Quantcast
Channel: let the beast in!
Viewing all 142 articles
Browse latest View live

I'm Not Dead Yet!

$
0
0
"Laila, udah mati, ya?" HAMPIR, KAKAK!

Memang benar, ya, postingan yang gue tulis ini: kita nggak mungkin bisa menguasai tiga unsur dalam hidup secara sekaligus - pekerjaan, percintaan, dan pertemanan. Mesti salah satu atau salah duanya aja. Oh, blogging gue kategorikan sebagai "pertemanan", ya. Pembacaku 'kan temanku. Ciyeee. 

Sekarang ini hidup gue lagi didominasi oleh keribetan pekerjaan, nari, dan beberapa unnecessary hassles lainnya. Rempongnya beneran pengen bikin isdet, sehingga unsur-unsur lain dalam hidup gue nggak begitu kepegang, termasuk blogging yang hampir sebulan kemarin ini terlantar. Cedih. Tambah cedih lagi karena keribetan gue kayaknya akan berlangsung sampai Agustus.

Tapi gue pasti akan segera nge-post sesuatu, kok. Pasti. Masa' udah mau premiere Game of Thrones season baru, aku akan meneng wae?! I MEAN, DAYUM, LOOK AT THIS EPICNESS.

Geeks, let our madness begin next month. Valar morghulis.

Kenapa, ya, tiap nonton trailer GoT, hati selalu bergejolak kepengen perang melawan kebatilan? Padahal perang melawan hawa nafsu aja belum lulus, deh.

Sehari Semalam di Kota Kenang-Kenangan (part 1)

$
0
0
DSCF8268

Impromptu trips are the best.”

Tiga tahun lalu, gue nggak mungkin banget ngomong begitu.

Salah satu sipat gue yang dominan adalah gampang cemas, dan orang cemas biasanya control-freak. Maka impromptu trips—alias jalan-jalan dadakan—sebenarnya bukan gue banget. Beli tiket di bandara? Nggak punya itinerary? Langsung bengek.

Tapi itu dulu. Setelah punya anak, kesabaran dan rasa toleransi gue meningkat jauh, sehingga gue lebih bisa menerima hal-hal di luar rencana, termasuk jalan-jalan dadakan. Meksipun jaman sekarang, kayaknya nggak ada, ya, yang namanya impromptu trips“murni”. Pergi tanpa itinerary? Bikin aja dadakan, lewat smartphone. Lima menit beres. Oh, teknolokhi!

Impromptu trip gue yang paling menyenangkan adalah bulan puasa tahun 2015. Destinasinya Yogyakarta, bareng T dan Raya, dan beli tiketnya go-show di bandara. Ceritanya, udah berhari-hari gue merengek pengen ke ArtJog 2015. Akhirnya pada suatu hari, pas sahur, T bilang “Ya udah! Kita pergi sekarang!”

HORE! Tanpa perencanaan sebelumnya samsek, kami ke Ulen Sentalu, ke Merapi, makan Sate Klathak, ke ViaVia, ke Nanamia Pizzaria, naik becak, dan andong 1000x di Malioboro (Raya’s request). Gue sendiri sukses menghabiskan waktu total 6 jam di pameran ArtJog, dalam dua hari. Jangan ditanya, deh, puasnya kek mana.

Bulan lalu, kami impromptu trip lagi. Ke Bandung aja, sih. Nggak seru, ya? Seru, kok! *nanya sendiri, jawab sendiri*

Ceritanya, bulan lalu T harus meeting di Bandung, dan harinya bertepatan dengan hari nyoblos Pilkada. Jadi ‘kan pas hari libur orang Jakarta, tuh. Lantas gue mikir—apa ikut aja, ya?

Yang membuat perjalanan ini impromptu adalah karena awalnya gue ragu-ragu icuk. Nginep nggak, ya? Berangkat jam berapa? Bisa dapat urutan nyoblos paling pertama nggak, nih, supaya bisa berangkat pagi?

Untungnya, ketika hari H, semua printilan itu terjawab. Kami memutuskan untuk pergi aja, menginap, bawa mobil pakai supir karena gue dan Raya bakal harus pisah sama T yang musti rapat panjang di tengah hari. Daaan… yang terpenting Pak RT kami berhasil dibujuk, supaya kami bisa nyoblos urutan pertama, hahaha. Gile aje, kalau gue bolos nyoblos cuma demi JJS ke Bandung. Bakal nggak bisa tidur setahun. Ciyeee.

Pagi

Hari-H.

Selesai nyoblos jam 7 pagi teng—dan berbarengan sama Nicholas Saputra tetanggaku kecenganku *lapkeringatdingin*—gue, Raya, T, dan Pak Sopir langsung meluncur ke Bandung.

Reservasi hotel dan daftar things to do langsyung dibuat di jalan. Cuma yang pasti, sekitar jam 12 siang T harus pergi meeting. Lagi-lagi, tiga tahun lalu, melakukan hal sesederhana ini bisa bikin gue bengek. Mana bisa gue baru nentuin akomodasi di jalan? ‘Kan harus dipikirin dulu tiga hari tiga malem! (duile, Bandung doang, kakaaak).

Diputuskan, destinasi pertama kami adalah Dago Pakar, karena dari hasil browsing, gue menemukan sebuah taman bermain yang tampak ucul bernama Dago Dream Park di kawasan Dago Giri. Kelihatannya nggak terlalu besar seperti Kampung Gajah, tapi nggak sekecil Farmhouse Lembang juga. Cucok untuk anak seumur Raya, dan untuk waktu kami yang terbatas.

Sebenarnya gue kepengen banget ke Dusun Bambu, tapi mengingat T bakal dijemput koleganya, ciyan ugha ya, kalau si kolega kudu jemput T ke Lembang, trus balik ke Pasteur. Moga-moga kamu cepet jadi bos ya T, supaya kemana-mana dijemput naik helikopter!

Atas rekomendasi teman, sebelum ke Dago Dream Park, kami makan dulu di Warung Inul. Katanya, warung makan Sunda ini enak dan lauk pauknya memuaskan, dari segi jenis maupun porsi. Menunya yang terkenal adalah nasi cikur alias nasi kencur. Semacem nasi uduk, tapi pakai kencur.

DSCF8236

Secara tempat, Warung Inul ini lumayan. Lumayan reyot, hihihi. Sederhana sekali, lah, terbuat dari kayu dan anyaman bambu belaka. Meski begitu, tampilan pengunjungnya pada perlente. Waktu kami di sana, pengunjung lainnya adalah ibu-ibu kota yang cling dan kece. Malah ada yang datang bareng gengnya. Entah geng arisan apa kosidahan, pokoknya bajunya seragaman, dan kelar makan mereka sibuk minta aa’-aa’ warungnya untuk motretin seratus kali.

DSCF8238

Kata teman gue, Warung Inul cabang Tahura tempatnya lebih nyaman, tapi gue pribadi merasa baik-baik aja dengan Warung Inul Dago Pakar ini. Yang pasti, tempat ini ketolong banget oleh lokasinya yang berada di daerah tenang, adem, dengan angin cepoi-cepoi. Bikin pengen nambah dua bakul, lah.

Pas kami sampai di Warung Inul, waktu menunjukkan sekitar jam 11, dan kami pada belum sarapan. Kebayang ‘kan, betapa cucoknya diumpanin nasi dan lauk pauk Sunda yang melimpah ruah menggugah? Langsung mau kokop semua!

DSCF8246 
Jadi gue rada nggak bisa subyektif, nih—apakah makanan Warung Inul memang enak, atau guenya aja yang kelaparan warbyasak. Pokoknya yang pasti kami ngegragas banget. Ayam bakar, lalap, pepes tahu, pepes jamur, kangkung, paru, semua ditelen tanpa ampun bersama nasi cikur yang porsinya geday dan rasanya edan gurih banget. Kraiiii!

DSCF8247

Raya aja bisa habis, lho. Walaupun nggak porsi full, ya. Tapi lumayan banget, mengingat Raya nggak suka makanan rumahan Indonesia (somsenya).

DSCF8249

In hindsight, sebenarnya makanan di Warung Inul hit-and-miss, sih. Berdasarkan memori aja nih, ya—sambelnya nggak pedas buat gue si lidah pemakan api, ada lauk yang rasanya agak hambar (paru?), tapi ada yang malah keasinan (pepes jamur?). Tapi secara keseluruhan, kami tetap ganyem-ganyem nikmat, kok.

Siang

Dari Warung Inul, kami lanjut ke Dago Dream Park.

Seperti yang gue bayangkan sebelumnya, taman bermain ini nggak terlalu besar dan seambisius D’Ranch apalagi Kampung Gajah, misalnya, tapi konsepnya mirip-mirip, yaitu menawarkan sejumlah atraksi dan permainan anak-anak di tengah alam terbuka. Atraksi dan permainannya, sih, standar-standar aja, seperti area playground, perahu-perahuan, kereta-keretaan, mini petting zoo, naik kuda, dan sebagainya. Tapi cocok untuk Raya, dan untuk waktu kami yang terbatas.

DSCF8254

Dago Dream Park berlokasi di semacam hutan pinus, maka plus points-nya: udara sejuk, segar, teduh. Minus points-nya: lokasi permainan-permainannya terasa terlalu tersebar, dan layout-nya terasa nggak smooth. Namanya juga musti ngikut kontur lembah hutan yang naik turun, ya.

Sampai di Dago Dream Park, T sudah dipantengin koleganya untuk diculik rapat. Iiiih, apaan, siiih… Sempet main sebentar sama Raya, sih, tapi cuma sekitar 10 menit. Tapi ya udah, deh. Demi mengais pundi-pundi berlian. Dadah, Papa! See you later!

DSCF8257

DSCF8265

Dari awal kami sampai, cuaca di Dago Giri sudah menduuung sekali ini. Langit gelap mengancam, dan angin yang bertiup juga udah kasih kode-kode mau hujan. Gue mulai agak depresi, karena hati jadi ikutan mendung (beginilah kutukan punya hati seniman. Apa-apa sensi). Apalagi Dago Dream Park-nya lagi sepi. Yaiyalah, siang-siang bolong hari sekolah.

Tapi karena belum hujan, cuek aja, deh, beli tiket.

DSCF8273

Oya, sistem tiket di sini adalah ketengan. Jadi kalau mau naik 5 permainan, misalnya, harus beli 5 tiket satu-satu. Kalau nggak salah, waktu itu gue beli 4. Dua tiket dipakai Raya untuk main di playground sendirian dan naik “kereta-keretaan” (yang ternyata cuma drum kaleng ditarik pake ATV. Duile, pelit-slash-kreatif at its finest!).

Setelah itu, dengan shuttle van yang tersedia, kami turun ke bagian bawah Dago Dream Park, karena mau naik kuda. Di titik ini, langit gelapnya udah tiada ampun. Dan pas kami sampai di bawah, BYARRR… hujan seada-adanya. Gedaaay banget, dengan petir bersahut-sahutan.

Gue dan Raya berteduh di bawah sebuah loket penjualan tiket, tanpa payung, trus nyebrang ke shelter empang ikan di seberangnya. Shuttle van-nya sendiri udah cabut dari tadi. Kami berdua berdiri cengo, mulai kebasahan, kedinginan, dan sedikit ketakutan, karena nggak ada pengunjung lain. Alhamdulillah sekali Raya kalem, sementara hati gue mulai awur-awuran. Huhuhu.

Berhubung gue anaknya ngototan, 10-15 menit pertama gue bertahan, karena berharap hujannya bakal berhenti, trus gue dan Raya bisa lanjut main. Tapi setelah 15 menit diledekin halilintar dan hujan menderu-deru, nyerah, deh. Kayaknya ini hujan nggak bakal reda dua hari, lah.

(belakangan gue baru tahu, ini adalah hujan besar yang membawa hujan es di sebagian Bandung pada hari itu. Sampe numbangin beberapa pohon besar di tengah kota, lho. Njir, celem ugha.)

Akhirnya gue telp sopir gue, dan minta dijemput di empang ikan tempat gue dan Raya terjebak. Ditunggu-tunggu, kok do’i lama amat. Eeeh, ternyata Mas Sopir ngejemput dengan jalan kaki, sambil bawa payung. Katanya, akses mobil ditutup. Mungkin karena beberapa jalanan di dalam Dago Dream Park ini kecil, curam, dan meliuk-liuk. Jadi kalau hujan tambah bahaya karena licin.

Asli gue, Raya, dan Mas Sopir payungan bersama-sama, dan jalan lumayan jauh ke parkiran mobil, di tengah hujan lebat. Mesra banget, deh, kayak keluarga iklan KB.

Di mobil, gue memutuskan untuk cabut aja, karena hujannya kelihatan bakal awet. Kalaupun nggak hujan, sebenarnya suasananya juga udah celem sih, soalnya sepiiii sekali. Agak rugi, sih, karena kami punya 2 tiket yang nggak terpakai. Ikhlasin aja, deh. Bhay, Dago Dream Park!

Sore

Destinasi kami berikutnya adalah Saung Angklung Mang Udjo. Ihiiiy.

Seumur-umur, gue (dan Raya) baru sekali ini, lho, datang ke Saung Angklung Mang Udjo. Padahal ‘kan tempat ini legendaris sekali, ya. Sayangnya, setiap kali kami ke Bandung, Mang Udjo selalu kalah sama destinasi-destinasi lain.

Soal tempat dan pertunjukkanya sendiri, gue nggak usah cerita panjang lebar lah, ya? Pasti udah pada tahu juga.

DSCF8278

DSCF8290

Kesan pribadi gue sendiri, sih, oke! Gue seneng banget sama konsep besar dan misi budaya Saung Angklung Mang Udjo, juga sama detil-detil kecil yang mereka sajikan (tiket berbentuk angklung mini! Es lilin gratis! Sesi belajar main angklung rame-rame!).

DSCF8297

Tapi—ada tapinya, nih—menurut gue, Saung Angklung Mang Udjo udah harus step up their game. Setiap minggu, jumlah pengunjung tempat ini ‘kan banyak banget, dan banyak yang berasal dari mancanegara. Sementara menurut gue pribadi, pertunjukkan di Saung Angklung Mang Udjo masih selevel… pertunjukkan SD. Semacem acara pentas sekolah gitu, lho.

DSCF8285

DSCF8303

Paham, sih, kalau mereka ingin menampilkan anak-anak. Gue juga paham kalau anak-anak tersebut adalah performer amatir. Tapi kayaknya hal ini harus diubah, karena Saung Angklung Mang Udjo udah makin beken, sehingga pertunjukkan mereka harus naik ke level pertunjukkan kesenian di Bali, seenggaknya. Harus sejago dan seprofesional itu. Jangan puas dengan kualitas yang sekarang.

Caranya, entah anak-anaknya musti dilatih dengan lebih detil, atau Saung Angklung Mang Udjo musti menampilkan performance dan performer yang lebih jago. Pokoknya jangan terlalu santai dan terlalu kelihatan amatir.

DSCF8306

Oh, trus ternyata, sebagai bocah kearifan lokal, Raya nggak suka-suka amat, lho, sama keseluruhan acara di Saung Angklung Mang Udjo. Dia malah sukaaaaa banget sama sepenggal pertunjukkan wayang di awal acara.

Kemudian gue baru sadar, sebenarnya Raya nggak sekedar suka kesenian tradisional, tapi kesenian tradisional yang ada ceritanya, seperti wayang, sendratari, dongeng legenda, dan sebagainya. Harus ada content-nya (saelah). Kalau sekedar pertunjukkan musik hura-hura tanpa jalan cerita, dese kebosenan.

You learn something new about your kid everyday!

DSCF8311
"Bu, Raya sukaaaa banget sama Cepot ini. Cepot ini sahabat Raya selamanya." Trus, boboknya pun sampai sambil pelukan sama si wayang Cepot... seminggu kemudian, si Cepot udah hilang entah kemana #anakanak

BERSAMBOENG.

Sehari Semalam di Kota Kenang-Kenangan (part 2)

$
0
0
DSCF8331

SAMBOENGAN INI.

Malam

Selesai dari Mang Udjo, hujan sudah selesai, menyisakan becek dan kubangan dimana-mana. Waktu juga hampir maghrib, sehingga kami langsung cau ke hotel. 

Sekarang gue mau sedikit memuji kemampuan browsing gue, leh yha, gaes.

Seperti yang gue sebut sebelumnya, gue nge-book hotel di Bandung secara dadakan. Normally, I can’t do this, karena bagi gue, nggak gampang menemukan penginapan yang pas. Sebagai bekgron, tanggal ulang tahun gue, tuh, tepat di irisan rasi bintang Virgo dan Libra. Maka sifat gue pun beririsan antara perfeksionis dan penuh pertimbangan. Alhasil, kalau memutuskan segala sesuatu suka pake hidup dan mati, termasuk sesepele memutuskan penginapan saat travelling.

Jadi bukan karakter gue, deh, untuk memutuskan tempat menginap pake capcipcup, seperti kali ini.

Tapi Alhamdulillah, pilihan hotel gue oke banget! *idih, GR*

Nama hotelnya Ivory by Ayola, berlokasi di Jalan Bahureksa, dengan rate 400 ribuan semalam. Hotelnya kecil, tapi interiornya lucu dan nyaman. Restoran alfresco-nya juga gemes banget buat duduk-duduk pagi-sore-malam *lalu gelege'an masuk angin*. Hotel Bandung rasa Seminyak banget, deh.

Kamarnya kecil dan sederhana, tapi cukup banget buat bertiga. Kami juga nggak ada complain tentang fasilitas ataupun sarananya.

Hotel Ivory berlokasi di dalam kompleks—bukan di pinggir jalan raya—sehingga nggak bising dengan suara kendaraan. Lokasinya ideal banget karena, ehm, dikelilingi berbagai tempat makan yang seru. Mulai dari warung sampai restoran masa kini. Malah katanya, tepat di seberang hotel, ada food court yang menjual jajanan super endeus. Ada sekitar lima orang merekomendasikan pujasera itu ke gue. Sayang, kami nggak sempat nyobain.

Yang bikin tambah hepi, di dekat hotel ini ada hostel/penginapan B&B yang oke untuk sopir gue. Sejujurnya, gue merasa agak mubajir kalau harus reservasi satu kamar di Ivory, khusus untuk si Mas Sopir sendirian. Untung ada penginapan tersebut. Bentuknya penginapan rumahan sederhana, tapi bersih dan layak banget. Rate-nya sekitar 150 ribuan, dan waktu tempuhnya cuma lima menit jalan kaki dari Ivory. Cucok, eym! Bungkus!

(tapi maaf banget, gue lupa namanya :D)

Tepat jam 6 sore, gue, Raya, dan Mas Supir sampai di hotel, sementara T baru selesai meeting di Pasteur.

Nggak lama setelah gue dan Raya check-in, Papa T juga sampai di hotel. Kami langsung cusss, cari makan malam.

Sebenarnya malam itu gue masih kenyang, gara-gara makan siang akbar di Warung Inul sebelumnya. Meski demikian, gue tetap ingat nawaitu gue dari Jakarta, yaitu makan-makan “jorok” yang sepenuhnya menyalahi prinsip clean eating.

Malam itu, idaman utama gue adalah mie yamin, trus kepengennya dilanjut dengan Sate DJ atau Cuangki Serayu, lalu martabak manis yang mentega wijsman-nya netes-netes. Subhanallah, kakaaa.

Setelah galau-galau menentukan pilihan, akhirnya kami menetapkan makan yamin di Mie Naripan…

DSCF8312

DSCF8320

DSCF8324

… yang ternyata sama sekali nggak halal. Ahahahaha… astaghfirullohaladziiim.

Mie Naripan ini direkomendasikan oleh seorang teman di kantor lama. Dia bilang, “Kak, makan yamin di Naripan aja! Kayaknya ada pilihan topping babi, sih, tapi yaminnya sendiri aman, kok. Minta topping yang non-babi aja, Kak!”

Karena dibutakan oleh napsu makan mie yamin, kutelan saja lah ucapannya. Browsing pun nggak.

Eeeh, sejurus setelah gue nge-post adegan makan-makan kami di Instastory, langsung masuklah bertubi-tubi Direct Message dari beberapa teman dan followers, “Mbaaaak… Mie Naripan nggak halal! Itu kuahnya babi semua!”


Yang bikin tambah sebel, menurut gue rasa Mie Naripan begitu-begitu aja. Cukup enak, tapi nggak wow banget. Nggak halal pula. Kalau nggak halal tapi enak, ‘kan mendingan, hahahaha.

(FPI, jangan persekusi aku, ya.)

DSCF8326

Bottom line, Mie Naripan nggak 100% enak, tapi 100% haram. Cedih.

Yang bikin tambah cedih, setelah makan yamin Naripan, kami terlalu kenyang untuk jajan-jajan lagi. Padahal gue masih kepengen banget nyobain Sate DJ dan Cuanki Serayu, meski cuma karena azaz penasaran.

Maka dari Mie Naripan, kami pulang aja, mandi, berdoa Gusti Allah mengampuni keteledoran kami (aamiin), trus tidur.

Kamis pagi

Wakey, wakey, rise and shine!

Pagi ini, gue ngajak T dan Raya ke salah satu kafe Dago Pakar. Pasti pada kebayang, ya, kafe yang kekmana, berhubung tempat model begini belakangan sedang menjamur. Sejenis Armor Coffee, Jungle Preanger, Waroeng Pinus, dan sebagainya.

Biasanya gue menghindari tempat-tempat makan kekinian trendi masa kini, karena seringkali penuh dan overrated, tapi kali ini gue penasaran. Pilihan kami adalah Waroeng Pinus, karena saat weekday begini, ternyata dia kafe di kawasan Taman Hutan Raya / Tahura yang bukanya paling pagi, yaitu jam 8. Trus, kalau datang pagi-pagi weekdays gini, seharusnya sepi dong, ya.

Benar aja. Pas kami tiba jam 8 kurang dikit, Waroeng Pinus yang terletak dekat pintu masuk Taman Hutan Raya ini masih sepiiiii banget…… soalnya masih tutup. Yeee, siapa suruh terlalu ‘mangat!

Ya udah, mumpung udah di sini, kami memutuskan jalan-jalan dulu.

