Quantcast
Channel: let the beast in!
Viewing all 142 articles
Browse latest View live

Sebentuk Siksaan Bernama 50 Shades of Grey

$
0
0

Masih ingat huru-hara 50 Shades of Grey?

Tahun 2011, sewaktu buku erotika 50 Shades of Grey (50SoG) pertama kali keluar—dan gaungnya membahana dimana-mana—feeling gue udah nggak enak. Trus, ya, bener aja. Nggak lama kemudian, muncul berbagai ulasan yang bilang bahwa buku 50SoG memang sukses bikin pembacanya napsu… napsu ngerobekin halamannya dengan murka.

Yah, banyak juga, sih, pembaca yang bisa menikmati buku ini, tapi bagi beberapa kalangan, buku ini jelek, murseu, dan very poorly written. Gue sendiri belum pernah baca sampai sekarang, tapi setelah baca sinopsis dan cuplikannya, gue percaya sama ulasan-ulasan kejam tersebut. Lagian gue nggak mungkin berharap banyak sama buku yang terinspirasi oleh trilogi Twilight. Ada, ya, orang yang terinspirasi nulis karena Twilight?

Katanya, yang merusak buku ini adalah kemampuan menulis E.L. James yang bagaikan anak umur 13 tahun baru belajar nulis: diksinya sangat terbatas sehingga kelewat repetitif, metaforanya nggak pas, plot-nya virtually nggak ada, penokohannya super basi, adegan seksnya nggak engaging, de es be, de el el. Entah berapa banyak reviewer di dunia maya yang bilang, “Kucing gue bisa nulis lebih bagus daripada E.L. James!”

Selain itu, ada beberapa hal yang pasti di dunia ini. Misalnya, matahari pasti terbit di timur, segala benda pasti akan jatuh karena gravitasi, dan semua film adaptasi pasti selalu lebih jelek daripada novelnya. Pasti.

Maka ketika novel 50SoG dibuat film adaptasinya pada tahun 2015, nggak terbit setitikpun rasa penasaran gue untuk nonton. Bukunya aja (katanya) jelek, apalagi filmnya.

Tapiiii… ebes-ebes di sekitar gue justru punya pendapat yang berbeza. Sejak novel 50SoG terbit, ibu-ibu dari berbagai kelompok lingkungan gue udah histeris, “Aduh, bagus bangeeet… napsu banget gueee…”.

Satu cerita yang nggak bisa gue lupakan adalah bagaimana salah seorang temen gue—sebut saja namanya Mawar—menandai halaman-halaman tertentu yang paling bikin dia napsu. Trus, tiap suaminya ngajak ho-oh ((ho-oh)) tapi si Mawarnya lagi nggak pengen, dia akan pura-pura pup, padahal diam-diam baca halaman-halaman tersebut. Keluar dari kamar mandi, si Mawar bakal, kemon bebih!

(dominasi laki-laki dalam menuntut seks memang luar biasa, ya *tetiba berat*)

Teman gue yang lain—sebut aja namanya Melati—juga doyaaan banget sama buku 50SoG, sehingga ketika filmnya keluar, dia sedih setengah mati karena filmnya nggak masuk ke Indonesia. Sampai-sampai pas dia anniversary pernikahan, suaminya ngasih hadiah kejutan yang menurutnya sempurna: pergi ke Singapura bareng, demi bisa nonton 50SoG di sana (sekalian hanimun kedua dong, ya). Dalam hal ini, E.L. James mungkin dapet banyak pahala, sih, karena mengharmoniskan hubungan pasutri. Istana untuknya di surga!

Tapi segala celaan gue terhadap 50SoG tentunya nggak valid. Wong gue cuma menilai dari review dan trailer, tapi sebenarnya belom pernah baca buku atau nonton filmnya…




… sampai beberapa minggu lalu.

Yes, karena suatu kondisi keterpaksaan (jangan tanya terpaksanya karena apa), akhirnya gue nonton 50 Shades of Grey setelah sekian tahun terlambat. Alhamdulillah, better late than never. Dengan demikian, akhirnya gue punya hak untuk bener-bener mencaci film terburuk di generasi gue ini.

*kretekin jari*

Sebenarnya gue nggak suka memberikan ulasan yang sepenuhnya jelek. Di dunia ini ‘kan nggak ada hal yang absolut (ciyeee). Seburuk-buruknya sesuatu, pasti ada sisi bagusnya. Tapi maaf banget—film ini memang harus gue celain dari awal sampai akhir, karena pada inti dan hakekatnya, 50SoG jelek. Banget. Jelongi bingits. Kalau logat bencong gue sampai keluar, it means I’m serious.

To be fair, mungkin ada hal-hal positif dalam film ini (mmm… bintang filmnya kece? Ektingnya Dakota Johnson lumayan?), tapi gue pribadi selalu menilai sebuah karya dari ceritanya. Entah itu seri TV, buku, film, cerpen. Pokoknya, alur cerita dan logika adalah koentji, sementara akting, sinematografi, kostum, dll menjadi nomor dua.

Sialnya, logika cerita dalam film 50SoG adalah elemen terlemahnya.

Berikut adalah hal-hal yang paling bikin gue kesel:

(as a reminder, ini ulasan filmnya, ya. Gue belum pernah baca bukunya).

Sumber kekesalan #1

Gue paham, 50SoG adalah sebuah film “Cinderella story” yang formulanya sangat standar:

Ada seorang yang cewek yang kece, tapi cupu, sederhana, dan nggak sadar bahwa dia sebenarnya kece. Suatu hari, cewek ini ketemu seorang cowok ganteng, tajir, berkuasa, seksi, pintar, tapi dingin. Lalu dengan segala pesonanya yang nggak dia sadari, si cewek sukses membuat si cowok jatuh cinta, bahkan lalu mencairkan kepribadian di cowok yang kaku dan dingin (kenapa, sih, harus selalu ada obsesi perempuan untuk “memperbaiki” lakinya yang bermasalah?).

Tentunya si cewek lantas diangkat jadi pasangan resmi, ikutan hidup mewah, dan berbahagia selamanya.

HOAAHEEM, BOCEN YA, KAKAK. Dari mulai Hollywood teen flicks sampai sinetron-sinetronnya Thalia tahun 90an, sudah terlalu banyak film yang alur ceritanya begitu.

Masalahnya, beberapa film dengan formula “Cinderella story” lain masih punya logika yang bisa gue terima. Nah, 50SoG nggak punya.

Pertanyaan pertama gue, nih: kenapa, sih, Christian bisa langsung jatuh cinta sama Ana? What exactly did Ana do?! Selama pertemuan pertama mereka, Ana literally cuma berdiri grogi, gigit-gigit bibir, dan melontarkan beberapa kalimat yang agak blo’on di depan Christian. Lucu kagak, pinter kagak, kece pun ya standar aja. Karakter gadis ndeso lugunya (yang dipaksakan) pun nggak memikat juga. Kalau gue jadi Christian, baru ngabisin waktu lima menit bareng Ana aja, gue bakal bobok. Beneran, gue bakal ngorok di tempat. That girl is seriously as charming as a dead fish. She is basically Bella Swan—which is an incredibly bland character—versi cerita erotika. 

*Christian nahan ngantuk*

Apalagi Christian Grey adalah seorang petualang cinta—ralat, petualang seks—yang (seharusnya) cerdas dan sangat berpengalaman. Sudah pernah punya 15 submissive sebelumnya, lho. Segitu gampangnyakah dia terpukau oleh gadis basic yang kerpibadiannya sehambar kuah bakso tanpa micin seperti Ana?

Lebih gawat lagi, kenapa Christian merasa Ana mengubah hidupnya? Again, throughout their relationship, Ana did nothing. Yang dia lakukan untuk Christian hanyalah a) menjadi perawan, b) tapi jual mahal, dan c) berani menggugat aturan-aturannya Christian. Wis. Gitu doang mah gue bisa. Pembantu gue juga kayaknya bisa (yha, kecuali bagian jadi perawannya).

Kenapa, ya, E.L. James—dan inspirasinya, Stephanie Meyer—doyan menciptakan tokoh perempuan yang datar, membosankan, tapi bisa bikin cowok-cowok naksir? Ini adalah penghinaan terhadap konsep inner beauty. Katanya inner beauty dan inner charm penting? Tapi mana, nih?!

Okelah, mungkin di balik poninya, Ana diam-diam nyimpen susuk pengasih yang bisa bikin cowok klepek-klepek. Tapi naksir atau jatuh cinta, tuh, perlu proses, dan dalam sebuah narasi, proses jatcin tersebut perlu dijabarkan dengan sabar dan realistis, supaya kisah cintanya terasa riil sehingga dekat dengan penonton. A good storyteller should know this.

INI BORO-BORO YHA, PEMIRSA!

Sumber kekesalan #2

Dalam berbagai sinopsis, Christian Grey disebut sebagai cowok “sempurna”, dan intensi E.L. James tentunya memang mencitrakan do'i sebagai cowok sempurna.

Padahal kok bisa, ya, cowok seklise dan segaring rengginang gitu dibilang “sempurna”? Si pengarang nggak punya imajinasi amat. Dia asal ngambil kesimpulan gampang aja dalam membentuk karakter Christian Grey: cowok sempurna di mata masyarakat pasti yang ganteng, tajir (karena orangtua), pintar, jago/gila ngesek, tapi dingin (baca: kepribadian semembosankan batu apung).

Plus, dalam film 50SoG, latar belakang Christian nggak terlalu diulik. Disebut, sih, bahwa Christian adalah anak angkat, ibu kandungnya druggie, dan dia sendiri pernah jadi seorang submissive pas remaja. Tapi latar belakang hidupnya tersebut nggak diulik lebih jauh. Akibatnya, gaya hidup dan kepribadian Christian justru bikin dese jadi tampak psycho. Nyebelinnya, ke-psycho-an Christian ketutup oleh wajah ganteng, kekayaan, sexual skill yang mumpuni, dan (kalau di versi buku) penis besar.

Padahal bayangin, deh, kalau lo tiba-tiba didekati oleh seorang cowok yang kelakuannya agak stalker dan maksa, memboyong lo ke apartemennya saat lo lagi nggak sadarkan diri karena mabok, memperawani lo, trus kemudian mengajukan proposal agar lo jadi budak seksnya… tapi bentukan dese kayak Mandra. Bubar ‘kan? Pasti lo panggil polisi ‘kan? Kenapa kita harus permisif sama orang kece dan kaya?

Kalau ini kamarnya Mandra, lo tetap tersanjung apa pengen kabur?

Apalagi ternyata Christian moody gilak. Hubungan Ana dengan Christian ‘kan intinya cuma ngesek BDSM, salah paham, berantem, ngesek BDSM, salah paham, berantem, dan seterusnya. Mungkin niatan E.L. James adalah membuat sosok Christian menjadi “rumit” dan “misterius”, ya. Tapi jatuhnya malah bikin kesel dan kelihatan psycho, tuh. Kalau di dunia nyata, hubungan mereka udah masuk ke kategori abusive, lho.

Entah E.L. James memang segitu malasnya mengembangkan karakter-karakter 50SoG menjadi lebih dalam, atau dia sebenarnya nggak pernah jatuh cinta (dan bercinta) properly. Alhasil, mungkin imajinya soal jatuh cinta dan cowok/cewek sempurna dia comot aja dari novel-novel Harlequin. Akibatnya, karakter-karakter dan kisah cinta dalam 50SoG menjadi nggak masuk akal dan sukses bikin gue mangkel sepanjang nonton.

A: "Karakter lo klise banget, sih."
C: "Karakter lo lebih klise."

Sumber kekesalan #3

Selain malas mengembangkan karakter, E.L. James juga malas mengembangkan jalan cerita. Malah menurut gue, sih, 50SoG nggak punya plot. Wong ini film softporn belaka buat ebes-ebes.

Gue pernah baca sebuah ulasan somewhere yang bilang bahwa 50SoG, tuh, sebenarnya nggak berniat menyampaikan cerita. Tujuan film ini sebenarnya hanya “memasturbasi” penonton perempuannya, khususnya ibu-ibu kebosanan. Ebes-ebes berdaster dan kebosenan (ya, macam gue juga) mungkin banyak yang menggelinjang sih, ya, dikasih fantasi macam 50SoG: ditaksir cowok “sempurna”, diajak sek-sekan seru tiada akhir, dan dibanjiri hadiah mewah tiap hari.

Soal plot, logika, dan kerealistisannya, sih, baybaaay….

Contoh logika yang nggak masuk akal bagi gue adalah soal Ana si perawan.

Aduh, tolong ya, seus. Gue pernah jadi perawan. Pernah juga polos dan cupu pada masanya. Mana ada, deeeh, perewi yang kepikiran melemparkan kepalanya ke belakang dan melengkungkan punggungnya dengan seksi dan seductive pas pertama kali nganu. Hidih. Yang ada juga zikir penuh kepanikan. Mana katanya Ana nggak pernah punya pacar—apalagi ciuman—sebelumnya. Ini ibaratnya ‘kan Christian memperawani santri yang baru pertama kali kenal laki. Masuk akal nggak, kalau si ukhti santri tetiba lihai di kasur?

Plus, kok Ana bisa langsung orgasme pas pertama kali gituan? Are you kidding me? Katanya, sih, logika di bukunya lebih ngaco lagi. Bisa, lho, Ana dan Christian bercinta berkali-kali TANPA JEDA dan semuanya sukses orgasme. Becanda, yaaa. Dengkul copot kali, shay!

Oya, bicara soal seks, konon katanya adegan-adegan nganu dalam film 50SoG banyak banget yang dipotong dan diperhalus, dibandingkan bukunya. Pantesan kerasa dingin. Tapi mungkin gue harus bersyukur, karena katanya, ada beberapa adegan seks di buku 50SoG yang kepengennya-terkesan-seksi-tapi-gagal. Contoh: em el saat mens. TOLOOOONG.

Contoh logika ngaco lainnya adalah status miliuner Christian Grey. Really? You’re a self-made billionaire by 26 years of age? Catat, self-made, lho. Kerjanya Christian ngapain, sih? Kayaknya yang kelihatan cuma main piano dan nerbangin helikopter buat merayu cewek, trus main sek BDSM.

Sungguh, harusnya genre film ini “fantasy”, deh, bukan drama erotika.

***

Sebenarnya masih ada 1001 sumber kekesalan gue dalam 50SoG, tapi cukup segini dulu, deh. Konon katanya, kalau gue mau tambah gondok, harus baca bukunya. Wow, ternyata konon trilogi buku 50SoG lebih ngeselin daripada trilogi filmnya! Patah, deh, teori “film adaptasi pasti lebih jelek daripada bukunya”.

Buat para ebes-ebes yang beneran turn-on karena buku/film 5SoG…. don’t. Just don’t. Yakinlah pada diri sendiri bahwa sex life kalian pasti lebih hangat dan realistis daripada sek-sekan BDSM fantasinya E.L. James.

Buat temen gue yang menjebak gue, harap kembalikan dua jam waktu gue yang terbuang sia-sia untuk nonton film ini. Apakah lo sesebel itu sama gue? Hahahaha.

Buat E.L. James, please consider another career path.

Akhir kata, seandainya suatu hari nanti ada cowok ngomong ke gue dengan pretensiusnya, "I don't make love. I fuck. Hard." sudah pasti akan kujawil dagunya sambil bilang "Macaciiih....? Norak, luh."

"Nggak Usah Pake Foundation,"

$
0
0

Setuju, ya, bahwa gestur cinta nggak harus heboh? Gue nggak pernah mengharapkan pasangan gue naik ke atas genteng, trus meneriakkan nama gue bak Rendra sambil berlinang airmata, apalagi menebar seribu kelopak bunga mawar di kasur sebagai kejutan. Kalau kasur gue jadi banyak semut gimana?!

Dara (bukan Dara yang ini) adalah seorang teman gue yang sama-sama acne-prone. We both struggle with acne for years, and maybe for many more years to come. Jadi insecurity fisik kami serupa. Ada kalanya kami bisa tegar berbaur dengan masyarakat dengan muka jerawatan, ada kalanya kami nggak sanggup keluar rumah tanpa mik-ap untuk nutupin muka. Capek? Pastinya.

Suatu hari, Dara chatting dengan long-term boyfriend-nya. Dalam obrolan mereka, cowoknya bilang:


Makbyar! Manis banget nggak, sih?! Di tengah kejamnya dunia ini, nggak ada yang lebih melegakan dan membesarkan hati daripada mendapat assurance bahwa pasangan kita tetap selalu nyaman sayang-sayang dan uwel-uwel kita, bagaimanapun bentuk fisik kita, tanpa ditutupi.

Karena suatu kondisi hormonal, jerawat gue makin parah belakangan, and to imagine a boyfriend saying “Nggak usah pake foundation, dong,” warms my heart like a Christmas tree light. Hanya dengan kalimat sesederhana itu.

Gue langsung bilang sama Dara, “Dar, he’s a keeper, deh.” Dan dia bilang, “Chat ini mau aku simpen dan tunjukkin ke anak-cucu, Kak.”

Damn right you should :D

Selamat hari Jumat! Semoga penuh dengan gestur cinta yang dalam tapi sederhana, ya. Unch.

Kejar Paket Pintar - Episode 5: Kaleidoskop 2017 Laila-Dara

$
0
0


Hello, 2018!

Kalau 2017 adalah orang, bagi gue dia adalah keluarga Kardashian. Bingung antara harus dibenci, atau disayang.

Tahun 2017 gue adalah dua ekstrem yang berbeda. The first half of 2017 is da bomb. Serius, deh, menyenangkan abis. Tapi menjelang akhir tahun, massive shit hit the ceiling fan. Semuanya berantakan hancur minah gutbay. Maka tahun lalu, gue lumayan belajar tentang yang namanya keseimbangan hidup. Bittersweet juga, sih... (tiati dikit lagi keran curhat bocooor)

Mumpung 2017 baru aja kita tinggalkan, kali ini Laila dan Dara mengulas sedikit tentang 2017 masing-masing, lewat beberapa pertanyaan yang dilontarkan ke satu sama lain. This is one of our curhat-est episode because we usually don't talk about out personal lives. Tapi nggak dramatis kok. Muuph ya, kita 'kan geng anti menye!

4.50 Dara ke Laila; Lagu apa yang paling lo abuse di 2017? (ini jawabannya)
7.05 Laila ke Dara: Apa hal baru yang lo lakukan di tahun 2017?
15.05 Dara ke Laila: Apa hal baru yang lo lakukan di tahun 2017?
21.10 Laila ke Dara: Menurut lo, apa hal, kejadian, atau fenomena viral ter-taik di 2017?
27.44 Dara ke Laila: Ada kejadian atau hal berkesan apa di ulang tahun lo di 2017?
31.36 Laila ke Dara: Siapa orang yang baru lo sebelin di tahun 2017?
35.14 Dara ke Laila: Apa resolusi lo di tahun-tahun sebelumnya, yang belum tercapai juga di 2017?
38.08 Laila ke Dara: What did you learn about yourself in 2017?

Also, pleaaaase please share your thought:

1. Record with our cheapo mic, or without?
2. Should we get better mic?

Terimakasih!

Kadang Pencerahan Besar Datang Dari Kemasan Kecil

$
0
0
DSCF4546

Sekitar dua minggu lalu, gue baca sebuah esai di MenRepeller yang ditulis oleh seorang perempuan yang mengalami kecelakaan kepleset di kamar mandi sehingga melumpuhkan kakinya. Per esai itu dimuat, dia sudah sembilan tahun lumpuh, dan esainya bercerita tentang perjalanannya untuk bangkit, kembali hidup “normal” dan produktif meski dengan disabilitas.

