan liat penyihir-penyihir Salem—yang harusnya bule banget—ditampilkan oleh wajah-wajah Asia, hihihi.

MARCH OF THE DEAD

Dari ruhan Witches of Salem, kita foto-foto sebentar di area March of the Dead

Area ini sebenarnya scare zone juga, tapi konsepnya nggak dibuat seram atau menakut-nakuti. Idenya berdasarkan perayaan Dia de los Muertos (Day of the Dead) di Meksiko, and it’s so beautiful. Cocok buat foto-foto, apalagi di sini sama sekali nggak ada aktor dan gimmick serem-sereman. It’s a safe zone, yay!

DSCF5893

DSCF5896

DSCF5898

HAWKER CENTER MASSACRE

Setelah itu, kita mampir dulu ke toko suvenir, trus lanjut ke rumah hantu Hawker Center Massacre.

Nah, di titik sini, sebenernya rombongan udah pada nyerah. Seriously nyerah, karena pada letih jiwa dan raga. Umur nggak bisa bohong banget, ya.

Ami, Mira, dan Mawar angkat tangan dan bilang nggak bisa lanjut lagi. Walaupun tiket dan Express Pass mahal mereka sudah kukibarkan, mereka bener-bener udah nggak sanggup. Rugi, rugi deh.

Akhirnya, yang masuk ke rumah hantu ini cuma gue, Icha, dan Ayu.

Kalo dari sinopsisnya, tadinya gue kira Hawker Center Massacre bakal jadi rumah hantu tergaring di HHN 2016. Ceritanya, ada sebuah hawker center (alias pujasera—pusat jajanan serba ada—yang ada banyak banget di Singapura. Kalo di Jakarta, semacam Pertok Pondok Indah kali, ya).

Di hawker center ini, ada sebuah kedai makanan yang sangat populer. Trus, ada kedai lain yang sirik dengan kepopuleran kedai tersebut. Sehingga akhirnya kedai beken tersebut diracun pake limbah nuklir (or something…)

Eeh, ternyata akibatnya seluruh hawker canter ini malah terkontaminasi, dan para penjualnya berubah menjadi semaca zombie atau apa, lah, gitu.

It’s such a B-movie storyline.

Tapi siapa sangka siapa nyana? Ternyata Hawker Center Massacre menjadi ruhan favorit gue!

Pertama, mungkin karena nuansa ruhan ini lebih ke “fun” daripada skeri. Menurut gue, saking noraknya, malah jadi agak lucu. Kedua, karena rumah hantu ini agak luas dan langit-langitnya tinggi. Lokasinya berada di dalam semacam hanggar dan area dalamnya nggak terlalu dipepet, nggak kayak ruhan lainnya.

Hasilnya, suasananya jadi nggak sumuk dan claustrophobic.

Ketiga, karena tema dan setting-nya relatable untuk gue, dan detilnya bagus. Mirip hawker center beneran, lho. Misalnya, ada warung. Nah, isi warungnya dipenuhi dengan produk-produk otentik, mulai dari mi instan, sandal jepit, sampai kopi sasetan.

Selesai dari Hawker Center Massacre, kita bener-bener udah nggak kuat masuk ruhan manapun lagi. Terlalu capek jiwa raga! Padahal masih ada satu ruhan yang belum kita jajal, lho, yaitu Hu Li's Inn.

Intinya, ebes-ebes ini memutuskan untuk udahan…

… kecuali Icha.

Oke, gue akan cerita dulu tentang kawanku, si gadis halus berjiwa pawang setan ini.

Sejak pertama kali kita masuk rumah hantu bareng—yaitu Changi Hospital—Icha sama sekali nggak takut. Dia selalu jalan paling belakang. Dan ketika yang lain jalan sambil meluk pinggang atau mencengkram pundak teman di depannya, Icha jalan lenggang kangkung tanpa pernah megang siapa-siapa, nggak pernah merem, nggak pernah tutup kuping, dan kalo dikagetin aktor hantu, dia cuma cengengesan!!!

Kebayang, betapa gondoknya perasaan si aktor hantu.

Dan di akhir petualangan kita ini, Icha memutuskan mau masuk ke ruhan terakhir—Hu Li's Inn—sendirian. YA! SENDIRIAN! Berhubung teman-temannya udah pada terlalu lemez untuk masuk.

Ya ampuuun. Jadilah kita semua duduk-duduk keheranan, sementara Icha asyik masyuk ke ruhan tanpa temen-temennya. Trus, sempet-sempetnya colongan selfie di dalem, dan di-Whatssap ke kita.

Trus, karena tadi Icha datang terlambat dan ketinggalan masuk Body of Works bareng-bareng, dia pun masuk ke Body of Works sendirian juga. Iya, ruhan yang bikin Mawar ngompol itu!

Bucha, you arethe real MVP.

***

Alhamdulillah, sekitar jam 1 malam, petualangan Halloween Horror Nights kita rampung sudah.

Dengan muka dekil, kaki ambyar, tapi hati gembira, kita pulang dari USS naik Uber, dan langsung tepar sesampai di hotel… kecuali Icha dan Mira yang lanjut makan nasi goreng di resto Arab halal seberang hotel. Gilaw!

Tips:
  • Kalo ada dananya, belilah HHN Express Pass. Antrian Halloween Horror Nights selalu gila, and it’s nice to be able to skip those long lines. Apalagi kalo Anda-Anda sudah sejompo saya. Tanpa Express Pass, mungkin jadi nggak bisa ngejajal semua rumah hantu yang ada dalam satu malam, entah karena udah terlalu malam, atau udah terlalu capek (ngantri).
  • Kalo nggak mau beli HHN Express Pass, datanglah se-early mungkin (jam 7 malam udah stenbe), dan usahakan datang selain hari Sabtu.
  • Isi perut dulu sebelum masuk. Selain supaya nggak lemes, juga karena harga makanan di dalam USS mahal-mahal.
  • Pake baju dan alas kaki yang nyaman. Walaupun HHN diadakan di malam hari, suasananya tetep akan gerah dan sumuk.
  • Pahami bahwa para aktor hantu di HHN nggak akan pernah nyentuh pengunjung, tapi mereka bisa nyaris-nyentuh (jarak 2-3 senti dari kulit kita), ngejar, berteriak, ngagetin, dan membuat very deep eye contacts dengan kita.
  • Semakin kita histeris, semakin kita jadi sasaran empuk para aktor hantu.
  • My go-to tips: pas di dalam rumah hantu, jangan terus-terusan nunduk. Open your eyes wide, lihat ke kemana-mana, dan cari “hantu” di depan ngumpet dimana (nggak susah, kok, dicarinya). Jadi supaya kita nggak kaget, dan kemungkinan mereka ngagetin kita juga jadi kecil (ingat, mereka lebih suka ngagetin pengunjung yang nggak aware).
 See you next year!

DSCF5899

Girl's Trip to Halloween Horror Nights! Part 3

$
0
0

Selain ke Halloween Horror Nights, sebenarnya kita nggak punya agenda besar lain di Singapura, kecuali dua hal:

 1. Beli mainan dan pernak-pernik Peppa Pig

Anak-anaknya Ayu lagi dalam fase tergila-gila sama Peppa Pig, jadi Ayu diizinkan me-time ke Singapura sama suami dan anak-anaknya begini dengan satu syarat: beliin Peppa Pig yang banyak, atau nggak usah pulang sekalian!