Terakhir kali gue ke Tahura, tuh, sewaktu gue masih kecil. Mungkin SD, ya. Jadi gue udah lupa banget, hutan kota ini seperti apa…

DSCF8328

… dan ternyata menyenangkan sekali, ya! Adem, rindang, dan segar. Baru berdiri-berdiri lima menit aja, badan udah berasa lebih sehat. Landscape-nya mungkin nggak se-polished Kebun Raya Bogor—namanya juga “hutan”, bukan “kebun”—but the freshness is much more raw and intense. Pasti karena vegetasinya lebih rindang, dan udaranya lebih sejuk. Pokoknya senaaang sekali.

DSCF8333

Kami jalan-jalan sebentar di Tahura, sampai akhirnya Raya merengek kepengen lihat rusa. Memang, di Tahura ini ada kandang rusa, sekitar 2-3 KM dari gerbang masuk utama.

Awalnya kami mau jalan kaki aja ke sana, tapi niat mensana incorporesano ini ditentang oleh para mamang ojek yang mangkal di gerbang, “Jangan jalan, Buk! Pak! Naik ojek aja!”

Okelah. Pas ditanya, harga ojeknya berapa, dijawab, “Musti dua motor. 150 ribu, ya.”

Waaaw, mahal! Darah Minang Bapak T langsung menggelegak, dan pertempuran nawar harga pun terjadi. Gue pernah cerita nggak, sih, bahwa T jago neken harga? Minimal “mengintimdasi” orang untuk ngasih bonus. Pokoknya kejam, deh.

Namun akhirnya, bargaining T nggak sukses-sukses amat. Gue lupa angka persisnya, tapi harga akhirnya nggak jatuh jauh dari sratus mapuluh rebu tadi. Kami pikir, ya udahlah. Toh dua motor, dan ditungguin untuk bolak-balik, kok.

Ternyataaa… jarak dari gerbang utama Tahura ke kandang rusa memang jauuuuh. Trek-nya menantang pula. Dan berhubung sehari sebelumnya hujan besar, ada banyak kubangan dan ranting pohon tumbang. Kalau jalan kaki, baru 1/5 jalan aja, kami pasti udah nyerah. Jadi harga ojeknya cukup fair, kok. Sori sori yah, mang :D

And it’s all worth it, karena kandang rusa di Tahura ternyata kece banget! Rusanya banyak, aktif, dan pemandangan latar belakang kandangnya cantik gemah ripah loh jinawi. Mana sepi pula, nggak ada pengunjung lain samsek. Hati adeeem bukan kepalang.

DSCF8365

DSCF8381

Sang bapak penjaga kandang pun nggak berhenti menyediakan makanan rusa, sehingga Raya puas banget ngasih makan rusa-rusa tersebut. 

DSCF8354

DSCF8343

DSCF8340
 
Si bocah, sih, udah pasti betah banget, karena gue memang curiga anak introvert ini adalah titisan Nabi Sulaiman—bisa bicara sama hewan. Abisnya kalau berinteraksi sama sesama manusia, do’i suka malas dan jutek. Tapi kalau sama hewan, bisa ngobrol batiniah berjam-jam :D

DSCF8361

DSCF8384

Intinya, kami sungguh betah dan adem lahir batin. Kalau bawa sleeping bag, rasaan mau nginep aja, deh. Bobok bareng rusa.

DSCF8349

Namun, tentunya, kami musti balik.

Langsung pulang? Tentu tidak. ‘Kan tujuan utama ke Tahura ini belum kesampaian, yaitu nyicip salah satu “kafe hutan pinus”-nya. Maka kami balik ke Waroeng Pinus.

DSCF8388

Secara bentuk, kafe ini terdiri dari sebuah pondok kayu, dikelilingi oleh teras serta seating area, dan “dipagari” oleh bermacam tanaman.

Alhasil, berkunjung ke Waroeng Pinus serasa bertamu ke sebuah rumah mungil di tengah hutan. Apalagi, pas kami di sana, sedang ada bapak-bapak yang kucurigai adalah pemiliknya, lagi nongkrong bareng sekelompok geng sepedahannya. Bawaannya pengen ketok pintu, trus nyapa “Punteeen… assalamu’alaikuuum…” sambil lepas sendal.

DSCF8391

DSCF8397

Katanya, Waroeng Pinus adalah salah satu usaha koperasi ITB angkatan ‘80. Di sekitar kafe ini juga ada budi daya hidroponik dan galeri workshop kayu, yang merupakan bagian dari koperasi ITB '80.  Meja dan kursi di Waroeng Pinus pun hasil kerajinan mereka.

Gue, T, Raya dan Mas Supir memilih duduk di area teras yang menghadap lembah. Meski ada bapak-bapak (alumni ITB?) geng sepedahan yang merokok, area outdoor-nya tetap terasa segar banget. 

DSCF8399

DSCF8393

DSCF8395

Plus, gue jadi bisa… nguping. Soalnya pembahasan bapak-bapak tersebut tetep Pilkada DKI Jakarta dan Ahok, lho. Pake bahasa Sunda totok :))) Sungguh, Pilkada rasa Pilpres.

Menu makanan Waroeng Pinus ini beragam, mulai dari panganan Indonesia (bandrek, cireng, bubur ayam, dll.) sampai Barat (poffertjes, cream soup, spaghetti, dll.). Rasa pesanan-pesanan kami cukup oke, walaupun nggak istimewa. Gimanapun juga, daya tarik utama warkop-warkop Tahura ini adalah lokasinya yang di tengah hutan pinus.

Overall, Tahura dan sekitarnya menyenangkan sekali, deh. Trus, seperti biasa, kalau gue dan T lagi menikmati suatu area, kami langsung lebay, “Apa kita pindah rumah aja ya, ke Dago Pakar?” Molaaai. Hepi di Bandung, pengen pindah ke Bandung. Hepi di Bali, pengen pindah ke Bali. Hepi di Amerika, pengen pindah ke Amerika!

I wished we could stay longer, tapi apa daya, waktu check-out hotel semakin dekat. Kami pun balik ke hotel, mandi, beberes, dan pulang.

***

Walau cuma sehari semalam di kota kenang-kenangan ini, ternyata hati bahagia dan puas, khususnya karena a) nggak macet b) rencananya serba dadakan, tapi nyaris sakseis semua, dan c) tempat-tempat yang dikunjungi belum pernah dikunjungi sebelumnya.

Dan mungkin karena—mengutip grafiti di kolong sebuah flyover—"...Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum"-- M.A.W Brouwer.

Sampai jumpa lagi, ibukota Priangan!

Game of Thrones: Making Mondays Great Again

$
0
0

Ciyeileee.

Okay, GoT geeks, let's get into formation.

Sebenarnya gue mensangsikan istiqomah diri gue sendiri untuk bikin ulasan episode Game of Thrones season 7 setiap minggu, jadi mungkin gue akan mengulas kalau episodenya dirasa jedyar banget, yaaa.

Apakah episode perdana ini jedyar? Nggak. Sufficient sebagai episode pembuka sebuah season, tapi nggak mengguncang jiwa. Namun hal ini memang expected untuk setiap episode perdana GoT.

Duh, kok rasanya nanggung. Sekalian review dikit kali, ya? Karena gue anaknya ringkas dan efisien (baca: malas), gue sajikan buah pemikiran gue lewat pointers aja, ya, bak presentasi MLM:

Twins

1. Dulu gue nggak suka-suka amat sama Arya Stark, bahkan heran sama orang yang nge-fans banget sama anak ini. Tapi sejak dia bertahan jadi anak didik House of Black and White dan akhirnya mengalahkan The Waif, gue mulai jadi #teamArya. Perasaan gue ini semakin dikukuhkan dengan aksi Arya membantai House Fray single-handedly di episode ini. Gilak. Jadi pengen nyanyi "Buka saja tooopengmuuu..." 

Kayak seri TV Mission Impossible jaman dulu, ih!

Pertanyaan teknis nyebelin khas mak-mak: jadi The Many Faces God juga mengajarkan teknik mengembangkan dan mengempiskan bodi, ya? Kok tinggi badan Arya saat nyamar bisa berubah-ubah gitu, sih? 

2.  Ed Sheeran! Who looked 100% awkward and uncomfortable, but not bad at all. Bagi gue, kehadiran Ed sama sekali nggak merusak adegan, kok. Kasihan, lho. Saking dikritiknya cameo dia di GoT episode ini, Ed Sheeran langsung mangkir sementara dari Twitter setelah penayangan perdana. Oh, netijen. Can you not be so jahara?

Gosipnya, Ed Sheeran dihadirkan karena Maisie Williams nge-fans banget sama doi, jadi para produser diam-diam bikin surpris manis ini. Awwwh.


Beyond The Wall

3. Lagi-lagi, pertanyaan teknis nyebelin khas mak-mak: 

Bran Stark dan Meera Reed akhirnya sampai di The Wall. Pastinya kita langsung mules bahagia menantikan reuni tiga anak Stark—Jon, Sansa, Bran—dalam episode ini. Tapi setelah masuk gerbang The Wall, Bran kok nggak nyampe-nyampe di Jon, sih? Seberapa jauh, sih, jarak antara gerbang tembok  dengan kantor pusat ((kantor pusat)) Night's Watch? Sam Tarly aja udah sampai ngosek jamban berhari-hari!

Speaking of which...

Citadel, Oldtown

4. Boring plotline for Samwell Tarly. Dan janggal rasanya bahwa dia—dan rakyat Westeros pada umumnya—nggak nyadar/nggak tahu bahwa Dragonstone menyimpan banyak dragonglass alias batu obsidian. Soalnya, 

a) Walaupun belum pernah ke sana, pasti rakyat Westeros pernah dengar, dong, bahwa Dragonstone terletak di pegunungan. Harusnya ada di kurikulum pelajaran geografi SD mereka ((kurikulum pelajaran geografi))  

b) Namanya aja udah DRAGONstone, jadi gunungnya pasti gunung dragonglass. Logikanya, segala-gala yang berbau "dragon" ada di sana. Dragonglass, dragonball, dll... (lucu nggak?)

Riverlands

5. Also boring plotline for The Hound and Brotherhood without Banners, tapi gue semakin trenyuh dan semakin optimis dengan masa depan The Hound, karena dibalik penampilan gaharnya, ternyata hatinya betul-betul selembut gulali. Semoga saat terjadi Cleganebowl nanti, The Hound nggak mati dibunuh para penulis naskah, huhuhu.

6. Diperkirakan, The Hound, Brotherhood without Banners, dan Tormund akan membentuk kelompok eksklusif bareng Jon yang totalnya 12 orang. Mereka akan turun duluan dalam gerilya melawan White Walkers di season 7 ini, sebelum (mungkin) terjadi perang akbar di season 8. GO BERIC DONDARRION AND YOUR EPIC FIRE SWORD!



Winterfell

7. Mengutip seorang teman, "Sansa pengen gue pengen tampar." Sumpah, iya.

Sansa memang semakin annoying, dan gue khawatirkan semakin licik. Dia udah dapat lumayan banyak ilmu kelicikan, sih, dari The Lannisters, The Boltons, dan Littlefinger. Bagus kalau liciknya untuk melawan kebathilan, tapi kalau untuk ambisi-ambisi pribadi gimana? 

Gue juga sempat khawatir dia akan terpengaruh sama Littlefinger, tapi gosip netijen mengatakan, Littlefinger akan mati di tangan Sansa dan Arya. 

Lalu ada penilaian subjektif, karena gue kurang restu si hipster Sophie Turner pacaran sama Joe Jonas, hahaha. Duileee, kurang restu. Abis Joe Jonas 'kan suka narkobus!

8. I still love the feisty, little Lyanna Mormont, tapi kalau setiap ngomong dia harus kenceng judes a la feminis demonstrasi melulu, lihatnya capek juga, yaaa. Lemesin dikit, dek.

9. Hati gue bergetar pas tahu bahwa Alys Karstark dan Ned Umber masih bocah. Duuuh, bocah-bocah gitu harus nanggung satu House. Nyaris diusir Sansa, pula.

Dragonstone

10. Intinya, sih, kalimat kunci ini, "Shall we begin?"

Shall, dong, Dany!!!

***

Sampai jumpa Senin depan! Gemes of Thrones memang gemes!

Definisi Cinta Ada Banyak

$
0
0
IMG_0495

Memangnya ada, pertanyaan yang lebih penting daripada jawabannya?

Banyak.

Ketika di Hari Lebaran kita kirim pesan teks ke mantan dengan kalimat, “Mohon maaf lahir batin, ya. Mama Papa apa kabar?” Pastinya kita nggak benar-benar ingin tahu kabar mama-papa si mantan. Kita cuma ingin pertanyaan tersebut memulai sebuah percakapan. Percakapan yang melebar. Melebar ke arah yang kita inginkan.

Tapi kalau aku bertanya, “Kamu lagi apa?” Aku benar-benar kepengen tahu, kamu lagi apa. Bukan sekedar untuk mencipta perbincangan. Dan aku akan sangat peduli dengan jawabanmu. Kalau kamu bilang, “Lagi di jalan”, aku akan bertanya lebih lanjut, “Jalan ke mana? Dari mana?” Dan aku bakal melacak jalurmu dengan aplikasi GPS, untuk tahu apakah jalur tersebut lancar atau nggak. Lalu aku akan tenang (atau panik), tergantung kondisi jalananmu itu.

Kalau kamu bilang, “Aku sedang makan.” Aku bakal bertanya, “Makan apa?” Kalau kamu menjawab soto, aku bakal teringat bahwa kemarin kamu juga makan soto. Hari sebelumnya lagi, mie Jawa. Hari sebelumnya lagi, laksa. Sehingga aku jadi tahu, kamu suka makanan berkuah. Dan aku akan tersenyum, senang berhasil mendeduksi fakta baru tentangmu.

Kalau kamu bilang, “Aku lagi senang,” aku akan ikut gembira bersamamu, sebelum kamu bilang alasannya. Kalau kamu bilang, “Aku lagi sedih,” aku akan setengah mati cari cara agar sedih kamu, setidaknya, sedikit terlupakan.

Jawaban kamu, sayang, selalu lebih penting dari pertanyaan aku.

Menjadi "Melek"

$
0
0

Disclaimer: Postingan ini tidak disponsori oleh media berita manapun (walaupun seharusnya iya, deh!)

Gue sadar bahwa selama ini, gue hidup di dalam bubble. Sebabnya ada beberapa.

Pertama, karena gue punya kehidupan yang sangat “mudah”, khususnya dari segi finansial.

Kedua, karena gue dibesarkan oleh nyokap yang sangat protektif. Beliau adalah orang yang membangun layer pertama bubble gue.

Ketiga, karena sosmed. Di era sosmed sekarang, gue yakin bubble kehidupan rangorang semakin tebal, karena kita—para pengguna sosmed—pasti mengkurasi akun yang kita follow. Platform berita online pun semakin customizable, sehingga exposure netijen semakin sempit. Therefore, we are only exposed to what we want to read/see/hear. 

Karena selama ini gue hidup di dalam bubble, gue benar-benar buta terhadap hal-hal yang terjadi di luar comfort zone gue, termasuk hal-hal yang terjadi di negara sendiri. Konten media yang gue konsumsi sehari-hari yang hepi-hepi aja—hiburan, tren, humor-humor receh, pokoknya serba indah dan ringan.

Tahun ini—dengan terlambatnya—gue baru tahu ada istilah namanya “woke”. Ini pun gara-gara gue beli kaos di Stradivarius, dengan tulisan WOKE segede gaban di depannya. Penasaran dong, gue. Apa, sih, maksud “woke”?

Gue mengutip definisi dari berbagai sumber aja, ya:

“Being ‘woke’ means being aware. Knowing what’s going on in the community... a reference to how people should be aware in current affairs.

“'Woke' is a slang word from African American Vernacular English which refers to a perceived awareness of issues concerning social justice and racial justice. The related phrase stay woke refers to a continuing awareness of these issues. Its widespread use since 2014 is a result of the Black Lives Matter movement.”

(contoh kalimat) ‘While you are obsessing with the Kardashians, there are millions of homeless in the world. Stay woke!’ -Urban Dictionary

“The rise in popularity of ‘woke’ has been tied to the #BlackLivesMatter movement, which initially surfaced in 2013 following the death of Trayvon Martin. #StayWoke often accompanied social media posts about police brutality, systematic racism and the industrial prison complex. #StayWoke reminds readers to look past the provided narrative, to examine their own privilege (or lack thereof). #StayWoke reminds readers that there is more than one reality to life in the United States.” -
Bustle

Kalau versi bahasa Indonesianya, “melek” kali, ya.

Menurut gue, “woke” (atau #staywoke) adalah istilah yang kece. Lahir dari suatu peristiwa sosial penting, kemudian mengalir jadi slang remaja di kebudayaan pop. Sebel, deh, istilah sekece ini baru gue ketahui dengan sangat terlambat. Lewat kaos dedek-dedek di Stradivarius pula. Gimana gue bisa jadi cendikia?!

Tapi apa hubungannya beingwoke dengan gue?

Pengakuan, nih: seumur hidup, gue nyaris nggak pernah ngikutin berita. Gue nggak suka baca koran, portal berita online, majalah berita, juga nonton berita. Dan gue merasa hal ini oke-oke aja. Entah ini akibat bubble, atau justru salah satu sebab timbulnya bubble, tapi intinya kebayang, dong, “kebutaan” gue selama ini?

Padahal seorang IRT upper-middle class ngehe macem gue relatif susah, lho, untuk keluar dari perangkap bubble, kalau nggak pake usaha.

Belakangan, secara “nggak sengaja”, gue agak keluar dari bubble gue dengan mulai mengikuti berita-berita nasional. Gue bilang “nggak sengaja”, karena gue melakukannya dengan “mengalir” saja, tanpa pretensi semacam, “Baiklah. Mulai hari ini, gue mau mulai jadi intelek melek politik!” Nggak. Gue cuma lebih membuka mata dan telinga aja, kok. Auk, deh, kesirep apaan. Mungkin karena jenuh dan rasa penasaran, ya.

So I started to “wake up”
, alias mulai “melek”. Mulai baca segala berita di berbagai media, nguping para bapak-bapak diskusi, nanya berbagai kebijakan negara ke T, kembali ke Twitter (!!!), dan sebagainya.

Nggak intens, sih. Masih banyak hal yang nggak gue pahami. 

Gue juga berusaha membuka diri terhadap semua sisi. Misalnya, baca tulisan mereka-mereka yang setuju dengan Perppu Ormas, tapi juga baca sudut pandang mereka-mereka yang menentangnya. Kalau lagi kuat, kadang gue ikutan baca Twitwar kaum “intelek cendikia” (yang beneran maupun yang sok-sokan) serta berbagai komen netijen di sosmed, meskipun kita semua tahu ya, kakak, betapa hal tersebut sangat menguji emosyih. Huek.

Kayaknya trigger gue untuk "melek" adalah Pilkada DKI 2017, salah satu insiden politik paling sadis yang pernah gue alami.

Sewaktu Pilkada DKI kemarin, gue berada di dalam bubble Ahok yang tebel banget. Kanan-kiri gue memuja Ahok. Dan karena lingkungan gue adalah perempuan/ibu-ibu, pemujaan mereka cenderung emosional dan sentimentil.

Apakah gue kebawa dengan bubble Ahok tersebut? Pastinya, lah yau (kok bangga?). Tetapi sebenarnya, waktu itu gue sudah terusik dengan polarisasi yang muncul. Kenapa, sih, ada anggapan kalau bukan fans Ahok, berarti fans Anies? ‘Mangnya nggak bisa di tengah-tengah? Apakah iya, Ahok seheroik itu? Apakah iya, Anies se-nggak kompeten itu? Kayaknya hidup nggak mungkin sehitam putih itu, deh.

Udah deh, tuh. Kelar Pilkada DKI, gue mulai berusaha membuka mata terhadap Indonesia ter-chayanx ini. Berusaha baca catatan-catatan pinggir, dan tanya-tanya ke rangorang yang gue anggap “tepat”.

Ternyata…. Yassalam. Negara ini sungguhlah negara Game of Thrones!

Ternyata juga, selama ini gue memang benar-benar buta dan naif terhadap negara. Balik lagi ke contoh Pilkada DKI 2017, sebenarnya ada segudang hal "tidak kasat mata" dibalik masing-masing sosok Ahok dan Anies, dan hal-hal tersebut jauh lebih dalam dan kompleks daripada citra-citra yang berseliweran di dalam bubble gue.

Misalnya, Ahok itu oke, tapi ada banyak hal yang harus dikoreksi dan dipertanyakan dari beliau. Anies nggak sempurna, tapi ada langkah-langkah beliau yang benar. Mungkin Jokowi adalah presiden keren—dengan segala vlog kekinian dan aksi naik dirtbike-nya—tapi harus diakui kapabilitas beliau terbatas, dan kelemahan-kelemahan beliau bisa jadi menyebalkan, bahkan fatal, untuk masyarakat.

Contoh lainnya, Habib Rizieq. Weall (baca: rakyat moderat dan liberal) LOVE to hate Rizieq Shihab, don’t we? Saat dese kena kasus pornografi, kita semua gebrak-gebrak meja sambil jerit-jerit, “Tangkep! Tangkep!”

Tapi setelah gue baca-baca, apa benar kita harus dukung kepolisian untuk jerat Rizieq Shihab dengan pasal-pasal pornografi? Dia bisa dikasuskan, tapi kalau dikasuskannya dengan UU Pornografi, malah bisa jadi bumerang. FPI bisa dikasuskan lewat hal lain, kok, e.g. menghina negara, sweeping, persekusi dan sebagainya, yang jelas-jelas salah.

***

Berikut adalah beberapa faedah dan mangfaat menjadi woke atau "melek", berdasarkan yang gue rasakan:

* To realize that NOTHING in this world is black and white.

Nating. Nating kompers tu yu. Dunia ini hanyalah panggung sandiwara segumpalan abu-abu, nggak ada yang hitam atau putih. Selebgram idola lo yang tampak mesra dengan pasangannya, sebenarnya punya selingkuhan long-term. Politikus idola lo, sebenarnya korupsi. Orang yang lo anggap salah, sebetulnya nggak salah-salah amat. Orang yang lo anggap benar, sebetulnya nggak benar-benar amat.