Dan ini satu paragraf dalam cerita dia:

I once volunteered at a junior wheelchair sports camp with a bunch of different groups, and a little girl came up to me and asked, “What is the nature of your disability?” She was so gracious. I told her that I have a spinal cord injury.

She looked at me and went, “Oh my gosh, that’s amazing!”

No one had ever said that to me. Normally they say, “I’m SO SORRY.” But she thought it was amazing. I was so confused, and then she said, “So that means you got to dance?”

I almost cried on the spot. She wasn’t jealous. She was just happy for me, and she thought it was magical that I had danced with my legs before, even though I couldn’t anymore.

Si anak kecil nggak merasa kasihan, tuh, terhadap si penulis karena si penulis nggak bisa menari lagi. Si anak kecil malah senang karena si penulis pernah merasakan bisa menari, berhubung si penulis “cuma” lumpuh sembilan tahun terakhir, nggak seumur hidupnya. Ya olooo, cirambaaay... Ini anak kecil apa malaikat pemberi wahyu, sih? 

Gue juga sempat browsing sebuah buku (baca: numpang baca gratisan di toko buku) non-fiksi. Gue lupa bukunya apaan, tapi gue ingat, di dalamnya ada sepenggal percakapan antara seorang ibu dan anaknya yang berumur 4 tahun. Pekerjaan si ibu adalah art teacher for adults, dan convo-nya kurang lebih gini:

Anak: “Bu, pekerjaan ibu apa?”
Ibu: “Art teacher.”
Anak: “Ngapain itu?”
Ibu: “Well, salah satunya adalah ngajarin orang-orang menggambar.”
Anak: “You mean they forget how?!

Bagi si anak, menggambar—atau membuat apapun untuk mengekspresikan diri—adalah hal yang senatural bernapas. Everyone does it instinctively, dan nggak ada yang namanya benar/salah, bagus/jelek di dalamnya. Jadi ngapain harus diajarin lagi? Awww.

Cerita terakhir datang dari anak gue sendiri.

Pada suatu hari, di jalan menuju pulang dari sekolahnya, Raya menemukan sebuah spanduk penyambutan pulang Rizieq Shihab (yang akhirnya nggak jadi pulang ke Indonesia itu). Spanduk itu tentunya memajang foto Rizieq Shihab sedang berorasi dengan berapi-api.

Kebetulan Raya lagi dalam fase suka sama dinosaurus, dan gue menjelaskan bahwa bahan bakar di bumi utamanya datang dari fosil dinosaurus, tapi sekarang persediannya sudah tipis banget. Makanya kita nggak boleh boros fossil fuel, dan harus mulai cari bahan bakar lain yang sustainable.

Ngeliat spanduk itu, Raya komentar,

“Kenapa orang itu marah-marah, Bu? Dia lagi ngingetin kita, ya?”
“Ngingetin apa?”
“Ngingetin orang-orang supaya jangan banyak-banyak pake bensin dinosaurus?”

Ahahaha, gue antara mau ngakak dan miris. Don't you wish Rizieq IS being passionate about environmental issues, instead of whatever he's into now?

 ***

Kita semua pernah jadi anak-anak, dan kita semua pasti pernah punya innocence sejenis anak-anak di atas. I wonder when exactly did we lost them?

Absurditas Jatim Park, Batu

$
0
0

Udah pernah ke Batu, Malang?

Pasti banyak yang udah, ya, berhubung sekarang ada makin banyak hal menarik di Batu, seperti misalnya udang. Karena hanya ada udang di balik Batu. Krik, krik, krik.

Sekarang ini, daya tarik utama Batu tentunya adalah segambreng tempat wisatanya, baik yang old school maupun new school. Yang old school misalnya Selecta dan berbagai titik agrowisata. Yang new school misalnya Jatim park 1, 2, 3, Museum Angkut, dan sebagainya.

Gue yakin pembaca sekalian udah paham soal tempat-tempat wisata Batu yang makin ke sini makin termahsyur tersebut, sehingga tujuan blogpost ini bukan mengulas tempat-tempat itu, kok. Bosen, ah.

Tujuan blogpost ini adalah membahas copywriting berbagai signage di Jatim Park. Seriyus.

Gue pertama kali ke Batu sekitar pertengahan tahun 2017 untuk kepentingan kerja. Dalam kunjungan perdana tersebut, gue sempet ekskursi ke Jatim Park 2. Berhubung waktu itu lagi hari kerja dan bukan pas musim libur, otomatis suasananya sepi banget. Gue pun santai karena nggak ngangon anak. Alhasil, gue jadi bisa memperhatikan bahwa ternyata signage-signage di Jatim Park 2, tuh, ehem... yunik banget. Sayang, nggak sempat gue dokumentasiin.

Di akhir tahun 2017 kemarin, gue liburan keluarga ke Batu lagi, tapi lagi-lagi nggak sempat mendokumentasikan signage-signage-nya dengan lengkap karena keburu riweuh sama anak dan bergulat dengan crowd akhir tahun yang wassalam aja, deh. Akhirnya gue coba potret seadanya aja, tapi semoga dengan prinsip totem pro parte: semoga dengan sepenggal dokumentasi sederhana ini, para pembaca bisa ngebayangin ke-yunik-an signage Jatim Park secara keseluruhan.

Mari kita telaah bersama!


Waktu masih sekolah, si penulis signage ini pasti bolos kelas Bahasa Indonesia pas lagi bahas materi logika berkalimat, karena apa korelasi “sifat misterius” dengan dunia farmasi, hooooy!


Adakah yang bisa menjawab pertanyaan nomor 1 di spanduk ini? Berapa banyak brown bear bisa mengeluarkan konteks yang berbeda? Apakah beruang ini sebenarnya Socrates yang harus kita telaah secara kontekstual? 


“Singa tidak berani makan manusia pada bulan purnama.” Mmmm, baiqlah. Kok gue merasa harusnya sebuah bonbin ngasih keterangan lanjutan dari fakta yang berbau klenik ini, ya. Nggak membiarkannya jadi “fakta” menggantung. No explanations? Baiq.



*rutin sarapan sebongkah mentega* *seminggu kemudian mokat serangan jantung*


Pertama, perhatikan namanya. Name: Dinosaur Egg, Name means: Dinosaur Egg. Wah, ilmu baru yang sangat berfaedah!


Kedua, zoom dikit gambar ini, trus perhatikan kalimat-kalimatnya. “Dinosaur egg was very precious fossils… large amounts of length to diameter of more than 50 centimeters… our country is the dinosaur egg fossil buried is unusually rich country in the world.”

NGOMONG APA, SIH MALEEEH? :))) Wahai sang copywriter, percuma mak lu dulu mahal-mahal bayarin les di LIA.

 
Mereka bertiga adalah teman sejak awal masuk sekolah, tetapi karena yang paling kiri malas belajar dan berusaha, maka hanya dua anak yang akhirnya jadi orang (krik... krik...)

Yunik-yunik, yaaa. Hahahaha. Kalau kata temen gue yang kerja di kawasan hiburan Ancol, “Gile Mbak, kalo ini kejadian di Dufan, kita udah ditelen direksi dan netijen.”

Jadi penasaran nggak sih, ada apa dengan quality control Jatim Park? Atau jangan-jangan ini semua sengaja, karena ternyata orang-orang Jatim Park pada humoris sarkas level atas? Jangan-jangan, ya.

***

Anyway, here’s a super quick review about Jatim Park (lho, tadi katanya nggak mau mengulas? YA UDAH SIK)

Gue belum pernah ke Jatim Park 1. Ke Jatim Park 2 sudah dua kali, dan ke Jatim Park 3 baru sekali.

Dari hasil pengamatan gue, Jatim Park 1 dan 2 (termasuk Batu Secret Zoo) sebenarnya udah oke. Apalagi ditambah Museum Angkut dan Batu Night Spectacular di luar kawasan Jatim Park tersebut. Cukup dengan tempat-tempat itu, sebenarnya Batu sudah oke banget jadi kota wisata utama di Jawa Timur.

Harusnya para pengelola fokus aja me-maintain Jatim Park 1 dan 2—tempatnya dijaga agar selalu bersih dan rapih, binatang-binatangnya dirawat sebaik mungkin, desainnya diperbaiki, live entertainment-nya diperbagus, kualitas F&B-nya diperbaiki, de el el. Banyak, deh, hal yang bisa dilakukan.

Sayangnya, para pengelola Jatim Park serakah (enaaaak aja gue nuduh orang…), lalu membangun Jatim Park 3.

Alhasil, bagi gue, Jatim Park 3 terasa maksa dan very poorly designed. Bagi yang belum tahu Jatim Park 3 isinya kekmana, Googling sendiri, ya.

Intinya, Jatim Park 3 adalah sebuah taman hiburan yang mengusung tema besar dinosaurus. Simpel, ya? Harusnya. Sayangnya, secara keseluruhan, eksekusi Jatim Park kerasa maksa. Bukan cuma eksekusi desainnya, tetapi juga atraksinya, flow pengunjungnya, dan sebagainya. Apalagi sepengamatan gue kemarin, atraksi di Jatim Park 3 cuma secuil, tapi spot selfie-nya ada seribu #selfieataumati.

Hati gue mangkel, lho, sepanjang jalan-jalan di Jatim Park 3. Okelah, robot-robot dinosaurusnya bagus dan fasilitasnya lengkap. Teknologinya juga lumayan. Tapi alur pengunjung Jatim Park 3 terasa kacau, layout-nya bikin pusing, dan konsepnya nggak masuk logika. Pulang-pulang, gue pengen tenggak parem kocok saking puyengnya. 


Ini adalah bukti bahwa desain—dan storytelling yang kuat—penting dalam membangun tempat wisata.

Gue yakin niat pengembang Jatim Park tentunya standar aja: bikin tempat wisata sebesar dan sebombastis mungkin, demi meraup pendatang sebanyak-banyaknya. Semua pengusaha pariwisata pasti maunya gitu, dong?

Tapi saking kepengennya jadi bombastis, maka menurut gue desain, konsep, dan detil Jatim Park jadi nggak karuan. Okelah, karena Indonesia punya subkultur yang alay-alay seru, gue memaafkan tempat wisata yang masih majang tokoh Tweety Bird berwarna biru atau Miki Mos yang hidungnya mencong. Seru, malah. Tapi ekspektasi gue, elemen KW-KW-an kayak gitu adanya di tempat wisata jadul dan nggak punya design control. Misalnya, kalau di depan Ragunan atau Kawah Putih masih ada badut Miki Mos moncong mencong, ya dimaafin, lah.

Tapi Jatim Park ‘kan kawasan baru, ya. Sayang, dong, kalau desain dia ngasal banget. Jangan-jangan begini cuplikan percakapan dalam rapat desain mereka:

CEO: “Pokoknya saya mau ada elemen-elemen yang populer aja buat anak-anak! Yang seru!”
Kontraktor: “Say no more.”

Maka muncul lah mural Winnie the Pooh lagi main bareng Ipin Upin di dekat kandang beruang Batu Secret Zoo. Penampakannya masih kawe, pula.

Dan gue nggak setuju, lho, kalau ada yang berargumen, “Yang penting rakyat hepi, lah. Secara umum, warga Indonesia nggak paham atau peduli sama orisinalitas, desain yang berkelas, apalagi copyright infringement. Pokoknya selfie! Hidup selfie!”

Jangan, lah. Kasian rakyat kita terus-terusan dicekoki visual yang nggak ramah di mata dan nggak adem di batin, sampai akhirnya selera mereka terbentuk jadi alay. Begituuu terus dari generasi ke generasi. Kalau kita punya kapasitas untuk kasih desain tempat umum yang berkelas, kasih aja lah. Perbaikilah selera rakyat.

Bukannya gue elitis, ya. Selera receh anak bangsa perlu dipertahankan, tapi jangan ngasal banget, deh, kalau mendesain sesuatu.


Menemukan kaos bombastis ini di souvenir shop Jatim Park 3. Ini dia nih, kaos subkultur yang sebenar-benarnya. Kalau aja bahannya nggak "plastik" dan gerah banget, udah pasti gue beli.

Gue sendiri pernah kerja di bidang pariwisata, dan harus gue akui bahwa bapak-bapak CEO kadang nggak paham—atau nggak mau memahami—ilmu estetika. Mereka nggak paham bahwa kadang less is more, dan overstimulating pengunjung itu tida’ baiq. Mereka cuma pengen tempat wisatanya atraktif, mencuri perhatian, dan… ada banyak spot selfie / foto-fotonya. Spot selfie adalah koentji. Selfie atau mati. Mati aja deh, sekalian.

Kalau gue adalah desainer, entah gue bakal nangis atau ngakak ngeliat atrium utama Jatim Park 3, yang centerpiece-nya adalah air mancur dengan patung ogre Warcraft lagi mau tempur sama karakter-karakter DC/Marvel. Nyambung nggak, logis juga nggak. Bebasin!


***

Akhir kata, mungkin komen gue agak sadis untuk Jatim Park, khususnya Jatim Park 3. Mu’uph ea, gimanapun juga gue adalah seorang amusement park enthusiast rewel (YANG TIDAK PERNAH MENG-UPDATE KISAH KE WALT DISNEY WORLDNYA!), dan ingin industri pariwisata Indonesia terus maju. Maka terimalah secuil masukanku, yah, Jatim Park.

Dan bagi yang berniat main ke Batu, jangan jadi males mengunjungi Jatim Park 1, 2, atau bahkan 3, ya. Akan jadi pengalaman baru, deh, main ke taman hiburan yang bentukannya absurd. Jangan-jangan lo nanti malah suka!

Podcast Pojokan x Kejar Paket Pintar

$
0
0


Alkisah, pada suatu hari yang cerah, datanglah sepucuk DM di akun Soundcloud Kejar Paket Pintar. Asalnya dari dua orang podcaster yang mengaku bernama Hap dan Buluk. Hap dan Buluk banget? Nggak mau ngakuin nama aslinya pula. Anak tongkrongan, nih, pasti.

Hap dan Buluk adalah duo di balik Podcast Pojokon. Mereka mengaku ngefans sama KPP (ciyee, pereus haha…) dan kepengen mengundang KPP sebagai bintang tamu di salah satu episode mereka.

Sebagai blogger, gue hampir nggak pernah diajak kolaborasi—makanya sampai sekarang blog gue nggak beken-beken, apalagi berduit—sehingga ketika ada podcaster lain yang ngajakin KPP podcast bareng, wow, seneng ugha. Dara pun setuju. (cue lagu: Ingin Beken– Padhyangan Project)

Akhirnya, pada suatu hari Jumat, di sebuah kafe di bilangan Cipete, amprokanlah duo Podcast Pojokan dengan duo Kejar Paket Pintar, dan hasilnya adalah episode yang gue embed di atas.

Ada banyak hal menarik dalam proses kolaborasi ini. Pertama, Hap dan Buluk ternyata umurnya jauh di bawah gue dan Dara. Bedanya satu dekade, mak. Hahaha. Gue sangat terbiasa berteman baik dengan orang-orang yang jauh lebih tua di ATAS gue, tapi hampir nggak pernah dengan yang di bawah. Tentunya jadi ada sedikit “roaming bahasa” dan generation gap, tapi nggak apa-apa. Alhasil, KPP yang biasanya sok analitik a la Alain de Botton (tapi gagal), kali ini jadi tawa-tiwi ber-anjay-anjay ria bersama dua mz-mz Depok indyang. Jiwa tongkrongan gue sebagai mantan anak Bulungan pun jadi kepancing, maka mohon maaf atas lusinan kata makian, “Anjing,” yang gue ucapkan dalam episode ini.

Selain itu, kami kagum dengan semangat Hap dan Buluk dalam ber-podcast. Kalau KPP bikin podcast karena kepengen ngemeng belaka, Hap dan Buluk ber-podcast-ria karena punya semangat tinggi untuk kembali mempopulerkan budaya dengerin radio. Mereka generasi Prambors yang tumbuh dengan Danang-Darto (sementara kalau gue dulu Irvan, Ari, Becky Tumewu, omaygad tuanya...), dan memang tertarik dengan industri tersebut. Gue dan Dara jadi banyak belajar dari mereka, mulai dari perihal teknis sampai komunitas podcast Indonesia. Gue pun akhirnya dimasukkan ke dalam Line Group yang isinya semacam asosiasi podcast se-Tanah Air. Gelaaak, isinya ratusan orang!

Mu’ucih, Hap-Buluk! Sukses terus, yaaa.

Di saat gue udah pulang duluan, 'zel.

Kejar Paket Pintar - Episode 6: Kemarahan-Kemarahan Perempuan

$
0
0

Selamat Hari Perempuan Internasional!

Telat kaleeek, La. Embuer. Tapi boleh dong, ya, kita anggap Maret adalah "bulan"nya perempuan, bukan hanya pas tanggal 8 Maret kemarin.

Sejujurnya, ya, menurut gue, kalau berpanut kepada prinsip kesetaraan gender, seharusnya nggak perlu ada Hari Perempuan Internasional. Karena seakan-akan, perempuan perlu hari atau bulan khusus agar masyarakat mengingat pentingnya peran mereka dalam kehidupan umat manusia. Dengan kata lain, seakan-akan perempuan minta apresiasi banget. Alhasil, perempuan kesannya masih jadi the second sex, kalau kata Simone de Beauvoir (ciyeee, padahal baru tau Simone de Beauvoir lima menit lalu dari Wikipedia...)

Tapi kalau melihat situasi di Indonesia dan banyak negara lainnya, Hari Perempuan masih diperlukan kali ya, karena masyarakatnya MEMANG suka lupa mengapresiasi perempuan. Perempuan Indonesia MEMANG masih jadi the second sex. Kok ciyan.

Meskipun begitu, sebenarnya gue dan Dara udah kepengen bahas soal isu perempuan di podcast sejak lama, tanpa niat mecingin sama bulan Maret. Tema ini sudah kepikiran sejak film Marlina lagi heboh, dan ketika kami membahas ulang kasusnya Sitok Srengenge

Eeh, eksekusinya pas di bulan Maret. 


Trus, entah karena tahun-tahun sebelumnya gue kurang woke apa gimana, tapi kok tahun ini gue baru menyadari bahwa selebrasi Hari Perempuan ternyata seru banget. Ada berbagai diskusi, pertunjukkan, aksi, artwork, pemutaran film, dan tentunya demo dan protes, termasuk Women’s March, di seluruh dunia. Gue sempet sinis pas Women’s March Jakarta 2017, karena merasa itu gerakan ikut-ikutan aja. Apalagi akar Women’s March ‘kan kemarahan masyarakat perempuan Amerika terhadap Trump, ya. Gue mikir, nggak usah terlalu berkiblat ke Amerika gitu, deh. 

Tapi makin diulik, ternyata Women’s March lokal seru dan penting, ya. Tuntutannya pun lokal banget, kok, di masing-masing kota/negara. Aslinya gue pengen bangeeeet ikut Women’s March Jakarta tahun ini tanggal 5 Maret kemarin, tapi bentrok sama acara nikahan sepupu. Udah jait seragam pula 'kaan (teteup). Pas intip berbagai video Women’s March Jakarta di sosmed, hati rasanya iri sekaligus meletup-letup bangga, lihat ceciwi-ceciwi kenes meneriakkan tuntutan di Thamrin, diiringi dengan lagu Run The World dari speaker raksasa. MY TRIBE Y SO KEREN?!


ANYWAY, I DIGRESS!



Di episode podcast kali ini, gue dan Dara membahas tentang "kemarahan-kemarahan" kami sebagai perempuan, gara-gara ketidaksetaraan gender dalam kehidupan sehari-hari. In other words: patriarchy and misogynist shits women have to endure.