Alhasil, di hari kedua di Singapura, tujuan pertama kita adalah ke Toys 'R Us. Alhamdulillah, Peppa Pig-nya ketemu, walaupun kata Ayu, sih, koleksinya nggak lengkap-lengkap amat. Tapi nggak lengkap aja dese borong, sampe koper overweight :D

2. Ke Future World di ArtScience Museum

Rasanya kurang hipster ya (hoek), kalo ke Singapura tanpa foto-foto di pameran Future World di ArtScience Museum? 736,287 orang di timeline Instagram gue udah foto-foto di sana, masa gue belum pernah?

Kebetulan Ayu juga kepengen ke sana, jadi di Sabtu sore, kita bikin agenda mampir ke ArtScience Museum, Marina Bay Sands.

Gue dan Ayu hampir pergi berduaan aja, karena Ami bakal pulang duluan ke Jakarta, Mawar udah pernah ke sana dan menurutnya pameran tersebut super, super overrated (“Sumpah, isinya cuma dua ruangan yang ada lampu-lampunya. Gitu doang! Udah!”), dan Mira mau belajar persiapan ujian PPAT dulu.

Icha & Mekka juga hampir nggak pergi, karena mau istirahatin bocah-bocah di kamar.

Tapi berkat bujuk rayu maut, akhirnya Mawar dan Icha sekeluarga mau ikut ke Marina Bay Sands, sementara Mira nyusul.

Kita sampe di Marina Bay Sands jam 4 sore lewat. Rencananya mau foto-foto standar turis dulu di promenade MBS, sebelum masuk ke ArtScience Museum, yang tutupnya jam 6 sore.

Eeeh, karena bablas keasyikan foto-foto, kita terlambat, dan museumnya udah tutup. Zzzzz. Azab ibu-ibu kecentilan! So we’re stuck checking out this fashion technology exhibition persembahan mahasiswa LaSalle, trus kita nggak ngerti sama sekali, hihihi.

Here are the rest of our weekend in Singapore, in pictures.


Sabtu pagi - siang: Orchard Road


Kai, si sulungnya Icha-Mekka. Bocah ajaib #1 karena nggak pernah capek, nggak pernah cranky, dan nyaris nggak pernah ngeluh walau harus jalan seharian nemenin para tante, tanpa stroller. Anak idaman untuk travelling!


Darda, si bungsunya Icha-Mekka, bocah ajaib #2 dengan alasan-alasan yang hampir sama kayak Kai di atas.



Kalo kata TayTay "I'm feeling 22", kata gue "I'm feeling 62". Baru juga hari kedua, udah ketiduran pas sarapan di Paragon Orchard! Mohon maap, bodi ini memang udah nggak ketempa buat begadang (@So Pho, Paragon Orchard)



Awalnya, yang terobsesi hunting Birkenstock cuma satu orang *uhukMawaruhuk*, tapi akhirnya yang lain ikut belanja juga. Sungguh, syaiton itu bernama diskon (@Birkenstock Paragon Orchard)


Potret mahmud ibukota zaman sekarang (@Paragon Orchard)



Sekali-kali foto alay leh ugha y, mb. Bonus si embak yang selfie di belakang kita pula. Biarlah, biarkan dia menikmati hari perei-nya ((perei)) (@Orchard Road)





As touristy as it is, jalan-jalan di Orchard emang selalu menyenangkan! (@Orchard Road)



Ice cream break! (@Ben & Jerry's, 313 Sommerset Orchard)







Peppa Pig 5 kilo terpampang nyata dijinjingan Ayu (@MRT Station, Orchard)

Papa Mekka idola kita semua <3 br="">3>

Sabtu sore - malam: Marina Bay Sands, Esplanade



Pelatihan Victoria Beckham semenjak dini (@MBS Promenade)





Pose candid ala-ala dengan tema "mencari". Entah apa yang dicari. Mungkin kebahagiaan? (@MBS Promenade)



"Jadi Om Telolet Om itu sebenernya apa, siiiih?!" (@MBS Promenade)

DSCF5990   DSCF5993



That moment when you udah siap-siap OOTD sekece mungkin, tapi kemudian Tuhan bersabda, "Udah ya OOTD-nya, udah kebanyakan..." Lalu ditutuplah mukamu dengan slayer yang berhembus. Begitulah kisah sedih Mawar di sore hari ini. Uuutayaaang... (@MBS Promenade)





Emesh! (@MBS Promenade)









Salah satu hal ajaib yang kita temui di MBS pada hari ini adalah "acara Pokemon Go" di seluruh MBS. 

Sebelumnya map-map, nih. Gue nggak main dan nggak paham Pokemon Go, jadi mohon dikoreksi kalo ada salah, ya. Intinya, sepengetahuan gue, dari waktu ke waktu, memang suka ada "acara Pokemon Go" di berbagai tempat di seluruh dunua, dimana berbagai Pokemon dilepaskan secara masif di suatu area. Para trainer Pokemon pun berbondong-bondong datang untuk puas-puasin hunting.

Kebetulan, hari ini sedang ada "acara Pokemon Go" sejenis itu di MBS. Akibatnya, seharian MBS  dipenuhi para gamer yang heboh hunting Pokemon virtual. Mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu, anak muda, anak kecil, bahkan kakek-nenek. Hampir semuanya berpenampilan kayak baru bangun tidur (kaos belel, celana pendek rumah, sendal jepit) sehingga sangat kontras dengan retail-retail mewah di MBS. Setiap orang bawa minimal dua gadget plus powerbank, dengan kabel yang keleleran dari saku masing-masing. Nggak ada yang saling berinteraksi, kecuali gamer anak dengan orangtuanya. Semua sibuk dengan gadget masing-masing, sampe kita beberapa kali ketabrak gamer yang jalannya meleng.

MBS was totally packed, and not with pleasant crowd. Kaget, lho, bisa ada ribuan gamer yang sampe segininya. I hated it.



Enivei, gara-gara keasyikan foto-foto (kapan lagi bisa foto sesyen tanpa digelendotin bocah, ya 'kaaan? Kecuali kamu, Cha. Maaf ya.), akhirnya kita terlambat masuk ke ArtScience Museum, dan museumnya keburu tutup. Wakwaaaw :D Kecentilannya kelamaan, sih!

Karena tanggung udah nyampe ArtScience Museum, akhirnya kita tetap masuk dan terjebak di dalam sebuah pameran mahasiswa sekolah fashion. Konsep eksebisinya menarik, sih, yaitu memadukan fashion dengan teknologi, tapi tapi sejujurnya... emmm... nggg... mmm... (baca: nggak ngerti. Dan nggak suka. Soribhay.)







@ArtScience Museum

Setiap kali gue ke Singapura, gue selalu ke MBS Promenade pas sunset, jalan nyebrang Helix Bridge ke Esplanade, trus makan sambil duduk-duduk dan menikmati skyline Singapura malam hari. Pemandangannya cantiiiik banget. No matter how often I've done it, I still love it, karena memang menyenangkan, dan yang penting... gratis. Hihihi.




