Kecuali elo sesempurna Amal Clooney, semua orang pasti punya sumber krisis pedenya masing-masing. Sumber krisis pede terbesar gue sendiri ada dua, dan hari ini gue akan membahas soal salah satunya: jerawat!
Pertarungan gue dengan kulit sebenarnya sudah dimulai sejak gue kecil.
Ketika gue kelas 2-3 SD, gue kena eksim yang semakin lama semakin parah. Ruam-ruam merah dan gatal muncul di semua lipatan badan gue, sampai ke kulit kepala, telinga, bahkan akhirnya wajah. Ruam-ruam eksim itu awalnya kering, tapi kalau digaruk jadi basah, trus berdarah. Hiiii.
Nyokap memboyong gue ke delapan dokter kulit di Jakarta, dan nggak ada yang sukses menyembuhkan eksim gue secara jangka panjang. Sampai akhirnya gue dibawa ke seorang dokter kulit di Singapura, baru, deh, eksimnya betul-betul bisa dikontrol. Inces sedari kecil banget, yaaa, dokternya harus di Singapura.
Selain eksim, ketika SMP, gue juga mulai jerawatan. Nah, ini dia, nih, hantunya.
Berbeda dengan eksim gue yang akhirnya sembuh total pas gue SMA, jerawat gue bertahan terus sampai sekarang, dua puluh tahun sejak gue pertama kali jerawatan. Dua puluh tahun! Begitu jerit ibunda Kiki Fatmala.
Jerawat yang hadir di muka gue ada berbagai macam, mulai dari
blackhead,
whitehead,
pustule,
papule, sampai
cystic acne segeda gaban. Semuanya nyebelin, semuanya awet, semuanya bikin sakit jiwa raga.
Gue tentunya gemes, tapi nyokap ternyata lebih gemes lagi. Maka pas gue kelas 3 SMP, beliau membawa gue ke dokter Rudy.
Bagi orang-orang jerawatan “angkatan lama”, mungkin kenal sama dokter Rudy di RS Medistra. Kalau nggak salah, namanya Rudy Suhendra? Setahu gue, beliau adalah (salah satu) spesialis kulit pertama yang mengobati jerawat dengan krim
chemical peeling dan ekstraksi sadis. Dulu dokter Rudy beken banget karena metodenya dianggap ampuh, tapi juga sinonim dengan kekejaman pada kulit.
Jaman dulu, ilmu tentang
chemical peeling dan ekstraksi pastinya belum sebagus sekarang. Jadi bisa ditebak, kulit gue babak belur karena efek kerja krim
peeling yang keras, dan ekstraksi-ekstraksi keji yang membuat muka gue berdarah-darah.
Maka dari dulu banget, sudah tertanam di benak gue bahwa
beauty IS pain. Telen aja, beb!
Apakah dokter Rudy sukses membuat wajah gue berhenti jerawatan? Nggak juga. Zzzz. Pertumbuhan jerawat aktif gue sempat tertahan, tapi sama seperti dokter-dokter kulit lain yang pernah mampir dalam hidup gue, dokter Rudy hanyalah solusi sementara.
But life goes on, shay! Mau nggak mau, gue harus menjalani hidup—termasuk melewati masa remaja—bersama sohib-sohibku, para jerawat. Berbagai solusi ditempuh, tapi hormon sialan gue membuat gue nggak pernah bisa sepenuhnya lepas dari jerawat. Semakin tambah umur, elastisitas kulit gue juga semakin berkurang, sehingga
acne scars dan bopeng juga semakin banyak.
Apalagi, pas SMA, nyokap memperkenalkan gue kepada kesalahan terbesar yang pernah gue lakukan terhadap kulit gue (wow, dramatis), yaitu ekstraksi rumahan. Duh, apakah itu?
Jadi, pas gue SMA, nyokap memutuskan untuk meng-ekstraksi kulit gue sendiri. Mungkin karena tahun segitu salon
facial yang mumpuni nggak sebanyak sekarang. Atau mungkin dese pelit aja kalau gue kudu
facial sering-sering. Namun di saat yang bersamaan, nyokap gemes melihat komedo gue yang bertumpuk.
Alhasil, beliau nekat jadi terapis ala-ala. Dengan alat ekstraktor khusus dan jarum pentul yang di-”sterilkan” dengan alkohol atau dibakar pakai api (!!!), kulit muka gue pun diobrak-abrik.