Kesadaran tersebut bisa mempertebal sikap skeptis kita, namun sekaligus mengikis our faith in humanity. Agak pait, sih, tapi gue yakin skeptisisme adalah survival skill penting. Lihat, dong, Petyr Baelish di Game of Thrones. Sosok se-individualis dan se-egois do’i masih bertahan, tuh, di Season 7. Gue yakin itu karena dia nggak percaya siapa-siapa, hahaha!

Duh, pait.

* Membuat kita jadi skeptis.

Balik lagi ke poin pertama, nggak ada hal di dunia ini yang hitam atau putih, sehingga kita perlu skeptis. Jokowi bilang, dia akur-akur aja sama JK. Ah, masaaa…? Yanglek bilang, dia akur-akur aja sama Oka. Ah, masaaa…? Apapun beritanya, reaksinya, "Ah, masaaa…?"

Kalau kita skeptis, kita akan mencoba read between the lines. Kalau kita terbiasa read between the lines, kemampuan critical thinking kita juga semakin tajam. Ini susah banget. Karena ke-naif-an gue, gue biasanya menelan mentah-mentah apa kata media mainstream. Setelah nanya-nanya dan intip Twitwar (eaaaa), biasanya baru agak tercerahkan. OH, MAKSUDNYA BUKAN BEGITU THOOO. Ih, pelik.

Pembacaan media massa, tuh, menarik, lho. Apalagi sikap masing-masing media bisa berbeda-beda. Ada media yang pereus banget sama pemerintah, ada yang mengkritik terus. Sehingga baca berbagai koran atau majalah berita, tuh, kayak baca kitab suci. Penuh penafsiran yang berbeda. Gue sendiri kesusahan untuk bisa baca read between the lines, tapi kalau pas bisa, menarik banget untuk menyerap apa yang gue baca, trus dibentrokkan dengan "cerita di lapangan".

Dengan menjadi skeptis, kita jadi terpicu untuk melihat segala masalah dengan sejernih mungkin, dan terhindar dari post-truth.

Bagi yang nggak familiar, post-truth adalah sebuah fenomena zaman sekarang, ketika opini emosional menjadi lebih kuat/berpengaruh daripada fakta objektif dalam menentukan keputusan publik.

Dengan sosmed dan Internet, post-truth sekarang merajalela. Kita jadi nggak mau lihat fakta, hanya hal-hal yang sreg sama diri sendiri. Tentunya ini denjereus.

* Agar logika kita jalan, serta terhindar dari simplifikasi.

Salah seorang sosok junjungan gue berkali-kali bilang, simplifikasi adalah pola pikir yang berbahaya.

Pola pikir simplifikasi, tuh, misalnya, gini: mendukung Ahok berarti lo kafir. Mendukung Anis berarti lo anti-Pancasila. Menolak Perppu Ormas berarti lo pro-ormas (radikal). Mendukung Perppu berarti lo anti-demokrasi. Nge-fans sama Raisa Andriana, berarti nggak suka sama Isyana Saraswati.

Duileee... nyebelin 'kan? Se-nyebelin pemikiran bahwa kalau lo cantik berarti lo bego, kalau lo tajir berarti lo shallow, atau kalau lo nggak punya anak berarti lo belum jadi wanita seutuhnya. Deduksi macam apa tuh?

Dengan banyak membaca dan berdiskusi, semoga kita nggak terjebak dalam pola pikir dangkal macem begitu.

* Sejak kecil, gue selalu dicecoki anggapan bahwa politik itu sangat kotor. Alhasil, gue jadi benar-benar menjauhi politik, malas baca berita, malas mengikuti dinamika pemerintahan, dan merasa punya pembenaran atas sikap tersebut. Padahal mengikuti perkembangan berita negara ‘kan perlu. Lagian, se-swasta-swasta-nya profesi lo, selama lo masih tinggal di tanah air, pasti akan bersinggungan dengan pemerintahan juga.

Dengan demikian, gue nggak mau membuat Raya alergi terhadap politik. Gih, nak, cari tahu deh sebanyak-banyaknya tentang negaramu ini. Kepengen ikut bikin perubahan juga silahkan aja. Yang penting, sebagai orangtua, kita musti menempa ketangguhan dan integritas anak.

* Membuat gue menyadari, bahwa sedalam-dalamnya gue mengikuti hard news, gue memang akan selalu tertarik dengan sisi humanisnya aja. 

Pokoknya nggak reseup, deh, jadi jurnalis hard news atau investigatif. Ketika Setya Novanto resmi jadi tersangka korupsi e-KTP, gue justru pengen bikin tulisan tentang kehidupan anak-anak pejabat, korupsi ataupun tidak. Not to put them in a bad light at all, but just to get to know their mindset, their opinions, their hangouts, their view on money and their fathers.

(eeh, padahal ini cuma taktik untuk bisa masuk inner circle-nya Uti Buncis, dan main ke rumahnya Oesman Sapta yang bak istana dongeng 1001 malam. Ya nggak, Dara? :D)

***

Gue pernah bilang, stop making stupid people famous. Jangan terlalu baper, lah, sama para vlogger yang berantem, sama gosip-gosip artis kelas C di Lambe Turah, dan hal-hal ringan-tak-penting lainnya.

Tapi kemudian temen gue bilang, bahwa di tengah penatnya hidup, kita butuh hal-hal enteng seperti Kardashian, selebgram, skandal vlogger, dan segala remeh-temeh lainnya. Soalnya enak, enteng, nggak usah mikir.

Betul banget. Setuju. Tapi gue menyadari, kalau kita terlalu berkutat di hal remeh-temeh, hal tersebut pun akan menjadi beban. Misalnya, ketika gue terlalu terobsesi sama dunia “cantik, tajir, gaul” yang ada di sosmed, gue jadi terbebani social pressure juga. Gue juga jadi gampang kebawa emosi dan sebel sama artis atau selebgram tertentu, padahal kalau dipikir-pikir… duile, siapa mereka? Ngatur harga beras dan garam negara juga kagak.

Dengan mengikuti berita, kehidupan gue jadi lebih imbang. Annoying-nya Ibu Kawa, misalnya, jadi berasa remeh ketika dibandingkan dengan annoying-nya Fahri Hamzah, hahahaha. Kalau kata Smita, dari Anasz Siantar ke Anas Urbaningrum. Angcat! :))

***

Post ini sudah pasti diketawain sama teman-teman yang sudah “melek” dari dulu, apalagi sama teman-teman media/media watcher. Tapi gue merasa perlu menulis ini, karena gue tahu sekali, ada banyaaaak orang di dalam lingkungan gue—terutama ibu-ibu rekan sejawat tai-tai—yang sangat nyaman ngendon di dalam bubble mereka, sementara dunia luar terus bergejolak.

Hidup di dalam bubble tentunya sah, bahkan seringkali tak terhindarkan. However, while ignorance is bliss, sometimes it can also be dangerous.

(maygat, kenapa kalimat terakhir gue bak aktivis banget. Hiiii!)



(image: Alfred Hitchcock by Philippe Halsman)

35 Jam di Mutiara Maluku

$
0
0
20170807_083112

Minggu lalu, gue berkesempatan ke Ambon untuk pertama kalinya. Sayang, durasi perjalannya kurleb cuma 30 jam—jangan tanya kenapa—jadi gue benar-benar nggak keluar kota Ambon, apalagi untuk island hopping ke pulau-pulau sekitar. Hiks!

Ini adalah sepenggal ceritanya, yang menurut gue rada menantang untuk di-post berhubung foto-fotonya minim banget, secara kualitas dan kuantitas. Buat gue, nggak menyertakan foto untuk sebuah travel post bikin insekyur, lho. Apakah kata-kata gue cukup mewakili? Jreeeng.


Post ini juga disampaikan dengan gaya bahasa yang “bukan gue banget” (baca: rapi dan formal. Apalah seorang Laila tanpa tulisan nyablak keleleran?) karena tadinya akan masuk ke sebuah media… tapi trus nggak jadi. Sebel. Jadi mohon maklum ya, gaes, atas kekekeusan ini.

***

Saya bersyukur sekali, karena tiba di dan berangkat dari Ambon ketika langit gelap gulita. 

Matahari sudah tenggelam ketika saya menginjakkan kaki di ibukota Maluku ini, sementara matahari belum terbit ketika saya harus kembali ke Jakarta, 35 jam kemudian.

Pasalnya, pemandangan Ambon Manise saat gelap ternyata benar-benar manise!

Kalau kita buka peta kota Ambon, Bandara Pattimura dan pusat kota Ambon terlihat seakan-akan berada di dua pulau yang terpisah.

Sebenarnya bandara dan pusat kota berada di pulau yang sama, namun kedua tempat tersebut dipisahkan oleh Teluk Ambon yang sempit tapi panjang. Maka kita seolah-olah harus “menyeberang pindah pulau” untuk mencapai kota dari bandara, dan sebaliknya.

Dulu, untuk bolak-balik Bandara Pattimura-pusat kota, kita harus memutari Teluk Ambon dengan jarak tempuh 35 kilometer. Namun karena sekarang sudah ada Jembatan Merah Putih yang melintasi Teluk Ambon, jarak tempuh menjadi lebih pendek.

Nah, ketika berkendara dari bandara menuju kota (atau sebaliknya), kita bisa memandang kota Ambon di seberang teluk. Saat langit gelap, pemandangan seberang tersebut cantik sekali dengan taburan lampunya. Apalagi kontur kota Ambon sangat berbukit, sehingga ia tampak seperti gundukan raksasa yang berbinar.

Saya sama sekali tidak menyangka akan disambut oleh pemandangan kerlap-kerlip yang indah dan syahdu tersebut. Sebaliknya, saya kira saya akan disambut dengan kemeriahan “pesta”.

Pernah saya bertanya kepada seorang guru dance saya yang keturunan Ambon totok: kenapa orang Ambon terkenal pintar sekali menyanyi dan menari? Jawabannya, “Mungkin karena kita suka pesta.”

Katanya, adalah sebuah aib jika seorang Ambon tidak bisa memainkan satupun alat musik, dan tidak bisa menyanyi dengan rapi. Cengkok tidak harus menggelegar, namun minimal tidak fals saat bernyanyi di gereja.

Wajar, dong, kalau saya berkhayal akan disambut di Ambon oleh para njong dan nona yang bermain gitar di pinggir jalan, sambil menari dengan meriah? Hahaha. Kenyataannya, seperti stereotipe lainnya, ya tidak begitu. Ibaratnya, orang Italia tidak mungkin 24 jam makan pizza dan pasta, tho?

Bayangan saya tentang Ambon sebagai “kota pesta” juga semakin dilunturkan oleh seorang rekan perjalanan, yang terus-terusan mengingatkan saya tentang tragedi kerusuhan Ambon tahun 1999 sampai 2002, sejak kami mendarat di kota ini.

“Ini jembatan Merah Putih, yang dibangun setelah konflik Ambon selesai. Golongan Kristen ‘kan disebut "golongan merah", sementara golongan Muslim disebut "golongan putih". Dulu pas konflik, area ini ditutup. Orang susah keluar atau masuk Ambon…” begitu katanya kepada saya, ketika kami sedang menuju kota dengan mobil sewaan.

Nada suaranya pahit, sementara pada tahun 1999, saya baru masuk SMA, aman sejahtera di Jakarta, tidak woke sama sekali, dan tidak peduli dengan berbagai konflik di negara. Waktu itu, yang penting saya bisa makan, sekolah, dan pacaran.

Akibatnya, kerusuhan Ambon hanyalah bayangan samar di kepala, dan saya merasa bersalah.

Mengudap di Ambon

Ambon memang terasosiasi dengan banyak hal: nyanyian, tarian, dan sejarah konfliknya yang kelam. Namun bagi saya, ada satu hal yang tidak terasosiasikan dengan Ambon—kulinernya.

Katanya, sih, prasangka itu tidak boleh. Tetapi meski belum pernah mencoba langsung, saya sudah berkesimpulan makanan asli Ambon kurang menarik, berdasarkan testimoni teman-teman. Tepatnya, hambar.

Konon, makanan Ambon hambar karena dipengaruhi Belanda zaman dulu. Mereka meyakinkan warga Ambon bahwa makanan lebih baik hambar-hambar saja, tidak perlu banyak bumbu, agar bumbunya bisa mereka bawa ke Eropa. Sedih, ya?

Walaupun begitu, saya sempat merasakan seicip dua icip beberapa camilan khas Ambon, salah satunya adalah rujak Natsepa. Catat, Natsepa, bukan “nestapa” seperti yang seringkali orang salah baca, hahaha.

Natsepa adalah salah satu dari dua pantai yang mudah diakses dari pusat kota, selain Pantai Liang. Pada pagi pertama saya di Ambon, saya mampir ke pantai yang berlokasi di Desa Suli ini. Tidak main di laut, sih, karena tidak ada persiapan dan waktu.

Sebagai pelipur lara, saya ngerujak saja.

Rujak Natsepa adalah salah satu panganan terkenal di Ambon. Ia terbuat dari potongan-potongan buah seperti kedondong, pepaya matang, jambu, nanas, timun, mangga, ubi jalar, belimbing, serta bengkoang, dan dibalur oleh bumbu gula merah dan kacang.

20170807_083205

Di sepanjang pinggir pantai ini, ada puluhan warung yang mayoritas menjual rujak dan es kelapa, dua cemilan andalan Natsepa. Setiap warung tersebut bernama “Mama….”. Misalnya, warung Mama Yolanda, Mama Kristina, dan sebagainya, meski tidak ada Mama Mia atau Mama Yukero (you laugh, you’re old!)

Saya tiba di pinggir Pantai Natsepa pukul 10.30. Di Senin pagi ini, suasana sepi sekali. Baru dua Mama yang membuka warungnya. Kepala mereka dililit handuk, seperti orang krimbat di salon—barangkali sebagai sejenis topi chef—sementara tangan mereka sibuk meracik bumbu rujak.

Meski sekilas tampak tidak ada bedanya dengan rujak biasa, kekhasan rujak Natsepa ada di bumbu kacangnya yang tidak ditumbuk halus. Kacangnya cukup diulek enam kali saja, beserta kulitnya. Alhasil, serpihan kacang di bumbu rujak Natsepa terasa “kasar” dan krenyes-krenyes di mulut.

Bumbunya sendiri kental dan berlimpah, tapi rasanya tidak terlalu kuat sampai membuat saya tersengal-sengal kepedasan. Perpaduan manis, gurih, dan pedasnya pun pas. Setiap suapannya ternyata membuat saya ingin menyuap lagi sampai tandas, walau saya bukan penggemar rujak. Bisa jadi karena saya menyantapnya bersama angin sepoi dan deburan ombak laut biru.

Camilan lain yang saya cicipi di Ambon adalah sukun goreng, di Kafe Sibu-Sibu.

Sebelum berangkat, saya sempat Googling, apa tempat nongkrong yang seru di Ambon? Hasilnya, hampir setiap pelosok Internet menyebutkan Kafe Sibu-Sibu.

Apa, sih, serunya?

Kata "sibu-sibu" sendiri artinya "sepoi-sepoi". Nama yang pas, karena kedai kopi yang terletak di pinggir Jl Said Perintah ini bergaya open air alias terbuka, jadi angin sepoi-sepoi selalu terasa. Walaupun akibatnya, bau knalpot jalan raya dan asap rokok juga jadi hadir.

Di Kafe Sibu-Sibu, hal pertama yang menarik mata kita adalah lusinan foto-foto orbek ((orbek)) turunan Ambon yang terpampang di dinding. Foto-foto tersebut menutupi seluruh dinding kafe, dari atas sampai bawah.

Hal ini mengharukan, karena saya jadi tersadar bahwa tokoh hiburan dan olahraga asal Ambon yang legendaris memang sebanyak itu.

Yang kurang mengharukan adalah, ternyata saya lumayan tahu tokoh-tokoh Ambon angkatan tua. Inginnya, ‘kan, berlagak kenal sampai angkatan Andre Hehanusa saja, agar dikata muda. Tetapi nyatanya, saya kenal sampai Yopie Latul dan Daniel Sahuleka *nenggak krim anti-aging*

Walaupun tempatnya sederhana, ada sesuatu di Kafe Sibu-Sibu yang membuat atmosfernya sangat hidup. Mungkin karena layout-nya yang terbuka, mungkin karena pengunjungnya yang selalu ramai, mungkin karena hiburan organ tunggalnya yang kadang cheesy tapi selalu dinanti.

Namun yang pasti, karena makanannya.

Sejak awal tiba di Ambon, rekan perjalanan saya semangat sekali mempromosikan berbagai cemilan di Kafe Sibu-Sibu, terutama sukun gorengnya. Katanya, “Sukun terenak yang pernah saya coba!” Ia juga berulang kali memuji Kopi Sibu-Sibu, kopi robusta yang dihaluskan dengan cara tradisional, lalu disajikan dengan bubuk cengkeh dan taburan biji kenari.

Saya selalu skeptis terhadap klaim bombastis apapun, jadi saya iya-iya saja. Apalagi bapak saya penggemar berat sukun, sehingga di rumah sering tersedia aneka macam sukun. Sukun Sibu-Sibu pun jadi menanggung harapan besar. Kasihan. Awas ya, kalau biasa-biasa aja!

Untungnya, sukun goreng Kafe Sibu-Sibu memang enak. Gurihnya pas, tidak terlalu berserat, dan bertekstur renyah. Kelegitannya didukung dengan sambal yang sedap sekali. Saya juga menyantap pisang goreng serta mencicipi kopi kenari milik teman, dan tidak kecewa.

Kafe Sibu-Sibu adalah kedai kopi paling ternama di kota Ambon, sehingga tempat ini sering menjadi titik temu banyak orang dari berbagai kalangan, mulai dari anak-anak muda, politikus, turis mancanegara, sampai staf pejabat. Malah katanya, titik temu para aktivis dan wartawan yang dulu meliput konflik Ambon ya di sini-sini juga.

Maka kalau dinding Kafe Sibu-Sibu bisa bicara, pasti dia bakal bicara banyak hal seru.

City Tour yang Tidak Disengaja

Katanya, rugi kalau di Ambon tidak mampir di pantainya yang dahsyat. Maka—seperti yang sudah disinggung sebelumnya—saya menyempatkan diri mampir ke Pantai Natsepa.

Sayangnya, ketika saya di sana, air laut sedang sangat pasang, sampai ombaknya menabrak tembok pembatas pantai. Pupuslah khayalan saya berjalan-jalan di garis pantai sambil sesekali mencelupkan kaki di laut.

Terlepas dari hal tersebut, laut di pantai Natsepa sendiri indah luar biasa. Saya tidak ingat, kapan terakhir kali saya memandang laut yang warnanya betul-betul biru seperti di sini, dengan gradasi antara biru safir dan biru turquoise, mulai dari bibir pantai sampai sejauh mata memandang. Alamak!

IMG-20170807-WA0009

Ditambah, kontur pantai Natsepa landai, pasirnya halus, dan airnya tenang karena terhalang teluk. Alhasil, lautan terasa bagai kolam renang biru raksasa yang sedikit bergoyang-goyang ((sedikit bergoyang-goyang)), dan sangat menggoda untuk dicemplungi.

Selain ke Natsepa, saya menyempatkan diri menengok Monumen Pattimura di Pattimura Park, serta patung Christina Martha Tiahahu di Karang Panjang.

20170807_125711

Monumen Pattimura terletak di tengah lapangan publik, sehingga bebas didekati. Sebaliknya, patung Christina Martha Tiahahu berada di area yang agak tertutup, yaitu di sebuah taman dalam kompleks kantor DRPD Maluku. Ketika saya ke sana, pagar taman tersebut dikunci, dan saya hanya bisa memandangi sang patung dari jauh.

20170807_132628

Meski demikian, lokasi patung ini bagus sekali, yaitu di puncak sebuah bukit, menghadap kota Ambon. Hal ini saya temukan dengan tidak sengaja, ketika saya sedang memanjat pagar besi taman tersebut, demi memotret Nona Christina tanpa terhalang besi pagar.

Jadi ketika saya menengok ke kanan saat menclok di pagar, lho, kok pemandangannya keren banget?

20170807_133059

Pengalaman yang tidak kalah seru adalah tersasar setengah jam bersama abang becak.

Jalanan di pusat kota Ambon cukup sempit, sehingga walaupun Ambon tidak sepadat Jakarta, pada jam-jam ramai, pusat kota akan macet sekali.

Maka setelah mengunjungi patung Christina Martha Tiahahu, saya memutuskan untuk pulang ke hotel naik becak. Lebih baik bermacet-macetan naik becak, deh, daripada naik mobil yang membosankan. Saya pun menyuruh Pak Supir mobil sewaan saya untuk kembali ke hotel duluan, sementara saya pulang sendirian dengan becak.

Ujung-ujungnya... malah nyasar selama setengah jam lebih.

Seharusnya, dari awal saya sudah curiga bahwa saya akan nyasar jauh, meski jarak antara pangkalan becak dengan hotel dekat.

Pasalnya, pertama, saya tidak paham jalan. Kata adik saya, saya adalah manusia dengan sense of direction terburuk di dunia. Hal ini dia lontarkan ketika kami sedang di Singapura, beberapa tahun lalu, saat saya bolak-balik bingung mencari jalan ke hotel, dari sebuah mall di Singapura. Padahal hotel dan mall-nya sama-sama di Orchard Road. Kasihan, ya?

Kedua, mobile Internet saya mati. Seperti yang kita semua tahu, hanya ada satu provider mobile yang bisa menjangkau seluruh penjuru Indonesia. Provider mobile saya bukan provider tersebut, jadi sudah pasti keok di Indonesia Timur. Di luar wi-fi hotel, saya hanya bisa menelpon dan SMS, boro-boro membuka aplikasi GPS seperti Google Maps.

Ketiga, dengan lalainya, saya berpraduga abang becak saya sepintar abang-abang ojek online di Jakarta. Jadi saya seenaknya saja bertitah, “Bang! Ke hotel xxx, ya!”, meletakkan pantat di jok kursi becak, lalu ongkang-ongkang kaki karena menganggap si abang sudah paham.

Praduga memang berbahaya, pemirsa. Meskipun dia berkali-kali mengangguk bak perkutut, ternyata si abang tidak tahu hotel saya ada dimana. Tragisnya lagi, dia sepertinya tidak mengerti bahasa Indonesia. Dia hanya memahami bahasa Ambon, atau bahasa Indonesia dengan dialek Ambon yang kental.