Happy International Women's Month, everyone! F*ck gender role, give us spring roll!

(image: Femina, Vice)

Komen Nggak Nyambung: Kebebasan Berbicara Atau Kebanyakan Micin?

$
0
0

Preambule dulu, ya.

Setelah dua tahun absen total, beberapa minggu lalu gue datang ke acara CreativeMornings Jakarta. Pagi itu, pembicaranya adalah pasangan Cynthia Satrya dan Dian Hasan dari Coworkinc.

Seperti biasa, duo tersebut tampil lucu, menarik, dan insightful, terutama Mas Dian yang kucurigai waktu kecil sempet nelen mesin steno, berhubung ngomongnya cepet banget dan nggak ada berhentinya (we love you, Mas Dian!).

Topik global CreativeMornings bulan Februari adalah Curiosity.

Pagi itu, Mbak Cynthia sempat bilang suatu hal yang sebenarnya kita semua sudah tahu: kritik dan koreksi bisa mematikan curiosity. Terutama dalam konteks melakukan aktivitas kreatif, ya.

Misalnya, kalau jaman SD dulu kita menggambar matahari berwarna ungu, kita pasti akan dikasih ponten jelek oleh Bu Guru. Alhasil, ke depannya kita jadi akan sungkan untuk bereksplorasi dalam menggambar. Padahal dalam seni, sah aja kalau kita mau nggambar matahari warna ungu, bukan kuning. Siapa tau matahari sunset? Atau kalau bukan matahari sunset, ya ‘mang ngapa kalau ungu? Seni ‘kan sarana mengekspresikan diri, dan nggak harus realis.

Sekarang kita sadar akan hal itu. Maka jaman sekarang, ortu dan para pendidik lebih membebaskan anak-anak dalam mengekspresikan diri, dibandingkan jaman dulu.

***
Nah, tapiii…

Salah satu pet peeve alias sumber kesebelan gue adalah kalau netijen yang budiman komen SALAH FOKUS.

Bukan cuma gue, lho. Dari hasil survei kecil-kecilan, gue menemukan bahwa banyak blogger yang bete kalau udah capek-capek nulis dengan kritis dan inteleque untuk sebuah blogpost, tapi kemudian netijen ninggalin komen yang nggak nyambung, banal, receh (mending kalo recehnya lucu), atau nggak bisa dilanjutkan jadi bahan diskusi.

Seleb internet, vloggers, atau influencers pun juga suka bete dengan komen-komen nggak nyambung di post mereka.

Bentuk komen nggak nyambung ada banyak. Beberapa di antaranya misalnya:
  • Nanyain hal kebendaan (“Kak, itu lipstiknya apa? Tasnya beli di mana? Makannya di mana? Suaminya guanteng banget, Kak!” Padahal post-nya tentang tragedi kemanusiaan, misalnya, alias nggak nyambung banget secara tema atau tone)
  • Memberi komen yang missed the point. Komen sejenis ini secara sekilas masih nyambung, tapi sebenarnya nggak menangkap “esensi” atau “jiwa” dari post tersebut.
  • Komen yang salah tangkep sama isi post-nya, trus marah-marah pula! Duh, trims banget, deh. Catat, bukan berarti gue nggak mau didebat, ya. Gue sangat terbuka dengan ketidaksepakatan, kok, asalkan basis pemikiran si pendebat/komentator selaras dengan pemikiran gue.
Gue selalu yakin, salah satu solusi untuk masalah penyebaran hoax dan “konflik di Internet” di Indonesia adalah meningkatkan kemampuan critical reading masyarakat.

Kita semua pasti bisa baca. Tapi apakah kita semua bisa membaca dengan kritis? Menangkap perasaan dan intensi sebenarnya si penulis? Membaca tanpa emosi? Read between the lines? Punya wawasan atas latar belakang tulisannya? Belum chenchu.

Padahal kalau kemampuan critical reading kita tinggi, kita pasti nggak akan gampang percaya hoax, juga nggak gampang “kepancing emosi” akibat salah tangkep.

Jadiii… mendapatkan komen yang nggak nyambung dengan isi dan jiwa postingan itu menyebalkan, sehingga banyak blogger/influencer yang mulai sering ketus terhadap komentator-komentator nggak nyambung tersebut, atau nggak ditanggepin samsek.

***

TAPI! Setelah dipikir-pikir, apa iya kita perlu ketus kepada para komentator yang nggak nyambung?

Kalau kita ngejudesin komentator yang nggak nyambung—terutama yang nggak nyambungnya sebenernya tipis aja—bukankah kita jadi sama aja dengan si guru seni yang mengkritik matahari warna ungu?

Dan bukankah katanya ketika sebuah tulisan dilempar ke masyarakat, tulisan tersebut sudah bukan milik si penulis lagi, melainkan milik pembaca? Jadi suka-suka, deh, tulisannya mau ditafsirkan pembaca cem mana. Setiap orang ‘kan membaca dengan “kacamata” yang berbeda.

Maksim "ketika sebuah tulisan dilempar ke masyarakat, tulisan tersebut sudah bukan milik si penulis lagi" biasanya dikaitkan dengan tulisan fiksi, tapi mungkin bisa untuk tulisan non-fiksi juga, entah tulisan sepanjang esai, atau sependek Tweet.

Kalau blogger/influencer dikit-dikit judes sama komentator yang nggak nyambung, bisa jadi mereka mematikan kebebasan berpendapat follower-nya.

Gue menyadari hal ini ketika beberapa kali ada silent reader blog/follower sosmed yang bilang, “Aku belum pernah komen sebelumnya di blog Mbak Laila, karena takut komenku nggak pinter…”

Ya envelooope… kok gitu? Sedih, deh. Was I being such a pretentious snob, sehingga membuat orang segan berpendapat di platform gue? Apakah gue pernah judes sama orang yang komennya gue anggap nggak nyambung? (Taunya dijawab “Iya, Laa…”)

--- 

Situasi idealnya tentu saja di tengah-tengah, ya. Pengennya, sih, rakjat kita punya kultur bebas berpendapat di platform manapun, tapi pendapatnya nggak asal goblek. Sesuai konteks tulisan, lah. Menjadi bonus kalau komennya inteleque dikit.

Tapi karena tidak ada kesempurnaan di dunia ini, maka kalau lo adalah seorang content creator, apakah lo tipe orang yang…

a) mendukung kebebasan berpendapat sembari sabar aja dengan komen-komen yang ajaib? Atau…

b) galak dengan komen para pengabdi micin, dengan alasan supaya critical thinking mereka jalan?

Wisata Selfie

$
0
0

Dua pekan lalu, dunia pariwisata Indonesia dibuat gondok oleh kehadiran sebuah tempat hiburan baru di Bandung, bernama Rabbit Town. Pasti udah pada tau, ya, kenapa tempat ini bikin gondok. 

Tadinya gue berniat menulis artikel tentang Rabbit Town untuk The Jakarta Post, tapi... ah, udah banyak artikel yang nulis tentang tempat itu, ya? Akhirnya gue mengangkat sudut pandang yang dekat di hati gue: narsisisme (kosong) yang terpicu oleh medsos berbasis foto, berhubung efeknya jadi melebar kemana-mana. Yha, termasuk pariwisata. 

Kayaknya opini gue "mengena" di hati banyak orang, sehingga artikelnya jadi... duh, mau ngomong viral tapi kok malu. Anyway, banyak tokoh idolaque yang membagikan artikel tersebut, termasuk Mbak Trinity dan Mbak Sasha. I couldn't be more humbled.

The Jakarta Post harus memotong jumlah kata dalam artikel tersebut, karena memang kepanjangan (nyaris 2,000 kata, zzzz...). Hasil editan mereka membuat artikel gue jadi lebih padat, efisien, "halus", dan grammatically correct, tapi kalau tertarik, berikut adalah tulisan aslinya:

How Selfies Become The Root of All Evil in Indonesian Tourism: The Case of Rabbit Town

How was your Easter weekend holiday? Did you go somewhere interesting? Hopefully it’s not Rabbit Town.

By now, you must have heard about the newly opened Rabbit Town in Bandung, West Java, but not for the right reasons. Only two months after its soft launch, Rabbit Town has caused controversy for appearing to plagiarize three iconic contemporary art installations as their “attractions”, without any recognition of the original artists whatsoever.

The installations are Chris Burden’s Urban Lights, Yayoi Kusama’s Obliteration Room, and parts of the Museum of Ice Cream in United States.

Chris Burden’s Urban Light at the Los Angeles County Museum of Art (LACMA) is a large-scale installation made up of 202 functioning lampposts, and Rabbit Town created a similar version named Love Light. In Yayoi Kusama’s Obliteration Room, visitors are encouraged to gradually transform an all-white room by placing colorful dot stickers all over the space, and you can do the exact same thing in Rabbit Town’s Patrico Sticker. Moreover, if you have been wanting to visit the super popular, super Instagrammable Museum of Ice Cream in United States, no fret. Rabbit Town has carbon copies of it, too!

Rabbit Town’s major motivation for their alleged piracy seems to simply make themselves an Instagrammable destination, rather than to evoke visitors’ awe and contemplation with contemporary artworks. In fact, they proclaim themselves as a wisata selfie (selfie tourism) destination, and they offer almost no other experience but giant photo backgrounds.

Rabbit Town is the creation of Henry Husada, the chairman and CEO of the hotel management company Kagum Group, which holds Museum Rekor Indonesia’s record in 2014 for having 15 new hotels launched at the same time. Rabbit Town was named after Henry's zodiac sign, and the property was originally his private mansion.

So it is safe to conclude that Henry Husada is rich and able to commission Indonesian artists to create original artworks for Rabbit Town—then thus sustains the local art scene—instead of plagiarizes and disregards the ripped-off artists’ intellectual property. 


Ever since the news went viral, many Indonesians have been angered. Comparison photos with mocking captions swirl around the internet, and the Rabbit Town’s Instagram page was flooded with angry comments. I said “was”, because shortly after it came under attack, Rabbit Town closed its comment section and blocked anyone who mentioned LACMA, Yayoi Kusama, or the Museum of Ice Cream.

There are many reasons why people are pissed off. Some people are insulted because Rabbit Town assumed they wouldn’t know Urban Lights nor Yayoi Kusama, while others are annoyed because Rabbit Town gains profit from using artworks from living, productive artists (currently, Rabbit Town charges Rp25,000 per visitor). 

But many are irritated because essentially, Rabbit Town humiliates Indonesia.

Indonesia is thriving. Not just economically, but also culturally. The middle class is growing stronger, more educated, more well-traveled, and more culturally knowledgeable than ever. However, Rabbit Town’s alleged plagiarism embarrassingly gives the impression that Indonesians are lazy, ignorant, uncultured, thus invalidating our previous endeavors.

Rabbit Town’s alleged plagiarism might have occurred because Henry is simply ignorant, but it might also be because he realizes the lucrativeness of monetizing selfies and narcissism.

Today, it seems that selfies and narcissism are the root of evil in Indonesian tourism. Why?

First of all, tourists’ love of selfies degrades travel destinations.

The experience that the place has to offer is no longer significant, because all people care about is how photogenic or Instagrammable the place is. Today’s tourists don’t notice the wonderful fresh-smelling air in a pine forest they walk through, nor do they care about the rich history of ancient ruins they visit. Their main focus is whether the place will make their photos look aesthetically pleasing, and how many likes will they garner on social media.

A couple of years ago, I went to Copenhagen. During a relaxed afternoon stroll at Nyhavn, I came across another family from Indonesia—a young set of parents, and their toddler daughter. They looked rushed, tired, half running with their selfie sticks. We chatted a bit and I asked them about their travel. They told me that they are on whirlwind tour across Western Europe for two weeks, but spending only two days in each city or country.

“Isn’t that exhausting?” I asked.

The father chuckled while adjusting his selfie stick, “Nah. What’s important that we managed to get selfies in each city’s landmarks. Why do waste time to spend longer than that, right?”

Then off they went with their daughter in tow, who struggled to catch up with her parents. I wondered what would be the little girl’s early memory of Europe. Would she remember having a relaxed picnic in Hyde Park with her parents? Would she remember the mesmerizing tale of The Little Mermaid from Denmark? Sadly, she would probably only remember running around catching the next flight or train, and being forced to smile for pictures.

Second, with the growing narcissism that is fueled by image-heavy social media, tourists today become caught in their own bubble—oblivious and ignorant. Therefore, along come issues such as unethical "dark tourism"... and broken artworks.

Just recently Indonesian singer Syahrini was flamed because she took ignorant, very self-centered selfies at the Holocaust Memorial in Berlin. Only last year that I witnessed a multi-million rupiah sculpture in Galeri Nasional Jakarta got accidentally knocked over and almost crashed to pieces by a bunch of teenagers who tried to take selfies in front of the artwork. Unfortunately, Indonesians do tend to rush to take pictures, once they stepped foot inside an art exhibition. Only little care to stop, look, and try to understand the art displays first.


Thirdly, aesthetic photos are undeniably an effective marketing tool for the tourism site, but this isn’t always a good thing.

When stunning images go viral, they can release a horde of tourists eager to get a copycat photo. Hence, developers now focus more and more on the aesthetic aspects of their tourism site, not the experience it can give, nor the whole quality of the place. As long as the place has photogenic points here and there, it is enough. Take a look at Rabbit Town, whose main selling point is its photo backgrounds, and almost nothing else.

Moreover, if we go to natural-tourism sites such as Mount Merapi in Central Java, Maribaya in West Java, Mangunan and Imogiri Pine Forest in Yogyakarta, we see numerous photo platforms or photo backgrounds being erected by locals, who charge visitors Rp 5,000 (less than 50 US cents) to Rp 50,000 to have their pictures taken there, usually against the breathtaking landscape.

Sometimes this photo-op “facility” overshadows or even sacrifices the real experience of the site. For instance, Kalibiru Tourism Village near Yogyakarta redesigned their zip-lines and treetop platforms into a fully fledged photo-op destination.

However, such photo destinations often become very successful. Shelly Banjo from Bloomberg reported that in Kalibiru, waiting times now stretch to six hours on popular days, prompting a nearby village to raise about US$100,000 to build a second photo destination in the protected forest. Earlier this year, about 7,000 tourists visited the two sites each week. To conclude, even locals understand the lucrativeness of monetizing selfies and self-narcissism.


Nowadays, photogenic attractions are popping up across Indonesia, as today’s travelers increasingly compete via social media to show off their experiences. They don’t just want to see, but also to be seen. Promotion and Event Supervisor from Taman Impian Jaya Ancol Dian Komalajaya stated that according to the latest Nielsen survey, people’s motivation to save up today is to have a holiday, as it has become an integral part of their lifestyle. People also tend to visit trending or Instagrammable places, and selfie spots have become important aspects of the destination.

Google “wisata selfie” and you will find numerous Indonesian articles that dub tourist sites as “selfie destinations”, meaning the places are photogenic and fun to take photos in, but that’s all there is to them.

Yes, there are exceptions, such as the ever-so-charming Ulen Sentalu in Kaliurang, Central Java, which still manages to be an ultra-popular travel destination although they don’t allow photography inside their property. Nevertheless, few other destinations are as confident as Ulen Sentalu, since churning out appealing photos has become the main—if not only—objective for most tourists visiting a place. Why would tourist destination developers want to waste money and effort to create immersive, interactive experiences if they can attract crowds using only photo backgrounds? And why would they care about design concept or originality? Henry Husada’s group surely doesn’t.

I once worked in tourism as part of the creative team to develop the concept of a local amusement park. Our CEO openly claimed that he didn’t want to create too many original elements for the park, because it’s tough to successfully permeate people’s mind with new branding. In order to sell fast, he felt that we needed to just copy other brands that were already well-received.

For example, the amusement park’s theme song imitated one of Disney’s iconic songs, with slight changes in its tempo and a few of its notes. Initially, I tried to arrange collaboration with one of Indonesia’s top composer to create an original score, but the boss rejected the idea. He believed it would be too costly, but not effective.

Did imitating the theme song prove to be effective? Yes, it did. I randomly asked visitors what they thought about the song, and they claimed that they enjoyed it—even felt it evoked warm feelings—because they felt very familiar with the scoring, though couldn’t exactly pinpoint why.

Reflecting on that experience, it isn’t surprising that Rabbit Town ignorantly made crass copy of other people’s artwork. Like some other local tourist site developers, Rabbit Town probably thought they could get away with it. Besides, there would always be people who would see that plagiarism is still “tolerable”, proven by some commenters in Rabbit Town’s Instagram who thinks that Rabbit Town’s act was harmless. In fact, it seems that some locals are thankful to Rabbit Town for making Museum of Ice Cream, Yayoi Kusama’s and Chris Burden’ artworks “more accessible” for Indonesians. 

It is highly doubtful that Rabbit Town has such intention, though. Most likely, all they wanted is to have catchy backgrounds for selfies and instant buzz on social media, with as minimal cost for original creativity as possible.

Rabbit Town might shame us Indonesians, but rather than flaming them on its social media, it’s more effective to not acknowledge the place at all.

What’s most important is to be mindful and aware of our recreational trips. No matter how appealing the viral photos are, ask ourselves this before visiting a place: if we couldn’t take pictures there at all, would we still want to go? Would the place still be interesting? What experiences can they offer?

(image: Kumparan, Asumsi, My Fun Food Diary, personal)

JJS Singapura yang Nggak Biasa: Pura-Pura Jadi Mahasiswa

$
0
0

Tau film Never Been Kissed (1999) nggak? Rom-com itu bercerita tentang seorang jurnalis, Josie (Drew Barrymore), yang harus liputan undercover jadi anak SMA.

Salah satu khayalan gue sejak lama adalah jadi Josie. Gue pengen banget nyusup masuk ke almamater SMA atau kampus gue, trus pura-pura jadi pelajar untuk sementara waktu. Kenapa?

Alasan pertama,

Gue pengen balik ke SMA karena gue cinta banget sama masa SMA gue. Serunya minta ampun, dan kayaknya segala jenis kebandelan pertama kali gue jalani pas SMA itu. Gue selalu nyaris nggak naik kelas, nyaris di-skors, dan nyaris di-DO. Untung masih bisa jadi sarjana macem si Doel.

Gue nggak pernah menyesali segala kebandelan SMA gue, karena seiring dengan pengalaman bandel, banyak juga pelajaran dan life skills berharga yang gue dapatkan. Ihiiiy.

Gue pengen balik ke masa kuliah karena alasan sebaliknya. Pas kuliah, gue merasa cupu, tertutup, dan nggak mengeksplor potensi gue, padahal kampus sudah menyediakan segala sarananya. Makanya gue pengen banget balik lagi jadi mahasiswa, giat belajar, aktif berteman, daftar jadi ketua BEM, ketua Senat, ketua klub, pokoknya semua ketua kecuali ketua adat.

Alasan kedua,

I don’t believe I’m a good student. Sebagai siswi/mahasiswi, prestasi akademis maupun non-akademis gue biasa banget. Nggak ada istimewanya sama sekali. Maka sedikit orang tau bahwa sebenarnya I love learning a lot.

Sistem pendidikan membuat kita selalu dinilai lewat ujian dan PR. Nah, gue nggak istimewa dalam menghadapi hal-hal tersebut, maka gue nggak punya catatan yang menjustifikasi bahwa gue suka belajar, but I actually do. Gue selalu merasakan orgasme kecil tiap gue mempelajari hal baru, mengetahui fakta baru, ditantang pemikirannya, menganalisa sesuatu dengan kritis… man, it makes me feel alive!