@Helix Bridge

Hari ini, gue pun ngajak temen-temen gue jalan di rute itu. Sayang, pengalaman kali ini agak asyem, karena gue merasa pilihan tempat makan di area Esplanade semakin jelek. Tempat makan "utama" di Esplanade adalah hawker center Makansutra Glutton's Bay. Masalahnya, Makansutra SELALU penuh, gerah, berisik, penuh asap, dan nggak kid's friendly. Sementara restoran-restoran lain di Esplanade Mall juga nggak ada yang asyik, karena rata-rata mahal dan nggak ada yang halal.

Ada Coffee Bean dan ToastBox di dalam Esplanade Mall, sih, tapi kemaren ToastBox-nya lagi tutup. Tahun lalu masih ada Thai Express, tapi sekarang udah nggak ada. 

Gara-gara ini, akhirnya kita NAIK TAKSI balik ke MBS untuk makan di sana, lho. Udah keburu gempor kalo harus jalan balik lagi, terutama karena ada toddler, bayi, dan diaper bag yang harus gantian digembol. Ciyan, ya? Lesson learned: plan better before you go.

Minggu pagi - siang: Orchard Road (lagi)

Our last day! Ami sebenarnya udah pulang dari Sabtu, dan Mira juga udah cabs Minggu subuh. Akhirnya yang tersisa cuma gue, Mawar, Ayu, dan Icha sekeluarga. Akhirnya kemana lagi, mana lagi selain di Mekdi ke Orchard!






Seneng banget, capek banget, seru banget, laf banget, aaaaa. Girls' trip emang hampir nggak pernah salah. Sering-sering, yuk!

2017

$
0
0

2017, ntap gan!

Selamat tahun baru and happy new year! #lho

Tak terasa, tahun 2016 berlalu ju-- bo’ong, deeng… Berasa banget, kaliii. Kayaknya seluruh dunia (maya) sepakat, deh, bahwa secara umum, 2016 bukan tahun yang oke. Mulai dari Awkarin sampai Aleppo (don’t even mention about Donald Trump and Ahok’s case), kok rasanya ada banyak hal, tokoh, dan kejadian yang membuat 2016 pengen buru-buru dilewatin.

Yang membuat tahun 2016 “berasa” bagi gue adalah karena di tahun ini, ada banyak sekali kenalan dan kerabat yang dipanggil Tuhan YME, dan mayoritas secara mendadak. Nggak ada dari mereka yang merupakan teman dekat atau keluarga langsung, tetapi wafatnya tetap menebarkan sadness vibes yang berasa di gue. It’s a ripple effect.

Seorang kerabat yang wafatnya paling “dheg” bagi gue adalah bapak mertua adek gue. Gue nggak deket sama beliau, but I truly, deeply liked and admire him. Beliau wafat secara mendadak beberapa bulan lalu, dan kalau gue ingat-ingat beliau lagi, hati ini rasanya masih greges-greges.

Semoga tahun 2017 akan menjadi tahun yang lebih baik bagi kemanusiaan dan lingkungan hidup. Duile, doaku hippies sekali ya, tapi jujur itulah yang gue harapkan.

Kalau target-target pribadi gue adalah, semoga tahun 2017 bisa nambah anggota keluarga (nggak tahu berupa bayi atau ikan mas koki baru, lho, ya!) dan semoga gue bisa nge-blog… setiap hari. Yakiiiin? Oke, deh, tiga kali seminggu? Short posts, nggak apa-apa ya? Malu dong, sama layout baru! *ngomong sama diri sendiri*

Here’s to a better, bigger year!

(image: paper-collective.com)

Candid Moments

$
0
0

Kalo gue jadi presiden (mb, ngayalnya kejauhan, mb), sudah pasti gue akan sangat mixed feelings menjadi pemimpin di era digital/internet ini.

Di satu sisi, dengan internet, sudah pasti akan terjadi kegeblekan-kegeblekan macam ini.

Tapi di sisi lain, tanpa internet, gue nggak akan bisa menyaksikan berbagai kegemesan seperti ini:



At the President's insistence, Deputy National Security Advisor Ben Rhodes brought his daughter Ella by for a visit. As she was crawling around the Oval Office, the President got down on his hands and knees to look her in the eye, June 4, 2015.

 Local fishing guide Dan Vermillion reacts as President Obama hooks a trout on the East Gallatin River near Belgrade, Mont., August 14, 2009. The President hooked about six fish, but did not land any during his first fly-fishing outing.

 President Obama, First Lady Michelle Obama and Marian Robinson welcome children from Washington, D.C., Maryland and Virginia schools for Halloween festivities at the North Portico of the White House, Oct. 31, 2009.

 President Barack Obama fist-bumps custodian Lawrence Lipscomb in the Eisenhower Executive Office Building following the opening session of the White House Forum on Jobs and Economic Growth, Dec. 3, 2009.

Sen. Jack Reed brings his family by for an Oval Office visit, July 22, 2010.

 President Barack Obama and First Lady Michelle Obama hold hands as they listen to Rep. John Lewis, D-Ga. during an event to commemorate the 50th Anniversary of Bloody Sunday and the Selma to Montgomery civil rights marches, at the Edmund Pettus Bridge in Selma, Ala., March 7, 2015.

 U.S. President Barack Obama pretends to be caught in Spider-Man's web as he greets Nicholas Tamarin, 3, just outside the Oval Office, October 2012.

The President and Olympian McKayla Maroney recreate her 'not impressed' photograph, Nov. 15, 2012.

The President greets the cast and crew of 'Hamilton' after seeing the play with his daughters at the Richard Rodgers Theatre in New York City, July 18, 2015.
Obama dances in the Outer Oval with personal aide Ferial Govashiri, on March 16
 
Kenapa harus gemes banget, sih, berdua?

PS. Pete Souza, you are amazing.Kaesang, 2017 harus bisa lebih lemesin lagi, ya.

Blogging Tips: "Mandiri" Dari Respon

$
0
0
tips blogging

Beberapa bulan lalu, gue ngasih materi Blog Writing Class, dalam rangkaian acara Blogger Workshop-nya Female Daily.

Saat itu, gue menggelontorkan sejumlah tips blogging. Tapi sejujurnya, gue nggak menyampaikan satu tips favorit gue, yaituuu….

preambule dulu, deh #eaaaa

Monmap, preambule-nya bakal panjang, nih!

PREAMBULE (duile, ditulis)

Berkarya tanpa direspon itu memang nggak enak.

Coba kalau ada penyanyi manggung, trus nggak ada yang nepokin. Sakit hati nggak, sih? Bisa-bisa dese langsung banting mic, lalu mangkir. Tepuk tangan adalah bensinnya performer. Sementara komen dari publik adalah bensinnya blogger. Betul? (“Betuuul…”)

Malah kayaknya blogger mending terima banyak komen di blog, deh, daripada terima banyak duit dari blog, tapi blognya sepi komen (“Lo aja kali, Laaa… kita mah mau duit!” ujar para blogger lain)

Jadi wajar kalau ada blogger baru yang patah semangat, lalu akhirnya berhenti nge-blog, kalau hari demi hari, nggak ada yang mampir atau berinteraksi di blognya.