Setelah 15-20 menit berputar-putar, tentunya saya mulai panik. Gagal berkomunikasi dengan si abang becak dengan bahasa Tarzan, saya pun menyerah. Saya turun di pinggir jalan lalu menelpon Pak Supir, minta dijemput di jalan antah berantah, hahaha.

Saya merasa gagal jadi traveller, tapi hei, lumayan bisa city tour kota Ambon naik becak seharga 15 ribu. Saya sempat melihat Lapangan Merdeka, Gong Perdamaian, dan mendapat bonus uji keberanian saat diteriaki, “Nona mau ke mana?!” oleh segerombolan njong Ambon yang nongkrong di sebuah bengkel, karena becak saya sudah melewati tempat nongkrong mereka dua kali.

Suit suiiiit! 

***

Ada perdebatan: liburan itu lebih baik berdurasi pendek tetapi sering dilakukan, atau lama tetapi jarang? Hasil riset ilmiahnya menyatakan—surprise, surprise—pendek tetapi sering. Karena semakin sering kita bepergian, semakin sering juga kita merasakan antisipasi dan excitement pra-liburan. Tentunya yang paling membahagiakan adalah sering bepergian, dalam durasi yang lama. Sayangnya, kita tidak punya pohon duit, hihihi.

Terpengaruh dengan riset tersebut, saya jadi lebih menghargai plesir-plesir pendek, seperti saat ke Bandung dulu, dan ke Ambon ini. Terbukti, walaupun saya di Ambon kurang lebih hanya 35 jam, sama sekali tidak menginjakkan kaki di Pulau Ora, Pulau Kei, dan pulau-pulau “wajib” lainnya, dan gagal mewujudkan khayalan berpesta bersama para njong Ambon (khayalan macam apa ini?), saya tetap senang.

Mungkin senang karena tandanya, saya harus kembali.

Game of Thrones S7 - Episode 5: Kebut, Shay!

$
0
0
 Best boyband entrance ever!

“Kenapa, sih, La, season ini jarang nulis tentang Game of Thrones?”

Karenaaa… boro-boro bisa nulis. Napas aja nggak sempet, nek!

Bukan, bukan karena gue sedemikian sibuknya, tetapi karena—sesuai dugaan—setiap episode dalam season 7 ini sangatlah padat, sekel, mantap jiwa bosquuu. Alhasil, terlalu banyak hal yang harus dibahas. Bak wafer Tango, ceritanya ada berapa lapis? Ratusan!

Season 7 dan 8 Game of Thrones memang diyakini—dan terbukti—so fast, so furious. Bagaimanapun juga, konon Game of Thrones adalah seri TV paling epic dalam sepanjang sejarah pertelevisian, dan per hari ini, seri TV ini harus diselesaikan cuma dalam 9 episode lagi, termasuk di season 8. Padahal masih ada banyak simpul cerita yang harus diuraikan.

Gimana para produsernya nggak pada Usain Bolt mode-on? Ngacirin, shay, biar cepet beres!

Maka di season 7 ini, pada sepakat ya, kalau kita memang nggak dikasih napas? Setiap episode-nya begitu padat, action-packed, ada aja yang mati, dan ada aja tabir yang terungkap.

Sehingga hal-hal yang gue bahas berikut—berdasarkan lima episode so far—mungkin cuma bisa menyentuh permukaan gunung es season 7 yang epic ini.

Cersei Lannister:


Duh, si Ceu Ida.

Awalnya, seperti kebanyakan pirsawan lain, gue mengira bahwa the next Joffrey atau the next Ramsay adalah Euron Greyjoy. Tapi ternyata, super-villain dalam season 7 ini adalah Cersei Lannister si gigi ngatup (perhatikan akting Lena Headey. Setiap kali bengisnya keluar, dia akan monolog dengan gigi terkatup untuk mengejewantahkan keyudesannya. Contoh: pas dia monolog depan Ellaria Sand, sebelum ngeracun Tyene Sand).

Katanya, sih, kalau di bukunya, Euron si tengil tampil jauh lebih sadis (then again, semua tokoh Game of Thrones jauh lebih sadis di buku), tapi gue merasa cuma Euron gagah di fisik. Lihat, dong, di episode 3, ketika Euron menjatuhkan jembatan cangkem harimaunya ke kapal Yarra Greyjoy. Bandit banget! Tapi ya udah, kapasitasnya terasa sebagai bandit aja.

Sementara otak yang berstrategi, tuh, lebih ngeri daripada fisik, lho. Dan sejauh ini, otak tersebut dipegang oleh Cersei.

Pertanyaan gue—Cersei hamil beneran apa bo’ongan, sih?! Noted she was talking to Qyburn before Jaime Lannister enters her chamber. Jadi gue mikir, kalaupun dia hamil, siapa tahu hamilnya pake blek mejik, demi mengikat kesetiaan Jaime.

Meski begitu, gue tetap berharap banget, Cersei akan benar mati di tangan Jamie. Bukan Arya, bukan Daenarys, bukan yang lain (kayak slogan Indovision). Tragisnya bakal dapet banget, tuh!

Petyr “Nyender” Baelish:

Sampai episode 4, Petyr Baelish seperti nggak punya rencana, sampai dia kelihatan bingung sendiri. Kerjaannya cuma mondar-mandir, intip-intip, dan nyender tembok sambil senyam-senyum Mr. Ius (baca: misterius).

Mau ngedeketin Sansa, suka dicuekin. Mau ngejilat Bran dengan Valyriandagger, malah di-“tusuk” dengan kutipan, “Chaos is a ladder.” Apa dese nggak ngompol dikit, tuh, pas Bran ngomong gitu?

Jadi sampai di episode 4 kemarin, gue kira sebentar lagi Litelfinjer bakal bhay, karena tokohnya semakin nggak penting. However, don't forget, this is Game of Thrones. Adakah karakter yang “nggak penting” dalam kekompleksan ceritanya? I DON’T THINK SO, MAI FREN.

Terbukti, di episode 5, the master schemer is back, pemirsa!

Taktiknya pun brilian: melakukan devide et impera kepada Sansa dan Arya.

Bagi yang belum intip-intip berbagai penjelasan di jagad dunia maya, jadi begini: dari kecil, Sansa dan Arya ‘kan nggak terlalu akur, karena kepribadian dan prinsip hidup mereka berbeda banget. Petyr Baelish sadar akan hal ini, dan mau memanfaatkannya untuk mengadu domba mereka.

Kalau kata D.B. Weiss, Littlefinger memang sengaja mancing Arya untuk menemukan scroll itu. FYI, scroll tersebut berisi pesan dari Sansa untuk Robb zaman dulu, ketika dia masih jadi calon istri Joffrey di King’s Landing. Isi pesannya meminta keluarga Stark untuk tunduk sama Joffrey. Surat ini ditulis Sansa di bawah tekanan Cersei. Robb, sih, tahu bahwa Sansa nulis surat itu di bawah tekanan, tapi Arya ‘kan nggak.

Maka setelah Arya baca scroll tersebut, dia pasti makin su’udzon sama Sansa. “Wah, Sansa emang pereus banget sama keluarga kerajaan, termasuk sama Cersei Lannister, musuh abadi gue.” Mikirnya bakal gitu kali, ya. Arya juga pasti makin yakin bahwa Sansa memang punya ambisi jadi penguasa.

Kalau Arya dan Sansa pecah, Littlefinger akan gampang menyetir Sansa. “Chaos is a ladder, indeed,” pasti begitu pikirnya. Tak lupa sambil nyender tembok.

Sansa & Arya Stark:



Di episode 4, gue gemes dan penasaran—kenapa reuni antara Sansa dan Arya terasa dingin? Ekspresinya jauh, lah, sama reuni dengan Jon atau Bran. Apakah karena ekting Maisie dan Sophie jelek? Ternyata hal ini memang disengaja, untuk mengingatkan pemirsa bahwa Sansa dan Arya memang nggak pernah akur.

Trus, kalau nonton video Youtube penjelasan episode 4 dari Alt Shift X, ada narasi yang kocak.

Sewaktu Arya dan Brienne sparring dengan kerennya di episode 4, kita melihat Sansa menyaksikan pertarungan tersebut dengan ekspresi yang kur-ens. Kenapa?

Kalau kata naratornya Alt Shift X, mungkin Sansa cedih karena Arya udah jadi ninja, Bran udah jadi psychic, tapi do’i masih gitu-gitu aja. Kikikik.

Nggak, lah. But Sansa’s expression was questionable, dan pertanyaan tersebut terjawab di episode 5, yaitu karena pada dasarnya, Sansa dan Arya saling skeptis.

Situasi tersebut bahaya banget, apalagi di masa genting begini. Duh, jangan lupa dong San, Ya: bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, lho.

Mari berdoa agar pada akhirnya, the Starks’ wolf pack will still be solid. Pasti ada sedikit konflik antara Sansa dan Arya, tapi moga-moga itu cuma distraksi belaka.

(then again, dua minggu lagi season 7 kelar, hoi! Masih ada waktu buat distraksi-distraksi?)

Bran Stark:


Seperti kebanyakan pemirsa, gue agak terganggu dengan kepribadian Bran yang “hilang”, dan tergantikan dengan kepribadiannya sebagai “Three Eyed Raven” yang kaku dan dingin. Kalau kata aktornya sendiri, Isaac Hampstead Wright, maklumin aja, deh. Isi pala Bran sekarang, tuh, sejarah Seven Kingdoms bertahun-tahun, lho. Siapa yang nggak puyeng kalau tiba-tiba kepalanya jadi berisi seluruh konten Google?

Meskipun begitu, Three Eyed Raven senior nggak bersikap kaku dengan tatapan mata kosong bak Paramitha Rusady sebagai gadis buta di sinetron Janjiku gitu, tuh. Jadi biasa aja, deh, Bran.

Yastralah. Kepribadian Bran nggak penting, kok, di season yang sangat kritis ini. Toh kita mau perang, bukan mau lomba Putri Indonesia. So warg on, Branny!

Daenarys Targaryen:


Adek gue nggak ngikutin Game of Thrones sama sekali. Suatu hari dia iseng ngintip salah satu episodenya, trus nanya ke gue dan T, “Si Ratu Naga ini baik apa jahat?”

Gue dan T berpandang-pandangan, dan bilang, “Yaaa, gimana yaaah…?”

Begitulah perasaan gue dan T terhadap Daenarys Targaryen. Dari dulu gue bilang, kami nggak pernah betul-betul suka sama Daenarys. Menurut gue dan T, she was amazing being a Dothraki khaleesi. Eh, pas dese mulai main ratu-ratuan di Essos, jadi ilfil, deh, sama gaya kepemimpinannya. Apalagi pas dia mulai ambisius jadi penguasa Westeros. Rasanya, kok, agak halu.

Iya, Dany baik, tapi wibawanya seperti nggak ada, dan kemudaan umurnya nggak bisa dipungkiri. Lagian, kalau Daenarys semulia itu, agak aneh, ah, dia ngotot jadi penguasa sebuah benua asing yang nggak ada ikatan batinnya sama do’i. Atau mungkin aura ini sengaja diciptakan, ya? Buktinya, di episode lalu, ada percakapan antara Davos dan Missandei soal loyalitas Missandei. Yakin Dany adalah teman lau yang baik hati, bukan diam-diam penguasa ambisius nan otoriter?

Or perhaps D.B. Weiss and David Benioff just want to mess up with our heads. As always.

Meski begitu, di season 7 ini, perasaan gue terhadap Daenarys melunak. Mungkin karena kostum dese makin keren (cetek). Syari’ pula, mentang-mentang udara udah dingin, hihihi. Mungkin karena hairdo-nya makin bagus, lengkap dengan poni lelenya yang selalu kriwil paripurna (cetek). Mungkin karena gaya kepemimpinannya keliatan makin matang, walaupun dese tetap cinta sama si Ben.

Ben D. Knee.

Perasaan gue terhadap Daenarys melunak di episode 5 ini juga karena kehadiran kisah cinta segitiganya. Jadi maunya sama Jorah Mormont atau Jon Snow, nih, hayooo…? Sungguh keduanya tak henti dipandang Dany dengan tatapan dreamy / syahdu / ayang / napsu / gemez.

Dari perspektif politik negara, tentunya Dany lebih baik sama Jon. Lagian bobot, bibit, bebetnya pantes banget, dan mereka sudah beberapa kali bertukar gombal-gombalan subtle.

Di sisi lain, gue bakal patah hati kalau pintu kesempatan Jorah Mormont jadian ((jadian)) sama khaleesi tertutup lagi, setelah perjuangannya yang begitu panjang. Friendzone is a bitch, man.

Bicara soal Jorah, ada pendapat yang menyayangkan dia bisa sembuh dari penyakit stoneman. Segampang itu, pula. Soalnya kalau Jorah tetap sakit, dia berpotensi jadi petarung yang dahsyat, karena nggak takut mati. Nothing to lose! Gue nggak tega kalau begitu keadaannya, tapi ada benarnya, ya.

Jon Snow


Berhubung masa tayang Game of Thrones udah di penghujung tanduk, hints tentang ke-Targaryen-an Jon udah nggak bisa dialus-alusin lagi. Langsung hajar reveal-nya, Mas Bro!

Dalam episode 5 ini aja, ada dua petunjuk yang kentara banget. Pertama, Jon bisa ngelus Drogon dengan rilek. Ingat, naga di dunia Game of Thrones cuma mau dipegang oleh seorang Targaryen.

Kedua, Gilly sempat membaca catatan seorang Septon yang bilang bahwa pernikahan Rhaegar Targeryen dengan Elia Martel dibatalkan, lalu Rhaegar menikah secara rahasia di Dorne, dengan seorang wanita misterius.

Siapakah wanita itu? Sudah pasti Lyanna Stark, lah yaaau, alias emaknya Jon. Artinya, Jon anak resmi dari Rhaegar Targaryen dan Lyanna Stark.

Kalau nggak bisa nebak hal ini dari awal tanpa intip Internet, I seriously doubt your GoT fandom, hahaha. Duile, sombong banget.

Ini juga berarti penerus tahta Iron Throne yang resmi adalah Jon, bukan Daenarys. Apakah Dany tetap sudi memandang Jon dengan mesra, ketika nanti dia tahu hal ini? Hem, hem, hem.

Tyrion & Jaime


Tyrion dan atasan lurik eles-eles Lulu Lutfi Labibie-nya.

Tyrionku sayang, Tyrionku malang.

Banyak pemirsa—termasuk gue—galau melihat perang batin Tyrion, karena walaupun dia officially berada di pihak Daenarys Targaryen, Tyrion tampak tetap punya keterikatan batin terhadap keluarganya sendiri. Wajar, sih. Tapi perang batin ini akan berefek apa ke depannya?

Di episode 4, gue terharu ketika Tyrion (dalam hati) memperingatkan Jaime untuk berhati-hati. Di episode 5, gue semakin terharu ketika dia terbata-bata curcol tentang perasaannya sebagai “anak tiri” keluarga.

Tentunya, kisah Game of Thrones akan berakhir dengan damai kalau Tyrion dan Jaime bersatu. Sayangnya, Jaime masih dipihak Cersei. Sehingga di season 7 ini, doa sholat gue selalu sama, “Ya Allah, bebaskan Jaime dari jeratan rantai figuratif Cersei… aamiin ya robbal aalamiin.” Yakin banget bahwa Jaime tuh baik hati, tapi cinta (inses)nya benar-benar bikin dia buta.

Hal-hal yang dilarang agama, tuh, memang mending diturutin aja, deh. Bikin nggak barokah, ukhti.

Samwell Tarly

Karena Daenarys membunuh bapak dan abangnya, apakah Sam bakal menaruh dendam terhadap Dany? Kalau iya, dia bakal susah berada di pihaknya Jon, dong? Jreng, jreng.

Westeros’ Magnificent Seven


Sepakat nggak, sih, bahwa night squad Jon, Tormund, Gendry, Brotherhood without Banners, The Hound, dan Jorah ini adalah geng terkeren yang pernah muncul di Game of Thrones?! *jejeritan bencong*

Mereka adalah geng jagoan neon yang pernah gue pernah bilang bakal duluan berhadapan dengan White Walker. Namun ternyata tujuannya bukan untuk perang gerilya seperti yang gue kira, tapi untuk mencokot salah satu Wight beyond the Wall.

Nah, kalau prophecy dalam buku itu benar, berarti geng ini akan mati semua kecuali Jon. Noooo! Masa mokat, sih?! Gendry baru aja nongol lagi!

Speaking of which, dari dulu gue merasa bahwa Gendry adalah tokoh ter-nggak penting dalam jalan cerita Game of Thrones. Malah dulu gue suka ketuker Gendry sama Podrick. Trus sekarang, tiba-tiba dia dimunculin lagi. Kenapa, sih?

Again, don't forget, this is Game of Thrones. Adakah karakter yang “nggak penting” dalam kekompleksan ceritanya? I DON’T THINK SO, MAI FREN (diulang).

Dalam episode 5, sosok Gendry langsung jadi terlihat penting dan berfaedah bagi jalan cerita. Minimal, gue hepi banget ngeliat dia jadi salah satu partnernya Jon, dengan bumbu sentimental persahabatan Baratheon-Stark. Mana sama-sama bastard pula (or so they thought). Pokoknya, cucok meong. Also, a friend of mine reminded me, bahwa senjata andalan Robert Baratheon adalah palu, persis seperti Gendry. Alamakkk.

Teman gue bahkan berteori lebih jauh lagi.

Kita ‘kan tahu ya, bahwa nanti akan ada tiga penunggang naga, yang kemungkinan besar akan berperan sebagai angkatan udara ((angkatan udara)) saat perang dengan White Walkers nanti. Penunggang naga pertama jelas Daenarys Targaryen. Penunggang naga kedua sekarang juga jelas, Jon Snow. Untuk penunggang ketiga, spekulasi lama para fans adalah Tyrion Lannister. Apalagi ada selentingan bahwa Tyrion katanya setengah Targaryen.

Tapi teman gue berteori bahwa penunggang yang ketiga adalah Gendry. Nggak tahu kenapa, pokoknya yakin aja Gendry bakal punya peran penting selain nempa senjata untuk perang.

Anyway, kalau merunut sejarah masing-masing tokohnya, menurut gue reuni yang terjadi antara Jon, Brotherhood without Banners, Tormund, The Hound, Gendry, Jorah dan Davos di episode 5 ini adalah reuni ter-epic dalam sepanjang sejarah Game of Thrones, meski adegannya nggak dramatis. Setuju nggak, sih?

***

Seorang teman gue yang non-umat GoT pernah nanya gue, kenapa dia musti nonton GoT?  Gue jawab—karena GoT adalah cerminan keadaan dunia zaman sekarang.

Sebagai penonton, kita tahu bahwa ancaman genting yang harus betul-betul dihadapi oleh rakyat Seven Kingdoms adalah White Walkers. Alhasil, kita jadi eneg ‘kan ngeliat warganya yang masih sibooook aja sama kepentingan pribadi, macem Cersei, Dany, Littlefinger, bahkan mungkin Sansa.

Mereka nggak salah-salah amat, sih, karena mereka nggak tahu/nggak sadar atas keberadaan marabahaya yang jauh lebih gawat daripada sekedar harta dan tahta. Kalau udah pada ngeliat bahwa ancaman zombie itu nyata, yakin, sih, mereka bakal, “Bhay, ego!” At least, temporarily.

Intinya, konyol banget ‘kan, masih sibuk konspirasi politik sementara ada bahaya yang mengancam jiwa?

Nah, ini, tuh, kondisi dunia kita sekarang banget nggak sih? Katanya, “white walkers” adalah simbol dari kerusakan lingkungan dan global warming. Di dunia nyata ‘kan, isu lingkungan jauh masih dicuekin dibandingkan isu kekuasaan duniawi. Dan mungkin akan terus dicuekkin sampai tau-tau bumi semakin ancur, sumber makanan hilang (sehingga menyebabkan perang), dan penyakit semakin banyak. Selamat tinggal, umat manusia.

Selain itu, gue terlalu banyak menemukan persamaan tokoh Game of Thrones dengan tokoh politik Indonesia, deh. Littlefinger mirip banget sama banyak orang, seperti misalnya Harry Tanoe dan Setya Novanto, hahaha. Dan Daenarys Targaryen rasanya mirip Jokowi—mungkin pada dasarnya berhati mulia, tapi kepemerintahannya plintat-plintut, dan diam-diam ambisi kenceng ugha, yha :D

Dan gue yakin, “chaos is a ladder” adalah motto semua politikus di Indonesia. Tato di badan gih, bapak-bapak?

So yes, Game of Thrones is never just a purely fictional entertainment *nyembah*

Trus, kalau dilihat dari polanya, episode Game of Thrones biasanya diselang-seling, nih. Kalau pada satu minggu episodenya kalem (tapi penuh intrik), maka minggu depannya, episodenya akan heboh. Karena episode 5 ini nggak ada bakbuk-nya, yakin deh, episode 6 bakal ada pertempuran seru, dipersembahkan oleh Jon, geng barunya, dan para zombie es. Oh, bersedialah, hatiku yang rapuh! *siapin ember tampung airmata*

Overall, episode 5: a very solid one. Cuintak.

Game of Thrones S7 - Episode 6: The Penultimate Show

$
0
0

Beberapa hari setelah episode 6 season 7 Game of Thrones nggak sengaja bocor, beberapa temen gue japri gue dan nanya, “Udah nonton leak-nya episode 6 belum?”

Tentu saja, dengan harga diri segunung, gue jawab, “Excuse me? Excuuuuse me? I would never betray HBO like that! Never! What do we say to the Gods of Spoilers? Not today!

Yang kemudian direspon sama teman gue, “Biasa aja kalek, nggak usah lebaaay…”

Dasar, generasi nggak kenal kesetiaan…

… trus beberapa hari kemudian, gue nonton juga leak-nya. Eaaaak!

Ada dua alasan kenapa gue nonton bocorannya. Pertama, karena gue nggak sengaja baca komen seorang netijen asem di Youtube yang menjadi spoiler dari segala spoiler. Komennya kurang lebih berbunyi, “Daenarys and her three dragons? Hmph, think again.” Dalam sekejap, gue langsung nangkep maksudnya apa (i.e. one of the dragons is dead). Bngzt.

Jadi gue mikir, ya udahlah. Apa nonton aja sekalian?