Pembukaannya banyak cingcong, ya, Mbak? Eym. Maka mari kita langsung ke intinya.

***

Beberapa bulan lalu, gue dan T pergi ke Singapura sekejap saja, untuk medical check-up. Di hari terakhir, kami punya waktu lowong lumayan panjang, karena pesawat kami sore. Dengan sigap dan tanpa keraguan, T langsung menyorongkan agenda untuk mengisi kelowongan waktu tersebut (mungkin dia khawatir gue keburu menyorongkan agenda belanja di Orchard),

Agendanya yaituuu…

“Main ke NUS, yuk!”

NUS alias National University of Singapore adalah almamater T, dan kata T, masa-masa berkuliah di NUS adalah masa-masa terindah dalam hidupnya. Bukan karena dia mahasiswa beasiswa teladan, tapi karena hari-hari kuliahnya cuma diisi sama main basket/sepakbola/tenis/PlayStation, ketawa-ketawa, nongkrong, dan tentunya pacaran. Ringan dan hepi banget. Perlu dicatat, T menetap di asrama campur, yang tentu saja kagak ada satpam moralnya. Pacar mau nginep 3 hari 3 malam di kamarnya T pun nggak akan ada yang gedor. Pantesan hepi!

Trus, salah satu hal yang bikin T selalu terkenang-kenang dengan masa kuliahnya adalah karena dulu dia adalah bintang olahraga kampus. Ngakunya, sih, pernah jadi kapten berbagai tim kampus sekaligus atlet andalan perwakilan universitas.

Gue percaya aja, meski nggak pernah lihat buktinya, bahkan suka lupa dese kapten tim cabang olahraga apa. Jangan-jangan cabor lari dari kenyataan atau lempar lembing sembunyi tangan.

Dengan segala hura-huranya, adalah sebuah misteri kenapa dese bisa bertahan di NUS, nggak diputus beasiswanya, atau di-DO. Kita syukuri saja, ya.

Kembali ke intinya—T bahagia banget selama jadi mahasiswa di NUS, dan tentunya dia merasa NUS adalah kampus terbaique sejagad raya ini. Sudah lamaaaaa dia pengen ngajakin gue main ke NUS, dan kini tibalah saatnya.

Malam hari sebelum kami menyambangi NUS, T punya ide. Alih-alih sekedar halan-halan keliling kampus, T mengusulkan kami nyusup masuk kelas di sana. Eh, horeee! Tentunya gue senang, karena seperti yang gue bilang sebelumnya, gue sudah lama kepengen jadi seperti Josie di Never Been Kissed, yaitu kembali jadi pelajar, walaupun cuma secuplik.

Iya, NUS bukan almamater gue, sehingga gue nggak punya kenangan apapun dengan NUS. But I love learning, wherever it takes place. Gue senang duduk di kelas untuk menyerap ilmu baru, maka sit-in dalam perkuliahan adalah ide bajus, Papa T!

Persyaratan dari gue ke T adalah, jangan bawa w ke fakultas almamaternya—Engineering alias Teknik. Sebagai manusia yang gebleknya setengah mati dalam ilmu eksakta, gue bisa isded kalau harus ngikutin perkuliahan teknik. Maka kami memutuskan untuk menyusup ke zona nyaman gue: Faculty of Arts and Social Sciences, yang lokasinya kebetulan bersebrangan dengan Faculty of Engineering.

T bilang, kalau mau sit-in, kami harus cari kelas yang berlokasi di Lecture Theatre alias LT. Pasalnya, kelas LT berukuran besar—semacam kuliah umum gitu, deh—sehingga dosen nggak akan ngecek mahasiswanya satu-satu.

Pas gue cek ke situs NUS, ternyata ada lima puluh LT di Faculty of Arts and Social Sciences, dan kuliah yang akan berlangsung besok pagi pun lumayan banyak. Mungkin sekitar 20an. Jadi aman, lah. Banyak pilihan kalau mau ucluk-ucluk nyusup. Bismillah!

Pagi

Sekitar jam 10 pagi, kami tiba di NUS, di daerah Clementi/Kent Ridge. Tampilan gue udah dibuat selusuh dan semahasiswa mungkin: pake kaos, sneakers, muka berminyak dengan ekspresi ngantuk bin laper. Sayangnya, T nggak bisa lepas dari penampilan om-omnya: celana bahan, dan kaos berkerah yang agak ketat di bagian perut gara-gara buncit khas pria paruh bayanya. Yasudlah!

Kesan pertama gue terhadap NUS adalah: wah, gede banget ya, Ndro. Lanskap universitas ini memang rasanya nggak selapang almamater gue, Universitas Indonesia Depok, tapi kalau ditelusuri, areanya sebenarnya luas sekali. Gedung-gedungnya pun megaaah. Mereka punya bis internal, seperti bis kuningnya UI, maka bisa diasumsikan area universitasnya memang geda.


Sesuai rencana, kami turun di Faculty of Arts and Social Sciences, dan T langsung nanya ke sekelompok mahasiswa yang sedang nongkrong di aula utama, dimanakah lokasi LT terdekat. Karena pada dasarnya T doyan ngobrol ringan sama strangers, mereka malah jadi semi-ikrib, sampai T jujur cerita bahwa dia adalah alumni NUS era dinosaurus, dan sekarang lagi mau nyusup sit-in di salah satu kelas.

Gue nggak tau dedek-dedek mahasiswa tersebut terharu karena T segitu cintanya sama NUS walaupun setelah sekian abad, atau malah takut karena kampus mereka mau disusup om-om. Yang penting, mereka cukup informatif ngasitau lokasi-lokasi LT yang ternyata sangat menyebar. Ma’acih, adeek...

Setelah nemu LT terdekat, kami langsung cusss… menyusup. Hamdalah LTnya gede…. etapi kopong, shay! Mahasiswanya cuma sedikit yang masuk. Duh, akankah kami ditunjuk dan disuruh jawab pertanyaan dosen? Ditanya nama dan nomor mahasiswanya? Brb, ngompol.

Untungnya, gue tipe orang yang masih hobi bawa-bawa notebook dan alat tulis. Maka gue dan T pun berakting jadi mahasiswa bermodalkan notes lecek, plus bolpen semi-kering. Kami sok-sok nyatet sambil nunduk, supaya mata nggak bersibobrok dengan mata dosen.

Tentunya hal ini sangat kontras dengan rekan-rekan mahasiswa lain yang pada bawa laptop. Zaman sekarang, keknya emang nggak ada mahasiswa yang masih mencatat di hape, motretin slideshow dosen pake hape, apalagi mencatat manual. Instead, semua pada bukan laptop. Para dosen pun sudah ngasih materi digital perkuliahan masing-masing beberapa hari sebelumnya. Maka mau nggak mau, mahasiswa kudu buka laptop. Trus, sambil mendengarkan perkuliahan, semua juga pada buka Facebook, WhatsApp web, email, atau lowongan kerjaan / volunteering. Sibuq nged nih, dedek-dedek!


Sebagai seorang tante-tante yang beda generasi, ternyata gue agak norak dan kagum dengan hal ini.

Trus, gimana dengan materi kuliahnya, La? Seperti yang diharapkan nggak? Nggak.

Jadi, setelah lima belas menit sok konsen, gue baru tersadar, kok materi kuliahnya basic banget?

Nah, gue sekarang mau reflecting momen-sok-tua gue.

Kalau nggak salah, kelas yang kami susupi ini adalah kelas tentang kemasyarakatan. Selama perkuliahan, sang dosen banyak bicara tentang unsur-unsur hidup bermasyarakat, seperti sistem ekonomi dan politik. Tapi teori dan contoh kasus yang diberikan, kok, ya biasak banget.

Misalnya: “Coba sekarang-sekarang ini kalian telpon customer service,” kata si dosen tentang outsourcing. “Zaman sekarang, kalau kalian telpon CS perusahaan Amerika di Eropa, yang angkat telpon bisa jadi tenaga kerja CS di Pune, lho.”

Semua orang juga udah tauk kalek, Pak Doseeen…. kok nggak seru, sih? Etapi trus gue tersadar sambil terhenyak (lebaaai…). Bagi gue, hal-hal yang dibicarakan Pak Dosen nggak istimewa bukan karena gue pintar nan berwawasan, tapi karena gue wis tuwak. Of course, naturally, I would know more stuff than most 19 year olds. Jangan lupa, yang sedang kususupi adalah kelas dasar perkuliahan S1. Yassalaaam…. Kalau kata TayTay, I don’t know about you, but I’m feeling 72.

But still, gue semangat bisa “kuliah” lagi. Sampe-sampe gue nyatet serius, lho. T heran, kenapa gue harus nyatet materi kuliah basic ini, yang sebenarnya bisa gue temukan dalam lima menit di Wikipedia. Ih, suka-suka, dong.

Tapi karena dese melihat gue hepi, akhirnya T punya ide agar hari itu kami menyusup ke sebanyak-banyaknya kelas. Eh, hore!

Maka dari kelas garing tersebut, kami menclok ke sebuah kelas lain. Dosennya engkoh-engkoh Cina, tampak galak, tapi ternyata suka ngelawak. Seperti di kelas sebelumnya, gue nggak tau mata kuliah apa yang beliau bawakan, tapi do’i bicara soal statistik keluarga, perceraian, dan soal homoseksulitas yang ditentang oleh pemerintah Singapura karena beberapa alasan. Nggak ketebak, ini mata kuliah apaan. Satu hal yang pasti… mahasiswanya sama aja kek kelas sebelumnya: konsennya pada pura-pura. Kelihatannya sibuk ketik-ketik di laptop masing-masing, padahal pada ngoprek sosmed dan email. Siapa bilang kuliah di NUS kaku kayak triplek? Hihihi.

Setelah kelas tersebut bubar, hawa laper mulai tak tertahankan, maka melipir lah gue dan T ke kantin.

Siang

Ternyata, kantin fakultas Arts and Social Science NUS mirip banget sama kantin FIB UI, alias kantin almamater gue. Sama-sama berbentuk lingkaran, dengan hawa sumuk yang familiar. Layout-nya juga serupa tapi tak sama. Bedanya, kantin sastra atapnya terpal, sementara kantin NUS atapnya beton.

Stalls kantin NUS juga lebih rapih, dengan partisi-partisi permanen. Menu makanannya ala-ala hawker center, mulai dari makanan Asia sampai Barat, seperti Chicken Rice, laksa, ramen, makanan India, de es be. Harganya? Harga mahasiswa, dong. Makanan termurah yang gue temukan adalah makanan vegetarian yang seporsinya nggak nyampe sedolar. Apaaaa?! Di tanah Singaparna ini, gue nggak pernah, lho, menemukan makanan yang harganya sen-sen-an! Jangan-jangan isinya cuma kuah bekas rebusan sawi dengan tiga helai bawang goreng, ya.

Kenyang makan, gue dan T kembali menjelajah kelas-kelas LT. Lalu terdamparlah kami di sebuah kelas yang gue yakini banget sebagai kelas Ekonomi. At least, berdasarkan catatan jadwal LT gue, sih, ini kelas Ekonomi.

Tapi pas kami baru masuk, dosennya kok ngebahas soal gen-gen seksual dalam mamalia? Soal industri prostitusi? Soal kecenderungan orang Asia vs orang Barat dalam memilih pasangan hidup? SERU BANGET! Ditambah, dosennya adalah seorang bule Caucasian yang enerjik, berapi-api, dinamis, dan—walau sepanjang kelas nggak berhenti tarik urat—sukses meng-engage seluruh isi LT yang penuh tersebut. Kalau ini benar adalah kelas Ekonomi, mau banget gue daftar jadi mahasiswa Ekonomi.



Ternyata, setelah bisik-bisik tetangga—alias nanya ke mahasiswa sebelah gue—ini adalah kelas tentang LOVE. Vaww! Spontan mata gue berasa ada emoji gambar hati-nya.

Sewaktu gue masih jadi mahasiswa fakultas budaya, banyak orang memandang remeh kelas-kelas yang gue ambil. Kelas-kelas tersebut dianggap nggak mangfaat. Bedah sastra anak? Buat apa? Hah, ambil kelas Feminisme? Nanti jadi perawan tua, lho. Apalagi pas jaman gue kuliah dulu, lingkungan gue jauh, jauh, jauuuh lebih nggak kalcer daripada sekarang.

Kalau misalnya ada mata kuliah bertema “cinta dan hubungan” di kampus Indonesia, sudah pasti matkul tersebut dianggap sangat nirfaedah. Ngapain, sih, ngomongin the science of love and sex? Emangnya ilmu tentang cinta bisa jadi duit pas kita udah jadi sarjana?

Tapi berhubung gue selalu haus dengan ilmu kebudayaan dan kemanusiaan, gue nggak cemas apakah ilmu yang gue serap kemudian bisa jadi kemampuan praktis apa nggak, trus jadi sumber duit apa nggak. Entah ini ciri budayawan, apa ciri privileged little rich girl, yaaa...

Maka ketika gue menemukan kelas bertema “cinta” begini, sudah pasti mataku berbinar-binar. Terbukti, materi kuliahnya seru!


Misalnya, nih. Salah satu materi kuliahnya adalah teori Positive Externalities, dengan contoh kasus penyebaran penyakit seksual, alias Sexually Transmitted Disease (STD).

Kalau kata Google, Positive Externalities is a benefit that is enjoyed by a third-party as a result of an economic transaction. Third-parties include any individual, organisation, property owner, or resource that is indirectly affected.

Contoh kasus Positive Externalities yang diberikan oleh si dosen: untuk mengurangi penyebaran STD, orang-orang konservatif harus lebih banyak terlibat dalam pasar seks (the market for sex). Kenapa?

Kalau orang-orang konservatif (yang nggak sexually active) nggak terlibat dalam pasar seks, maka pasar seks akan didominasi oleh orang-orang promiscuous (yang sexually active). Karena orang-orang promiscuous lebih aktif secara seksual, maka STD akan lebih luas menyebar kalau pasar seks isinya hanya mereka.

Jika orang-orang konservatif memasuki pasar seks, maka kompetisi dalam pasar pasar seks akan meningkat. Jatah pasangan seks orang-orang promiscuous jadi menipis, karena harus “dibagi” dengan orang-orang konservatif yang memasuki pasar seks tersebut.

Kalau orang-orang konservatif akhirnya kena STD, mereka nggak akan menyebarkan STD dengan lebih luas, karena mereka nggak ada kebiasaan ngesek kanan-kiri. Therefore, STD would be contained. Hal sebaliknya akan terjadi, kalau orang promiscuous kena STD. Mereka cenderung akan menyebarkan STD tersebut, karena mereka sexually active.

Kesimpulannya, dengan memasuki pasar seks, orang-orang konservatif akan mencegah STD menyebar secara lebih luas, ketimbang kalau pasar seks didominasi oleh orang-orang promiscuous. Kalau orang-orang konservatif memasuki pasar seks, masyarakat akan merasakan dampak positifnya. Itulah Positive Externalities.

Menarik bukaaaan?

Menjelang Sore

Selesai dari kelas tersebut, hari sudah makin siang, dan kami harus siap-siap pulang. Maka, it’s shopping time!

T bilang, koperasi NUS menjual berbagai merchandise NUS yang oke. Bisa bikin bangga bak pake kaos Harvard atau UCLA, lah. Dan memang, merchandise NUS cukup mumpuni. Sportswear-nya banyak yang hasil kolaborasi dengan Adidas (sebenarnya baju Adidas kelas FO ditempelin label NUS aja, sih...), dengan bahan yang nyaman dan model yang variatif. Koleksi stationary-nya juga oke. Bisa, lah, beli notebook dengan grafir NUS di sampulnya, trus dibawa-bawa untuk dioret-oret di kafe supaya dikira alumnus NUS. Padahal isinya, sih, curhatan cinta.

Gue sendiri beli dua helai baju buat olahraga, yang ketika gue pakai, bikin T komen “Suit suiwww… kayak cewek-cewek track team NUS, deh.” Ciyeee. Biar kata udah turun mesin karena beranak, hamdalah Tante masih lolos dikira mahasiswa, meski ini menurut suami sendiri, zzzz.

Selesai bebelian, T menyeret gue ke sebuah tempat di NUS yang kenangannya paling kuat bagi do’i, yaitu bekas asramanya. Katanya, sih, asrama tersebut merupakan saksi sejarah bab hidupnya yang paling menyenangkan (pesan tidak langsungnya: bab hidup T yang paling menyenangkan bukanlah gue. Makasih, lho.)

Untuk mencapai komplek asrama tersebut, kami harus melintasi Fakultas Teknik yang bersebrangan dengan Arts & Social Science Faculty. Selama di fakultas teknik ini, T semangat banget nunjuk-nunjukkin gue ini itu, mulai dari kantin sampai lab praktikum. Tentunya dia bias, merasa bahwa Fakultas Teknik adalah fakultas terbaik di NUS. Tapi berhubung gue antipati sama segala hal yang berbau eksakta, maka bias gue sebaliknya.

T: “Nah, yang itu lab praktikum… kalau aku biasanya bikin tugas di bangku-bangku ini. Asik, ya?”

L: “It smells like tears, death, and broken dreams here.”

T: …….

Di NUS, asrama mahasiswa ada banyak, dan masing-masing disebut sebagai “hall”. Sistem hall mirip dengan sistem house di dormitory kampusInggris. Ala-ala Harry Potter gitu, dimana ada house Gryffindor, Slytherin, Hufflepuff dan Ravenclaw yang punya semboyan, aturan, ciri khas, ketua, dan common facilities masing-masing.


Asrama T adalah Raffles Hall, yang lagi-lagi dia klaim sebagai hall paling seru di NUS (ni orang banyak bener bangganya, dah). Raffles Hall adalah asrama tua, dan penampakannya nggak jauh beda dengan asrama mahasiswa di UI Depok. Nggak ada fasilitas mewah atau high-tech. Semua biasa aja. Gedungnya dua tingkat, berdinding bata merah, dan lorong-lorongnya dipenuhi dengan jemuran setengah basah beraroma deterjen murah. Di setiap jendela dan pintu kamar, ditempel berbagai macam hal mulai dari foto-foto, hiasan nama si pemilik kamar, pesan-pesan dari tetangga, serta berbagai pengingat jadwal kuliah dan ekskul, khas mahasiswa. 


Rafles Hall berbentuk segi empat, dan di tengah segi empat ini ada lapangan semen yang cukup mumpuni untuk berbagai field sports—futsal, basket, dan voli. Kata T, 60% waktu kuliahnya habis di lapangan tersebut. 20%-nya habis di lapangan kampus, dan 20%-nya buat pacaran di kamar. Bhaique.



Raffles Hall punya common room yang cukup besar untuk makan, kongkow, serta melakukan common activity dan hal-hal administratif. Di common room ini, ada sebuah plakat besar bergrafir nama-nama para ketua Raffles Hall dari tahun ke tahun. W agak trenyuh ugha sewaktu T bengong agak lama di depan plakat tersebut, memandangi nama-nama yang tergrafir disitu dan membaca semboyan Raffles Hall, seakan-akan sedang kesedot mesin waktu balik ke tahun ______ (kata T tahunnya harus disensor karena malu. Hint: it was the Spice Girls era).



It WAS the best time of your life ya, T? Hey, maybe one day, Raya’s name would be on that placket.  Aamiin.


Selesai lihat-lihat Raffles Hall, waktu sudah menunjukkan pukul harus-buru-buru-ke-bandara-ngejar-pesawat. So off we went!