Apakah gue sendiri patah semangat kalau nggak ada yang komen di blog gue? Lumaaayan, tapi nggak terlalu, karena udah terbiasa untuk cuek.

Kok, bisa? Soalnyaaa…

1. Gue mulai nge-blog ketika blogging bukan suatu kegiatan yang populer. 2003, men… *insert suara dinosaurus*

Waktu itu, blogging hanya dilakukan oleh segelintir orang. Trus, jaman itu, “menjadi beken dan kaya lewat internet” adalah konsep yang masih asing.

Otomatis, dari awal, gue nge-blog bukan karena pengen terkenal, apalagi dapat duit. Dulu gue nge-blog karena pengen nulis di ruang publik aja. Saking nggak pengen beken, dulu gue nggak pernah mencantumkan nama asli, jarang nge-post muka sendiri, dan biasanya menyebut nama teman dan keluarga dengan inisialnya aja. I was already paranoid about internet before being paranoid about internet was cool. Ciyan, yah.

Singkat kata, dulu gue mulai nge-blog dengan mindset nggak peduli, apakah ada yang baca blog gue atau nggak.

2. Di Youthmanual, gue harus nulis artikel setiap hari. Dulu malah dua kali sehari.

Kadang gue memproduksi artikel yang gue rasa basi berat dan sekedar untuk memenuhi target, tapi kadang gue memproduksi artikel yang menurut gue beneran oke.

Sedihnya, artikel-artikel yang (menurut gue) oke tersebut seringkali nggak laku. Pembaca kita nggak ada yang share, ataupun komen. Pokoknya tenggelam aja di dunia maya, padahal udah susah-susah ditulis. Uuuutayang, kacian…

Apakah gue sedih? Iya, sih. Tapi kalau gue kelamaan sedih atau ngambek, gue jadi nggak kerja-kerja. Deadline‘kan nggak peduli, apakah gue sedih atau nggak. Kalau artikel gue nggak laku, ya telen aja. Yang penting besok harus udah ada artikel baru lagi! Cetar!!!

Akibatnya, gue semakin nggak baperan dan bisa cepat move on kalau tulisan-tulisan gue—termasuk di blog—nggak ada yang merespon.

Tapi apakah nggak mendapat komen atau respon dari publik selalu berarti negatif?

TENTU TIDAK! ‘Kan ada Combantrin!

*lawas*
*ketawa berarti tua*

Menurut gue, justru ada beberapa faedah yang bisa kita rasakan, kalau blog kita NGGAK ada yang baca ataupun komen, yaitu:

1. Kita jadi bisa bebas merdeka mau nulis apa aja, tanpa khawatir dengan respon yang akan kita terima.

Kita jadi nggak kepikiran, apakah blog post kita akan menyinggung, menghibur, lucu, garing, atau berfaedah untuk publik. Kita bisa cuek, karena kita nggak merasa punya audiens.

2. Kita jadi bisa melatih diri untuk lebih produktif.

Pernah nggak elo bikin post atau konten, trus post itu lakuuuu banget, bahkan jadi viral? Kalau pernah, berarti elo pernah merasakan sensasinya menjadi “tenar sesaat”.

Nah, biasanya, ketika kita “tenar sesaat”, kita jadi nggak bisa move on. Post tersebut—berserta komen-komennya—dibaca-baca melulu. Rasanya orgasme, deh, ngeliat statistiknya. Kita pun jadi agak mabuk kepayang, dan berpikir gimana caranya bikin post yang viral seperti itu lagi.

Kita malah bisa jadi nggak produktif, karena nggak terpicu untuk membuat ide-ide baru, berhubung kita berpatokan ke post yang viral itu melulu.

Sebaliknya, kalau blog kita nggak ada yang komen, kita juga jadi bete, malas nge-blog, sehingga ujung-ujungnya nggak produktif juga, hihihi.

Dapat banyak komen salah, dapat sedikit komen salah! Apa sih, maunya? :D

3. Kita jadi nggak diperbudak oleh “tuntutan publik”.

Gue perhatikan, ada beberapa blogger / vlogger / content creator yang tampak terlalu tergantung kepada “tuntutan publik”. Akibatnya, tulisan mereka jadi terlalu “aman” (karena takut dikritik), dan konten mereka jadi terlalu berpatokan kepada “tulislah apa yang ingin dibaca publik” (gue nggak suka, lho, sama saran ini. More about this later on). Trus, kalau nggak dapat engagement atau komen, mereka jadi malas-malasan untuk nge-post.

Sekali lagi, gue paham, sih, bahwa semangat berkarya kita bisa padam kalau nggak dapat “bensin” komen. But in my opinion, if you are a true blogger / content creator, you will always want to write and create, with or without audience.

Tadi gue sempet menyebutkan bahwa gue sebel sama saran “tulislah apa yang ingin dibaca publik”. Soalnya, menurut gue, konten terbaik adalah konten yang jujur dan sesuai passion kita. Hal ini gue saksikan sendiri berkali-kali, deh. 

Contoh pertama, Agung Hapsah.

Agung adalah vlogger anak muda, tapi konten vlognya nggak seperti konten vlog kebanyakan dedek-dedek jaman sekarang (yang mayoritas isinya cuma cerita keseharian, cerita jalan-jalan, atau bikin challenge ini-itu). Agung often talks about geeky technology stuff. Tapi berhubung passion Agung memang di situ, vlognya tetap keren dan berbobot, karena dibuat dengan sepenuh hatinya.

Contoh kedua, postini.

Hari gini, orang mainnya udah ke Disneyland dan Universal Studios, seus. ‘Ngapa gue malah ngomongin Dufan? Emangnya berfaedah? Logikanya enggak. Tapi karena gue suka banget sama industri amusement park dan karena gue memang sayang Dufan, post tersebut gue buat dengan sepenuh hati, sehingga Alhamdulilah, ada aja yang merespon. Ciyeeee.

Intinya, jujur itu penting. Kejujuran juga akan menunjukkan, kita content creator yang seperti apa. Berkualitas atau nggak? Awkarin kayaknya jujur banget, tuh, kalau nge-vlog. Tapi jadi kelihatan juga ‘kan, dia content creator macem apa.

Bicara soal Awkarin, artikel ini bisa jadi viral, salah satunya karena gue tulis tanpa kekhawatiran terhadap respon publik. Pas gue baru tau siapa itu Karin Novilda, gue langsung gemeeeees banget pengen nulis tentang dia. Gue juga mikir, “Bodo ah. Gue mau nulis pendapat gue sejujurnya. Toh belum banyak orang yang baca Youthmanual, so nobody will read it, anyway. Bebashin, shaaay… lemesin!”

Maka lahirlah artikel tersebut, yang pada masa itu merupakan artikel pertama yang terang-terangan menyatakan kontra terhadap Awkarin.

“Keuntungan” ini nggak dimiliki oleh media-media besar yang pembacanya banyak seperti Hai Online atau Provoke, sehingga tulisan-tulisan mereka tentang Awakarin mereka cenderung “aman” dan netral. Mungkin mereka mikir, “Kalau bala-bala Awkarin protes gimana? Kalau Om Oka baca gimana? Nanti kita digebukin satu Takis!” (eits, waktu itu Karin belom kenal Takis, apalagi Om Oka, ya)

My point is, menulis tanpa ketakutan dan beban itu menyenangkan sekali, dan bisa mendorong kita untuk membuat tulisan / vlog / konten yang jujur (tapi jujur yang terdidik, ya. Bukan yang asal goblek) dan “datang dari hati”.