Apakah nyokap seorang terapis beneran? Tentu tidak. Pernah belajar soal kulit atau
facial? Boro-boro. Punya pengalaman otodidak mengekstraksi jerawat dan komedo? Apalagi. Modalnya apa, dong? Ya, cuma kegemesan dan ke-otoy-annya sendiri.
Bisa ditebak, estraksi rumahan begitu bikin kondisi kulit wajah gue semakin parah. Selain karena teknik ekstraksinya suka-suka nyokap, juga karena dia nggak menerapkan
after care setelah kulit wajah gue dikoyak-koyak.
Ngeri nggak, tuh? Ngeri banget. Yang lebih ngeri lagi, sih, kok gue mau-maunya aja dibegituin? Rutin, pula! Nggak heran kalau
facial KW nyokap ini malah sering membentuk jerawat baru.
Sementara itu,
kunjungan gue ke berbagai dokter kulit jalan terus, sehingga dari waktu ke waktu, gue selalu kembali lagi ke krim
chemical peeling. Di periode SMA ini pun, gue mulai berkenalan dengan suntik steroid, laser, dan pil Roaccutane yang kontroversial.
Struggle ini terus berlanjut sampai sekarang, belasan tahun kemudian. Nggak pernah, deh, gue bisa betul-betul mulus dan bebas dari jerawat jenis apapun dalam jangka waktu lama. Paling banter tiga bulan. Maka pada akhirnya, gue berusaha menerima bahwa noda-noda di wajah yang nggak akan hilang meski muka gue dicelup Bayclin ini adalah bagian dari diri gue.
I kinda have no choice, I guess?Januari-Juli 2016
Dara dari Female Daily pernah menulis tentang
life lessons yang dia dapatkan sebagai orang yang berjerawat,
and the points are all so true. Karena nggak mau kalah, inilah versi gue.
So what has living with acnes made me become?1. Membuat gue lebih jaga mulutHampir semua orang berjerawat yang pernah gue ajak ngobrol—atau baca kisahnya—menyatakan hal yang sama: momen paling menyakitkan bagi mereka adalah ketika dikomentari.
Komentar yang mampir ke telinga umat berjerawat bisa beragam. Ada yang tanpa tedeng aling-aling (“Kok jerawatan gitu sih, lo?”), ada yang nggak sensitif, (“Diobatin dong, jerawatnya.” Eh, mz/mba, usaha ngobatinnya udah sampai ke ujung dunia, lho!), ada yang sok solutif padahal nggak (“Makanya jangan terlalu stress, deh...”).
Walaupun yang komen-komen begitu umumnya adalah para manusia beruntung yang nggak jerawatan, komen-komen nyebelin nggak hanya datang dari cangkem teman, lho. Komentator tersadis dalam hidup gue justru nyokap gue sendiri.
Nyokap gue selalu senewen berat kalau sesuatu nggak berjalan sesuai harapannya. Tragisnya, gue adalah salah satu hal dalam hidup beliau yang nggak sesuai harapannya, berhubung kulit gue—anak perempuan sulungnya—nggak mulus. “Gimana mau dapat suami?” begitu katanya dulu (
what the…)
Semasa remaja, gue kadang malas-malasan merawat wajah. Wajar, dong. Capek, bosqueee. Maka di benak nyokap, dia harus memecut gue dengan kalimat-kalimat sadis, supaya gue terpicu. Misalnya, “Mamah, tuh, geli banget liat muka kamu. Kadang Mamah ngayal bisa ngelupas seluruh kulit wajah kamu.” BUSET, MAH. Trus, kalau gue lagi diskusi serius sama do’i, matanya malah akan jelalatan mengamati wajah gue, bukan memperhatikan omongan gue. Dan ketika gue konfirmasi, “Mamah lagi ngeliatin jerawat aku, ya?” Dijawabnya, “Iya.”
Hatiqu terluqa!
All joking aside, sampai sekarang, beberapa kalimat nyokap masih terngiang di kepala gue, dan masih bikin sakit hati kalau diingat-ingat.
Nah, karena kami tahu betul rasanya sakit hati karena komentar-komentar terhadap fisik, umat berjerawat biasanya sangat jaga mulut dan hati-hati kalau mau berkomentar tentang (fisik) orang lain.
Gue pribadi melatih diri untuk betul-betul tutup mata terhadap fisik seseorang, dan langsyung aja menilik sikap dan wawasannya. Subhaaa? Nallaaah…
2. Membuat gue susah menerima pujianApa sih yang lebih gawat dari
acne scar?