Kedua, supaya gue bisa nulis review episode penultimate ini secepatnya, trus di-publish tepat setelah tayangannya diputar di world premiere HBO, Senin, 21 Agustus pagi. Eeeh, kenyataannya, di-post-nya malah baru hari gini. Hihihi. Monmap nih, rakyat. Tante sibuk. Sibuk ngeceng.

Oke, kembali ke episode 6.

Gue yakin, kita semua sepakat bahwa episode ini sangat epic. Namun kata “epic” nggak selalu berkonotasi positif, lho. Kalau gue perhatikan, episode 6 justru membelah penontonnya menjadi dua golongan—either you love it, or hate it.

Gue termasuk dalam golongan yang “love it”, karena emosi yang ditimbulkan oleh episode ini gede banget. Gue patah hati berat atas nasib Viserion si naga, tapi gue juga excited dengan potensi Daenarys Targaryen dan Jon Snow naik pelaminan ((naik pelaminan)).

Gue juga senang karena episode penultimate ini “menyeimbangkan” kekuatan semua pihak. Maksudnya gini. Di akhir season 6, Daenarys ‘kan kelihatan kuat banget, tuh. Koalisinya banyak kayak Jokowi (OMG, La, stop associating Dany with Jokowi), tentaranya segudang, dan punya weapons of mass destruction—alias naga—sampai tiga bijik. Terlalu jelas bahwa Daenarys akan menang dalam perang perebutan Westeros melawan Cersei Lannister, bahkan mungkin White Walkers.

Di season 7 ini, kekuatan Daenarys diproporsionalkan. Koalisi-koalisinya dipatahkan oleh Lannister, dan naganya dicokot satu sama The Night King. Dengan demikian, pihak Daenarys, Lannister, dan White Walkers jadi lebih sebanding. Otomatis, hasil pertempuran di season 8 bakal lebih nggak terduga.

Bagi golongan yang “hate it”, rata-rata mereka nggak suka dengan jalan cerita episode 6 yang terlalu cepat, serta detil-detilnya yang nggak logis dan patut dipertanyakan.

Pembahasan soal “love-hate” ini nanti aja, ya. Sekarang mari kita bahas para rakyat yang muncul dalam episode 6.

Sansa & Arya Stark


Ninja Arya—y so creepy?

Awalnya, gue lega karena Arya memutuskan untuk mengkonfrontasi Sansa soal suratnya yang tersirat. Daripada sebalnya dipendem, trus ntar dia bikin aksi-aksi yang nggak diinginkan?

Tapi lalu terjadilah pembicaraan yang creepy dan awkward antara Arya dan Sansa, pas Sansa menemukan topeng-topengnya Arya. Tadinya gue nggak paham motif Arya menggertak Sansa kayak begitu. Trus gue mikir, mungkin dia sedang mempraktekkan The Game of Faces aja.

Dan setelah Arya malah menyerahkan belatinya ke Sansa, gue berkesimpulan bahwa Arya kepengen menunjukkan, “Lo jangan macem-macem, ya. Kasitau Littlefinger, dia juga jangan macem-macem. Tapi gue nggak akan nyakitin elo. Kita sepihak. Buktinya, nih, belati gue buat, lo.”

Dengan penyerahan belati tersebut, semakin kuat teori bahwa ujung-ujungnya Littlefinger akan mati di tangan Sansa. Mungkin dengan belati tersebut. Mudah-mudahan Sansa nggak sepolos yang kita sangka untuk masuk ke dalam perangkap Litelfinjer.

Jon Snow

Episode 6 ini semakin menunjukkan bahwa Jon Targaryen (cieee, udah pede aja gue) adalah tokoh paling konsisten di seantero jagad Game of Thrones. Konsisten banget lurusnya. Padahal tokoh-tokoh lain pada berevolusi, lho. Misalnya, Sansa dan Arya sekarang udah nggak sepolos dan secuwawakan dulu. Setelah banyak makan asam-garam kehidupan, mereka punya kelicikan dan keskeptisan masing-masing.

Meski hidupnya Jon Snow nggak kalah pait dan keras, hati Jon nggak berubah. Dia tetap penuh empati, baik, “lurus”, dan nggak ambisius jadi penguasa. Jon manggut-manggut penuh penghayatan ketika Beric Dondarrion bilang, “Selagi masih hidup, tugas kita hanya membela orang-orang lemah. Gitu aja,” dan dia dengan sangat sepenuh hati berduka cita ketika Viserion mati. Merhatiin ekspresi kebencian Jon terhadap The Night King nggak, sih, setelah Viserion ditombak? NAPE SIK JADI ORANG BAEK DAN BERSIMPATI AMAT?! *histeris*

Namun menurut beberapa pendapat, “lurus”nya Jon ini lah yang membuat Viserion ketusuk. Seandainya Jon langsung capcus naik ke atas Drogon, tanpa merasa harus bertempur melawan Wights sedikiiiit lagi, Viserion mungkin bakal terselamatkan.

Tapi gue nggak percaya sama pendapat tersebut.

Ini dia alasannya!

The Night King


Gue percaya banget bahwa The Night King sebenarnya sudah tahu bahwa Daenarys Targaryen bakal datang ke beyond-the-wall beserta naga-naganya, dan si brengsek ini memang akan merebut naga-naga tersebut. The Night King sudah perhitungkan semuanya, because he is a psychic, remember?

Pas Jon dkk terperangkap di tengah danau es yang retak, The Night King bisa aja langsung membekukan danau tersebut, supaya tentaranya bisa jalan ke tengah. Nggak cuma tatap-tatapan dari seberang danau sampai sehari semalam gitu. Intinya, dengan kesaktian mandragunanya, para White Walkers bisa, kok, ngebunuh Jon dkk dengan cepat.

Tapi The Night King meneng wae. Kenapa? Karena dia memang nungguin Dany datang, untuk lalu merebut naganya. Perhatiin, deh, para White Walkers nyiapin tiga tombak, lho.

Kesimpulannya, dari awal, objektif The Night King bukanlah ngebunuh Jon, tetapi mencokot ketiga naga Daenarys.

Kalau Jon mati, mungkin The Night King akan mikir, yastralah bodo amat. Tapi dengan naga, The Night King jadi punya weapon of mass destruction untuk menaklukkan dunia.

(dan mungkin dia lelah keliling benua dengan gerak jalan atau naik kuda melulu. Sekali-kali, beb, terbang kayak pendekar Indo Eskrim). 

The Magnificent Seven


Walaupun kita semua tahu—minimal ada feeling—bahwa episode penultimate ini bakal nestapa dan menegangkan, tayangan dibuka dengan interaksi yang enak banget di antara Magnificent Seven. Segala dialog becandaan, celaan, saling sebel dan saling kasih respect-nya renyah bin gurih. Sehingga walaupun mereka baru saling kenal, bonding-nya believable.

Selain gurih-gurih gurilem, dialog-dialog di antara Magnificent Seven juga banyak mengacu ke masa lalu, supaya ingatan pemirsa kembali segar tentang histori hubungan mereka masing-masing.

Tyrion Lannister

Se-awkward-awkward-nya percakapan antara Arya dan Sansa di episode 6, sungguh tiada percakapan yang lebih awkward daripada percakapan antara Tyrion dan Daenarys. Halooo, scriptwriters, what was that all about?

Mengingat ini Game of Thrones, bukan sinetron Keluarga Cemara, Daenarys dan Tyrion memang nggak bisa diarepin pasangan penguasa-penasehat yang seiya sekata selamanya, meski kita kepengennya begitu.

Memang, sih, meskipun Tyrion pintar ngomong dan sangat taktis, dia bukan orang militer. Walhasil, selama bareng Daenarys, taktik perangnya gagal maning, bahkan sejak masih di Meereen. Wajar kalau diyudesin Dany.

Tapi seperti kata Andied, kalimat-kalimat mutiara Tyrion memang bagus-bagus banget, ya? Cocok banget diketik, dipigura, atau dijadiin bahan pelatihan pegawai.

Daenarys Targaryen


Selain karena kalah perang melulu, kegusaran Daenarys di Dragonstone pada episode 6 ini mungkin juga karena dia khawatir terhadap Jon Snow yang sedang turun ke medan perang *insert suara gengges anak-anak SMA… “Ciyeeeee, wuuuuu!”*.

Jangan lupa, Daenarys pun sempat dinasehati sama almarhumah Olenna Tyrell untuk nggak selalu nurut sama lakik. Makin judes, lah, dia terhadap masukan-masukan Tyrion.

Plus, Tyrion ngangkat isu anak dan penerus, lho. Gue baru sadar bahwa betapa sensinya Daenarys tentang hal tersebut, berhubung dese pernah kehilangan bayi, trus mandul.

Bagi gue, dialog Daenarys dengan Tyrion membuatnya jadi agak nggak konsisten. Jadi dia sebenarnya gimana, sih? Seorang tiran yang halu haus kekuasaan? Atau seseorang yang sebenarnya “lurus” kayak Jon, tapi lagi bitchy aja? (PMS, mungkin?)

Tapi pertanyaan yang paling penting adalah…

… sapose indang perancang adibusananya Khaleesi? Kok selama di Westeros ini, dese paripurna banget untuk segala kesempatan? Lihat, dong, baju perang beyond-the-wall-nya, dengan warna silver metalik, bulu-bulu, dan buntut yang membentuk sisik. Haute couture Fall/Winter 2018 banget. Curiganya stylist-nya adalah Varys deh, nih, si Incess Nabati.

But all joking aside, this is a majorly serious episode for the queen. Gue yang nggak terlalu suka sama Daenarys aja patah hati ketika Viserion mati dan bergabung dengan kaum mata biru. Selina, Selinaaa… Selina mata biruuu… Selina, Selina…. Sahabat penaku di negeri kangguruuu… Jadi penasaran, adakah Selina di tengah umat The Night King tersebut? Eh, tuh kan malah becanda lagi!

Gue sedih bukan hanya karena Daenarys—sebagai “pihak baik”—kehilangan salah satu “senjata kuat”-nya untuk menyelamatkan dunia, tetapi juga karena dia kehilangan anaknya.

***

Sejujurnya, gue suka dengan episode 6, tapi punya mixed feeling. Memang ada sejumlah kritik dan keluhan terhadap season 7, yang dipertajam di episode 6 ini. Tapi gue ‘kan anaknya kalau cinta sama sesuatu, Insya Allah setia. Gue cinta Game of Thrones, sehingga gue cenderung menutup mata terhadap kelemahan-kelemahannya.

Tapi trus gue menemukan argumen seorang netijen, yang menurut gue nel ugha.

Jadi si netijen ini cinta sama Game of Thrones, tapi dia agak ilfil terhadap season 7, karena terlalu berusaha memuaskan penonton. Istilahnya, fan-service banget. Walhasil, ciri-ciri khas penting Game of Thrones jadi dikorbankan.

Ciri pertama—tidak ada tokoh utama yang “aman”. Ingat, Valar Morghulis, all men must die. Sepenting-pentingnya seorang karakter di Game of Thrones, dia nggak pernah aman dari ancaman jiwa.

Gue inget banget, di season 1, gue yakin Ned Stark akan selamat. Gue bilang ke T, “Mukanya dia dipajang di poster Game of Thrones, lho! Ned Stark, nih, jagoan utama! Mana mungkin mati!” Lalu jreng, jreng. Isdet. Welcome to the sadistic world of George R. R. Martin.

Namun, di season 7 ini, nggak ada satupun tokoh utama yang mati, atau terancam mati. Kita semua juga tahu mereka akan baik-baik aja. Mulai dari Jon Snow, Daenarys Targaryen, Tyrion Lannister, Jamie-Cersei Lannister, dan lainnya. Jorah Mormont aja bisa selamat dari grayscale dengan cukup mudah. Padahal kalau di dunia nyata, grayscale tuh bak kanker atau AIDS kali, ya.

(eeeh, taunya di episode 7, mereka semua mokat berjamaah. Naudzubillah.)

Ciri kedua—sikap, keputusan, dan aksi tokoh-tokoh di Game of Thrones selalu logis dan realis.

Game of Thrones memang film fantasi, tetapi sikap, keputusan, dan aksi tokoh-tokohnya selalu logis dan sangat sesuai dengan kehidupan nyata. Misalnya, hampir nggak ada tokoh Game of Thrones yang super heroic dan sepenuhnya unselfish (mungkin kecuali Jon dan Ned). At some degree, semua tokoh pasti bertindak atas kepentingan masing-masing, walaupun membuat dia harus “berbuat dosa”. Ini hal yang realis banget. Makanya, dunia Game of Thrones sangatlah abu-abu. Nggak ada tindakan yang hitam-putih, seperti layaknya di kehidupan nyata.

Tapi di season 7 ini, semua terasa hitam-putih. Yang baik, ya baik aja. Yang jahat, ya jahat aja. It becomes a cliché.

“Keabu-abuan” berbeda dengan “tidak konsisten”, lho. Di season 7 ini, ada pemirsa yang terganggu dengan beberapa karakter yang jadi nggak konsisten, alias “off-character”. Contohnya, Arya Stark. Arya, tuh, didikan Faceless Men, dan salah satu ilmu utama Faceless Men adalah pintar ngibul dan “membaca” orang. Jadi, seharusnya Arya langsung tahu apakah Sansa berbohong, saat Sansa bilang bahwa dia nggak bermaksud mengkhianati keluarganya.

Arya juga seharusnya langsung bisa baca situasi, bahwa musuh utama di Winterfell adalah Littlefinger, sehingga dia nggak perlu cekcok dengan Sansa. Well, mungkin aja Arya juga sedang bersandiwara, ya. Tapi kalau ternyata nggak bersandiwara, she’s being off character. Arya should be better, calmer, and smarter than that.

Ciri ketiga—logika waktu Game of Thrones selalu masuk akal, sementara logika di season 7 ini banyak yang aneh. Kok hanya dalam sehari semalam, Gendry bisa lari balik ke Eastwatch, kirim gagak, sehingga Daenarys berhasil sampai beyond-the-wall tepat waktu? Kok Jon Snow bisa cepat banget travelling Winterfell – Dragonstone – Eastwatch? Padahal sebelumnya, Bran lama banget jalan dari Castle Black ke Winterfell doang. Malah sebelumnya lagi, bisa, lho, setengah season Game of Thrones habis cuma untuk nunjukkin Arya jalan di hutan.

Ada, sih, yang bilang bahwa sebenernya logika waktu episode 6 tetap logis, kok, hanya saja ditampilkan seolah-olah cepat banget.

Gue pribadi nggak mau terganggu dengan hal ini.

Ciri keempat—George R. R. Martin biasanya meminimalisir deus ex machina. Lah, di season 7 ini, deus ex machina-nya banyak banget! Di episode 6 aja, deus ex machina terjadi tiga kali, dengan kehadiran Daenarys, Benjen Stark, dan retaknya es danau (btw, kalau nggak tahu apa itu deus ex machina, boleh di-Google dulu ya, qaq, biar pintel).

Dalam dunia penulisan naskah, deus ex machina adalah solusi malas dan agak-agak fan-servicing. Menurut sang netijen yang mengritik, ini sangat bukan George R. R. Martin.

Ciri kelima—nggak ketebak. Jalan cerita Game of Thrones seharusnya selalu sangat unpredictable. Namun di season 7 ini, katanya banyak adegan yang bisa kebaca duluan.

Gue setuju sama poin ini. Sejagat raya internet tentunya sudah lama menebak Daenarys bakal bersatu dengan Jon, dan akan ada 1-2 anggota Magnificent Seven yang mati di medan perang. These all has been speculated dan gampang dibaca, terutama oleh Game of Thrones’ nerds.

Gue pribadi sudah bisa nebak bahwa Olenna Tyrell akan mati, Littlefinger akan melemah dan akhirnya dibunuh oleh kakak-adik Stark, dan somehow The Night King akan punya naga (di internet, udah lama ada pembahasan tentang kemungkinan hadirnya naga es). Sehingga walaupun gue sedih sewaktu Viserion jadi wight, sejujurnya hati ini kurang kejut-kejut gimanaaa gitu, eym.


Rakyat Game of Thrones memang pintar menganalisa. Idealnya, tugas utama para penulis naskah adalah mematahkan dugaan para fans tersebut, bukannya malah terus-terusan mewujudkannya.

Unpredictability is what makes Game of Thrones thrives and successful. Sebagai contoh, kalau Game of Thrones mau lebih berani, yang dibuat mati dalam episode 6 seharusnya Beric Dondarrion, setelah dia melakukan sesuatu yang epic. Kenapa? Karena Beric sudah dibangun menjadi karakter yang keren dan dicintai penonton. Typical G. R. R. M. is killing off characters that the audience has sympathize with.

Jangan-jangan penulis naskah Game of Thrones sebenarnya cuma nyontek dari teori dan fanfic para fans yang bertebaran di dunia maya, ya?

Ada yang bilang—ya udah deh, maklumin aja kalau jalan cerita season 7 Game of Thrones melenceng dari ciri khasnya. Penulis naskahnya bukan G. R. R M., toh? Season 7 nggak berdasarkan novelnya, toh?

Tapi, hei, season 6 juga nggak ditulis oleh G. R. R. M. ataupun berdasarkan novelnya, lho! Seperti season ini, season 6 juga ditulis oleh D.B. Weiss dan David Benioff, tapi season 6 bisa kece gilaaaakkk. Waktu itu, Weiss dan Benioff masih oke dalam mempertahankan ciri-ciri penulisan G. R. R. M.

Konon katanya, G. R. R. M. adalah penulis yang lamban. Jadi ketika HBO memulai proyek seri TV Game of Thrones, mereka seharusnya mengantisipasi bahwa seri TV ini akan jalan lebih cepat daripada novelnya. Mereka seharusnya tahu bahwa pada suatu titik, seri TV harus jalan terus, sementara novel Game of Thrones belum ada kelanjutannya. Jadi, para showrunners kudu sebisa mungkin mengadaptasi logika pikiran G. R. R. M., sehingga saat harus bikin tayangan tanpa berpatok pada buku, wis isa.

Episode 6 memang epic berat. Gue pun terbuai dengan ke-epic-an dan action-nya, and I still love episode 6 for those reasons. Tapi kalau dipikir-pikir, formula ceritanya memang udah nggak khas Game of Thrones.

Meskipun episode penultimate ini kurang memberikan efek kejut yang warbiyasak—seperti Red Wedding atau kematian Ned Stark—episode ini lumayan memenuhi syarat episode penultimate Game of Thrones: ada epic battle-nya, ada situasi mengancamnya, ada kejadian yang devastating (walau ketebak), dan ada kejadian yang satisfying.

Kalau kamu, #TeamLove atau #TeamHate? Yang pasti pada #TeamMenolakKenyataan dong ya, karena LUSA UDAH EPISODE TERAKHIR SISEN INI, HOOOOY! *tebalikin meja*

Bagi yang ikutan nobar, sampai jumpa besok malam!

(top image: Robert Ball)

Game of Thrones S7 - Episode Finale.... Dalam Sebuah Podcast

$
0
0
DSCF2614

DSCF2649

Selamat datang, Senin kelabu!

Setelah tujuh minggu kita dimanjakan oleh kehadiran seri TV terbaik sepanjang masa setiap Senin, sekarang balik lagi, deh, ke era kehampaan awal minggu. Huft.

Tanpa banyak cingcong, mari kita langsung terjun ke penelaahan episode terakhir di season 7 Game of Thrones…

… lewat sebuah podcast.

Yaaas, betul sekali, pemirsa yang berbahagia. Minggu lalu, gue dan Dara akhirnya nekat memulai sebuah pilot project podcast, yang hasilnya kami coba hempaskan di sini.

Gue dan Dara udah lamaaaa banget kepengen bikin podcast (bareng). Dulu kami terjebak dalam stigma bahwa bikin podcast itu ribet, khususnya secara teknis. Tapi Adri—teman SMA gue / pekerja kreatif / stand-up comic / podcaster—bilang bahwa kalau mau modcast, langsung kerjain aja. Pake hape pun capcus, kok. Nggak usah mikir harus punya mic, masuk studio, dan di-edit pakai mixer. Sampai sekarang, Adri aja modcast pakai hape.

Alhasil, weekend kemarin, di tengah kengangguran berat, gue dan Dara memutuskan untuk, “Tes ombak podcast yuk, mak!” (teteup, ngajaknya pake bahasa banci).

Podcast kami ini belum ada namanya, belum ada logonya, belum ada channel-nya (baru ada di SoundCould doang), belum ada konsepnya (!!!), dan belum ada kualitasnya. HEITS, maksudnya kualitas suara, ya! Hahaha. Bayangin, dong, untuk pilot project ini, kami rekaman di sebuah kafe di Kemang, pas malam minggu pula. Otomatis ributnya minta ampun. Di enam menit pertama, suara rekaman kami kacau gilak—bersatu padu tidak harmonis dengan suara para pengunjung lain, barista teriak-teriak, blenderan, mesin coffee brew, musik latar, pokoknya kacau, deh.

Ujung-ujungnya, gue dan Dara pindah ke teras kafe tersebut. Mendingan, sih, walau dengan bekson motor-motor lewat. Jadi ada nuansa alay ngobrol di teras Alfamidi, tapi yastralah.

Itulah kenapa, pilot podcast ini nggak ada intro dan penjelasannya. Sebenarnya ada, tapi kami potong, berhubung kualitas suaranya buruk amat. Padahal di intro, kami cerita sedikit tentang latar belakang podcast ini dan tema bahasannya, termasuk Valar Moregeulis, tuh, sebenarnya siapa, sih?

Oya, karena kehebohan Game of Thrones baru aja selesai, topik perdana yang kami angkat tentunya Game of Thrones, sebagai salah satu common interests kito baduo: kenapa Laila dan Dara suka Game of Thrones? Apa house favorit Laila dan Dara? Apa pendapat Laila dan Dara tentang season 7 dan episode 7? And what is up with Tyrion Lannister?! 


---

Walaupun Game of Thrones adalah topik yang sempit—karena nggak semua orang suka/ngikutin GoT—semoga di pilot project ini, gaya ngemeng dan isi otak gue dan Dara tetap terpancar nyata, dan semoga bisa nyantol di hati banyak pendengar. Ciyeee, hueek.