***

Secara keseluruhan, gue senang banget bisa nyicipin sebuah sisi dari Singapura yang belum pernah gue jelajahi sebelumnya, yaitu sisi kehidupan pelajar salah satu universitas terbaik di Asia. Gue juga senang bisa pura-pura jadi mahasiswa selama beberapa jam, serta menyerap seciplik-dua ciplik ilmu humaniora yang dulu nggak gue dapatkan. Apalagi tempat ini punya backstory yang kuat dan personal dari T, serta bukan tempat komersil. Oh, Singapore, why do you always have to suck out my money so badly?

Berikutnya: nostalgia kuliah versi gue? UI Depok, here I come?

(image: Laila A., Campus Eye NUS)

Hal-hal Yang Pasti Terjadi Kalau Punya Cah Lanang Gondrong

$
0
0
DSCF1140

Kadang gue bertanya: apakah gue sebenarnya punya jiwa aktivis persamaan gender?

Lho, kok pertanyaannya tau-tau berat? Soalnya, gue selalu suka dengan hal-hal yang berbau unisex atau gender neutral. Entah kenapa, hal-hal gender neutral punya pesona buat gue, sehingga gue terapkan ke anak sendiri. Nama anak gue aja Raya, yang bisa juga jadi nama anak perempuan. Gue pun lebih suka kalau Raya pakai baju yang gender neutral. Misalnya, kaos polos atau bermotif klasik seperti stripes atau polkadot, bukan kaos bergambar robot segede gaban, seperti harus banget membuktikan kelaki-lakiannya.

Termasuk soal rambut.

Sejak bayi, gue selalu berusaha mengondrongkan rambut Raya. Alasan pertama, sih, sejujurnya karena waktu bayi, rambut Raya tipis banget. Jadi gue merasa rambut dese akan kelihatan agak tebal kalau digondrongin (padahal nggak terlalu ngaruh, deh, eboook. Percayalah, kalau rambut tipis digondrongin, kulit kepala yang tampak takkan berbohong).

DSCF1013

Alasan kedua, karena gender-neutral-ness itu tadi. Gue merasa ada subtle coolness kalo rambut anak laki gue gondrong. Plus, sejujurnya—dan hal ini sudah disetujui oleh keluarga inti gue—Raya lebih lucu gondrong dibandingkan cepak, karena tekstur rambutnya ikal menuju keriting. Pokoknya lucu banget, deh, anak guwe! (mulaaai… ibu subjektif…)

Kegondrongan Raya sebenarnya on-off. Dia mulai gondrong ketika berumur 2-3 tahun (sampai bisa dikuncir), sempat cepak di umur 3-4 tahun, dan sekarang mulai gondrong lagi.

Kadang gue bertanya: apakah gue sebenarnya punya jiwa aktivis persamaan gender?
Lho, kok pertanyaannya tau-tau berat? Soalnya, gue selalu suka dengan hal-hal yang berbau unisex atau gender neutral. Entah kenapa, hal-hal gender neutral punya pesona buat gue, sehingga gue terapkan ke anak sendiri. Nama anak gue aja Raya, yang bisa juga jadi nama anak perempuan. Gue pun lebih suka kalau Raya pakai baju yang gender neutral. Misalnya, kaos polos atau bermotif klasik seperti stripes atau polkadot, bukan kaos bergambar robot segede gaban, seperti harus banget membuktikan kelaki-lakiannya.
Termasuk soal rambut.
Sejak bayi, gue selalu berusaha mengondrongkan rambut Raya. Alasan pertama, sih, sejujurnya karena waktu bayi, rambut Raya tipis banget. Jadi gue merasa rambut dese akan kelihatan agak tebal kalau digondrongin (padahal nggak terlalu ngaruh, deh, eboook. Percayalah, kalau rambut tipis digondrongin, kulit kepala yang tampak takkan berbohong).
Alasan kedua, karena gender-neutral-ness itu tadi. Gue merasa ada subtle coolness kalo rambut anak laki gue gondrong. Plus, sejujurnya—dan hal ini sudah disetujui oleh keluarga inti gue—Raya lebih lucu gondrong dibandingkan cepak, karena tekstur rambutnya ikal menuju keriting. Pokoknya lucu banget, deh, anak guwe (mulaaai… ibu subjektif…)
Kegondrongan Raya sebenarnya on-off. Dia mulai gondrong ketika berumur 2-3 tahun (sampai bisa dikuncir), sempat cepak di umur 3-4 tahun, dan sekarang mulai gondrong lagi. 

DSCF1013
Dari pengalaman gue, berikut adalah empat hal yang selalu terjadi kalau punya cah lanang berambut gonjes:
1. Disangka anak perempuan. Ini sudah pasti, terutama kalau anaknya masih batita, karena muka bocah batita umumnya masih nyaru antara cewek atau cowok. Dulu, Raya sering banget dikira anak perempuan. Ketika Raya berusia tiga tahun, kami pergi ke Copenhagen. Setelah check-in di Airbnb, kami ngobrol dengan si pemilik apartemen yang selalu me-refer Raya dengan pronoun she’. Berhubung mental Endonesia ini kagak enakan, gue diam aja nggak mengkoreksi. Tetapi begitu si pemilik apartemen bilang, “Your daughter will love Copenhagen!” Ebok dan Papa harus angkat suara, “He’s a actually a boy…” Dese pun terkezut, lalu komen sembari nggak enak, “Ya ampun, anak lo tampilannya hipster banget!” Mmmm… thank you, I guess?


2. Para tetua pada protes halus. Ini juga pasti. Kecuali kalau para kakek-nenek atau om-tantenya berpandangan liberal, ya. Keluarga besar gue dan T, sih, kebetulan konservatif semua, sehingga setiap ketemu Raya, mereka akan komentar, “Ngg… Ini mau digondrongin, nih?” dengan tatapan kurang setuju.

Gue selalu kepengen Raya punya rambut yang betul-betul gondrong sebahu atau seleher bawah, seperti Jett dan Ozma-nya Mbak Regina Kencana idolaku, atau si kembar Max dan Dex anaknya Lizzie, tapi sampai sekarang hal ini belum kesampaian karena protes-protes para tetua tersebut. At some point, rambut Raya selalu harus di-trim kabeh, jadi belum pernah gondrong-gondrong amat.

DSCF1116

3. Styling his hair is a pain in the ass. Mentang-mentang anak laki, bukan berarti rambut cah lanang bisa dipanjangkan begitu saja tanpa dipikirkan styling-nya, lho. Salah styling, Raya jadi bisa kelihatan cupu. Gue pernah bawa Raya ke salon, dan gue minta rambutnya di-trim, tanpa membuatnya jadi cepak. Pokoknya harus tetap gondrong. Hasilnya? Rambut Raya dipotong model bob, trus di-BLOWEUS, MAK. Keriting berantakannya hilang, dan sepanjang hari, rambutnya tampil manis seperti rambut anak perempuan di buku-buku Enid Blyton. TIDAAAAK :)))

Juga ketika Raya kegerahan, gue kadang bingung rambutnya musti diapain. Dikuncir? Dijepit pakai jepit klip gue? Gimana kalau nanti tambah gondrong? Digelung?! Dikepang?! Nanti anakku jadi ayu?

DSCF1126

4. Rambutnya cepat lepek. Ini juga satu hal yang pasti banget. Tinggal di negara tropis, rambut dan kulit kepala siapapun akan cepat keringetan dan lepek. Apalagi rambut dan kulit kepala bocah laki seperti Raya, yang lagi aktif-aktifnya main dan berkegiatan fisik di luar ruangan.

Tahun lalu, gue berkenalan dengan Zwitsal Kids Active Shampoo tanpa sengaja. Ceritanya gue lagi packing buru-buru untuk pergi ke Bali sekeluarga. Ternyata toiletries Raya habis, sehingga gue terpaksa ngembat Zwitsal Kids Active Shampoo punya ponakan gue yang kebetulan lagi ada di rumah, hahaha. Maap, yak.

Foto 2 Blog Approved

Eh, ternyata samponya cucok untuk Raya. Rambut ikal semi gondrongnya jadi halus, nggak keset bin kusut berkat kandung pro-vitamin b5nya. Trus, yang paling menyenangkan, rambut Raya juga jadi nggak gampang lepek dan bau. Belakangan gue baru tahu Zwitsal Active Kids Shampoo mengandung formula anti bau matahari. Wangi melonnya pun lebih kuat dan lebih tahan lama, nggak hanya samar-samar. Walaupun Zwitsal adalah produk klasik yang identik dengan bayi, formula produk untuk “anak gede”-nya tentu disesuaikan, termasuk formula yang lebih efektif untuk menangkal kelepekan dan keaceman bau matahari.

Lucunya, keponakan gue justru suka dengan sampo ini karena kemasan Boboiboy-nya. Raya sendiri nggak ngikutin Boboiboy, tapi yang penting dia cocok dengan samponya. Ibu pun syenang, karena program menggondrongkan rambut anak jadi lebih lancar.

Kibarkanlah rambutmu, anakkuh!

DSCF1238b

Hidup Ini Nggak Sederhana, Maka Apa-Apa Jangan Disederhana-Sederhanain

$
0
0

Tau simplifikasi nggak? Simplifikasi adalah sebuah pola pikir yang sangat menyederhanakan logika suatu hal, dan membuat hal tersebut jadi hitam-putih.

Gue perhatikan, terutama di media sosial, netijen Indonesia kok doyan banget mensimplifikasi berbagai masalah.

Misalnya, pas Pilkada DKI 2016 kemarin.

Kita tahu, Anies Baswedan terasosiasi dengan karakter A, B, C, D (yang belum tentu benar), sementara Basuki Tjahaja Purnama terasosiasi dengan karakter E, F, G, H (yang juga belum tentu benar). Trus, misalnya gue mencoblos Anies. Maka orang yang hobinya simplifikasi akan komen, “Lo milih Anies? Wah, lo Muslim konservatif, ya? Anti keberagaman, ya?” Padahal belum tentu. Seperti belum tentu juga semua pemilih Trump adalah rasis dan bigot. Ada banyak, lho, alasan seseorang memilih pemimpin, dan alasannya belum tentu seperti yang lo kira.

Contoh lain. Kalau gue pro-Jokowi, maka orang yang hobinya simplifikasi akan komen, “Wah, komunis ya, lo. Nggak pro umat Muslim, nih.” Sebaliknya, kalau gue pro-Prabowo, dia akan komen, “Lo kok milih orang yang punya sejarah mengekang demokrasi sih, La? Orba banget!”

Apa iya, karakter Jokowi dan Prabowo sehitam-putih itu? Kalau lo percaya, berarti lo kemakan pencitraan dan kampanye masing-masing pihak :D Percaya, deh, di dunia ini, nggak ada yang hitam putih. Semua abu-abu. Nggak ada orang yang betul-betul baik, nggak ada orang yang betul-betul jahat.

Sebagai contoh, Jokowi mungkin punya citra demokratis, pekerja keras, nggak neko-neko, dan overall bukan pemimpin yang akan menyalahgunakan kekuasaannya. Mungkin citra-citra hembodi losyen tersebut nggak salah, tetapi kita nggak boleh tutup mata terhadap kelemahan-kelemahan Jokowi. Misalnya, beliau nggak terlalu luwes ngurusin kasus-kasus kemanusiaan, dan beliau sangat berusaha untuk jadi populis (supaya terpilih lagi di 2019?) sehingga beberapa RUU yang beliau setujui demi memenuhi tuntutan masyarakat sebenarnya berpotensi mengancam HAM, sehingga berbau Orba. Misalnya, RUU Antiterorisme dan RUU Ormas. DAN DESE HOBI AMAT NGE-VLOG, DAH.

Gue nggak sedang berusaha menggiring opini , yaaa. Gue cuma pengen kalian kritis untuk melihat bahwa NGGAK ADA satupun hal (atau sosok) di dunia ini yang hitam putih. Menurut w, dalam memilih pemimpin, yang paling bijak berusaha coblos the lesser of the evil menurut masing-masing aja, deh.

Contoh lain: Novel Baswedan.

Bagi banyak orang, Novel Baswedan adalah seorang pahlawan. Beliau adalah penyidik KPK yang terkenal keras, gigih, dan lurus. Saat beliau diserang air keras sampai matanya buta sebelah pun, Pak Novel menghadapi situasinya dengan sangaaaat ikhlas. Konon, orang-orang yang ngebesuk Pak Novel pas masih dirawat di RS Singapura suka mewek melihat sikapnya yang santai, ikhlas, nggak ada dendam, dan masih bisa banyak senyum, meski mata jadi cacat permanen, duit makin menipis untuk biaya pengobatan, dan polri kelihatan nggak all out ngurusin kasusnya.

Tapi ada sekelompok orang yang nyinyir dan nggak berempati sama Novel. Kenapa? Karena Novel Baswedan adalah seorang Muslim konservatif.

Gue paham banget, citra Muslim konservatif di Indonesia sekarang ini bisa dilihat negatif gegara beberapa aksi berbagai ormas Islam radikal yang mengarah ke perisakan. Dan memang betul, Pak Novel adalah seorang Muslim yang konservatif banget. Beliau mengikuti seluruh sunnah Rosul dengan detil, lho, dari mulai gaya berpakaian sampai tata cara makan (kalau makan nasi kebuli pake tangan, cuma pakai tiga jari, lho).

Sejujurnya, sebagai orang yang liberal, gue sendiri kadang punya prejudice tertentu terhadap konservatisme—apalagi terhadap orang konservatif yang bersinggungan dengan dunia politik—tapi gue berusaha melawan ke-hitam-putihan-pikiran gue. Jangan sampai gue mikir, “Novel Baswedan memang berjasa dalam melawan korupsi, tapi malesin ya. Orangnya fanatik, gitu.”

JANGAN DONG, KAKAAAK… objektif dong, kakaaak…!

Inti utamanya, jangan suka mensimplifikasi atau menghitam-putihkan berbagai hal.

By the way, gue BUKAN mau bicara soal politik, lho. Bicara soal apa, dong?

***

Selama bulan Ramadhan kemarin, sudah pasti berbagai WhatsApp grup aktif banget mem-forward berbagai pesan dan nasihat agama. Rata-rata forward-an nasehat, himbauan, dan siraman rohani yang gue terima oke-oke aja. Sebagian bermangfaat, sebagian kurang bermangfaat tapi masih bisa gue terima. Tapi ada satu pesan WhatsApp yang rada menyinggung gue.

Berikut pesannya:

  





Duh, beb. Jujur, akal budi gue tersinggung dengan pesan tersebut, karena pesan itu sangat mensimplifikasi. Simplifikasinya adalah, kalau lo melakukan hal-hal keduniawian, berarti lo seorang ahli neraka.

Pesan ini juga mengindikasikan bahwa kalau gue sekolah tinggi, bisa pronounce Louis Vuitton, suka toilet duduk, gue juga berarti ahli neraka. Apa hubungannya, sih?

Gue mencoba memahami perspektif si penulis. Mungkin dese eneg banget, karena—baginya—iman Muslim zaman sekarang makin tipis, dan dese menganggap modernisasi adalah biang keroknya. Tapi apakah selalu begitu? Kalau gue seorang manusia yang mengikuti zaman dan berikhtiar di hal-hal keduniawian, apakah berarti iman gue jeblok? Apakah seseorang nggak bisa modern dan beriman sekaligus? Kalau seseorang itu bukan PUTIH, bukan berarti dia HITAM, lho. Bisa jadi dia merah, biru, hijau, atau hitam DAN putih sekaligus.

Jadi jangan berusaha membuat orang jadi beriman dengan menghujat keduniawiannya, dong, sayang. Itu adalah metode yang malas, dengan basis pemikiran menyederhanakan, padahal manusia nggak ada yang sederhana. 

Satu hal lagi: terlepas seseorang tampak modern, ahli neraka, ahli surga, ahli apapun, kita nggak pernah berhak (dan nggak akan bisa) menilai kadar keimanan siapapun.

***

Selamat Hari Raya Idul Fitri yang agak terlambat, tetapi semoga mohon maaf lahir dan batinnya nggak pernah dianggap terlambat :-*

Kejar Paket Pintar 7, 8, 9

$
0
0
Waw, rupanya sudah lama gue nggak shameless plug—alias mempromosikan tanpa malu-malu—podcast gue sendiri di blog ini. Walaupun gue yakin kalian udah pada aware tiap ada episode baru. Ya ‘kan? Ya, dooong… :D

Bagi yang belum aware, atau yang males buka Soundcloud (apalagi unduh aplikasinya), berikut episode 7, 8, 9, beserta sinopsisnya.


Kejar Paket Pintar - Episode 7: Kemarahan-Kemarahan Perempuan Part 2

Masih marah-marah aja, nih? Sekali lagi, Laila dan Dara membahas beberapa aspek dalam hidup perempuan yang kami anggap nggak setara dengan hidup laki-laki, lewat beberapa cerita nyata. Mulai dari kisah slut-shaming yang dialami Laila, dan PSK yang nggak dibayar di depan kamar hotel Dara.

Once again, f*ck gender role, give us spring roll!

PS. Ini part 1


Kejar Paket Pintar - Episode 8: Laila, Dara, dan Dua-Satu-Dua

Beberapa minggu lalu, Laila dan Dara nonton film 212: The Power of Love - sebuah film lokal yang mengangkat cerita aksi 212 pada tahun 2016.

Harapannya, sih, Laila-Dara bisa dapat pencerahan baru, berhubung dulu Laila-Dara nggak ikutan aksi tersebut samsek...

... tapi alih-alih perspektif baru tentang aksi 212, yang didapat hanyalah crazy-eyes-nya Fauzi Baadilah, abang cilok dalam layar green screen, penghinaan tidak langsung untuk dunia jurnalisme, dan pengingat bahwa dalam sejarah, yang namanya Karl Marx bukan cuma si penulis Das Kapital.

Ya, nggak kalah seru juga, sih... cuma nggak nyambung aja.


Kejar Paket Pintar - Episode 9: Antara Makan-Makan dan Disfungsi Ereksi

Laila dan Dara membahas dua novel lokal, Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, karya Eka Kurniawan.

Kenapa dua buku ini? Karena di episode berikutnya (will be released very soon!), Laila dan Dara akan ngobrol bareng produser Palari Films, production house yang akan memproduksi kedua film ini, untuk rilis tahun 2018 dan 2019. It's gonna be a back to back episode!

PS. This is a super late upload (direkam kapaaan... di-upload kapan...), maka monmap atas segala ketidak update-an info soal produksi "Aruna".

 ***

Ada yang udah pernah cobain Google podcast? Selama bertahun-tahun, platform dan hosting podcast didominasi oleh Apple dan Soundcloud. Nah, sekarang hadirlah Google podcast, yang katanya navigasinya lebih oke daripada Soundcloud. Kami sendiri belum coba, dan belum tahu apakah KPP sudah masuk sana.

Kejar Paket Sendiri sendiri juga pengen banget melebarkan sayap ((burung merak kaliii)) ke Anchor, karena daya siar mereka lebih luas, dan karena biaya hosting Soundcloud makin lama kok makin mahal. Bukannya kita nggak mampu, cuma pelit aja. Yha.

Comment, like, en subskraib, gayeeess!

Sebuah Lotion Mahal Dari Prancis

$
0
0


Prolog:

Sepulang dari liburan di Bali bulan lalu, kulit badan gue kering banget. Mungkin karena berhari-hari kena air laut dan terpanggang matahari, sementara guenya terlalu sibuk bersenang-senang untuk peduli dengan skinker-skinker-an. Living the beach life at its fullest, yo!

Pas udah balik ke rumah, gue membongkar laci-laci kamar mandi, nyari body lotion yang bisa gue pakai. 

Nggak sengaja, gue malah menemukan sebotol lotion termahal yang pernah gue punya.