Confidence scar, alias krisis percaya diri.
Pada dasarnya, gue adalah orang yang
anxious berat, alias gampang cemas. Ditambah hidup puluhan tahun bersama jerawat, ya kelar, deh. Rasa percaya diri gue jadi serapuh sepatu kaca Cinderella dan nggak bisa diperbaiki dengan Rexona sebanyak apapun.
I cannot see past myself, but as a spotty girl. Setiap kali gue ngaca, yang gue lihat hanyalah jerawat-jerawat gue, bekas-bekasnya, dan betapa buruknya semua itu. Gue nggak bisa melihat bahwa gue sebenarnya lucu (ih, ngaku-ngaku), lumayan pinter (ih, ngaku-ngaku), dan pernah dibilang mirip Claire Danes (wow, halu).
Akibatnya—
seperti yang pernah gue ucapkan di sini—gue kurang suka kalau gue dipuji fisik. Dulu gue sering merasa, kalau gue dipuji “cantik”, orang yang memuji gue ada maunya, agak rabun, atau sedang mengasihani gue.
Compliments make me anxious and overthink. Sebagai contoh, kalau gue lagi pakai
make-up, trus gebetan gue bilang bahwa gue cantik, maka dengan senewennya gue akan mikir, “Apakah gue dipuji karena gue lagi dandan? Apa jadinya kalau dia lihat gue tanpa
make-up nanti?”
Maybe I have acne dysmorphia? Gejalanya, sih, ada semua.
Tapi belakangan ini, gue berusaha menerima bahwa gue nggak jelek-jelek amat. Dan kalau kata T, “Nggak usah GR dan
self-centered, deh. Orang punya masalah hidupnya masing-masing, dan mereka terlalu sibuk untuk merhatiin jerawat kamu.”
SADIS TAPI BETUL.
Thank you, suami mulut cabeku.
3. Membuat gue nggak suka cermin dan cahaya terangPunya kulit yang nggak paripurna jelas bikin gue males memandang wajah gue sendiri, alias ngaca. Setiap ngaca, tuh, rasanya kepercayaan diri mblesek. Sampai detik ini, gue nggak suka ngaca, apalagi di bawah
harsh lighting alias pencahayaan yang “keras”—seperti misalnya cahaya lampu neon—karena pencahayaan tersebut jadi meng-
highlight setiap lekukan, bruntusan, dan noda kulit gue.
Tetapi ketidakpercayaan diri gue ternyata cukup mengakar, sehingga selain ngaca, gue juga nggak suka dengan cahaya terang. Kenapa? Karena orang-orang jadi bisa liat komuk gue dengan jelas, dong!
Maka jaman pacaran, gue lebih suka pergi malam dan pergi ke tempat dengan pencahayaan minim (ini krisis pede atau niat mesum, sih?). Dan kalau perempuan lain mungkin seneng ditemani pacarnya ke
department store—yang bermandikan lampu neon—gue mah ogah.
Ketidaksukaan gue terhadap cahaya terang ini kemudian merembet jauh. Sampai sekarang, gue nggak suka cahaya terang di situasi apapun. Misalnya, tiap pagi, T paling rajin buka semua jendela lebar-lebar, sehingga cahaya matahari langsung memenuhi kamar. Bagus, dong? Iya. Tapi ternyata gue terganggu dan sering protes, minta jendelanya ditutup sedikit.
Sebegitu nggak nyamannya gue dengan cahaya terang, ya, padahal gue sudah nggak dalam posisi untuk malu kepada T, orang yang pernah melihat gue melahirkan, dan sering pup depan gue dengan santainya! Duileee.
Some insecurity last a long time, I guess? Atau mungkin gue memang punya
acne dysmorphia?
4. Membuat gue lebih beraniGue ngerti, mengeluh panjang-lebar soal jerawat adalah kelakuan
privileged brat. Kenapa, sih, harus ngeluh sampai 2,000 kata begini? Seenggaknya lo masih sehat walafiat, La. Kalau mau ngeluh soal wajah, ingat-ingat Novel Baswedan, deh.
Paham banget. Meskipun begitu, nggak bisa disangkal juga bahwa jerawatan itu nggak enak.
I mean, c’mon. Literally the first thing people see on you is your face. Bukan kaki, apalagi kepribadian dan
inner beauty. Jadi punya “cacat” di muka, tuh, bisa menghantam rasa percaya diri.
Alhasil, harus hidup dengan jerawat, tuh, menempa keberanian juga, lho. Gue harus bisa melawan malu dan rasa kepengen ngumpet di depan umum.