Dan yang paling penting, mudah-mudahan kami bisa istiqomah di proyek ini, mengingat hampir semua proyek yang gue jalankan umumnya mati sebelum berkembang (mu’uph ngedz, tolong jangan lagi ada yang nanya, “Blogpost Disney/Amerika gimana, kak?” ITU PERTANYAAN SENSI). Bener-bener, deh, mau jadi apa sih gue.

Don’t forget to like, comment, and subscribe!

(eh, kalau di SoundCloud mainannya gimana, sik? Minimal komen di blogpost ini deh, ya!)

Kejar Paket Pintar

$
0
0



Jadi podcaster banget, bu, sekarang? Ciyeee.

Nggak juga, sih. Cuma ternyata, kok, gue hepi ngemeng-ngemeng bebas lepas, apalagi bareng sahabat sendiri yang chemistry-nya cokmey.

Dalam episode kali ini, podcast gue dan Dara akhirnya punya nama unofficial - Kejar Paket Pintar.

Dari awal, kami memang kepengen punya nama yang mengandung unsur kata "pintar" atau sinonimnya. Harapannya, setiap materi yang kami sajikan (nggak selalu berupa diskusi berdua, lho!) bisa bikin pendengar jadi... pintar. Kritis dikit lah, woke dikit lah, terinspirasi dikit lah, kalcer dikit lah, empowered dikit lah. Duile, ngasih beban ke podcast sendiri kok berat banget, sih? Padahal jangan-jangan yang dengerin cuma bertahan 10 menit, abis itu gumoh dengerin bacot-bacot tidak berbasis. Ih, sedih!

Nama Kejar Paket Pintar dicetuskan dengan instan, oleh Dara. Sementara theme song-nya adalah "Talk"-nya M.I.A., juga dicetuskan oleh Dara. Kandidat keduanya adalah "Hey, Girl"-nya Lady Gaga dan Florence Welch. I honestly love both of these songs. Emang pinter banget, deh, sohibul hikayatku yang satu itu.

"Hey, Girl", tuh, kece berat karena punya pesan women empowerment yang kencang. Tapi akhirnya gue memilih "Talk" yang juga punya nuansa kritis yang kuat, karena beat-nya lebih sesuai dengan kepribadian gue dan Dara, juga karena we will talk and talk until we piss them off *lalu dipersekusi ormas* *JANGAN YA, PLIS BANGET*

Kami berusaha agar durasi podcast kami nggak lebih dari 20-25 menit. Tapi ngebacot nggak berjuntrung, tuh, kok endeus banget, sih? Akhirnya bablas, deh, sampai 40-50 menit. Huft.

Di episode dua ini, kami berdiskusi seputar hubungan dan (selebrasi) pernikahan (selebriti):

Kenapa rakyat seringkali baper terhadap pernikahan selebriti, termasuk pernikahan Raisa - Hamish baru-baru ini? Tapi kenapa kami nggak terharu dengan perayaan pernikahan mereka? Apakah selebrasi pernikahan terlalu diglorifikasi? Apa sebenarnya fokus utama pernikahan? Apa yang perlu di-acknowledge dengan pasangan kita, sebelum kita menikah? "Jodoh" itu sebenarnya ada nggak, sih? Dan penyebutan nama "Hamish" itu 'Hamisy' atau 'Hey-mish', sih?! Because we obviously cannot call him "bebeb" again now.

Selain di Soundcloud, podcast kami sudah tersedia di iTunes dan berbagai aplikasi podcast kesayangan Anda.

Selamat mendengar!

Insecurity Issue: Jerawat

$
0
0

Kecuali elo sesempurna Amal Clooney, semua orang pasti punya sumber krisis pedenya masing-masing. Sumber krisis pede terbesar gue sendiri ada dua, dan hari ini gue akan membahas soal salah satunya: jerawat!

Pertarungan gue dengan kulit sebenarnya sudah dimulai sejak gue kecil.

Ketika gue kelas 2-3 SD, gue kena eksim yang semakin lama semakin parah. Ruam-ruam merah dan gatal muncul di semua lipatan badan gue, sampai ke kulit kepala, telinga, bahkan akhirnya wajah. Ruam-ruam eksim itu awalnya kering, tapi kalau digaruk jadi basah, trus berdarah. Hiiii.

Nyokap memboyong gue ke delapan dokter kulit di Jakarta, dan nggak ada yang sukses menyembuhkan eksim gue secara jangka panjang. Sampai akhirnya gue dibawa ke seorang dokter kulit di Singapura, baru, deh, eksimnya betul-betul bisa dikontrol. Inces sedari kecil banget, yaaa, dokternya harus di Singapura.

Selain eksim, ketika SMP, gue juga mulai jerawatan. Nah, ini dia, nih, hantunya.

Berbeda dengan eksim gue yang akhirnya sembuh total pas gue SMA, jerawat gue bertahan terus sampai sekarang, dua puluh tahun sejak gue pertama kali jerawatan. Dua puluh tahun! Begitu jerit ibunda Kiki Fatmala.

Jerawat yang hadir di muka gue ada berbagai macam, mulai dari blackhead, whitehead, pustule, papule, sampai cystic acne segeda gaban. Semuanya nyebelin, semuanya awet, semuanya bikin sakit jiwa raga.

Gue tentunya gemes, tapi nyokap ternyata lebih gemes lagi. Maka pas gue kelas 3 SMP, beliau membawa gue ke dokter Rudy.

Bagi orang-orang jerawatan “angkatan lama”, mungkin kenal sama dokter Rudy di RS Medistra. Kalau nggak salah, namanya Rudy Suhendra? Setahu gue, beliau adalah (salah satu) spesialis kulit pertama yang mengobati jerawat dengan krim chemical peeling dan ekstraksi sadis. Dulu dokter Rudy beken banget karena metodenya dianggap ampuh, tapi juga sinonim dengan kekejaman pada kulit.

Jaman dulu, ilmu tentang chemical peeling dan ekstraksi pastinya belum sebagus sekarang. Jadi bisa ditebak, kulit gue babak belur karena efek kerja krim peeling yang keras, dan ekstraksi-ekstraksi keji yang membuat muka gue berdarah-darah.

Maka dari dulu banget, sudah tertanam di benak gue bahwa beauty IS pain. Telen aja, beb!

Apakah dokter Rudy sukses membuat wajah gue berhenti jerawatan? Nggak juga. Zzzz. Pertumbuhan jerawat aktif gue sempat tertahan, tapi sama seperti dokter-dokter kulit lain yang pernah mampir dalam hidup gue, dokter Rudy hanyalah solusi sementara.

But life goes on, shay! Mau nggak mau, gue harus menjalani hidup—termasuk melewati masa remaja—bersama sohib-sohibku, para jerawat. Berbagai solusi ditempuh, tapi hormon sialan gue membuat gue nggak pernah bisa sepenuhnya lepas dari jerawat. Semakin tambah umur, elastisitas kulit gue juga semakin berkurang, sehingga acne scars dan bopeng juga semakin banyak.

Apalagi, pas SMA, nyokap memperkenalkan gue kepada kesalahan terbesar yang pernah gue lakukan terhadap kulit gue (wow, dramatis), yaitu ekstraksi rumahan. Duh, apakah itu?

Jadi, pas gue SMA, nyokap memutuskan untuk meng-ekstraksi kulit gue sendiri. Mungkin karena tahun segitu salon facial yang mumpuni nggak sebanyak sekarang. Atau mungkin dese pelit aja kalau gue kudu facial sering-sering. Namun di saat yang bersamaan, nyokap gemes melihat komedo gue yang bertumpuk.

Alhasil, beliau nekat jadi terapis ala-ala. Dengan alat ekstraktor khusus dan jarum pentul yang di-”sterilkan” dengan alkohol atau dibakar pakai api (!!!), kulit muka gue pun diobrak-abrik.

Apakah nyokap seorang terapis beneran? Tentu tidak. Pernah belajar soal kulit atau facial? Boro-boro. Punya pengalaman otodidak mengekstraksi jerawat dan komedo? Apalagi. Modalnya apa, dong? Ya, cuma kegemesan dan ke-otoy-annya sendiri.

Bisa ditebak, estraksi rumahan begitu bikin kondisi kulit wajah gue semakin parah. Selain karena teknik ekstraksinya suka-suka nyokap, juga karena dia nggak menerapkan after care setelah kulit wajah gue dikoyak-koyak.

Ngeri nggak, tuh? Ngeri banget. Yang lebih ngeri lagi, sih, kok gue mau-maunya aja dibegituin? Rutin, pula! Nggak heran kalau facial KW nyokap ini malah sering membentuk jerawat baru.

Sementara itu, kunjungan gue ke berbagai dokter kulit jalan terus, sehingga dari waktu ke waktu, gue selalu kembali lagi ke krim chemical peeling. Di periode SMA ini pun, gue mulai berkenalan dengan suntik steroid, laser, dan pil Roaccutane yang kontroversial.

Struggle ini terus berlanjut sampai sekarang, belasan tahun kemudian. Nggak pernah, deh, gue bisa betul-betul mulus dan bebas dari jerawat jenis apapun dalam jangka waktu lama. Paling banter tiga bulan. Maka pada akhirnya, gue berusaha menerima bahwa noda-noda di wajah yang nggak akan hilang meski muka gue dicelup Bayclin ini adalah bagian dari diri gue. I kinda have no choice, I guess?

Januari-Juli 2016

Dara dari Female Daily pernah menulis tentang life lessons yang dia dapatkan sebagai orang yang berjerawat, and the points are all so true. Karena nggak mau kalah, inilah versi gue.

So what has living with acnes made me become?

1. Membuat gue lebih jaga mulut

Hampir semua orang berjerawat yang pernah gue ajak ngobrol—atau baca kisahnya—menyatakan hal yang sama: momen paling menyakitkan bagi mereka adalah ketika dikomentari.

Komentar yang mampir ke telinga umat berjerawat bisa beragam. Ada yang tanpa tedeng aling-aling (“Kok jerawatan gitu sih, lo?”), ada yang nggak sensitif, (“Diobatin dong, jerawatnya.” Eh, mz/mba, usaha ngobatinnya udah sampai ke ujung dunia, lho!), ada yang sok solutif padahal nggak (“Makanya jangan terlalu stress, deh...”).

Walaupun yang komen-komen begitu umumnya adalah para manusia beruntung yang nggak jerawatan, komen-komen nyebelin nggak hanya datang dari cangkem teman, lho. Komentator tersadis dalam hidup gue justru nyokap gue sendiri.

Nyokap gue selalu senewen berat kalau sesuatu nggak berjalan sesuai harapannya. Tragisnya, gue adalah salah satu hal dalam hidup beliau yang nggak sesuai harapannya, berhubung kulit gue—anak perempuan sulungnya—nggak mulus. “Gimana mau dapat suami?” begitu katanya dulu (what the…)

Semasa remaja, gue kadang malas-malasan merawat wajah. Wajar, dong. Capek, bosqueee. Maka di benak nyokap, dia harus memecut gue dengan kalimat-kalimat sadis, supaya gue terpicu. Misalnya, “Mamah, tuh, geli banget liat muka kamu. Kadang Mamah ngayal bisa ngelupas seluruh kulit wajah kamu.” BUSET, MAH. Trus, kalau gue lagi diskusi serius sama do’i, matanya malah akan jelalatan mengamati wajah gue, bukan memperhatikan omongan gue. Dan ketika gue konfirmasi, “Mamah lagi ngeliatin jerawat aku, ya?” Dijawabnya, “Iya.”

Hatiqu terluqa!

All joking aside, sampai sekarang, beberapa kalimat nyokap masih terngiang di kepala gue, dan masih bikin sakit hati kalau diingat-ingat.

Nah, karena kami tahu betul rasanya sakit hati karena komentar-komentar terhadap fisik, umat berjerawat biasanya sangat jaga mulut dan hati-hati kalau mau berkomentar tentang (fisik) orang lain.

Gue pribadi melatih diri untuk betul-betul tutup mata terhadap fisik seseorang, dan langsyung aja menilik sikap dan wawasannya. Subhaaa? Nallaaah…

2. Membuat gue susah menerima pujian

Apa sih yang lebih gawat dari acne scar? Confidence scar, alias krisis percaya diri.

Pada dasarnya, gue adalah orang yang anxious berat, alias gampang cemas. Ditambah hidup puluhan tahun bersama jerawat, ya kelar, deh. Rasa percaya diri gue jadi serapuh sepatu kaca Cinderella dan nggak bisa diperbaiki dengan Rexona sebanyak apapun.

I cannot see past myself, but as a spotty girl. Setiap kali gue ngaca, yang gue lihat hanyalah jerawat-jerawat gue, bekas-bekasnya, dan betapa buruknya semua itu. Gue nggak bisa melihat bahwa gue sebenarnya lucu (ih, ngaku-ngaku), lumayan pinter (ih, ngaku-ngaku), dan pernah dibilang mirip Claire Danes (wow, halu).

Akibatnya—seperti yang pernah gue ucapkan di sini—gue kurang suka kalau gue dipuji fisik. Dulu gue sering merasa, kalau gue dipuji “cantik”, orang yang memuji gue ada maunya, agak rabun, atau sedang mengasihani gue.

Compliments make me anxious and overthink
. Sebagai contoh, kalau gue lagi pakai make-up, trus gebetan gue bilang bahwa gue cantik, maka dengan senewennya gue akan mikir, “Apakah gue dipuji karena gue lagi dandan? Apa jadinya kalau dia lihat gue tanpa make-up nanti?”

Maybe I have acne dysmorphia? Gejalanya, sih, ada semua.

Tapi belakangan ini, gue berusaha menerima bahwa gue nggak jelek-jelek amat. Dan kalau kata T, “Nggak usah GR dan self-centered, deh. Orang punya masalah hidupnya masing-masing, dan mereka terlalu sibuk untuk merhatiin jerawat kamu.”

SADIS TAPI BETUL. Thank you, suami mulut cabeku.



3. Membuat gue nggak suka cermin dan cahaya terang

Punya kulit yang nggak paripurna jelas bikin gue males memandang wajah gue sendiri, alias ngaca. Setiap ngaca, tuh, rasanya kepercayaan diri mblesek. Sampai detik ini, gue nggak suka ngaca, apalagi di bawah harsh lighting alias pencahayaan yang “keras”—seperti misalnya cahaya lampu neon—karena pencahayaan tersebut jadi meng-highlight setiap lekukan, bruntusan, dan noda kulit gue.

Tetapi ketidakpercayaan diri gue ternyata cukup mengakar, sehingga selain ngaca, gue juga nggak suka dengan cahaya terang. Kenapa? Karena orang-orang jadi bisa liat komuk gue dengan jelas, dong!

Maka jaman pacaran, gue lebih suka pergi malam dan pergi ke tempat dengan pencahayaan minim (ini krisis pede atau niat mesum, sih?). Dan kalau perempuan lain mungkin seneng ditemani pacarnya ke department store—yang bermandikan lampu neon—gue mah ogah.

Ketidaksukaan gue terhadap cahaya terang ini kemudian merembet jauh. Sampai sekarang, gue nggak suka cahaya terang di situasi apapun. Misalnya, tiap pagi, T paling rajin buka semua jendela lebar-lebar, sehingga cahaya matahari langsung memenuhi kamar. Bagus, dong? Iya. Tapi ternyata gue terganggu dan sering protes, minta jendelanya ditutup sedikit.

Sebegitu nggak nyamannya gue dengan cahaya terang, ya, padahal gue sudah nggak dalam posisi untuk malu kepada T, orang yang pernah melihat gue melahirkan, dan sering pup depan gue dengan santainya! Duileee.

Some insecurity last a long time, I guess? Atau mungkin gue memang punya acne dysmorphia?

4. Membuat gue lebih berani

Gue ngerti, mengeluh panjang-lebar soal jerawat adalah kelakuan privileged brat. Kenapa, sih, harus ngeluh sampai 2,000 kata begini? Seenggaknya lo masih sehat walafiat, La. Kalau mau ngeluh soal wajah, ingat-ingat Novel Baswedan, deh.

Paham banget. Meskipun begitu, nggak bisa disangkal juga bahwa jerawatan itu nggak enak. I mean, c’mon. Literally the first thing people see on you is your face. Bukan kaki, apalagi kepribadian dan inner beauty. Jadi punya “cacat” di muka, tuh, bisa menghantam rasa percaya diri.

Alhasil, harus hidup dengan jerawat, tuh, menempa keberanian juga, lho. Gue harus bisa melawan malu dan rasa kepengen ngumpet di depan umum.

Dengan kecanggihan make-up jaman sekarang, jerawat memang bisa disamarkan. Masalahnya, gue sering capek dan bosen harus nge-prep muka sebelum keluar ke muka publik. Jadi kadang jerawat-jerawatnya gue diemin aja. Kubiarkan mereka apa adanya, tanpa kututupi. Go! Go see the world, my zits!

Tahun lalu, jerawat gue meradang parah selama setengah tahun. Radang tersebut mencapai puncaknya pas Lebaran. Padahal Lebaran pasti jadi ajang tampil dan kumpul-kumpul, ‘kan? Tapi karena saking muaknya, gue nyerah dan nggak dandan pakai base make-up (foundation, concealer, dsb) setitikpun. Mama mertua gue sampai gemes dan akhirnya pecah komen, “Jerawatnya nggak mau ditutup dikit?” NGGAK MAMA, MAKASIH, YA.

Maka dengan kondisi jerawatan parah, gue menghadapi acara silaturahmi seharian. Dalam seumur hidup gue yang cemen ini, saat itu gue merasa pemberani banget. Serasa William Wallace mau terjun ke medan perang di Braveheart. Allahuakbar!

Kalau kita berjerawat, dandan menjadi suatu beban kewajiban untuk menutupi kondisi kulit. Karena kalau nggak dandan, kita takut akan memberi impresi negatif ke publik, atau di-judge“Nggak pernah cuci muka, ya?”

Padahal menurut gue, hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip utama dandan. Memakai make-up seharusnya adalah sebuah pilihan. Kalau kita lagi kepengen, silahkan. Kalau nggak, ya nggak apa-apa, dan seharusnya kita hepi-hepi aja.

Dandan seharusnya menjadi kegiatan yang menggembirakan. Make-up is fun, when it is a choice, not a chore. Namun untuk orang yang berjerawat, make-up menjadi sebuah kewajiban, dan bagi gue, hal ini melelahkan jiwa raga.

Jadi secara berkala, walaupun lagi jerawatan parah, gue nggak mau dandan sama sekali kalau keluar rumah, dan hal ini tentunya menempa keberanian.



5. Membuat gue lebih sabar

Jerawat itu sadis. Dia nggak peduli, usaha seperti apa yang lo lakukan, berapa uang yang lo keluarkan, acara atau orang penting apa yang lo harus hadapi. Pokoknya, kalau dia mau datang menyerang, ya dia akan datang.

Contohnya, nih.

As mentioned, tahun lalu, gue mengalami cystic acne breakout parah selama setengah tahun. Segala daya dan upaya telah gue kerahkan untuk menaklukkan breakout tersebut. Nggak ada metode yang nggak gue coba, tapi gagal semua. Sebelum nekat mengamplas muka sendiri, akhirnya jerawatnya gue diemin aja, deh. Eh, trus malah berangsur-angsur sembuh sendiri! Ngerjain banget, deh. Yo weis, sakarepnya.

Cerita kedua terjadi menjelang gue nikah. Waktu itu gue nggak breakout, sih. Tapi namanya juga calon manten, ya. Pas hari-H, pengennya semulus mungkin, dong. Maka nyokap, dengan segala kegemesannya, membawa gue ke seorang dermatologis di Singapura yang punya moto, “I can make your skin as smooth as a baby’s butt!” Okedeeeh, kusuka kepercayaan dirimu, dok!

Dermatologis ini pernah merawat kulit wajah beberapa sepupu gue yang mau manten, dan sakseys. Nyokap ngiler, dong.

Ternyata, bukannya mulus, perawatan dokter tersebut malah bikin gue breakout parah! Nggak cocok, siiis. Gile lu Ndro, udah jauh-jauh ke Singapura juga. Mahalnya juga jangan tanya. Untungnya, perawatannya bukan pake duit gue. Sialnya, datang ke dermatologis ini ‘kan bukan kemauan gue juga.

Akhirnya gue musti ke dermatologis lagi di Jakarta, membenahi breakout yang terlanjur terjadi. Hiks. Sabar ya, La (iyeeee…)

6. Membuat gue nggak terjebak dalam narsisisme fisik

Hidup seseorang yang berjerawat biasanya, kurang lebih, didikte oleh jerawatnya.

Sebagai contoh, gestur tubuh gue bisa didikte jerawat, lho.

Misalnya, kalau gue lagi jerawatan di pipi sebelah kanan, maka gestur tubuh gue otomatis mengutamakan sisi kiri wajah. Kalau difoto, maunya yang sebelah kiri aja. Kalau duduk di mobil bareng teman/pacar, maunya duduk di sebelah kanan, supaya dia duduk di sisi kiri gue aja. Posisi badan gue pun jadi agak bungkuk, dan wajah cenderung nunduk.

Hari-hari gue pun ikut didikte oleh jerawat. Bagi orang berjerawat, hari yang indah adalah ketika di hari tersebut, nggak ada jerawat baru muncul. Sebaliknya, hari yang buruk adalah ketika ada jerawat baru nongol, padahal jerawat-jerawat yang “sebelumnya” masih dalam proses pengobatan.

Lelah nggak, hayati? Banget. Ada banyak hal lain di dunia yang lebih perlu energi dan perhatian gue, tapi, lagi-lagi, masalahnya the first thing people see on you is your face. Gimana jerawat nggak jadi kepikiran?

Maka di saat gue berjerawat, gue biasanya fokus kepada hal-hal lain di luar fisik manusia. Gue akan menghindari Instagram dan rakyatnya yang kece sempurna semua. Gue akan membabibuta baca-baca berita, soal kemanusiaan, soal penemuan-penemuan ilmiah… APAPUN kecuali soal hal-hal fisik.

Kemudian gue akan melakukan self pep-talk bahwa kepribadian gue jauh lebih penting daripada fisik, dan identitas gue nggak didefinisikan oleh komuk doang. Daripada mikirin jerawat dan kelamaan pity party, lebih baik gue mikirin apa yang gue bisa pelajari dan lakukan hari ini.

Berhasil? Kadang iya, kadang nggak. Tapi seenggaknya, karena wajah gue nggak sempurna, gue jadi selalu “diingatkan” bahwa ada banyak hal lain di luar urusan narsisisme fisik.