Lotion seharga tujuh digit rupiah tersebut buatan sebuah merk Prancis, dan diyakini—oleh banyak ibu-ibu di berbagai forum diskusi kecantikan—sebagai satu-satunya lotion yang bisa mencegah stretch marks di badan saat kita hamil. Lotion tersebut gue beli saat gue hamil kedua, tahun lalu. 

Gue nyaris lupa pernah punya lotion itu, tapi gue nggak akan pernah lupa dengan perasaan ini: 

(this is an old piece of writing that served as a memento for me. I never intended to publish it before)

***

Desember, 2017

Selagi berbaring di dipan yang keras dengan posisi tidak nyaman ini, saya memperhatikan lampu neon di langit-langit sambil membatin: kenapa lampu di ruang praktek dokter selalu neon yang cahayanya keras? Apa nggak bisa menggunakan lampu LED yang lebih lembut dan lebih menenangkan perasaan pasien?

Mata saya terkunci kepada lampu neon di langit-langit ruang praktek dokter ini karena satu alasan: saya nggak mau melihat ke arah layar USG. 

Saya tahu, saya nggak boleh lihat layar USG. Ada yang nggak mengenakkan. Saya bisa merasakannya dari gerakan tangan dokter yang memutar-mutar alat USG transvaginalnya, mengorek rahim saya ke kanan dan ke kiri, mencari setitik harapan. Saya juga bisa merasakannya dari keheningan yang tajam di ruangan ini. Tidak ada komentar dari sang dokter, tidak ada juga suara detak jantung si janin.

Tetapi ketika dokter mengeluarkan kata-kata “Maaf ya, Bu…” barulah airmata saya mengalir tanpa berhenti. 

Sambil memakai celana dalam kembali, saya baru melihat pemandangan tersedih yang pernah saya lihat: dipan dokter bekas pakai, dengan bekas tetes airmata di bantalnya.

***

Epilog:

Gue belum pernah ngebahas hal ini di blog, tapi akhir tahun 2017 lalu, gue sempat hamil sampai akhirnya tidak. 

Kehamilan kedua gue itu sama-sama diawali dan diakhiri dengan tangisan. 

Gue nangis di awal, karena gue kaget banget bisa hamil (sebelumnya gue berusaha hamil selama 1.5 tahun dan gagal), dan sempat nggak menginginkan kehamilan tersebut, gara-gara saat itu gue sedang mengalami salah satu periode terberat dalam hidup gue. 

Tapi tentu saja, akhirnya gue menerima kehamilan gue dengan gembira dan sejuta harapan.

Ironisnya, gue kembali nangis di akhir, karena si janin dinyatakan nggak berkembang.

Normalnya, I would blame myself, for once not wanting the pregnancy. Gue sempat menolak kehamilan tersebut, tho? At one point, I was even denying it so hard. Lalu kehamilan tersebut betul Tuhan ambil kembali, tho? Semua ibu pasti bakal menyalahkan dirinya. Tapi gue mati-matian menolak larut dalam perasaan bersalah. Jadi tiap kali gue bertanya-tanya, apakah gue kualat? Gue harap nggak, karena gue yakin teori kualat sangatlah abu-abu, dan cara kerja Tuhan misterius dan akan selalu begitu. 

Dari waktu ke waktu, Tuhan menurunkan musibah pada umatnya, tapi kita nggak pernah bisa betul-betul yakin, apakah musibah tersebut ujian atau hukuman. Gue memilih meyakini bahwa gagalnya kehamilan gue merupakan ujian, bahkan mungkin pertolongan. Tuhan tahu waktu itu gue sedang kesulitan, sehingga mungkin belum mampu merawat satu anak manusia lagi.

Tapi, ya… apakah segala sugesti itu bisa mencegah hati gue jadi hancur berkeping-keping? Tentu saja nggak. Emosi seorang ibu nggak pernah sederhana, dan lotion sialan itu mengingatkan gue betapa kompleksnya rasa emosi tersebut.

Until I see you again, baby. Ibu loves you. 

Cerpen Pertama

$
0
0
Salah satu miskonsepsi besoaaar tentang penulis adalah: kalau dia suka / bisa menulis dengan satu gaya, maka dia bisa menulis dengan gaya apapun. Apalagi di era content writing gini, dimana para content writer dituntut bisa memproduksi berbagai tulisan dengan berbagai gaya. 

Namun pemirsa, penulis bukanlah perenang Olimpiade, yang harus bisa menguasai bermacam gaya sekaligus. All writers write better in one way than the other.

Kalau ditanya, lo paling suka nulis apaan, La? Jelas: nulis esai di blog. Apalagi blog gue adalah blog non-komersil dan non-citra, maka gue terbebas dari beban untuk membatasi gaya tulisan dan isi kepala. Pun kalau gue nulis di luar blog, gaya gue jelas: esai, non-fiksi, dan non-faedah :D

Kalau ditanya lagi, lo paling sebel nulis apaan, La? Jawabannya juga jelas: nulis fiksi.

It's funny how I absolutely love reading fiction (and hate reading non-fiction), but very terrible in writing it (and pretty good in writing non-fiction). Gue pernah, sih, usaha bikin fiksi, tapi fiksi-fiksi super pendek yang jadinya norak juga. Pembaca lama blog ini pasti tau ya, karena biasanya gue post di sini, kok.

Awal tahun ini, gue menantang diri sendiri untuk membuat sebuah karya fiksi yang agak panjang. As in, 3000-kata panjang. So I did, dan hasilnya busuk setengah mati. 

"Aaah, lo merendah untuk nyari pujian ya, La?"I wish that was the case, sayangnya nggak, karena validasi atas keburukan karya gue datang dari 1) dua orang pemred senior yang bilang bahwa tulisan gue "perlu banyak perbaikan", dan 2) tiga koran nasional yang menolak cerpen gue. Wow, kurang valid apa coba kebusukan karya gue itu? *ketawa* *lalunangis*

Singkat kata, kepercayaan diri gue untuk nulis fiksi hancur lebur. Tapi apakah gue kapok? Alhamdulillah, nggak. Abis itu gue malah nulis fiksi panjang lagi, dan tentu saja, DITOLAK LAGI OLEH PELBAGAI PUBLIKASI NASIONAL, hahahah, sethan.

Tapi nggak apa-apa, kok. Konon, penulis novel di luar negeri aja sering kecewa dengan novel yang mereka buat, sampai-sampai mereka bisa ngebuang satu novel karya sendiri sebelum di-publish, karena kepengen tulis ulang dari awal. Gila, harus punya kebesaran hati luar biasa, tuh, untuk melakukan hal tersebut. Gue merasa nggak berhak kecewa cuma karena cerpen gue nggak pernah ada yang mau terima, bahkan sampai gue mati (hei, mungkin karya gue bakal laku nanti, posthumous? *ngarep*).

Mungkin satu-satunya publikasi yang mau memuat cerpen gue, tuh, mading kampus kali, ya. Itu pun setelah redakturnya gue sogok rokok dan bakso. Atau jangan-jangan, mading SMA.

***

Ada, sih, satu publikasi yang pasti mau memuat tulisan fiksi gue, yaitu... blog gue sendiri. Zzzzz.

Karena gue yakin nggak akan ada media massa yang mau memuat cerpen gue, maka gue post di sini aja, deh. Plis banget jangan ada yang copas atau plagiat plek-plek, ya. Tanpa harus gue sumpahin terlebih dahulu, I trust you all.

Ini adalah cerpen pertama gue yang proper atau "tertib". As in, panjangnya lebih dari 1,000 kata, dan punya alur yang jelas. Gue menghindar jauh-jauh dari genre drama dengan tema cerita yang menye-menye, dan menantang diri untuk menulis dalam genre favorit gue (apa hayo?). Sebagai rookie, gue terinspirasi habis-habisan (baca: semi nyontek) dari salah satu cerpen kanon seorang penulis legendaris, Neil Gaiman. Yha, mungkin makanya cerpen ini ditolak dimana-mana, ya? Hahahaha. Geblek lu, La.

***


SANG PENJAGA
Laila A.

Setiap hari, ada saja kucing jalanan mampir ke rumah Nisa.  Biasanya hanya satu-dua ekor, namun pernah sampai lima ekor bergantian dalam sehari. Mereka mengeong-ngeong kencang, atau berusaha menyelinap masuk lewat jeruji pagar. Kucing-kucing tersebut seperti tahu bahwa salah satu penghuni rumah itu, Nisa, tidak tega membiarkan mereka terlunta-lunta.
Sudah lama Nisa ingin mengadopsi salah satu—atau beberapa—kucing liar di sekitar rumahnya, tapi ia tidak bisa berhubung Abi, ayahnya, keberatan. Akung, almarhum kakeknya, sebenarnya mendukung niat Nisa, namun ketika Akung mulai sakit-sakitan, beliau selalu kalah suara dengan Abi. Maka Nisa hanya bisa memberi makan dan mengobati luka-luka lusinan kucing liar yang mampir ke rumahnya, sebelum melepaskan mereka kembali.
Ada banyak kucing liar yang pernah singgah di rumah Nisa, maka ia tidak pernah mengingat mereka satu persatu secara spesifik. Tetapi Nisa tidak akan pernah lupa ketika pada suatu hari, seekor anjing menghampiri rumahnya.
Bulan lalu, anjing itu begitu saja muncul di depan pagar rumah Nisa. Tingginya hampir mencapai setengah paha orang dewasa, bulunya berwarna hitam pekat, kakinya jenjang, moncongnya panjang, badannya langsing namun berotot. Matanya besar, tenang, dan, anehnya, tampak berwarna hijau tua seperti dasar telaga yang dipenuhi lumut. Nisa kagum sekaligus sedikit penasaran. Bagaimana bisa mata anjing berwarna kehijauan? Apakah binatang ini mengidap katarak? Sepertinya tidak, Nisa membatin. Sorot matanya tajam dan terlihat seperti sorot mata manusia. Ia tampak sehat, kuat, awas, dan tidak terlantar.
Anjing itu berdiri di depan pintu pagar Nisa pada suatu sore, ketika rumah Nisa sedang ramai oleh sanak saudara yang menghadiri tahlilan tujuh hari wafatnya Akung.
Sebelum ia wafat, Akung dirawat di rumah sakit selama tiga minggu akibat berbagai komplikasi di organ dalam tubuhnya yang hampir genap berusia delapan puluh delapan tahun. Selama tiga minggu tersebut, Nisa banyak bolos kuliah karena menemani beliau di rumah sakit, tetapi Nisa tidak pernah keberatan karena semenjak ibunya meninggal, Nisa menjadi sangat dekat dengan kakeknya tersebut. Seperti Ibu, Akung tak pernah bosan cerewet mengingatkan Nisa untuk disiplin sholat tepat waktu, mengaji, dan ke masjid, meski tak jelas untuk apa Nisa sering-sering ke masjid. Pun seperti Ibu, Akung selalu memuji kopi dan roti bakar buatan Nisa, mendengarkan keluh kesahnya soal kuliah, dan meminta Nisa untuk menutupi uban-ubannya dengan sisir bersalut semir berwarna hitam pekat. Momen kesukaan Nisa adalah setiap kali Akung membagi kisah-kisahnya semasa bekerja sebagai salah satu perwira ajudan kepresidenan, menjaga Sang Proklamator siang dan malam.
Nisa selalu menyimak kisah-kisah seru Akung sambil memijat jemarinya yang rapuh karena rematik. Selalu tersemat cincin berbatu giok di jari manis Akung, yang sepertinya tak pernah ia lepaskan. “Ini cincin jimat dari Presiden, lho,” kata Akung seraya terkekeh.
Akung menghembuskan napas terakhirnya ketika Nisa sedang menggenggam tangannya, di sisi dipan rumah sakit. Setelah itu, airmata Nisa tidak berhenti mengalir selama tiga hari.
Sore itu, Nisa memperhatikan apakah si anjing menunjukkan sikap agresif atau tanda-tanda rabies. Sepertinya tidak, tetapi Nisa tetap menimbang-nimbang untuk mengusirnya—setidaknya membuatnya mangkal agak jauh dari rumahnya—karena anjing dengan penampilan semengancam itu pasti akan membuat para tamu senewen untuk hilir mudik.
Namun selagi Nisa mengumpulkan keberanian untuk menghalaunya, anjing asing itu perlahan menyingkir, lalu duduk di ujung gang komplek, memberikan keleluasaan bagi para tamu untuk keluar masuk. Maka Nisa segera silam ke dalam rumah, dengan batang hidung yang dipenuhi titik-titik keringat kecemasan.
Menjelang maghrib, ketika semua tamu sudah pulang dan rumah Nisa kembali sepi, anjing itu masih ada di ujung gang, dan masih memandangi rumah Nisa dengan seksama.

***

Setiap sore, anjing hitam itu selalu mondar-mandir di depan rumah Nisa. Sikapnya tenang; tidak menggonggong, tidak mengaduk-aduk tong sampah, tidak mengganggu kucing-kucing yang berseliweran. Tetapi akibat kehadirannya, kucing-kucing kompleks tidak berani lagi menghiba-hiba di depan rumah Nisa. Tanpa ngeongan para kucing liar, rumah Nisa jadi semakin sepi, dan hati Nisa bertambah hampa. Ia jadi lebih sering merindukan Akung.
Selama beberapa waktu, Nisa tidak terlalu memperhatikan anjing asing tersebut karena ia sibuk dengan urusan ujian kampus. Yang ia tahu, si anjing hitam rutin tidur di depan rumah Nisa semalaman, dan menghilang pada pagi harinya. Sore hari, ia muncul lagi. Begitu terus, setiap hari.
Pada suatu siang, sepulang kuliah, ketika ia akhirnya selesai berjibaku dengan ujian kampus, Nisa baru memperhatikan si anjing hitam. Nisa terkejut melihat kondisi binatang tersebut: badannya penuh luka yang tampak dalam, jalannya pincang, dan terdapat bekas gigitan di moncongnya. “Dasar anjing edan,” batin Nisa dengan iba. Dengan luka-luka separah ini, Nisa membayangkan setidaknya ada tiga ekor kucing kampung yang menjadi lawan berkelahinya semalaman.
Dengan ragu, Nisa mendekati anjing hitam yang sedang tersungkur di depan pagar rumahnya tersebut. Nisa berjongkok di hadapannya, lalu perlahan menyodorkan tangannya ke moncong panjang anjing itu. Nisa setengah mati takut jari-jarinya akan dicaplok, tapi teman Nisa, Michael, memelihara banyak anjing dan ia pernah bilang, cara terbaik untuk berkenalan dengan binatang itu adalah dengan menyodorkan tangan kita. Si anjing akan mengendusnya, kemudian rasa percayanya akan tumbuh.
Setelah si anjing hitam mengendus dan menjilat tangan Nisa, Nisa membawanya masuk ke teras rumah, kemudian melirik jam di ponselnya dengan cemas. Setiap Jumat, biasanya Abi pulang kantor lebih cepat agar bisa memberi kultum Maghrib di masjid. Rasa takut Nisa pada anjing ini berganti kepada rasa takut kepada Abi. Jika beliau sampai tahu Nisa dijilati anjing, ia bisa mengamuk. Mencuci tangan tujuh kali dengan air dicampur tanah tidak cukup baginya, apalagi kalau ia sampai tahu Nisa membawa anjing ini menginjak teras rumah. Nisa teringat kakeknya. Akung juga tidak akan setuju dengan kehadiran anjing di rumah, tetapi Nisa yakin, Akung akan lebih bersimpati kepada anjing malang ini.
Tetapi Nisa tetap membersihkan luka-luka si anjing hitam, serta memberinya makan dan minum. Anjing tersebut membalas kebaikan Nisa dengan tatapan berterimakasih, sebelum ia beranjak dan kembali duduk di luar pagar. Nisa menghela napas lega karena anjing tersebut tidak lantas betah bercokol di teras rumahnya.
Sore itu, langit mendung dan angin bertiup kencang. Tidak ada kucing-kucing liar keluyuran, sebagaimana biasanya sebelum hujan turun. Nisa berharap semoga malam ini, si anjing hitam tidak terlibat perkelahian lagi.

***

Dua hari kemudian, Nisa menemukan si anjing hitam dalam keadaan semakin parah. Luka-lukanya bertambah banyak dan dalam, padahal luka-luka lamanya belum kering betul. Sehari setelah itu, mata kirinya tercabik sesuatu hingga bernanah. Seminggu kemudian, tampak bercak darah kering di sekitar mulutnya dan anjing tersebut begitu lemas, ia nyaris tidak bisa berdiri. Apa yang kamu lawan, hei, anjing hitam? Nisa bertanya-tanya dalam hati. Kucing jalanan? Musang? Preman mabuk yang melampiaskan emosi biadabnya kepadamu?
Nisa selalu berusaha mengobati si anjing hitam dengan diam-diam, namun hidup di komunitas perumahan padat yang terlampau guyub membuat Nisa nyaris tidak dapat menyembunyikan apapun kegiatannya dari bisik-bisik tetangga.
Sesuai dugaan Nisa, keesokan harinya Abi mengomel lantaran ia mendapat laporan dari para jiran bahwa putrinya belakangan akrab dengan seekor anjing liar. “Kenapa kamu bawa najis ke rumah ini? Untuk apa juga kamu ngurusi anjing jalanan?!”
Seumur hidupnya, Nisa diajari untuk takut dan membenci anjing akibat status najisnya dalam agama yang ia anut, tapi Nisa tidak tega setiap kali menemukan si anjing hitam dalam keadaan babak belur.
Akhirnya Nisa membujuk temannya, Michael, untuk mengadopsi sementara si anjing hitam. Setidaknya, anjing itu akan jadi berjauhan dari komplotan kucing komplek yang Nisa curigai mengeroyoknya tiap malam. Nisa sekaligus berharap kemarahan Abi jadi akan mereda.
Setelah bernegosiasi dengan alot—Nisa berjanji akan membantu Michael mengerjakan tugas kuliahnya selama si anjing hitam berada di rumahnya—akhirnya Michael setuju. Pada suatu siang, Michael datang dengan sebuah mobil van, lengkap dengan kandang milik salah satu anjing peliharaannya, lalu membawa si anjing hitam pergi.
Namun selama enam hari berada di rumah Michael, si anjing hitam mengamuk dan tidak mau makan. Di hari ketujuh, Michael menyerah dan menelpon Nisa untuk mengembalikan anjing itu.
Nisa kalut mendengar laporan temannya, terutama gara-gara selama enam hari si anjing hitam berada di rumah Michael, Nisa tertiban sial bertubi-tubi. Abi nyaris dipecat dari kantornya atas sebuah tuduhan tak berdasar, cincin giok kesayangan Akung tak bisa ditemukan ketika pada suatu ketika Abi berinisiatif mencarinya, dan dalam perjalanannya ke kampus, ojek Nisa terserempet angkot sehingga ia melewatkan ujian sebuah mata kuliah penting. Kalau si anjing hitam dikembalikan, persoalan hidup Nisa jelas akan bertambah.
Setidaknya, sewaktu Michael mengambalikan si anjing hitam ke rumah Nisa, kondisi fisik binatang tersebut kelihatan jauh lebih baik. Lukanya sudah mengering semua, dan langkahnya kembali tegap. Tidak ada lagi nanah dari bekas cakar di dekat matanya. Ketika mobil van Michael berhenti di depan rumah Nisa, si anjing hitam langsung melompat keluar dari kandangnya dan kembali mondar-mandir di depan pagar dengan siaga. Ia tidak mendekati Nisa, seakan tahu tentang ketidaksukaan ayah Nisa kepadanya.
Di luar dugaan Nisa, Abi tidak gusar atas kembalinya si anjing hitam ke komplek perumahan mereka. Hati ayah Nisa sedang lega, karena tak lama setelah si anjing hitam kembali, atasan yang memfitnahnya terbukti korupsi. Hasil ujian susulan Nisa pun ternyata gemilang. Dalam hati Nisa merasa bahwa anjing itu sebenarnya membawa keberuntungan, tetapi ia tidak berani menyampaikan hal tersebut ke ayahnya. Lagipula, cincin giok Akung belum berhasil ditemukan, dan Abi masih gelisah dengan fakta tersebut.
Nisa sendiri juga gelisah karena misteri yang belum kunjung terpecahkan: apa yang menyebabkan si anjing hitam seringkali babak belur? Apakah ada orang gila—atau binatang liar berbahaya—berkeliaran pada malam hari di komplek perumahan Nisa, dan seringkali terlibat perkelahian dengan si anjing?