I promise you, it can lead you to great things.

INTINYA, TIPS NGE-BLOG-NYA ADALAH…

Sekali-kali, coba, deh, untuk…. matiin fitur komen dulu. Jeng jenggg! Sementara aja.

Tujuannya, supaya kita bisa memaksa diri kita untuk terus menulis secara “mandiri”, tanpa tergantung dengan dengan pembaca. Jangan hanya termotivasi oleh respon. Try to motivate ourselves from within, alias coba untuk terus semangati diri sendiri, walaupun nggak ada orang yang komen di blog kita. Just write, write, write what excites you, sesuka hati, tanpa takut tulisan kita akan dicela publik.  Toh, kanal “mencela”nya udah dimatikan.

Tentunya, kita juga jadi nggak bisa mendapat respon positif, ya, but I still think this is a good thing, supaya kita terbiasa menulis karena memang ingin menulis, bukan karena ingin dipuji atau diberi validasi. Ihiiiy... ntap, gan.

Mematikan komen atau interaksi dengan publik secara permanen bukan hal yang oke juga, sih.  Jadi cukup sementara aja kali ya, terutama kalau hati masih galau-galau nggak pede gimanaaa, gitu. Yang penting, sampai kita bisa melepaskan "ketergantungan" terhadap respon dari pembaca. Ihiiiy, ntap... gan (2).


(image: missmoss.co.za)

The Cutest F-Bomb

$
0
0
Salah satu momen mixed-emotion jadi orangtua. Mau ngakak, apa langsung sembur anaknya pake air zam-zam?! Don't say that woooord...


Nonton Film Bagus Apa di 2016?

$
0
0
Ada agenda apa Januari ini?

Kayaknya satu salah agenda yang wajib fardhu ‘ain banget adalah nonton La-La-Land, ya, film romansa musikal yang katanya dhuar banget bagusnya.

Awalnya gue nggak begitu tertarik, sih, karena gue nggak suka genre romansa. Tapi karena sekitar 1,000 orang di lingkungan gue bilang “MAYGAT, LALALALAND BAGUS BANGET SUMPAH WAW GELLLAAAK MATEK!” gue memutuskan, okelah, harus nonton!

Bicara soal film bagus, gue jadi mikir—mumpung masih Januari dan masih sah angkat tema retrospektif, nih—apa, ya, film yang bagus tahun lalu?

Sebenarnya, sepanjang tahun 2016 kemarin, gue jarang nonton. Seenggaknya, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tapi kalau harus pilih Top 3 yang paling berkesan, ini dia:

#3. Athirah
Drama, biopik


Pastinya. Soalnya, kalau gue nggak masukin film ini, nanti keluarga besar gue sebel. HAHAHA. Nggak, deeeng.

Athirah adalah film biopik yang mengangkat kisah ibunda wapres Jusuf Kalla. Film ini loosely diangkat dari novel biografi berjudul sama, yang ditulis oleh Alberthine Endah. Di ajang Festival Film Indonesia 2016 kemarin, Athirah sukses memenangkan beberapa Piala Citra, termasuk film terbaik.

Banyak orang nanya, apakah ini film pesanan wapres Jusuf Kalla?

Jawabannya, nggak. Awalnya, penerbit Mizan kepengen menerbitkan buku biografi tentang Bapak Ucu. Tapi Bapak Ucu bilang, “Nggak, deh. Buat buku tentang ibu saya aja.” Setelah buku tersebut terbit, Mizan tertarik untuk memfilmkannya. Bapak Ucu oke, tapi karena satu dan lain hal, film ini akhirnya diproduksi oleh Miles aja. Dan karena almarhum Ibu Athirah Kalla adalah nenek gue, film ini diproduseri oleh beberapa sepupu gue.



Kenapa Bapak Ucu menolak dibikinkan buku tentang dirinya sendiri, dan malah kepengen buat buku tentang ibunya?

Bagi keluarga besar, kita langsung paham alasan beliau.

Gue sama sekali nggak pernah ketemu dengan nenek gue, Athirah, yang biasa kita panggil dengan nama Mamak Aji. Nggak pernah dengar suaranya, nggak pernah merasakan sentuhannya, nggak pernah mengalami kebaikan-kebaikannya. Beliau keburu meninggal sebelum gue lahir. Tetapi karakter dan kebaikan hati Mamak Aji sangat legendaris bagi seluruh keluarga besar Haji Kalla.

Dari kecil, gue ratusan kali mendengar cerita bahwa Mamak Aji suaranya nggak pernah keras, nggak pernah marah, sabarnya luar biasa, bisa sholat berjam-jam—bahkan seharian—untuk mendoakan anak-anaknya yang akan ujian sekolah atau menempuh perjalanan, cantik, lembut, pintar masak, sederhana walau hidup sangat berkecukupan, murah hati, bertakwa baik, dan rajin berderma.

Sampe-sampe waktu kecil gue mikir, “Is she real? Kok kayak tokoh kartun?”

You know, like a fairy godmother. Unreal.

Sebagai manusia biasa, Mamak Aji pasti punya kekurangan. Tapi saking beliau dicintai oleh anak-anaknya, kesalahan atau kekurangan beliau seperti nggak pernah terekam di ingatan anak cucunya. Ilang aja gitu, blasss.

Misalnya, kalau lagi nostalgia, bokap suka cerita bahwa kakek gue, Bapak Aji, bisa galak dan nyabet anak-anaknya pake ikat pinggang kalau pada bolos sholat dan ngaji. Ceritanya sambil ketawa-ketawa, kok, mengenang gaya parenting jaman dulu yang belum kenal omelan Elly Risman :D

Tapi bokap nggak pernah nostalgia lucu-lucuan yang mencerminkan “kekurangan” Mamak Aji. Misalnya, “Dulu, Bapak pernah disetrap seharian sama Mamak…” Padahal kejadian seperti itu wajar dan mungkin aja terjadi ‘kan? Tapi bokap nggak pernah cerita sekalipun.

Bagi gue yang punya strained relationship sama nyokap, hal ini seperti sesuatu yang elusive dan hanya bisa gue bayangkan, tapi nggak pernah rasakan. It must be very magical.

Mamak Aji sudah meninggal tiga puluhan tahun lalu, tapi sampai detik ini, anak-anaknya—om-tante gue—masih suka berkaca-kaca kalau mengingat beliau. Sebagai ibu, jejak Mamak Aji jelas kuat dan berpengaruh sekali untuk keluarganya.

Wajar banget, yaaa, kalau Bapak Ucu lebih mau menyorot Mamak Aji lewat buku dan film, ketimbang menyorot dirinya sendiri.

Now here comes the moment of truth bagi gue, darah daging subjek utama film ini—apakah menurut gue, filmnya beneran bagus?

Menurut gue, film Athirah berkualitas, tapi nggak komersil ataupun menghibur.