IMG_7492
Kondisi kulit terbaiq, Maret 2015. Tetap ada bantuan make-up? Tetaaap. 
Tetap ada bantuan manipulasi editing foto? Tetaaap.

***

Sebenarnya, gue sangat menerima konsep “embrace yourself 100%”. Seperti kata Lady Gaga, “I’m beautiful in my way / ‘cause God makes no mistakes / I’m on the right track, baby / I was born this way.

Setuju, Mbak Gaga. Makanya, gue bisa menerima badan gue yang pendek-bantet, dada gue yang sudah melorot sampai perut (terimakasih, menyusui!), dan kulit mata gue yang super keriput, akibat hobi ngakak dan ngucek mata.

Sayangnya, jerawat dan kulit jelek susah sekali gue terima, karena gue merasa jerawat itu seperti penyakit—seharusnya bisa dihindari, seharusnya bisa diobati. It is not something I am born and die with. Apalagi kalau jerawat sampai meninggalkan bekas atau bopeng. Berarti ‘kan gue yang nggak bener menanganinya? Maka ada perasaan, “Ini salah lo, La.”

Memang bisa diperdebatkan, sih, bahwa orang yang jerawatan sepanjang hidupnya punya hormon tertentu yang membuat kulitnya acne-prone. So in other words, I was also born this way. 

But for the longest time, gue susah menerima hormon dan kondisi kulit gue.

Sekarang ini, gue berusaha jadi lebih bijak. Seperti yang udah gue sebutkan, ngeluh panjang lebar tentang jerawat emang kelakukan privileged brat banget, alias MANJA. Jerawatan memang nggak enak, terutama karena gue hidup di era media sosial dan self-comparison yang tajam. Tapi ya udah, deh, La. Please see the bigger picture! Dan bersyukurlah. Nggak ada yang nyerang muka lo pake air keras ‘kan? *emosi sama diri sendiri*

Thanks to my hormone, there’s a chance I will still be living with acne until I’m 40-50 years old. Jadi kalau takdir gue memang harus kenceng merawat kulit terus-terusan, nikmatin aaa…? Jaaa.

Selain itu, gue rasa Tuhan harus adil. I guess I’m a pretty awesomeperson (huek). Bisa ngelawak, bisa joget hobah, nggak bego-bego amat, pinter tektokan tebak-tebakan Lupus, pernah dibilang mirip Claire Danes (diulang lagi, ya), Najwa Shihab, Salma Hayek (halu banget, but I swear to God someone claimed this), Christina Ricci, sampai Nikka Costa kecil (?). 

Kalau kulit gue bak pualam tanpa pori-pori, gue bakal sempurna banget, sehingga terjadi ketidakadilan di kaum wanita, hahaha. Seperti Reza Rahardian, yang bisa di-cast jadi tong sampah sampai tiang listrik, berkat keparipurnaan ektingnya. 'Kan jadi nggak adil buat PARFI? ((PARFI)).

To my adult acne prone sisters: we got this, don't worry.

Yes, You Can!

Harta yang Paling Berharga Adalah...

$
0
0

... sebenarnya bukan uang. Harta yang paling berharga, bagi gue, adalah punya pilihan. Namun untuk punya banyak pilihan, kita perlu banyak uang.

I realized that the main perks of being wealthy is essentially not about the lavish, comfortable life. It's about being able to have options.Uang memberi kita pilihan. Semakin banyak pilihan hidup kita, semakin merdeka juga hidup kita.

Orang kaya nggak HARUS menyekolahkan anak mereka di Cikal atau Mentari. Sah-sah aja kalau mau disekolahkan di SD negeri pinggir kali. Tapi mereka punya pilihan untuk menyekolahkan anak mereka di sekolah yang dirasa terbaik. Orang berduit juga boleh aja, kok, menyembuhkan penyakit dengan cara-cara tradisional. Tapi dengan uang, mereka jadi punya pilihan untuk menggunakan teknologi kedokteran mutakhir yang berbiaya tinggi. Trus, mengutip seorang teman, "Orang merdeka itu bahagia. Dan salah satu orang yang paling merdeka adalah orang yang bisa bekerja demi passion, bukan cuma demi survival."

Uang memberi kita banyak alternatif solusi untuk berbagai tantangan hidup. Hidup nggak mentok kanan-kiri.

Hidup sederhana dan nggak "terlalu duniawiyah" itu baik, tapi "tidak hidup duniawiyah" bukan berarti meng-kere-kere-kan diri, lalu merasa mulia karena hidup sengsara 'kan ya? Uang tetap harus dicari (dengan cara-cara yang sah dan nggak mencelakakan orang lain, tentunya) supaya kita bisa punya banyak pilihan dalam hidup.

Uang juga memberikan kita pilihan, untuk menempatkan tangan kita "di atas". It's a very important thing to be able to help and empower others, dan untuk melakukan hal tersebut dengan efektif dan impactful, ya musti punya duit dulu. Elon Musk aja cari uang dulu yang banyak di Paypal, baru bisa jadi pejuang lingkungan.

Terakhir, uang mungkin nggak bisa membeli kebahagiaan, tapi kayaknya lebih enak nangis di jok Ferarri sendiri, ya, daripada nangis di pundak abang ojek?



(image: Christoph Neimann for New York Times)

Kenalan (Lagi) Sama Diri Sendiri


Kejar Paket Pintar - Episode 3: Rapid News October 2017

$
0
0


Perempuan-perempuan bacot tak berbasis is back!

Dalam episode ini, masing-masing Laila dan Dara memilih beberapa berita terkini, dan membahasnya dengan sok tahu, seperti biasa.

Menit 1.12: Agnez Mo kembali mencoba menembus chart musik internasyonal dengan album terbarunya. But is she really on the right track?

Menit 7.46: Berbagai blunder yang terjadi dalam pelantikan gubernur DKI Jakarta baru, Anies Baswedan. Dan ya, termasuk blunder yang ITU TUUUH.

Menit 26.47: Katanya Kangen Band adalah aset negara, lho. Kata siapa?!

Menit 30.00: Presiden Jokowi dalam lakon: Mengejar Milenial

Menit 38.05: Berita paling penting. The true epitome of today’s local entertainment news. Cek sendiri aja, deh.

Luwar biyasa, ya, perpaduan antara sari berita highbrow dan lowbrow-nya. Hidup memang harus balan. Kadang seriyeus, kadang receh.

Happy listening, triiims!

Fashion Week: Nggak Seserem Itu, Kok

$
0
0
DSCF9730

Salam fashion, fashion, fashion!

Setelah dua tahun skip, akhirnya tahun ini gue berkesempatan datang lagi ke Jakarta Fashion Week 2018, hajatan tahunannya Femina Group yang berupa pagelaran fesyen terbesar se-Indonesia.

“Emangnya lo paham haute couture, La?” Ya nggak lah, yaw. Nonton fashion week‘kan bak masuk museum seni kontemporer. Bikin gue membatin, “Ini seni bukan, sih? Kenapa orang pada nepokin baju jelek gini? Ikutan tepok tangan juga aja, deh, biar dibilang kalcer…”

Pada tahun 2011, gue pertama kali ngeliput JFW, dan langsung untuk seminggu penuh, dari show pertama sampai terakhir. Saban hari lari-lari pakai high heels, skip makan melulu, kurang tidur, dan ternyata udah hamil Raya pula.

Tapi karena dicekokin begitu, akhirnya gue jadi menikmati nonton fashion show. Not necessarily for the fashion itself, but for the show—the lights, the music, the runway, the models, the crowd, endebray endebrey.

Banyak orang malas nonton fashion show, terutama saat fashion week, karena merasa, "Iiiih, gue nggak ngerti fashion… Iiiih, harus pake baju apa nih, pressure banget… Iiiih, ina inu…" Intinya: terintimidasi.

Wajar banget. Kalau dulu gue nggak musti liputan JFW, pasti gue juga nggak akan pernah tertarik nonton fashion week karena alasan-alasan tersebut.

DSCF9478

Namun sebenarnya, Jakarta Fashion Week jauh lebih sederhana dan lebih "membumi" dibandingkan fashion week Eropa/Amerika (baca wawancara Men Repeller dengan lima profesional di industri fashion tentang fashion week di sini. Menarik, deh). JFW juga nggak terlalu ribet ataupun drama. Maka nonton JFW, tuh, sebenarnya perkara simpel.

Kalau belum teryakinkan juga, berikut adalah panduan nonton fashion week ala-ala gue. Keabsahannya perlu dipertanyakan, sih, tapi lumayan daripada nggak ada, hihihihi.

(kalau ada orang Femina Group atau fashion blogger pro mampir-mampir dimari, monggo koreksi kesotoyan saya, yaaa)

1. Mendapatkan tiket nonton show JFW, tuh, susah nggak, sih?


Sekarang, nggak terlalu.

Konon katanya, setiap tahun, tiket JFW semakin nggak elusive, sehingga lebih gampang didapat. Entah kenapa. Apakah karena minat orang terhadap haute couture menurun? Karena industri retail fashion melesu? Semoga nggak, ya.

Tiket JFW bisa didapatkan jauh-jauh hari di situsnya, atau dengan mantengin kuis dan giveaways dari berbagai brand atau perusahaan yang terafiliasi dengan JFW. Males ikut kuis-kuisan seperti akyu? Cari koneksi! :D

Untuk JFW tahun ini, kuhaturkan nuhun yang sebesar-besarnya kepada: Mita Kartohadiprodjo (nama belakangmu sungguh sakti), Fariz Rachman (Harvest is the best! Yes!), dan Evie (*borong Wardah di Guardian*).

DSCF9472

2. Apakah kalau nonton fashion show, kita harus tampil super fashionable dan on-trend?


Dulu, rasanya iya. Sekarang, nggak juga.

Dulu, kalau mau datang ke fashion week, orang-orang punya tekanan yang lebih tinggi untuk tampil fashionable. Alhasil, gue merasa atmosfer JFW beberapa tahun lalu lebih seru daripada sekarang. Dulu, tuh, asik banget ngeliatin orang-orang teratas di tangga sosial Jakarta pada wara-wiri pake high heels berkilau dan cocktail dress siang-siang bolong di aula lobi tenda JFW. Biar gerah asal meriah, beb!

Tapi makin ke sini, gue melihat crowd JFW semakin kasual dan nggak punya pressure ataupun effort untuk tampil makbyar. Heels berganti sneakers, cocktail dress berganti loose shirt santai. Prinsipnya, dressing up is an option. People are now doing it for their own personal fun, bukan karena merasa wajib.

Bukan berarti kita nggembel aja, ya. Gimanapun juga, kita perlu menghargai acaranya. Tapi bukan berarti kita harus tampil bak Ayla Dimitri atau Anasz Siantar juga. Gue pribadi, selain karena nggak ada duitnya, nggak ada nyalinya juga, hihihi.

DSCF9556

4. Apakah kita akan didiskriminasi, kalau kita nggak tampil paripurna?


Nggak, kok. JFW bukanlah butik Hermes di Paris, ataupun Dragonfly *dendam pribadi nih, yee*

Karena capek, gue pernah datang ke JFW tanpa make-up setitik pun. Se-ti-tik-pun. Baju pun seadanya. Kalau gue semulus dan sekece Raisa, gitu, ya nggak masalah. Lah iki, struktur tulang wajah gue maskulin, kulit gue jerawatan, dan punya kumis tipis bak Iis Dahlia. Alhasil, penampilan gue bak waria—muka lakik, pakaian perempuan. Untung gue nggak dicegat di pintu masuk, juga nggak dijudesin usher.

Beberapa kali gue melihat rombongan bapak-bapak dan ibu-ibu yang berpenampilan sangat sederhana, duduk di kursi JFW. Bapaknya pakai peci, ibunya pakai gamis serta jilbab syari' sepolos-polosnya. Rapih, tapi jauh dari definisi fesyenebel. Gue rasa mereka adalah keluarga sang desainer, yang jauh-jauh datang dari daerah. Apakah mereka dijudesin? Nggak, dong.

DSCF9526

Intinya, sekarang crowd JFW sudah sangat beragam. Yang tampil ultra fashionable ada, yang tampil santai juga ada. Ditambah dengan menjamurnya fashion blogger dan fashion influencer belakangan, dunia fashion semakin membumi. Para blogger dan influencer‘kan, istilahnya, membawa runway to our way. Maka dunia high fashion sekarang sebenarnya nggak se-elit jaman dulu.

Sisi positifnya, kita jadi nggak perlu merasa terintimidasi untuk tampil se-fashionable mungkin di fashion week. Senyamannya aja.

Sisi negatifnya, gue merasa atmoster JFW jadi nggak se-exciting dulu lagi. Dulu, salah satu hal yang membuat atmosfer fashion week terasa seru adalah karena street style para pengunjungnya yang eksperimental dan beraneka ragam, dari show pertama sampai show terakhir. Dorce Show aja kalah heboh.

Sekarang, hawa tersebut nggak terlalu terasa. Orang-orang yang fashionable dan eksperimental palingan hanya ngumpul di show-show tertentu, biasanya show-show malam.

DSCF9691

3. Tapi gue nggak ngerti fashion! Nanti bingung nggak, sih, nonton JFW?


Nggak, dong.

Show satu desainer itu biasanya cuma berdurasi 30 menit, yang terdiri dari peragaan sekitar 40 potong baju. Itupun sudah termasuk pemutaran iklan-iklan sponsor yang bererotan panjaaaang sekali di layar panggung, sebelum show-nya dimulai. Jadi fashion show-nya sendiri sebentar, kok.

Trus, kalau nonton fashion show, idealnya kita memperhatikan adibusananya dong, ya. Tapi kalau lo betul-betul nggak tertarik sama fesyen, ada banyak elemen yang bisa diperhatikan dalam sebuah fashion show.

Misalnya, kita bisa perhatikan sepatu, aksesoris, makeup atau hairdo yang disajikan. Tahun ini, gue kurang reseup sama koleksinya Auguste Soesastro di show-nya YCFI. Tapi makeup-nya, ya oloooh, suka banget.

DSCF9654

DSCF9642

Kita juga bisa perhatikan musiknya. Musik fashion show, tuh, sangat beragam, tergantung konsep masing-masing. Mulai dari EDM standar yang beat-nya stabil, rap dan hiphop, lagu-lagu Top 40 yang di-remix, lagu-lagu eksperimental, lagu-lagu oldies, gending Jawa, sampai mars perjuangan. Setiap lagu memberikan nuansa yang berbeda, bahkan membedakan gaya jalan modelnya.

Bicara soal gaya jalan model, dalam sebuah fashion week, modelnya biasanya itu-itu aja. Kalau kita beberapa kali nonton show dalam fashion week, pasti jadi lumayan hapal sama model-model yang menjadi langganan para desainer. Nah, kadang seru juga, tuh, mencirikan gaya jalan mereka masing-masing.

Misalnya, gaya jalan Kimmy Jayanti selalu centil, meriah, dan mencuri perhatian. Saking mencurinya, kadang kita jadi nggak bisa fokus sama bajunya. Sementara gaya jalan Kelly Tandiono lebih maskulin, dengan kepala yang cenderung maju ke depan. Ambisius gitu, ceu! Menarik, ya, mengingat Kelly adalah mantan balerina yang identik dengan gaya yang halus dan feminin.

IMG_0051
Reti Ragil, salah kesayangannya para desainer yang masih going on strong sampai sekarang

Oh, jangan lupa sama fun catwalk! Apakah itu? Fun catwalk adalah konsep catwalk yang ber-hepi-hepi-ria. Jadi para modelnya nggak jalan lurus serius seperti biasa, tetapi joget-joget, lompat-lompat, jalan mundur, kadang nyeker, kadang nari pake koreografi dikit… pokoknya asal nggak nyungsep dari panggung, bebasin aja, deh. Desainer pun kadang lelah, ya, bikin show yang kaku-kaku bak Kanebo kering. Jadi teatrikalin aja, shay.

Obin, salah seorang desainer yang hobi bikin show hura-hura

Selain itu, sebuah show seringkali menampilkan penari, penyanyi, dan berbagai hiburan lainnya. Jadi isinya nggak melulu model berlenggak-lenggok.

DSCF9563

DSCF9562
Hiburan bernuansa Chippendale di show kolaborasi dengan L'Oreal (but why??). Apakah mereka geng Apollo?

DSCF9356

Jadi kembali ke pertanyaan: kalau nggak ngerti fashion, apakah gue bakal kebingungan nonton fashion week? Coba aja tetap datang. Most likely, you’d still enjoy the show, karena ada banyak elemen yang bisa kita perhatikan, selain bajunya.

4. Bener nggak, sih, pengisi kursi front row fashion show, tuh, sekeren, se-elit, dan sengeri itu?

Untuk beberapa show, iya.

Di JFW, hal ini biasanya terjadi di show-show malam, atau show-nya para desainer yang jadi socialite darling.

Di show-show tersebut, front row biasanya diisi oleh para artis, sosialita, fashion blogger/influencer, selebgram, pemred, atau fashion/beauty editors. Dari awal, kursi front row akan di-reserve untuk mereka. Tentunya, mereka akan hadir dengan penampilan seru dan kece maksimal.

Tetapi untuk show-show siang, front row bisa diisi oleh siapapun, termasuk yours truly yang kadang hadir dengan penampilan lecek bak kain pel bekas pake. Prinsipnya, siapa cepat, dia dapat aja. Kalau kita datang dan antri masuknya cepat, kita bisa banget dapet kursi di depan. Silahkan kiasu, deh.

Kalaupun kursi-kursi depan di-tek, tunggu aja sampai 10 menit sebelum show mulai. Nggak semua undangan front row akan hadir, kok. Nah, kalau pada nggak hadir, rakyat jelata ((rakyat jelata)) biasanya dipersilahkan mengisi kursi mereka. Lumayan, yaaa.

Sekali lagi, JFW jauh lebih simpel, kok, dibandingkan fashion week negara-negara maju. Di sana, fashion week adalah perkara yang lebih serius, sehingga urusan jatah front row aja bisa jadi bahan berantem. Again, check out Men Repeller's interview.

DSCF9525

FYI, walaupun nggak bisa motret serius, sebenarnya gue paling senang motretin fashion show. Maka spot paling ideal buat gue bukan kursi front row, tetapi photographers pit yang terletak persis di depan runway, meski gue jadi musti berdiri, berlutut, atau lesehan sambil berdesakan, karena area tersebut nggak ada kursinya.

Dulu, aturan JFW masih kendor. Jadi meski tanpa identitas pers, gue masih bisa menyelinap ke photographers pit, dan nangkring di situ. Sekarang aturannya ketat, shay! Nggak bisa!

In fact, tahun ini, keseluruhan aturan JFW di-reinforce dengan ketat. Kalau penonton nyalain flash kamera sedikit, berdiri-berdiri sedikit, wefie terlalu heboh sedikit saat show berlangsung, panitia akan segera nyenter muka yang bersangkutan, melambai-lambaikan tangan di udara dengan heboh bak Sobat Dahsyat sambil mouthing"NGGAK BOLEH! NGGAK BOLEH!".

Ntapsol.

IMG_0479
Photographer's pit di fashion show "Love is in the Air"-nya Edbe, Oktober 2011

***

Kemarin gue mulai nonton film dokumenter The September Issue. Belum selesai, sih, tapi baru nonton dua menit, batin gue langsung tertohok oleh ucapan Anna Wintour:

I think what I often see is that people are frightened of fashion and that because it scares them or it makes them feel insecure, they put it down.

On the whole, people that say demeaning things about our world. I think that's usually because they feel in some ways excluded or, you know, not part of the 'cool group' so as a result they just mock it.

Just because you like to put on a beautiful Carolina Herrera dress or, I don't know, a pair of J Brand blue jeans instead of something basic from K-Mart, it doesn't mean that you're a dumb person.

There is something about fashion that can make people very nervous.


Disadari atau nggak, kita cenderung mengolok hal-hal yang nggak kita pahami, atau hal-hal yang (diam-diam) membuat kita merasa terintimidasi, sebagaimana wartawan politik kadang memandang rendah wartawan lifestyle, atau sebagaimana gue kadang memandang profesi influencer/buzzer sebagai profesi yang kurang berintegritas (kejaaam! *jorokin ke GOMI*).

Padahal kita nggak tahu, seperti apa kerja (keras) mereka sesungguhnya, dan seperti apa impact yang bisa mereka timbulkan.

IMG_0588

Di lingkungan gue, fashion sering dipandang sebagai suatu hal yang lowbrow. Bahkan industri high-fashion sekalipun, yang padahal bernilai miliaran dolar serta membutuhkan para ahli dengan wawasan, skill, dan intelektualitas yang nggak main-main.

Sebelum pertama kali menginjakkan kaki di JFW, sejujurnya gue juga rada nyinyir terhadap dunia fashion dan segala perhelatannya. Dengan judes, gue menganggap fashion week adalah ajang ngeceng belaka, yang nggak betul-betul dimanfaatkan sebagai salah satu roda ekonomi negara.

Maka gue bersyukur sempat “kejebur” di JFW, karena pandangan gue jadi lebih terbuka terhadap industri fashion.

Sikap macem gini seharusnya bisa dipraktekkan kepada berbagai hal, ya? ‘Kan katanya, don’t hate what you don’t understand. Instead, ceburin diri aja ke bidang yang nggak lo pahami tersebut. Niscaya, hate hilang, wawasan berkembang (layak dijadiin stiker slogan angkot, nih).

Udah mau 2018 gini, pengetahuan kudu makin eklektik kali, ya. Makanya, dukung niat gue ngelamar kerja jadi timnya Awkarin, dong :D

Akhir kata, sekali lagi, salam fesen, fesen, fesen!

DSCF9493

Kaos-Kaos Gemes

$
0
0

Pertengahan tahun ini, seorang teman baik gue ulang tahun.

Waktu itu, gue kepengen ngadoin do’i, tapi bingung—ngasih apaan, ya? Setelah ngulik-ngulik salah satu platform online shop palugada kesayangan kita semua, Instagram, akhirnya gue memutuskan untuk ngadoin dia sehelai kaos dari sebuah merek lokal.

Pas kaosnya gue terima, wow, kok kece ugha? Alhasil gue ikutan beli sehelai dari merek yang sama, trus memutuskan untuk mulai mengoleksi graphic t-shirt lokal. Entah buat dipakai nari, olahraga, atau buat menuh-menuhin lemari aja, lah! Namanya juga orang kaya!