***
              Nisa bukan orang yang suka begadang. Ia bisa dengan mudah bangun subuh-subuh tanpa alarm, sebelum azan berkumandang, tapi ia tidak pernah kuat untuk tetap terjaga lewat dari jam sebelas malam.
Tetapi pada Kamis malam ini, Nisa bertekad untuk begadang. Jika perlu, semalaman suntuk.
Pada jam setengah satu malam, saat Nisa yakin Abi sudah terlelap, ia mengendap-endap keluar dari kamarnya. Di lantai dua rumah Nisa terdapat ruangan kecil yang difungsikan sebagai perpustakaan mini. Ruangan kecil ini terletak persis di seberang kamar Nisa, dengan jendela berteralis yang tepat menghadap pagar rumah.
              Nisa menyeret kursi dari kamar, lalu memposisikannya di depan jendela. Ia sengaja tidak menyalakan lampu utama, sebab jika Abi terbangun malam-malam, beliau akan heran melihat lampu di lantai dua menyala. Nisa hanya membawa ponselnya yang sekaligus berfungsi sebagai senter, selembar sarung, serta secangkir kopi.  
              Malam itu suasana sepi sekali. Nisa hanya bisa mendengar suara jangkrik dan detak jam dinding. Tak ada sayup-sayup musik dangdut yang kadang disetel oleh para petugas siskamling di pos jaga mereka. Nisa duduk di depan jendela sembari celingak-celinguk melongok keluar. Ia menyelimuti tubuh dan kepalanya dengan sarung. Pandangannya menyapu garasi, teras, halaman depan, dan area depan rumah yang diterangi oleh lampu jalan. Si anjing hitam terlihat mondar-mandir di depan pagar, sesekali menguap dan mengendus-endus bak sampah yang ada di seberang rumah Nisa.
Tak lama kemudian, muncul tiga ekor kucing jalanan. Spontan Nisa duduk tegak untuk memperhatikan mereka dengan seksama, dan siap-siap berlari ke luar untuk melerai kalau mereka mulai berkelahi. Di luar dugaannya, ketiga ekor kucing tersebut mengacuhkan si anjing hitam yang hanya berdiri mengamati. Mereka cuma mengais-ngais bak sampah mencari makanan sisa, saling bersenda gurau, bahkan dua di antaranya sempat kawin diiringi dengan erangan-erangan binal. Tak ada interaksi, apalagi perkelahian, dengan si anjing.
              Nisa mulai mengantuk. Ia memeluk kedua kakinya yang diangkat ke atas kursi, membenamkan kepalanya di antara dua lutut, tetapi ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak ketiduran. Rasa penasarannya terlampau besar dan ia harus mendapatkan penjelasan mengapa si anjing hitam punya begitu banyak bekas luka, meskipun Nisa yakin anjing tersebut tidak agresif. Namun jika binatang itu memang ternyata berbahaya, apakah anjing tersebut sebaiknya disingkirkan? Disuntik mati di penampungan hewan? Dijual ke lapo? Tegakah dirinya? Nisa bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.   
Seandainya Akung masih ada, mungkin Akung punya jawabannya, pikir Nisa. Kebijakan dan kemampuan observasi Akung tetap tajam sampai akhir hayatnya, meskipun fisik beliau mengkhianati kemudaan pikirannya. Nisa mengingat-ingat Akung sambil, tanpa sadar, memijat-mijat jarinya sendiri. Pikirannya tambah terusik memikirkan cincin Akung yang hilang.
              Nisa melirik ponselnya. Tepat pukul tiga pagi. Untuk mendistraksi rasa kantuknya, ia memainkan senter yang ada di ponselnya. Diarahkannya ke luar jendela, ke arah langit kota yang penuh polusi dan gelap tak berbintang, lalu ke arah si anjing hitam.
Pada saat itu, jantung Nisa mendadak terasa berhenti berdegup. Seketika, ia bisa merasakan titik-titik keringat di hidungnya terbit dengan cepat. Nisa tidak bisa bergerak ataupun bersuara, meski ia ingin sekali menjeritkan nama Tuhan, menjeritkan ayat apapun yang ia ingat dari kitab suci, atau berteriak memanggil ayahnya, yang kemungkinan sedang terbangun untuk beribadah di sepertiga malam ini. Tetapi pita suara Nisa seakan hilang, dan ia hanya bisa mematung melihat apa yang hadir di luar pagar rumahnya.
              Di sana, si anjing hitam berdiri tegak menghadap kanan jalan, seperti menantang sesuatu. Di hadapannya, Iblis bergerak mendekat.
              Nisa belum pernah melihat Iblis, tetapi tidak ada keraguan di hatinya, bahwa makhluk yang tengah ia lihat adalahnya.
              Makhluk itu berbentuk seorang anak perempuan berambut panjang hingga menyentuh pahanya. Ia mengenakan gaun yang warnanya terlihat berubah-ubah di mata Nisa—kadang putih, kadang kelabu. Ia tampak melayang, tidak seperti melangkah. Sosoknya kabur, seakan-akan ada asap mengelilinginya, sehingga pandangan Nisa terhadap Sang Iblis bagaikan lensa kamera yang tidak bisa fokus.
Si anjing hitam mengeluarkan suara geraman yang dalam. Ekornya lurus kaku ke belakang, kedua telinganya berdiri tegak, dan kakinya mengambil posisi ancang-ancang. Ketika anak manusia jadi-jadian itu berdiri tepat di hadapan si anjing hitam, ia membungkukkan badannya dan mengucapkan sesuatu. Nisa bisa mendengarnya. Demi Tuhan, Nisa bisa mendengarnya. Sang Iblis mendesiskan serangkaian kalimat dalam bahasa asing yang terdengar lebih tua dari peradaban manusia, lebih tua dari Muhammad, lebih tua dari Isa, lebih tua dari Adam sendiri.
Seluruh bulu di tubuh Nisa berdiri.
Sambil tersenyum, anak perempuan itu menjulurkan tangganya, hendak mengelus kepala si anjing hitam, tetapi binatang itu segera menggigitnya dengan ganas. Wajah sang Iblis mendadak tua dan berkerut-kerut murka. Mulutnya yang menganga tanpa suara tampak gelap, seperti sumur tak berdasar. Sedetik kemudian, anak perempuan itu berubah menjadi seekor ular besar dengan sisik hitam-abu. Panjang ular tersebut mencapai sepuluh meter, dengan mulut yang dilengkapi dengan dua taring panjang yang tampak berkilat-kilat, bahkan di tengah gelapnya malam.
Ular tersebut memanjangkan badannya, lalu membuka mulutnya lebar-lebar. Dengan secepat kilat, sang ular menerjang leher si anjing dan menghujamnya dengan kedua taringnya hingga ia sontak belingsatan. Si anjing hitam limbung, dan sang ular menggunakan kesempatan itu untuk melilit sekujur badan si anjing. Setengah mati si anjing berusaha mencabik dan menggigit sang ular, sebelum ia mati remuk dalam belitannya. Mereka berguling-guling di jalanan, saling menyerang dengan buas dalam sunyi, tanpa suara.
Dengan bersimbah keringat dingin, Nisa terpaku menyaksikan seluruh adegan tersebut di balik teralis jendela rumahnya. Ia setengah yakin ini semua hanya mimpi buruk, sampai tiba-tiba terdengar suara parau menggema dari arah timur komplek perumahan. Suara tersebut diiringi oleh bunyi klontang-klonteng dengan ritme yang tetap. Teng… teng, teng! Teng… teng, teng!
“Sahur… sahur!”
Nisa tersentak. Ia lupa bahwa sejak dua bulan lalu, setiap Senin dan Kamis subuh para pemuda masjid rutin membangunkan warga kompleks untuk berpuasa sunnah. Sebagian dari mereka berseru-seru lewat toa masjid, sebagian lainnya memukul-mukul tiang listrik di depan masjid. Perhatian Nisa sejenak teralih, namun dengan panik, matanya segera kembali mencari-cari si anjing dan sang Iblis di kegelapan.
Ternyata si anjing hitam berhasil melepaskan diri dari sang ular jahanam. Seiring dengan seruan sahur, makhluk itu melata menjauh ke arah sebuah pohon mangga besar di ujung jalan kompleks perumahan, lantas bergerak melingkari batang pohon tua tersebut sebelum menghilang di balik dedaunannya yang rimbun.
Si anjing hitam tetap kokoh berdiri demi memperhatikan Sang Iblis, sampai makhluk tersebut benar-benar tak terlihat. Lidah si anjing menjulur panjang, badannya sesekali oleng, namun padangannya tetap awas dan ekornya tetap lurus ke belakang. Setelah yakin sang Iblis tidak akan kembali malam hari itu, anjing tersebut ambruk ke aspal. Badannya gemetar dan napasnya tersengal-sengal.
Nisa berlari ke luar pagar rumahnya, menuju si anjing yang kini terbaring kelelahan. Ia mengelus-elus kepalanya, lalu mengelap luka-luka baru di tubuh si anjing dengan sarung, sampai sarung tersebut berbau anyir darah. Mata kiri anjing tersebut bengkak dan bentuk badannya terlihat memilukan dengan bentuk rusuk yang aneh, sehingga Nisa yakin ular besar tadi telah meremuk tulang-tulang rusuk tersebut. Dengan tertatih-tatih, Nisa menyeret si anjing hitam ke teras rumah, kemudian membungkus badannya dengan sarung. Ia tidak peduli kalau nanti Abi tahu.
Di teras rumah Nisa, kepala anjing tersebut mendadak tegak, sebelum ia memuntahkan cairan kental berwarna kuning ke lantai garasi. Nisa setengah melompat ke belakang, menghindari muncratan muntah tersebut. Setelah itu, kepala si anjing kembali ambruk ke lantai.
Ada sesuatu di genangan muntahan si anjing yang menangkap mata Nisa. Dengan ujung gagang sapu yang ada di garasi, Nisa mengorek genangan muntah itu dan menemukan cincin berbatu giok milik Akung. Sekonyong-konyong bau amis darah si anjing berganti dengan bau semir rambut bercampur aroma kopi tubruk kesukaan Akung. Telapak tangan dan kaki Nisa mendadak dingin. Ia memejamkan matanya sesaat, berusaha mencerna seluruh kejadian malam ini.
Namun Nisa gagal mendapatkan logika. Ia hanya merasakan airmata menggenang di pelupuk matanya. Ketika ia membuka mata, si anjing hitam sudah berhenti terengah-engah dan matanya menatap kosong ke luar halaman rumah. Nisa memegang kedua kaki depan anjing tersebut dengan erat. “Kung, terima kasih, ya…” ia berbisik. Untuk kedua kalinya, kakek Nisa pergi saat sedang dalam genggaman tangannya.
Ketika azan Subuh menggema, Nisa akhirnya paham bahwa makhluk yang datang ke rumah Nisa malam itu tidak selalu datang setiap malam. Tetapi yang pasti makhluk itu datang, membawa nasib sial bersamanya. Nisa tidak tahu mengapa dirinya, mengapa keluarganya, mengapa rumahnya, dan sejujurnya, ia tidak ingin tahu.
Selama beberapa waktu, Nisa dan ayahnya berhasil dilindungi oleh kakeknya, sang penjaga, dari malapetaka dan marabahaya. Sesaat hati Nisa terpelintir rasa trenyuh, tetapi sejurus kemudian, segera tergantikan dengan perasaan takut, membayangkan apa yang akan terjadi padanya dan Abi esok hari dan seterusnya, setelah kini Akung pergi selamanya.

(image credit: Matt Huynh)

Travel Photo Series

$
0
0
DSCF2250

Pada nyadar nggak, sih, bahwa gue udah nyaris nggak pernah nulis cerita travelling lagi di sini? Padahal, kalau boleh GR, kayaknya tulisan perjalanan gue adalah salah satu kekuatan blog ini (GR banget)

Kenapa, La? Apakah karena lo nggak pernah pergi-pergi lagi? Monmap banget, bukannya sombong (hanya sedikit angkuh), tapi setahun terakhir kesempatan gue untuk bepergian masih lumayan. Alhamdu? Lillah. Sayangnya, kesempatan gue untuk menuliskan perjalanan-perjalanan tersebut malah mengecil. Dulu, tiap kali bepergian, gue bisa tekun banget mencatat berbagai detil perjalanan gue untuk ditulis ulang di blog (“Pagi-pagi jam 8 bangun tidur. Jam 8.30 pup. Jam 9 nyari abang cilok. Kok nggak ada? Oya, ini ‘kan di Amerika”), trus pas pulang, langsung gue tuliskan sampai berseri-seri di blog. Cewewetnya warbiyasak. Sekarang, sih, boro-boro, deh. 

Di satu sisi, bagus, sih. Karena gue jadi lebih meresapi perjalanan gue, tanpa rese’ nge-Instastory, nge-post ke medsos, nyatet ini-itu. Tapi di sisi lain, gue jadi nggak punya rekaman dan catatan keterangan perjalanan gue. Sayang juga, ya.

Meski demikian, gue masih sering motret setiap kali halan-halan, tapi jarang gue publish. Alhasil, foto-foto perjalanan gue banyaaaak sekali yang ngendon begitu saja di external HD. Nggak di-pamerkan secara digital maupun cetak. 

Padahal kalau lagi GR, gue suka mikir, foto-foto gue leh ugha, ah. Rasaan nggak kalah sama foto-fotonya Alodita, hahaha (yha tentunya perasaan itu memang hanya perasaan…). Maka, dengan mengucap basmalah, gue mau mencoba memulai seri blogpost travel photo essay. Jreng-jreng!

Dengan prinsip “a picture tells a thousand words”, semoga gue jadi nggak harus ngetik panjang tentang kisah-kisah perjalanan gue, sehingga gue jadi nggak malas untuk nge-post.

Untuk post pertama, gue akan bercerita tentang… Tokyo! 

(trus post-nya nggak ada)
(untuk post berikutnya, yaaa...)
(sumpah nggak pakek lama. UDAH ADA DI DRAFT!)

Travel Photo Series: Tokyo, How Do I Love Thee? Let Me Count The Ways

$
0
0
DSCF2361

Kalau bicara soal Jepang, sudah pasti gue bakal bias-sebias-biasnya.

Jepang—khususnya Tokyo—adalah kota yang dekat dengan hatikyu, karena Tokyo adalah destinasi perjalanan internasional pertama gue. Gue perdana menginjakkan kaki di Tokyo waktu gue TK, dan hamdalah berkesempatan bolak-b alik ke sana sejak itu. Alhasil, di kepala, terbentuk kolase yang terdiri dari berbagai memori yang tercipta di ibukota negara Matahari Terbit tersebut. 

Gue ingat, waktu masih TK, malam-malam gue diajak bokap jalan blusukan ke gang-gang gelap Tokyo, trus belajar makan semangkok nasi panas pakai sumpit di sebuah kedai kecil remang-remang. Nasinya, sih, ambyar, tapi hatiku hangat.

Gue ingat, waktu SMP, kami sekeluarga ke Tokyo tapi nggak nginep di hotel, melainkan numpang nginap di apartemen seorang teman bokap yang kebetulan lagi kosong. Di akhir tahun 90an begitu, boro-boro ada konsep Airbnb. Maka rasanya aneh-aneh gimana gitu, ya, numpang nginep di sebuah apartemen Tokyo yang sempit warbiyasak, milik orang asing pula. Tidur pun pake sakit pinggang gara-gara tidurnya pake futon, sambil tatap-tatapan dengan foto keluarga si pemilik apartemen di samping kasur. Wowww, mesra.

Gue ingat, ketika gue pertama kali ke Tokyo berduaan adik gue, tanpa ortu, jaman kuliah dulu. Waktu itu awal tahun 2000an (age revealing banget, nih!), belum ada smartphone. Alhasil 80% dari isi jalan-jalan kami adalah nyasar dan berantem karena nyasar. Sisi positifnya, kami mendapat banyak ilmu, baik yang berfaedah maupun yang receh. Contoh ilmu berfaedah: mengasah nalar sendiri untuk menavigasi hutan subway Metro. Contoh ilmu receh: pertama kali tahu bahwa McDonalds dibaca “Mekudonaru” dan Uniqlo di-pronounce “Yunikuro” (kenapa, sih, orang Jepang menciptakan nama brand dengan huruf L, kalau nggak bisa di-pronounce?!).

DSCF2250

DSCF2202

Biasanya, kalau kita diperkenalkan kepada suatu hal ketika kita masih kecil, hal tersebut akan imprinted ke kepala kita dengan dalam. Begitulah relasi antara gue dan Tokyo. Karena dikasih icip sedari kecil, selama bertahun-tahun, gue merasa Tokyo dan budaya kehidupan masyarakatnya adalah yang terkeren sedunia!!1!1!! Dan gue nggak pernah mau melewatkan kesempatan untuk balik lagi ke sana.

Tapi semenjak turisme global menguat, dan Tokyo akhirnya jadi “Singapura kedua” bagi turis Indonesia, gue jadi males plesir ke Jepang. Yes, yes, call me pretentious dan somsek, tapi jujur aja, ada setitik rasa malas pergi ke tempat yang banyak orang Indonesianya. Ada perasaan rugi, sejenis “Udah pergi jauh-jauh, keluar duit banyak, eh yang kita denger logat anak Jaksel ugha. Which is, basically, like, literally kek gimana, gitu...” Padahal salah satu kesenangan travelling ‘kan mendapat atmosfer yang seasing-asingnya, sebaru-barunya, ya.

Sampai bulan lalu.

DSCF2293

DSCF2326

DSCF2197

DSCF2325

Setelah tujuh tahun melewatkan berbagai kesempatan pergi ke Tokyo, bulan Juli kemarin akhirnya gue berkesempatan pergi lagi ke sana, selama enam hari, bareng keluarga. Wuidiiih.

Apa rasanya, La? Pertama, rasanya agak kaget, karena Tokyo lumayan berubah sejak terakhir kali gue ke sana. Kedua, rasanya bak CLBK. Sungguh.

Meskipun ada beberapa wajah Tokyo yang berubah—misalnya, manusia-manusia di Tokyo sekarang jadi jauh lebih beragam, sehingga kotanya terasa lebih jadi “melting pot” dibandingkan saat gue terakhir kali ke sana—perjalanan tersebut kembali mengingatkan gue, kenapa dulu gue jatuh cinta dengan Jepang, khususnya Tokyo. Kenapa tuh, La?

Karena “kepribadian” Tokyo sesuai banget dengan kepribadian gue.

Tau ‘kan, kalau setiap kota di dunia punya karakter dan kepribadian khasnya masing-masing? Kebetulan, rasa-rasanya, gue cocok dengan karakter dan kepribadian Tokyo. Pokoknya seandainya Tokyo adalah seorang laki, maka akan kujadikan suami, sementara kalau dia adalah seorang perempuan, maka akan kujadikan saudara seumur hidup. Takbir!