Jalan ceritanya terasa kurang smooth, kurang relatable bagi mayoritas masyarakat, plus nggak ada adegan-adegan dramatis penguras air mata a la Habibie-Ainun, misalnya. Tetapi film ini sangat diselamatkan oleh sinematografi dan narasinya yang puitis bin cantik, plus detil-detilnya yang bagus sekali. And of course, Cut Mini. The wonderful, wonderful Cut Mini.



Gue nonton film Athirah di acara premier-nya yang dikhususkan untuk keluarga dan undangan tertentu. Semua anggota keluarga besar Kalla janjian datang pakai sarung tenun Bugis masing-masing, dan di akhir film, sarung-sarung itu sudah basah kena tetes air mata, terutama dari anak-anaknya Mamak Aji yang masih ingat betul perjuangan Mamak Aji di masa hidupnya yang paling berat—dimadu selama puluhan tahun.

Tapi momen yang paling berkesan bagi gue adalah ketika kita salam-salaman dengan para pemain film Athirah, seurasi acara pemutaran. Airmata gue pecah saat menyalami Mbak Cut Mini. Dengan terbata-bata, gue bilang, “Mbak, terimakasih, ya… Mbak memerankan nenek saya dengan bagus sekali, makasih ya…”

Lalu gue dipeluk dan di-puk-puk.

Al Fatihah untuk Mamak Aji kita tersayang. Semoga Mamak Aji berkenan dengan filmnya, dan bisa menjadi inspirasi untuk banyak orang, aamiin.  

 
#2. Sausage Party 
Komedi, animasi


Bagi yang udah nonton film laknat ini, kontras banget nggak, sih, dari Athirah lompat ke Sausage Party?! Hahahaha. Biar, deh. Biar hidup kita fariatip.

Sausage Party adalah film animasi komedi dan suara tokoh-tokohnya juga diisi oleh aktor-aktor Hollywood yang memang spesialis genre komedi—Kirsten Wiig, Michael Cera, Paul Rudd, Jonah Hill, Seth Rogen (yang juga jadi produser pleus penulis naskah).

Ada juga aktor-aktor kaliber macam Salma Hayek, Edward Norton, dan James Franco.

Dalam film ini, dikisahkan semua barang yang ada di supermarket—berbagai makanan, minuman, bumbu, condiments, produk pembersih, dan sebagainya—sebagai antromorphic alias “hidup”.

Gol hidup mereka adalah dibeli manusia. Pokoknya, kalau ada barang yang dibeli sama manusia, dia akan seneeeeng banget. Soalnya barang-barang supermarket ini mengira, di luar supermarket ada “surga” bernama The Great Beyond. Sehingga mereka juga menganggap manusia adalah “dewa” yang akan membawa mereka ke surga tersebut.

Barang-barang supermarket tersebut nggak tahu bahwa mereka sebenarnya akan dimakan atau dikonsumsi, sehingga akhirnya akan mokat.

Suatu hari, tokoh utama film ini—Frank si sosis—menemukan fakta bahwa manusia beli-beli barang supermarket hanya untuk dikonsumi. Nggak ada, tuh, The Great Beyond yang selama ini mereka idamkan. Manusia yang mereka anggap dewa pun sebenarnya rakus dan “kanibal” (di mata mereka, ya)

Tapi gimana cara Frank meyakinkan teman-temannya sesama barang supermarket tentang hal ini? Tonton sendiri, deh!


This is not a children’s movie. I repeat, this is not a children’s movie. This is also not a movie for deeply religious people, karena film ini kuasuaaaar, juoroook, dan laknaaaat warbiyasak. Ya bahasanya, ya adegan-adegannya, ya jalan ceritanya. Pokoknya, crass banget. Daripada Ahok, film ini lebih cocok dijadiin bahan demo di Monas.

Memang, katanya film ini diproduksi dengan prinsip, “Bodo amat, daaaah… mau bikin film bego-begoan, dibikin bego banget aja sekalian!” Kualitas animasinya juga dibuat seminimal mungkin, untuk menekan biaya. Untung masih alus, sih. Nggak Upin-Ipin amat.

Kenapa gue memasukkan film ini sebagai film yang berkesan bagi gue di 2016? Apakah karena mencerminkan kepribadianku yang laknat? Iiih, jangan, dong.

Sausage Party berkesan bagi gue, karena gue nonton film ini tanpa ekspektasi dan tanpa tahu sinopsisnya sama sekali.

Sebelumnya, gue udah menyangka film ini adalah film komedi, tapi gue pikir komedinya murahan dan nggak menghibur. But I was pleasantly surprised karena ternyata film ini ternyata punya jalan cerita yang dalem.

Jalan cerita Sausage Party, dengan segala analoginya, sangat mempertanyakan (menyindir?) tentang kepercayaan dan kefanatikan umat manusia tentang agama. Kayak, “Segala hal yang elo yakini ada selama ini… yakin ada?”

Tau lah, ya, bahwa suka mempertanyakan segala hal yang tampaknya obvious. Yakin hantu dan UFO itu nggak ada? Yakin langit itu biru? Seberapa yakin elo dengan pacar lo? #eaaa Yakin sama pilihan pilkada DKI Jakarta lo? #eaaapart2 Elo itu sebenarnya siapa, sih? Gue sebenarnya siapa? #biasaajakali

So, again, I was pleasantly surprised dengan arah film ini. It was more than I thought it would be.



Film ini juga punya jalan cerita yang padat, seru, dan menghibur. Bukan tolol-tololan garing ala Zoolander 2 atau Grimbsy, sih, tapi lebih ke arah Superbad, dengan sentuhan Borat. Kebayang, ya, gaya humornya.

Oya, sebagai salah satu unsur kelaknatan dan crassness dari film ini, harus kuperingatkan, film ini ada… adegan orgy-nya. Iya, orgy antara barang-barang supermarket, dengan segala analogi adegan seksual yang juoroknya nggak ketulungan. Maygaaat. It was definitely a “WTF did I just watch” moment for me in 2016.

Buat yang ingin menghindari dosa pikiran, review ini nggak usah dibaca, dan filmnya nggak usah dianggap ada. Buat yang bisa open-minded dan nggak gampang tersinggung, silahkeun dicari filmnya. Cucok buat agenda nganggur di malam minggu!

#1. Train to Busan
Thriller, drama

 

Waktu gue lagi mikirin tentang daftar film ini, Train to Busan adalah film pertama yang langsung muncul di kepala.

Tanpa gue ceritakan penjang lebar, mungkin sebagian besar udah pada tahu tentang film thriller bertema zombie apocalypse ini, ya. Premis ceritanya sebenarnya standar, kok. Pada suatu hari, terjadi zombie outbreak di Korea Selatan. Berawal di Seoul, lalu merambah ke kota-kota lain. Intinya gitu aja, seperti premis kebanyakan film zombie lainnya. Oh, trus, dalam film ini, zombie-nya “ganas” banget, seperti di World War Z, bukan zombie lemes gemes seperti di The Walking Dead, apalagi Shaun of the Dead.

Tapi bagi gue, yang membedakan film ini adalah alur ceritanya yang sangat solid dan penokohannya yang kuat banget.