Berikut beberapa koleksi kesukaan:

Ya Juga Ya adalah merek kaos lokal yang prinsip desainnya sama dengan Dagadu atau Joger: memainkan kata-kata. Maka ciri khas kaos mereka adalah menampilkan kata, kalimat, atau frase yang “nakal” dan cerdas.

Soal style, keknya mereka berprinsip less is more, karena desainnya sederhana sekali. Font-nya simpel banget—saking simpel-nya, gue yakin ngedesainnya cuma pake MS Word—dan pilihan warna kaosnya juga cuma hitam dan putih. Nggak ada kaos warna merah cabe-cabean, ungu janda, atau ijo tai ayam, misalnya.

Gue yakin kesederhanaan ini disengaja, supaya fokusnya ada pada permainan kata-katanya aja. Saking konsistennya pada konsep, mimin sosmed dan online shop Ya Juga Ya seringkali berpantun, lho, kalau menanggapi follower / pelanggan. Kalau gue lagi good mood, diajak mantun sama mimin begitu rasanya lucuk-lucuk aja. Tapi kalau gue lagi nggak mood atau nggak sabaran, sungguh, rasanya pengen ajak mimin-nya berantem.


Kesimpulan: bahan kaos nyaman dan oke, desain kata-kata witty, meski ada bau pretentious-nya. Tapi hari gini, kalau mau eksis di sosmed katanya emang harus pretentious, yha? Uhuk.


Suara Disko adalah brand merchandise-nya Diskoria Selekta, duo DJ asal Jakarta yang spesifik memutar lagu-lagu (disko) Indonesia tahun 70an-90an.

Tahun ini, Diskoria Selekta sedang ngetop-ngetopnya, terutama di kalangan kids jaman now yang (berusaha) subkultur. Alhasil, banyak dedek-dedek sekarang yang fasih hapal lagu-lagunya Guruh Soekarno Putra, Mama Ina, dan Chrisye. Gaya mereka menghayati lagu-lagu jadul tersebut pun lebih khusyuk daripada orang-orang yang beneran lahir di akhir tahun 70an. Padahal, sih, pas tahun 2014 aja pada belum punya KTP buat nyoblos!

Gue sendiri nggak terlalu suka sama lagu-lagu disko jadul, tapi gue sangat mengapresiasi langkah Diskoria Selekta dalam membuat lagu lokal jadul kembali hip, sehingga menjadi lestari. Desain merchandise mereka keren-keren pula.

Kaos ini adalah salah satu bestseller Suara Disko, yang desainnya merupakan ode untuk Eros Djarot, alm Chrisye, Yockie Surjoprajogo (cepet sembuh, Om!) dan Fariz RM, menggunakan desain kaos The Beatles yang legendaris ini.

Bagi kids kalcer jaman sekarang, memakai kaos dengan nama-nama besar dalam sejarah blantika musik Indonesia ini tentunya membanggakan, walaupun mungkin mereka nggak mau ngaku bahwa sebenarnya mereka nggak terlalu paham lagu-lagunya Fariz RM, apalagi Yockie Godblesss (tapi gue, sih, ngaku aja emang nggak ngerti zzzz).


Kesimpulan: bahan kaosnya agak kaku, kualitas printing-nya nggak terlalu oke, dan ukurannya kok ketits amat. Tapi gue cinta sama desainnya. Lagian, lebih keren pake kaos Front Disko Nasional, dong, daripada kaos Front Pemuda Pancasila. Nggak, deh, makasih.


Toko 56 adalah toko merchandise MES 56, sebuah kelompok kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Gue nggak sengaja menemukan mereka di Instagram, trus langsung jatuh cintrong sama kaos Keren Beken ini. Mungkin karena kaos ini sesuai dengan asa dan harapan gue: menjadi keren dan beken (dengan cara-cara instan, uhuk).

Lucunya, pas gue mentransfer duit untuk pembayaran, gue berkelakuan bak Rachel Vennya. Kalau nggak salah, harga kaosnya cuma 100 ribuan, tapi karena lagi nggak konsen, gue nge-transfer sampai 500 rebu! Nggak sampai 50 juta kayak Rachel, sih. Tapi lumayan sok tajir, ‘kan, salah kirim duit sampe segitu banyak, hihihi.

Dengan panik, gue langsung mengontak sang mimin Toko 56 untuk transfer balik duit kelebihannya. Untung Mas Mimin-nya—yang juga pengelola Toko 56 Shop—sigap dan baik hati. Duit gue langsung dibalikin, tanpa kurang sepeser pun. Lucunya, sejak itu kita jadi beberapa kali tektok chatting ngalor-ngidul. Gue sampe (katanya) mau dibikinin kaos khusus, berdasarkan kutipan yang nggak sengaja gue lontarkan ke dese. Kayaknya dia naksir gue, deh. Ya nggak, Mas Irwan? *dislepet dari Yogya*


Kesimpulan: bahan kaosnya mbois tenan, desainnya oke, warna kuningnya pun pas noraknya, sesuai selera gue yang juga norak. Malah kayaknya pengen tambo cie, alias beli atu lagi!


Club Anomaly adalah saudara satu boru ((satu boru)) nya Ugly-ism, sebuah merek apparel lokal yang sudah lebih dulu muncul. Bedanya, Club Anomaly mengkhususkan diri pada produk graphic t-shirts.

Gue suka sama kaos ini, karena desainnya merepresentasikan sisi introvert dan sisi ansos gue. Go away people, I want to hiiiide! Plus, desain bagian depan kaos ini menampilan aksen velvet, which I like. Biar kesannya mahal dikit, gitu.
Kesimpulan: bahan, desain, fit kaos-nya oke semua. Tapi kalau nggak salah, agak mahal aja dikit. Dikiiit.
 

Marishka alias Icha alias Icrut adalah salah seorang seniman ilustrator  kenamaan masa kini. Gue tau Icrut sejak jaman masih kuliah, dan ilustrasinya selalu khas dan konsisten kece, dengan tema kewanitaan.

Setau gue, Icha adalah salah seorang desainer Ugly-ism, tapi dia nggak punya merek merchandise sendiri. Namun pada suatu hari, Icha iseng-iseng produksi graphic t-shirt sendiri, dalam jumlah terbatas. Nah, inilah salah satu kaos produksi iseng-iseng tersebut yang aku syuka. Selain karena menampilkan ilustrasi Icrut segeda gaban, juga karena menampilkan tulisan Possessive Lover yang—mengutip seorang teman—“Elo banget, tuh, La.”

Laila Achmad—terkenal posesif sejak jaman dulu. Biarin, ah.
Kesimpulan: bahan kaos oke, desainnya apalagi, fit-nya juga pas. Cucmey! Bikin lagi dong, drawmamaaa.

Kamengski

Walapun kaos ini kegedean, bahannya agak gatel, dan sablonannya ngasal, ini adalah kaos keramatku, karena desainnya yang ngehek beraaaat!


Kamengski sudah lama terkenal sebagai salah satu pelopor graphic t-shirt parodi dengan desain-desain brengsek. Biasanya mereka memplesetkan merek, tokoh, atau artwork terkenal jadi alay. Misalnya, Jean-Michael Basquiat jadi Jean-Michael Biskuat, band metal AC/DC jadi AADC, Stussy jadi Stussy Susanti, dan kaos band The Smiths tapi gambarnya Will Smith. ‘Kan keseul.

Tapi desain yang paling ngeselin—selain Ozzy Osbourne jadi Ozzy Syahputra ini—adalah kaos berlogo band Nirvana, tapi gambarnya muka para personel band Hanson. Angchaaaat! :))) Apalah Kurt Cobain dengan Taylor Hanson, yegak. Pokoknya asal sesama pirang gondrong *dicekek fans Nirvana*

---

Incaran berikutnya: 1. graphic t-shirt bergambar salah satu cover Tempo, Rizieq Shihab bergaya pop-art, karya Bang Kendra Paramita, dan 2. semua kaosnya Kamengski yang baru.



(image: dok. @yajugaya, @aksaraindonesia, @toko_56, @clubanomaly @drawmama, pribadi. Top image: Sulaiman Said of Kamengski for Vice)

Kejar Paket Pintar - Episode 4: Teks-Teks Apik Ciamik

$
0
0


Laila dan Dara sok sastra!

Kali ini, Laila dan Dara masing-masing memilih dua teks yang menurut mereka apik, ciamik, atau berpengaruh dalam hidup mereka. Teksnya bisa apa aja, mulai dari penggalan pidato, kutipan sajak, sampai tulisan di stiker angkot.

2.39Dara's first text, penggalan dari buku non-fiksi seorang fotografer dan istrinya
11.08Laila's first text, lirik lagu patah hati dari penyanyi perempuan tahun 90an
21.40Dara's second text, reffrain lagu tentang hidup dari vokalis band tahun 90an
29.52Laila's second text, cerpen kanon dari salah satu cerpenis legendaris Indonesia

Selamat mendengarkan, plis kam egen!

Soal Rendahnya Rasa Percaya Diri

$
0
0

Tahukah Anda, bahwa gue nggak nyaman disebut sebagai seorang "blogger"?

Setiap kali ada orang yang menyebut gue sebagai "blogger" atau memperkenalkan diri gue sebagai "blogger", gue merasa malu. Gue bakal nyengir-nyengir nggak nyaman sembari nyari pot tanaman di pojokan untuk ngumpet.

Padahal nggak ada yang salah dengan istilah "blogger". Apakah gue nge-blog? Iya. Suka? Suka dong. Sudah lama nge-blog? Lama banget. Tapi apakah berarti gue seorang blogger? Gue nggak merasa demikian.

Gue selalu punya standar tinggi untuk setiap titel yang dipanggul seseorang. Misalnya, kalau seseorang menyebut dirinya sebagai fashion influencer, maka gue mengharapkan dia punya wawasan yang luas dan tajam tentang industri fashion, sehingga kemampuannya nggak cuma sebatas OOTD, nge-endorse, serta bisa kasih komen yang lebih substansial daripada, “Waah, parah nih, gemes bangeeet…” terhadap suatu koleksi (bukankah begitu, Social Symptoms?).

Gue sendiri merasa belum mencapai standar-standar tertentu sebagai seorang blogger, sehingga merasa belum layak menyandang titel tersebut. Gue baru merasa layak dipanggil blogger kalau gue a) bisa lebih rutin nge-post, b) mendapat penghasilan dari blogging, c) mendapat pengakuan melalui kolaborasi dengan venture lain, d) memicu / menciptakan suatu pergerakan / mahzab, a la Alain de Botton. Wow, ambi!

Intinya, gue merasa belum accomplished sebagai seorang blogger. Jauh. Sehingga kalau ada yang menyebut gue sebagai "blogger", gue bakal mesem-mesem grogi.

Tapi—kata seorang teman gue—ketidaknyamanan gue disebut sebagai "blogger" bukan cuma karena gue punya standar tinggi, tapi juga karena kepercayaan diri gue rendah banget. Poin kedua tersebut valid banget.

Here’s an ironic thing about low self-esteem: kepercayaan diri yang rendah seringkali menjangkiti orang yang sama sekali nggak kelihatan nggak pedean.

Contohnya, Leandra Medine. Leandra ‘kan orangnya gokil-gokil ngehe gitu, ya. Masa, sih, dia nggak pedean? Well, she is, lho. Seenggaknya, itu yang berulangkali dia nyatakan di wawancaranya dengan Sophia Amarusso, dan gue percaya. The funniest people are usually the most vulnerable, terutama orang-orang yang ngelucu lewat tulisan. Tulisan menjadi topeng mereka untuk bersembunyi.

Contoh lainnya, gue. Bagi orang-orang yang cuma kenal gue lewat media sosial atau medium tulisan, biasanya nggak percaya kalau gue bilang gue orangnya suka krisis pede. Apalagi aktivitas gue bertolak belakang dengan pernyataan tersebut. Hobinya goyang hobah dan nulis tentang hal-hal saru—seperti tokai—kok ngaku-ngaku nggak percaya diri? Tepu, ih.

Padahal sebenarnya "berani tampil" itu beda sekali dengan "percaya diri".

Mungkin di depan publik, gue berani nari, berdiskusi tentang hal-hal saru, atau ketawa ngakak tanpa kesantunan. Tapi apakah gue sudah secure dengan identitas, kekuatan dan kelemahan gue? Nggak, tuh, seus. As told previously, gue bahkan gamang beuneur dengan identitas gue sebagai so-called blogger, padahal gue udah blogging selama bertahun-tahun, nyaris tanpa jeda.

***

Pada suatu hari, sekitar sebulan lalu, gue terserang krisis pede yang cukup parah.

Penyebab krisis pede 'kan macam-macam ya. Bisa krisis pede gara-gara penampilan, gara-gara tekanan sosial, gara-gara lupa pakai Rexona (krik krik), dan sebagainya. Nah, krisis pede gue yang kemarin ini menyangkut soal pekerjaan dan achievement. Gue merasa, di usia yang sudah segini tuaknya, I achieved nothing I want. Nothing. Bahkan dalam bidang tulis-menulis pun—bidang andalan gue—gue nggak punya prestasi yang dibanggakan.

Di satu sisi, mungkin orang akan berkomentar bahwa gue nggak bersyukur. Mereka akan bilang, "Of course, you have achieved something lah, Laila!" Tapi di sisi lain, keambisiusan setengah-Virgo gue selalu menekan diri gue untuk jangan pernah puas. Never ever.

Btw, gue nggak "kena" ya dihibur-hibur dengan kalimat-kalimat seperti, "Elo ‘kan seorang ibu, La. Elo sudah berjasa membesarkan seorang insan manusia blablabla… Kalau mau mengubah dunia, elo ‘kan bisa mengubahnya dari rumah sendiri… Tulisan lo juga pernah menginspirasi anu ina inu…"

Monmap, nggak kena, shay. We all know I could do better than this. I am a mother, and that’s great, yes. But I’m a substandard mom, at best. And there are mothers who are also rocket scientists, lho.

Trus, okehlah, I might have inspired some people with my writings. Tapi sejujurnya, hati ini kurang kena dihibur dengan "pencapaian-pencapaian" yang nggak ada tolak ukurnya begitu.

Gue sering memperhatikan orang-orang seusia gue yang pencapaiannya sudah luar biasa, baik dari sisi profesional maupun personal. Semakin lama gue memperhatikan mereka, semakin gue frustrasi. Why am I still here? Gue bisa, lho, melakukan lebih banyak hal daripada sekedar jadi SAHM substandar yang kadang menulis lepas. Why have I always been so underachieving? Why did I always quit before I achieved anything substantial? Padahal dari dulu, gue punya segala akses yang dibutuhkan untuk mencapai apa yang dicapai oleh orang-orang tersebut, mulai dari edukasi, uang, kesempatan, sampai kemampuan otak.

Apakah gue sebegitu malasnya? (jawab: iya). Why didn’t my parents pushed me? Kenapa dulu nyokap hanya mengarahkan gue untuk menikah dan beranak pinak? (mulai, deh, nyalahin orang lain!)

***

Sampai sini, mungkin lo mengira bahwa inti tulisan ini adalah pity party untuk diri gue sendiri, ya. Not really. It’s actually about you guys, too!

Saat lagi krisis pede begitu, gue nge-post soal kegalauan gue tersebut di Instastory. Dengan latar belakang video yang sok artistik (padahal alay), gue menuliskan pertanyaan-pertanyaan seperti, "Have you every felt so very useless, underachieving, uninspiring, and untalented?"

Tanpa gue sangka, banyak orang merespon post tersebut lewat direct message, dan nada responnya rata-rata sama semua: menjawab "ya, pernah" atau "Sering" atau "Selalu".

Gue cukup kaget. Berdasarkan telaah gue atas respon-respon tersebut, ternyata problem krisis percaya diri cukup banyak menjangkiti orang-orang di sekitar gue. Krisis pedenya juga kayaknya cukup mengakar, bukan sekedar iri-iri kecil terhadap kehidupan orang lain.

Ada beberapa orang yang sudah tahu sumber krisis pede mereka ("Instagram, Mbak, dan segala kesempurnaan semu yang dihadirkan para selebgram.") sehingga langsung tahu cara mengatasinya ("Detox sosmed aja dulu, Mbak."), ada yang belum tahu.

Ada yang sudah tahu, tapi belum bisa bertindak apa-apa untuk mengatasinya. Misalnya, seorang ibu rumah tangga yang memang belum punya pilihan untuk melakukan hal lain selain ngurus anak dan rumah. Wajar, dong, stres ngeliat pencapaian dahsyat ibu-ibu lain? Mau cari solusi, tapi solusi ‘kan nggak selalu gampang didapat. Misalnya, nggak semua orang bisa (atau pengen) bikin startup, lho.

Walaupun kaget dan sedih karena krisis pede ternyata lumayan banyak menjangkiti orang-orang di sekitar gue, gue juga trenyuh atas respon-respon mereka.

Salah satu respon favorit gue datang dari teman gue, Rizki. Dia bilang, "Iya, gue sering banget merasa useless dengan pencapaian gue sekarang. Apa yang gue lakukan? Gue mengurung diri di kamar seharian, makan-makan sampe gumoh, mewek dikit, pokoknya mengasihani diri gue total. Tapi keesokan harinya gue bangkit dan bekerja dengan lebih gila lagi."

Gue juga cinta sama respon dari Gita, yang bilang, "Kalau kata kepala sekolah anak-anakku, ‘Setiap bangun pagi, fokus menjadi orang yang lebih baik daripada kita kemarin, BUKAN lebih baik dari orang lain.'"

Respon lain yang banyak masuk ke kotak DM gue adalah masukan untuk tidak membandingkan diri dengan orang lain.

Nasihat tersebut betul sekali. Masalahnya, sejak jaman dulu, membandingkan diri dengan orang lain adalah sesuatu yang nggak terhindarkan. Kita nggak bisa (hanya) menyalahkan sosmed. Bahlan Julius Caesar pernah nangis mewek di kaki patung Alexander the Great, lho, lalu berseru, "Do you not think it is matter for sorrow that while Alexander, at my age, was already king of so many peoples, I have as yet achieved no brilliant success?"

Oh em ji, Caesar, betapa aku paham perasaanmu!!! Gue sendiri pengen teriak, bagaimana bisa, sih, seorang Nadiem Makarim—yang umurnya se-gue—sudah bisa jadi begitu di usia segitu?! ((begitu di usia segitu)).

Gue juga jadi tersadar bahwa masyarakat punya pemujaan terhadap usia. Kalau ada dua orang punya pencapaian yang persis sama, masyarakat akan lebih mengapresiasi orang yang lebih muda.

Padahal apakah first is always better? Nggak juga. Kalau pencapaian mereka sama-sama menyelamatkan lingkungan, misalnya, yang penting ‘kan lingkungannya terselamatkan? Joey Alexander memang hebat, tapi kalau kita dengar permainan piano dia dengan permainan pianis jazz yang sudah kakek-kakek, apakah apa bedanya, selama kita bisa menikmati musik keduanya?

Tapi stigma pemujaan terhadap yang muda-muda itu emang kuat, sih. Makanya media-media "tua" kayak Kompas cenderung mengagungkan generasi milenial ke bawah dengan agak berlebihan.

***

Sebenarnya gue, elo, dan nenek-nenek kita pun tahu bahwa solusi dari krisis pede hanya satu: bekerjalah dengan (lebih) keras, dan ikhlas dengan segala pengorbanannya. Mau jadi rocket scientist? Belajar dan bekerja sampai jungkir balik, dong.

"Bekerja keras sebagai senjata melawan krisis pede" tersebut bahkan sudah gue jabarkan panjang lebar di post ini. Malu ah, kalau gue nggak practice what I preached.

Hal tersebut gue sadari, kok, dan sudah berusaha untuk gue lakukan. Enam bulan lalu, gue juga terserang krisis pede sejenis, dan sejak enam bulan tersebut, gue berusaha produktif, walau produktifnya random gilak. Gue mendirikan Cinestiast (yang dibuat tanpa niat serius, tapi kok tau-tau membanggakan amat!), memulai podcast bersama Dara, memberanikan diri jadi editor katalog pameran besar, lebih sering menulis ke media luar, lebih ambisius dalam mengolah tubuh, sebanyak-banyaknya menyerap wawasan baru, dan menjadi Yes Men atas nama cari pengalaman. Selama enam bulan terakhir, gue melawan introvertisme gue habis-habisan dan berusaha mengiyakan segala tawaran yang datang ke gue. Jadi moderator di forum besar? Oke. Main ke penjara Polda Metro Jaya? Ayo. Pergi ke Kazakhstan? Mari. Datang ke acara economic outlook? Anjir, ngantuk banget tapi ya udahlah.

Di penghujung hidup gue nanti, gue kepengen hidup gue terlihat seperti taplak meja ini. Taplak meja ini bekas digunakan untuk sebuah pesta, and check out how festively messy it looked - ada bekas wine, bekas makanan, sisa kue. It seeemed that the party was fabulous. I want my life to be like that: messy and random, but fulfilling.

Maka apakah Laila yang sekarang jadi lebih baik daripada Laila enam bulan lalu? Iya. Nggak drastis, tapi ada kemajuan. Jadi, kalau berpatokan kepada omongannya Gita, mungkin gue sudah tergolong “orang sukses”. Mudah-mudahan, ya.

***

Despite everything, gue sadar bahwa walaupun suatu hari gue nanti beneran punya prestasi yang hakiki—menempati posisi nomor satu di daftar Forbes, misalnya—gue nggak akan pernah bisa melepaskan rendahnya rasa percaya diri gue. It is my trait, it is my uniqueness, and it is also somewhat my strength. Rendahnya rasa percaya diri gue memaksa gue untuk selalu grounded, rendah hati, bekerja lebih giat, dan nggak teriak-teriak membanggakan diri sendiri di sosmed atas prestasi-prestasi yang nggak seberapa.

Jadi ujung-ujungnya tetep harus Alhamdu….?

***

Pernah krisis pede nggak? Yang akut? Yang nggak bisa dihalau hanya dengan zikir dan melototin beberapa kata-kata mutiara Pinterest? How did you cope?

(image: Carmen D'Apollonio, Laura Letinsky)
Viewing all 142 articles
Browse latest View live