Dengan kecanggihan
make-up jaman sekarang, jerawat memang bisa disamarkan. Masalahnya, gue sering capek dan bosen harus nge-
prep muka sebelum keluar ke muka publik. Jadi kadang jerawat-jerawatnya gue diemin aja. Kubiarkan mereka apa adanya, tanpa kututupi.
Go! Go see the world, my zits!Tahun lalu, jerawat gue meradang parah selama setengah tahun. Radang tersebut mencapai puncaknya pas Lebaran. Padahal Lebaran pasti jadi ajang tampil dan kumpul-kumpul, ‘kan? Tapi karena saking muaknya, gue nyerah dan nggak dandan pakai
base make-up (
foundation,
concealer, dsb) setitikpun. Mama mertua gue sampai gemes dan akhirnya pecah komen, “Jerawatnya nggak mau ditutup dikit?” NGGAK MAMA, MAKASIH, YA.
Maka dengan kondisi jerawatan parah, gue menghadapi acara silaturahmi seharian. Dalam seumur hidup gue yang cemen ini, saat itu gue merasa pemberani banget. Serasa William Wallace mau terjun ke medan perang di
Braveheart. Allahuakbar!
Kalau kita berjerawat, dandan menjadi suatu beban kewajiban untuk menutupi kondisi kulit. Karena kalau nggak dandan, kita takut akan memberi impresi negatif ke publik, atau di-
judge“Nggak pernah cuci muka, ya?”
Padahal menurut gue, hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip utama dandan. Memakai
make-up seharusnya adalah sebuah pilihan. Kalau kita lagi kepengen, silahkan. Kalau nggak, ya nggak apa-apa, dan seharusnya kita hepi-hepi aja.
Dandan seharusnya menjadi kegiatan yang menggembirakan.
Make-up is fun, when it is a choice, not a chore. Namun untuk orang yang berjerawat,
make-up menjadi sebuah kewajiban, dan bagi gue, hal ini melelahkan jiwa raga.
Jadi secara berkala, walaupun lagi jerawatan parah, gue nggak mau dandan sama sekali kalau keluar rumah, dan hal ini tentunya menempa keberanian.
5. Membuat gue lebih sabarJerawat itu sadis. Dia nggak peduli, usaha seperti apa yang lo lakukan, berapa uang yang lo keluarkan, acara atau orang penting apa yang lo harus hadapi. Pokoknya, kalau dia mau datang menyerang, ya dia akan datang.
Contohnya, nih.
As mentioned, tahun lalu, gue mengalami
cystic acne breakout parah selama setengah tahun. Segala daya dan upaya telah gue kerahkan untuk menaklukkan
breakout tersebut. Nggak ada metode yang nggak gue coba, tapi gagal semua. Sebelum nekat mengamplas muka sendiri, akhirnya jerawatnya gue diemin aja, deh. Eh, trus malah berangsur-angsur sembuh sendiri! Ngerjain banget, deh. Yo weis, sakarepnya.
Cerita kedua terjadi menjelang gue nikah. Waktu itu gue nggak
breakout, sih. Tapi namanya juga calon manten, ya. Pas hari-H, pengennya semulus mungkin, dong. Maka nyokap, dengan segala kegemesannya, membawa gue ke seorang dermatologis di Singapura yang punya moto, “
I can make your skin as smooth as a baby’s butt!” Okedeeeh, kusuka kepercayaan dirimu, dok!
Dermatologis ini pernah merawat kulit wajah beberapa sepupu gue yang mau manten, dan sakseys. Nyokap ngiler, dong.
Ternyata, bukannya mulus, perawatan dokter tersebut malah bikin gue
breakout parah! Nggak cocok, siiis. Gile lu Ndro, udah jauh-jauh ke Singapura juga. Mahalnya juga jangan tanya. Untungnya, perawatannya bukan pake duit gue. Sialnya, datang ke dermatologis ini ‘kan bukan kemauan gue juga.
Akhirnya gue musti ke dermatologis lagi di Jakarta, membenahi
breakout yang terlanjur terjadi. Hiks. Sabar ya, La (iyeeee…)
6. Membuat gue nggak terjebak dalam narsisisme fisikHidup seseorang yang berjerawat biasanya, kurang lebih, didikte oleh jerawatnya.
Sebagai contoh, gestur tubuh gue bisa didikte jerawat, lho.