Gue nggak dekat dengan budaya Korea. Bukan pendengar lagu-lagu K-Pop dan nggak pernah nonton K-Drama. Tapi gue tahu, kalau Korea bikin film thriller, bisa NGERI dan disturbing banget. Liat aja Oldboy, I Saw The Devil, Tale of Two Sisters, dan banyak lainnya.

Train to Busan pun kayaknya pantes, deh, masuk ke deretan film thriller legendaris tersebut.

Train to Busan is really up to my alley—jalan ceritanya solid dan masuk akal (baca: nggak terlalu banyak plot hole. Padahal cerita horor atau thriller biasanya rawan plot hole), ketegangan dan keharuannya terbangun dengan cakep, penokohannya kuat, akting SEMUA tokohnya bagus banget, dan efek spesialnya halus sekali. 



Ending-nya pun menyisakan rasa nelongso yang cukup mendalam, seperti kebanyakan film thriller Korea yang pernah gue tonton. Walaupun, yha, ada perasaan ‘zel ughak liat *spoiler* tokohnya Yoo Goong sempet-sempetnya nyam senyum nostalgia flashback sebelum mokat *spoiler*

Tapi hal yang paling gue suka adalah, film ini sangat “padat”. Nggak ada satu menit pun yang terbuang untuk adegan nggak penting atau membosankan. It’s climax after climax after climax.

To me, everything about this movie is perfect.

(tapi trus tentu saja, Hollywood si serakah langsung pengen bikin remake-nya. Boooo! Nggak setuju!)

***

Film favorit kamyu di 2016 apa, niiih?

PS. Honorable mentions: Zootopia, Moana, The VVitch, Don’t Breathe. Segitu aja, padahal kalau liat daftar ini, misalnya, ada banyak banget film menarik di luar radar bioskop mainstream, yak!

Gave "The Boring Choice" A Chance (Also, A Spoiler for LaLaLand)

$
0
0

So, I've finally watched LaLaLand. Interestingly, the movie made me think about this...

Before LaLaLand, cerita “cinta nggak kesampaian” has been the central theme of many films, such as Casablanca, 500 Days of Summer, Vicky Christina Barcelona and a lot others.


The formula’s typically like this:
  • Guy meets girl.
  • Guy and girl are annoyed at each other.
  • Guy and girl fell deeply in love.
  • Guy and girl becomes the cutest couple.
  • Guy and girl’s relationship becomes complicated (usually because each of THEIR personalities are complicated).
  • Guy and girl are uncertain about future.
  • Guy and girl still loves each other, but they decide to move on towards different direction.
Then the guy or the girl decided to settle with someone else. Hiks, hiks.

And as if that isn’t enough bitterness, there’s usually this scene where they meet for one more time, and exchange knowing, bittersweet look. The end.

Penonton mewek, deh!

There are many other movies with “cinta nggak kesampaian” theme, although the formula isn’t always the same and some even ends with happy endings. For example, Love Actually, Titanic, The Notebook, and AADC 2 to name a few.

Hollywood make films with “cinta nggak kesampaian” plots, because it’s more real and, therefore, more relatable for the audience.

Life IS complicated. It isn’t always, “guy meets girl, guy and girl fall in love, guy and girl be together forever, the end.” Some lucky folks experience that, but even so, their lives aren’t always be filled with love and happiness. In life, things that seem destined to be together often don’t end up being together.

It’s bitter, but it’s the reality.

***

In this post, I’m going to talk about a character that shows up in a lot of “cinta nggak kesampaian” film.

I shall call the character, The Boring Choice.

In “cinta nggak kesampaian” movies, The Boring Choice is the person who marries (or almost marries) the main character, therefore further ruining the chance of him/her marrying the other main character.

Why do I call this character The Boring Choice? Because, s/he is usually portrayed as a somewhat boring person, and more plain looking than the main character (a.k.a. his/her rival). This is probably on purpose, to keep the audience conflicted, “Ngapain dia kawin sama cowok itu, sih? Mending sama si tokoh utama lah! Lebih ganteng!”

When The Boring Choice is a male—who marries the film’s main female character—he’s usually showed as older, serious, busy, wears suits, kind-hearted but very boring, not the least romantic, and doesn’t understand art (especially if the main male character does!). Pokoknya baik, tapi nggak asik.

And because he eventually marries the film’s main female character, audience tends to dislike him. “Gara-gara dia, sih, si Summer jadi nggak sama Tom!” Mungkin begitu jeritan hati para penonton 500 Days of Summer, terhadap suaminya Summer.

Mia's husband, The Boring Choice in "LaLaLand"

In this post, I am going to defend The Boring Choice

Guys, it isn’t fair if we see The Boring Choice as a villain who gets in between the two lead characters.

Because, first, it’s usually NOT The Boring Choice’s fault that the two lead character breaks apart.

Summer and Tom or Mia and Sebastian didn’t break up because the girls wanted to marry other men. Their relationships got complicated because of their own fault. Sikon dan kelakuan mereka aja pada ribeeet. Atau diribet-ribetin. Plis, deh.

And as bitter as things turn out for us—the audience—please don’t pity the lead character that marries The Boring Choice in the end, because I’m sure their marriage is perfectly fine and content. The female lead characters marry their Boring Choices mindfully, kok! It seems that their decision was made with a lot of consideration, lho, bukan karena emosi semata, ingin cari rebound/pelarian, dan sejenisnya. For example, Vicky in Vicky Christina Barcelona.

Maybe Peter isn’t as romantic as Mark, or maybe Mia’s husband isn’t as passionate as Seb, but because Juliet and Mia decided to marry them, they couldn’t be that bad. In other words, I’m sure they are decent husbands and they will have a happy, content family together.

Peter, Juliet's husband, The Boring Choice in "Love, Actually"

Lagian, pada akhirnya, seperti kata-kata bijak Jessa di serial TV Girls, “In ends. It always ends.” Cinta membara biasanya akan agak meredup, dan prioritasnya tergesar oleh komitmen dan tanggung jawab. So choosing a spouse that can commit and be responsible maybe isn’t romantic, but it will keep the marriage enduring.

***

CURHAT BANGET, KAAAAK? MANG IYAK!

As you have probably guessed (or already know), I married a Boring Choice myself.

Do I see myself as Mia, who marries a boring, stable man, and would someday cross path with my Tom or Sebastian, then go home, cry my eyes out all night, and regret my life choices?

Yes and no.

Yes, because, I did marry a boring, stable, responsible man without having “love” as one of the reasons.

No, because, I don’t think I have a “Sebastian”. I did have flaming love stortes in the past, but currently, I don’t see any of my exes as “the one that got away.”

I did marry The Boring Choice. But it’s MY choice, and although I’m not always happy with it, I'm embracing it, committed to it, and thankful for it.

Doug, Vicky's fiance, The (Ultimate) Boring Choice in "Vicky Christina Barcelona"

Real life is weird and complicated, and there is no exact formula for a long-lasting or happy relationship. 1 + 1 isn’t always equals 2. If a couple marries without love, they may still grow old together, and never separates until they die. They probably will never cheat or divorce, like in cliché movies’ logic. Or they probably will. We don’t know.

Some people don’t understand this, and those people are the ones who often make wrong assumptions, “Waah, si anu beginu beginu, pasti bentar lagi cerai, deh. Si inu begitu begitu, pasti selingkuh, deh.” Some people conclude Aliya Rajasa marries geeky Ibas for the family power, especially when comparing him to her ex. Under that assumption, if the Yudhoyonos’ power burned to ashes one day, Aliya would leave.

But are we sure? She’d probably stick by Ibas side until the end, lho, under any circumstances. Again, we don’t really know.

That is why Hollywood makes films with complicated love stories, because they mimic real life.

Lon, Allie's fiance, The Boring Choice in "The Notebook" 

***

Since a long time ago, both T and I often talk—and even jokes—about our platonic relationship. And whenever we watch “cinta tak sampai” kind of movies, he always asks:

T: “Aku, tuh, si suami garing yang akhirnya ngawinin si X itu, ya?”
L: “Iya.”
T: “B@8#?!...”

But then I always say, “I’m glad I have you, though. Because although we probably don’t love each other, no other men in the world could put up with my insanity, for this long.”

And he would say, “That is very true.” (baca: emang kamu gila)

B@8#?!...

We will definitely grow old together.

Jebakan-Jebakan Betmen

$
0
0

Kalau Raya—4 tahun—jadi superhero, gue yakin banget, superpower-nya adalah nanya pertanyaan susah.

Berikut contoh-contoh pertanyaan do'i yang hanya bisa gue jawab dengan senyum kecut, edisi Desember-Januari 2016.

#1

R: “Kenapa dinosaurus dibuat mati sama Allah?”

L: “Supaya… mmm… bumi muat buat manusia dan binatang-binatang lain. Kalo dinosaurus nggak dibuat punah, nanti buminya nggak muat.”

R: “Pas Allah jatohin meteor, kenapa Allah nggak sisain satu aja dinosaurus? Satuuu aja. Brontosaurus. Brontosaurus ‘kan baik?”


#2

“Allah itu cewek apa cowok? Apa maksudnya bukan dua-duanya?”

“Allah itu di mana?”

“Siapa yang menciptakan Allah? Nggak ada? Maksudnya, udah ada dari dulu? Kayak Monster Naga di Upin Ipin?”


#3

Setelah nonton The Lion King, Good Dinosaurs, Frozen, dan Moana berturut-turut dalam dua hari:

“Kenapa semua  film kartun yang ada cerita [orangtua] meninggalnya? Padahal itu ‘kan sedih! Ini ‘kan film anak-anak! Kenapa film anak-anak dibuat sedih?!”

Nel ugha.


#4

Di Museum Wayang, Jakarta:

“Kenapa di museum wayang ada ondel-ondel? Ondel-ondel ‘kan bukan wayang?”

Nel ugha (2)


#5

Setelah nonton Frozen:

“Kalo trolls terbuat dari batu, kenapa Raya nggak pernah liat (batu berubah jadi trolls)?”

Pertanyaan sejenis ini tricky, karena gue selalu berusaha menjaga dunia imajinasi Raya tetap "hidup", mumpung anaknya masih rada mau. Raya anaknya skeptis dan logis banget, lho, jadi dia cenderung nggak percaya sama hal-hal yang imajinatif bin ghoib, seperti peri, naga, unicorn, cinta, dan keajaiban #halah.

Jadi gue nggak pengen jawab sesimpel “…karena trolls itu nggak ada. Bohong. Ngayal.” NO! Dan gue tak mau terus-terusan ditegor anak sendiri, “Ibu kok bilang xxx ada, sih. xxx ‘kan bohongan. Ibu ‘kan udah gede, kok percaya?”

Kzl zbl.


#6

“Kalo ibu nggak punya t*t*t, gimana cara Ibu pipis? Bolong, ya?”

Adakah pertanyaan yang lebih awkward lagi?

Ternyata ada! Datang dari Aydin, yang penasaran tentang skrotumnya:

“Ini apa? Kenapa Aydin punya ini? Emangnya Aydin nelen biji?”


#7

R: “Bu, kenapa sih ada binatang yang nggak terkenal?”

L: “Hah, maksudnya gimana?”

R: “Iya, ‘kan ada binatang yang nggak terkenal. Orang pada nggak tau namanya siapa.”

L: “Misalnya binatang apa?”

R: “Misalnya, di film The Lion King. Ibu tau ‘kan nama singa-singanya, ada Simba, Nala, Mufasa… Tapi Ibu tau nggak, nama zebra yang di film itu siapa? Nama kuda nilnya? Nggak terkenal ‘kan?”


#8

Ketika Raya baru (dikasih) tahu bahwa laut lebih luas daripada daratan, do’i kayaknya syok banget, trus menolak percaya.

“Kenapa Allah menciptakan daratan lebih kecil daripada laut? ‘Kan yang tinggal di daratan lebih banyak! Kasian ‘kan jadi sempit!”

“Soalnya… mmm… air ‘kan penting, buat minum…”

“Air laut asin, kaleee!”

*ibu gondok*

"Yang bawa helem jangan sampe lolooos..."

Memperluas Diri

$
0
0
Satu hal yang gue sayangin banget dari huru-hara politik belakangan ini adalah, di sekitar gue, jarang ada orang yang mau membuka hati dan pikirannya terhadap pihak yang berseberangan dengan mereka.

Misalnya, para anti-Ahok biasanya nggak mau membuka pikiran dan menempatkan diri mereka di pihak Ahok. Sebaliknya, para pendukung Ahok juga biasanya nggak mau melihat situasi dari sudut pandang pihak non-Ahok.

Dan bagi orang-orang yang sudah menetapkan pilihannya untuk Pilgub DKI, kayaknya nggak banyak yang mau membuka pikiran terhadap program dan track records paslon lain.

Pokoknya masing-masing pihak militan dan defensif.

Demi menjadi warga negara panutan dan manusia yang lebih "berkembang" (deuuu, bunga kali), gue berusaha nggak begitu, apalagi sampai berpikiran sempit. Sulit, sih. Misalnya, di kasus persidangan Ahok yang terakhir (Ahok vs Ma’ruf Amin vs SBY), hati gue sebenernya udah bikin kesimpulan pribadi, tapi gue berusaha baca situasi dari sudut pandang pihak yang bersebrangan, tanpa emosi. Memang nggak gampang, ya. Tasbih kesabaran gue kayaknya udah retak, abis gue remez gemez tiap kali maksain diri baca berita-berita yang "nada"nya bertolak belakang dengan posisi hati gue. Tapi mau gimana lagi? We cannot only read what we want to read.

Gue juga pernah berusaha “memaklumi” sama Trump, ketika dia kadung kepilih jadi presiden. Gue bahkan berusaha memahami logika travel ban do’i. Tapi memang harus diakui, some people are just so hard to love. #lirikTrump #lirik Rizieq #jereng #pusing.

Semua ini jadi menimbulkan pertanyaan—orang-orang sebenernya sedang membela negara/agama/prinsip, atau ego masing-masing, sih?

Sebuah iklan dari Denmark tentang perbedaan. SO VERY TRUE. SUKA BANGET!



So although I would never imagine myself sharing similarities with Trump or Rizieq, maybe I do. Who knows?
Viewing all 142 articles
Browse latest View live