Misalnya, kalau gue lagi jerawatan di pipi sebelah kanan, maka gestur tubuh gue otomatis mengutamakan sisi kiri wajah. Kalau difoto, maunya yang sebelah kiri aja. Kalau duduk di mobil bareng teman/pacar, maunya duduk di sebelah kanan, supaya dia duduk di sisi kiri gue aja. Posisi badan gue pun jadi agak bungkuk, dan wajah cenderung nunduk.
Hari-hari gue pun ikut didikte oleh jerawat. Bagi orang berjerawat, hari yang indah adalah ketika di hari tersebut, nggak ada jerawat baru muncul. Sebaliknya, hari yang buruk adalah ketika ada jerawat baru nongol, padahal jerawat-jerawat yang “sebelumnya” masih dalam proses pengobatan.
Lelah nggak, hayati? Banget. Ada banyak hal lain di dunia yang lebih perlu energi dan perhatian gue, tapi, lagi-lagi, masalahnya
the first thing people see on you is your face. Gimana jerawat nggak jadi kepikiran?
Maka di saat gue berjerawat, gue biasanya fokus kepada hal-hal lain di luar fisik manusia. Gue akan menghindari Instagram dan rakyatnya yang kece sempurna semua. Gue akan membabibuta baca-baca berita, soal kemanusiaan, soal penemuan-penemuan ilmiah… APAPUN kecuali soal hal-hal fisik.
Kemudian gue akan melakukan
self pep-talk bahwa kepribadian gue jauh lebih penting daripada fisik, dan identitas gue nggak didefinisikan oleh komuk doang. Daripada mikirin jerawat dan kelamaan
pity party, lebih baik gue mikirin apa yang gue bisa pelajari dan lakukan hari ini.
Berhasil? Kadang iya, kadang nggak. Tapi seenggaknya, karena wajah gue nggak sempurna, gue jadi selalu “diingatkan” bahwa ada banyak hal lain di luar urusan narsisisme fisik.
Kondisi kulit terbaiq, Maret 2015. Tetap ada bantuan make-up? Tetaaap.
Tetap ada bantuan manipulasi editing foto? Tetaaap.
***
Sebenarnya, gue sangat menerima konsep “
embrace yourself 100%”. Seperti kata Lady Gaga, “
I’m beautiful in my way / ‘cause God makes no mistakes / I’m on the right track, baby / I was born this way.”
Setuju, Mbak Gaga. Makanya, gue bisa menerima badan gue yang pendek-bantet, dada gue yang sudah melorot sampai perut (terimakasih, menyusui!), dan kulit mata gue yang super keriput, akibat hobi ngakak dan ngucek mata.
Sayangnya, jerawat dan kulit jelek susah sekali gue terima, karena gue merasa jerawat itu seperti penyakit—seharusnya bisa dihindari, seharusnya bisa diobati.
It is not something I am born and die with. Apalagi kalau jerawat sampai meninggalkan bekas atau bopeng. Berarti ‘kan gue yang nggak bener menanganinya? Maka ada perasaan, “Ini salah lo, La.”
Memang bisa diperdebatkan, sih, bahwa orang yang jerawatan sepanjang hidupnya punya hormon tertentu yang membuat kulitnya
acne-prone.
So in other words, I was also born this way. But for the longest time, gue susah menerima hormon dan kondisi kulit gue.
Sekarang ini, gue berusaha jadi lebih bijak. Seperti yang udah gue sebutkan, ngeluh panjang lebar tentang jerawat emang kelakukan
privileged brat banget, alias MANJA. Jerawatan memang nggak enak, terutama karena gue hidup di era media sosial dan
self-comparison yang tajam. Tapi ya udah, deh, La.
Please see the bigger picture! Dan bersyukurlah. Nggak ada yang nyerang muka lo pake air keras ‘kan? *emosi sama diri sendiri*
Thanks to my hormone, there’s a chance I will still be living with acne until I’m 40-50 years old. Jadi kalau takdir gue memang harus kenceng merawat kulit terus-terusan, nikmatin aaa…? Jaaa.
Selain itu, gue rasa Tuhan harus adil.
I guess I’m a pretty awesomeperson (huek). Bisa ngelawak, bisa joget hobah, nggak bego-bego amat, pinter tektokan tebak-tebakan Lupus, pernah dibilang mirip Claire Danes (diulang lagi, ya), Najwa Shihab, Salma Hayek (halu banget,
but I swear to God someone claimed this), Christina Ricci, sampai Nikka Costa kecil (?).