Apa aja, sih, karakter, dan kepribadian Tokyo yang gue rasa cocok dengan gue?

TERATUR

DSCF2333

Seperti kepribadian gue—si 40% Libra 60% Virgo—Tokyo adalah sebuah kota yang teratur, sistematis, simetris, dan berpola. Semua orang bergerak pada jalurnya, memposisikan diri pada tempatnya, pada waktu yang semestinya. Pernah denger istilah “keteraturan dalam kekacauan” nggak? Gue yakin istilah itu lahir dari Jepang, karena sekacau-kacaunya suatu hal di Tokyo, rasanya selalu ada keteraturannya.

Gue nggak pernah melihat kerumunan orang seteratur kerumunan orang di Jepang.

Misalnya, di peron kereta saat rush hour, atau di Tokyo Disneyland saat lagi mau nonton pertunjukkan. Walaupun awalnya mereka bejubel dengan chaos, pelan-pelan manusia-manusianya otomatis bikin barisan, atau semacam keteraturan dalam bergerombol tersebut.

DSCF2550

DSCF2553

Kadang keteraturan tersebut terjadi karena arahan otoritas, tapi biasanya terjadi karena sudah insting orang-orangnya aja. Jangan-jangan, orang Jepang nggak punya hasrat nyelip, nyelak, atau keluar jalur. Self-control-nya, kok, warbiyasak gitu? Pada rajin puasa sunnah apa gimana?

Kalau ada orang yang merasa nggak nyaman, nggak sabar, pegel, atau kebelet pup ketika berada di tengah kerumunan itu, kayaknya dia telen aja, deh, demi keteraturan.

TERTUTUP DAN PRIVATE

DSCF2085

Juga seperti gue, Tokyo adalah kota yang introvert dan sangat menghargai privacy, apalagi kalau dibandingkan orang Amerika. Semua orang berbicara seperlunya, nggak ada yang suka ngobrol basa-basi ke orang asing, dan mereka menjunjung tinggi keheningan. Di dinding berbagai stasiun kereta, gue lihat ada banyak poster iklan layanan masyarakat yang menghimbau agar penumpang nggak berisik di kereta.

Apa, sih, definisi berisik mereka? Main gendang? Ketawa-ketawa ngakak bareng teman-teman segeng? Nggak, tuh. Bagi mereka, definisi berisik bisa sesederhana mendengarkan musik keras-keras… pakai headphone. Jadi suara musik yang bocor dari headphone pun dianggap sebuah keonaran, pemirsa! Wow, keknya Tokyo nggak Batak-friendly, ya :D Padahal untuk standar Jakarta, suara bocor dari headphone tentunya suara sepoi-sepoi belaka.

Selama bolak-balik naik kereta Metro, gue, Teguh, dan Raya kadang ngobrol di perjalanan. Ngobrolnya biasa aja, dengan level suara yang sangat normal, standarnya orang Jawa, lah.

Tapi begitu doang pun gue merasa nggak enak, karena NGGAK ADA SATUPUN orang di sekitar kami yang ngobrol, baik di telpon, atau ngobrol live sama temannya. Pokoknya semua sileeeent… of the lamb.

DSCF2117

DSCF2129

DSCF2130



DSCF2142

Yang lebih absurd adalah perihal memanggil orang di publik. Seringkali, waktu kami sedang berada di kerumunan, salah satu dari kami terpisah. Misalnya, tau-tau si Raya ngacir duluan entah kemana. Tentunya, gue harus agak teriak memanggil si oknum yang terpisah, karena susah ngubernya. 

“Rayaaaa! Aydiiiin!” Lagi-lagi, dengan level suara sewajarnya, ya, bukan level suara kenek manggil penumpang nggak bayar. Nggak “WOY, WOY LAE!!!”

DSCF2280

DSCF2288

Nah, walaupun kerumunannya sedang ramai, gue betul-betul nggak enak teriak-teriak manggil-manggil… because no one else does it. Serius, deh. Nggak pernah sekalipun gue menyaksikan orang Jepang berseru memanggil orang lain, termasuk ibu dalam memanggil anaknya. Padahal di kerumuman, hal tersebut ‘kan wajar terjadi, ya. Apalagi yang namanya anak kecil, pasti doyan ngacir, sehingga emaknya harus jejeritan, “Otooong! Balik sini!”. Tapi sepanjang mata gue memandang, nggak ada, tuh. Alhasil, oknum yang mau dipanggil ya harus dikejar.

DSCF2163

DSCF2176

DSCF2177

Bagi orang Indonesia yang biasa teriak-teriak, hal ini mungkin merepotkan. Memang betul. Tapi gue juga melihat ini sebagai hal yang indah. Siapa, sih, yang nggak senang hidupnya bebas polusi suara?
Ke-private-an ini sudah gue sadari dari dulu, sejak gue menyadari bahwa kalau ada orang Jepang baca buku di publik, bukunya pasti dibungkus kertas polos, sehingga sampul aslinya nggak kelihatan. Kenapa harus malu, sih? Apa mereka lagi baca buku stensilan atau hentai? Pas gue intip, bukunya normal aja, tuh. Mereka sekedar nggak pengen orang lain tahu, mereka sedang baca apa.

HP Jepang pun terkenal karena fitur kameranya nggak bisa di-silent. Jadi kalau kita motret dengan HP Jepang, pasti akan ada suara CEKREK-nya, meski sudah disetel ke fitur silent. Tapi hal ini gue pahami motivasi "penting"nya, yaitu supaya nggak ada orang yang bisa diam-diam motret pervert (misalnya, motret dari bawah rok cewek).

Ke-private-an orang Jepang pun dibawa ke ranah kamar mandi. Pasti pada tahu, dong, kalau toilet di Jepang umumnya dilengkapi oleh washlet, alias seperangkat fitur untuk mendukung kenyamanan buang hajat? Mulai dari tombol flush besar, flush kecil, semprotan air untuk cebok depan, semprotan air untuk cebok belakang, tombol untuk menghangatkan dudukan toilet, sampai tombol suara latar, ada semua.

Tombol suara latar ini kayaknya fitur yang baru muncul sepuluh tahun terakhir. Intinya, sih, di toilet umum, kita bisa menekan sebuah tombol yang akan memutar suara. Entah suara nada lagu, suara gemericik air, suara burung-burung, macem-macem, deh. Untung bukan suara orang ngajak ngobrol, ya, "Yaaak... sedikit lagi... keluarkan sepuasnyaaa... bageuus..." 

Tujuannya supaya suara pipis dan pup kita ketutup. High-level privacy ya, neyk.

SENSE OF FASHION

I absolutely love Japanese’s sense of fashion. I really do.

Sebelum gue elaborasikan alasannya, flashback dulu, ya.

Jaman dulu, setiap kami sekeluarga ke Jepang, nyokap suka cerewet nyuruh kami tampil rapi. Walaupun cuma mau halan-halan nuris dan foto-foto di samping kembang macem TKW piknik di taman, nyokap nggak mau kami pakai kaos oblong belaka. Pakai kemeja, lah. Minimal polo shirt. Baju harus disetrika dulu sebelum dipakai. Palet warna dan motif baju baeknya juga jangan heboh, lah, takutnya nanti jadi norak. Dulu gue heran: mau plesir santai doang, kok, tata busananya seribet busana mau ngelamar kerja (atau ngelamar anak orang)?

Ternyata karena gaya berpakaian orang Jepang sungguh tertata rapi adanya. Saking rapinya, nyokap gue sampai insecure. Namun sebagai si Virgo yang obsesif dan perfeksionis terhadap keteraturan, sebenarnya gue suka sama hal ini. Pasalnya, gaya berpakaian sehari-hari gue memang cenderung minimalis dan simetris, meski nggak mistis. Cocok, 'kan.

Style rapi gini tergantung tren dan kelompok masyakarat juga, sih. Penampilan anak-anak muda Jepang juga bisa ajaib, kok, apalagi pas Harajuku-syle lagi booming. Di era tersebut, nyokap gue sempat kaget dan agak kecewa melihat sebagian orang Jepang pakai baju tabrak lari, self-tanning berlebihan, dan men-cat rambut mereka jadi pirang. Tapi toh hal tersebut cuma musiman.

Enivei, setelah sekian lama nggak ke Jepang, pertengahan tahun ini gue kesana lagi, dan Alhamdulillah, fashion style orang Jepang secara umum masih cukup konsisten. Setail seperti apakah itu?

Pertama: terkoordinasi.Biasanya, keseluruhan pakaian orang Jepang apik dan mecing, tanpa pola, model, atau warna yang bertabrakan. They usually keep everything simple and minimalistic, supaya tampil tertib.

Kedua: polos. Bukan berarti mereka anti motif, sih, tapi sepengelihatan gue, orang Jepang lebih suka pakai baju polos. Kalaupun pakai baju bermotif, biasanya motif yang klasik seperti stripes, polkadot, gingham, dan sejenisnya. Mereka nggak doyan motif tye-dye, motif logo Louis Vuitton, apalagi logo Versace yang cari perhatian banget ala Hotman Paris. Kalaupun ada yang pakai baju begitu, umumnya karena si pemakai baju memang pengen sarkastik atau lucu-lucuan.

Orang Jepang juga kurang suka memakai pakaian atau atribut yang berlogo gede. Misalnya, baju berlogo Nike, Adidas, Hollister, segede-gede gaban. Kebalikannya orang Amerika, deh. Nggak heran kalau merk-merk Jepang seperti Uniqlo dan MUJI nggak pernah memampang logo di baju-baju mereka.  Koleksinya selalu polos, klasik, dan clean cut, and I absolutely love that.

Gue pun menyadari bahwa selera “polos” orang Jepang dalam berbusana ini nyambung dengan sifat mereka yang introvert, private, dan nggak suka cari perhatian.

Ketiga: rapi. Beuh, soal ini jangan tanya, deh. Baik pakaian formal maupun kasual, gaya berpakaian orang Jepang sungguh easy on the eyes, karena senantiasa rapi—tersetrika, bersih, dan entah bagaimana nggak ada yang basah ketek atau basah punggung meski hawa lagi panas. Trust me on this, berhubung tahun ini gue ke Tokyo di tengah HEATWAVE, kakak!

Mungkin karena kecintaan mereka terhadap kerapihan inilah, orang Jepang banyak membuat inovasi produk yang mendukung keapikan penampilan mereka. Misalnya, setrikaan dan papan setrika mini yang bisa dibawa kemana-mana, lembaran untuk ditempel di bagian ketiak baju, supaya si pemakai baju nggak bas-ket kalau keringetan, tisu basah untuk lap badan yang bisa memberi sensasi “bedakan” setelah dipakai, dan sejuta printilan lainnya.

Intinya, orang Jepang punya kedisiplinan tinggi untuk tampil presentable di setiap waktu, bahkan mungkin untuk sekedar beli gula di warung sebelah pagi-pagi buta. And I absolutely respect this. Disiplin rapi begitu capek, lho. Tanya aja anak STPDN.

Keempat: suka keseragaman. Konsisten dengan sifat mereka yang nggak suka cari perhatian, orang Jepang suka dengan pakaian yang “seragam”. Kita tahu bahwa para pekerja kantoran Jepang punya standar baju ngantor, yaitu kemeja putih dan celana hitam, dengan tas kerja yang juga sama bentuknya. Begitu juga perlengkapan para pelajar sekolah di sana, umumnya seragaman sampai ke hal-hal terkecilnya.

Okelah, itu ‘kan seragam kerja dan sekolah, ya. Bagaimana kalau orang Jepang lagi bersantai, halan-halan, atau rilek-rilek akhir pekan? Ternyata teteup, mereka doyan seragaman!

Sebagai contoh, tiap kali gue ke Tokyo Disneyland, gue menemukan bahwa wisatawan Jepang sukaaaa sekali datang pakai baju kembaran dengan temannya / pacarnya / suami-istrinya / gengnya / anaknya / keluarganya / siapapun yang datang barengan hari itu. Seragamannya bisa sesimpel pakai kaos yang sama, bisa seribet pakai atasan, bawahan, aksesoris, kaos kaki, sepatu, gaya rambut, dandanan, bahkan kostum / cosplay yang sama.

DSCF3075

DSCF3078

DSCF3088

Setengah hati gue melihat aksi seragaman tersebut lucuk dan gemesh, setengah hati gue merasa iba karena seakan merefleksikan sifat orang Jepang yang rada nggak pedean dan nggak mau menonjol dengan tampil unik masing-masing. Mungkin lho, yaaa...

DSCF3169

SELERA MAKANAN

Seiring dengan berkembangnya Jepang-isme di masyarakat Indonesia, makanan Jepang juga semakin dekat di hati orang kita. Di Indonesia—apalagi di Jakarta—restoran Jepang makin banyak, makin variatif, dan makin otentik. Sehingga orang Jakarta juga umumnya sudah paham bahwa, misalnya, Hoka-Hoka Bento bukanlah “makanan Jepang”. Plis, deh!

Trus, ketika orang-orang Indonesia—seenggaknya yang di lingkungan gue—pada plesir ke Jepang mereka pada memuji-muji sekali makanan Jepang. Katanya enak banget!

Apakah betul begitu? Saat gue ke Tokyo, mungkin nggak semua makanan yang gue temui 100% enak, sih, tapi 80%-nya memang sakseis. Kok bisa?

DSCF2297

Ini analisa sotoy, ya, tapi gue merasa bahwa salah satu kunci kelejatan haqiqi makanan Jepang adalah karena kesadaran mereka dalam menjaga berat badan. Orang Jepang terkenal sangat menjaga berat badan. Overweight bukan cuma dianggap memalukan, namun juga dianggap penyakit. Ibu hamil aja diwanti-wanti ob-gyn mereka, supaya jangan sampai kegemukan, sehingga batas toleransi kenaikan berat badan bumil Jepang ketats banget. Terbukti, di Jepang, gue jarang banget—apa nggak pernah, ya?—menemukan orang gemuk, apalagi obesitas.

Apa ngaruhnya dengan kelejatan makanan mereka, kak?

Pertama, tingkat kemanisan dessert Jepang—menurut gue—jadi betul-betul pas. Nggak terlalu manis atau rich, apalagi kalau dibandingkan dengan American desserts yang giungnya tiada ampun. Sekali gigit langsung diabet. Bahkan beberapa kue tradisional Indonesia jadi terasa kemanisan dibandingkan kue dan roti Jepang. Ditambah dengan teksturnya yang sehalus awan kinton, nggak heran kalau Japanese desserts jadi mendunia.

DSCF2312

DSCF2313

Kedua, gue merasa porsi makanan Jepang jadi PAS. Setiap gue makan di restoran di Jepang, hati gue yang kemaruk ini sering membatin: kok makanannya cimit, sih? Rasanya kecil, dibandingkan porsi yang biasa gue temui di restoran pada umumnya. Trus gue tersadar, mungkin gue merasa begitu karena gue membandingkannya dengan standar porsi Amerika yang raksasa. Pas selesai makan, porsi makanan Jepang ternyata cukup banget, kok, buat gue. Mengenyangkan, tanpa bleneg, tanpa mubazir. Porsi cimit-tapi-cukup ini nggak hanya berlaku untuk makanan besar, ya, tapi juga porsi kemasan kue atau biskuit, misalnya. Pas semua.

DSCF2363

DSCF2365

DSCF2372

Ketiga, makanan Jepang terasa lezat dengan kesederhanaannya sendiri. Ciyek, apa tuh maksudnya? Maksudnya, gue merasa, makanan Jepang pada umumnya diolah dengan sederhana aja, tanpa elaborasi dan condiments yang berlebihan. Simple ingredients, simple seasoning, tapi semua bumbunya meresap dan lejat.

DSCF2300

DSCF2302


DSCF2307

CONSIDERATE

Tadi gue udah menyebutkan bahwa inovasi produk printilan orang Jepang itu warbiyasak. Menurut gue, yang membuatnya warbiyasak adalah betapa considerate-nya fungsi dari berbagai produk tersebut.

Misalnya, yang paling jadul aja, nih: pore strip untuk hidung. Inovasi yang kok-ya-kepikiran-tapi-berguna banget, ‘kan? Trus, pelapis untuk bagian ketiak baju, supaya kita nggak bas-ket. Trus, berbagai macam masker. Bukan masker kecantikan ya, tapi masker buat tutup hidung-mulut. Karena orang Jepang doyan pakai masker kalau keluar rumah, varian masker yang mereka jual bermacam banget, lho. Ada masker yang memberi ruang napas lebih lega, sampai masker yang memberikan aroma peppermint supaya orang pilek nggak mampet lagi. Vaw!

DSCF2230

DSCF2223


Dari contoh-contoh kecil tersebut, gue menyimpulkan bahwa orang Jepang suka banget membuat inovasi produk sehari-hari, tapi bukan sekedar supaya produknya laku melainkan supaya produk tersebut benar-benar menjadi solusi masalah, bahkan ketika konsumennya nggak menyadari eksistensi ((eksistensi)) masalah tersebut.

Selama ini elo ngomel nggak, kalau lagi pilek tapi harus pakai masker sehingga napas terasa engap? Mungkin nggak, ya. Orang Indonesia ‘kan biasa susah, jadi sikon tersebut ditelen aja :D Eeeh, ujug-ujug orang Jepang memberi solusi atas problema tersebut.

DSCF2762

Contoh lain: di Jepang, ada obat semacam Betadine untuk mengomati luka. Bedanya, “betadine” ini akan “mengering” dalam hitungan detik setelah dioleskan, dan membentuk semacam lapisan transparan, seperti kulit kedua. Dan lapisan ini nggak akan luntur walau kena air. Baru akan hilang kalau dikeletek. Macem lem UHU kering gitu, lah ya. Alhasil, kulit disembuhkan DAN dilindungi dalam waktu bersamaan. Entah bagi elo, tapi bagi gue, hal ini considerate banget.

T bilang, perekenomian Jepang lagi stagnan banget, dan secara teknologi, mereka sudah lamaaaa nggak membuat inovasi baru. Tapi coba liat, dong, inovasi daily products-nya. Aku sih pengen tepok tangan!

***

Tuh 'kan, gue bias banget. Kesan-kesan gue terhadap Jepang positif semua, hahaha. Bukan hanya karena kultur negara tersebut ke-imprint di kepala gue sedari kecil, tapi juga karena “sifat” masyarakat Jepang pada umumnya cocok dengan gue, seperti yang sudah gue jabarkan di atas.

Oh! Satu lagi! I love the fact that Japan is weird.  Weirdly neat. Weirdly shy. Weirdly out of the box. Even their porn is very weird, ya. Dulu, di Youtube, gue pernah nonton sebuah acara kompetisi iklan, dan saat finalis dari Jepang dipanggil, si MC memanggil mereka dengan sebutan, “Here they are… Planet Japaaaan!” Saking out of the box-nya iklan-iklan Jepang, mereka udah disebut Planet Jepang, kak, bukan negara lagi. Macem Planet Bekasi gitu, ya.

DSCF2349

DSCF2753

Plis jangan banjiri kolom komen post ini dengan, “Tapi Jepang ‘kan…” atau “Bukan cuma itu, kak, Jepang ‘kan juga…” Yaaas, mailov, tentunya gue juga tahu bahwa Jepang—juga bangsa dan negara manapun di dunia ini—punya banyak sekali sisi. Japan can be awesome, weird, fun, depressing, beautiful, and ugly all at once. I also don’t know EVERYTHING about Tokyo or Japan (fact: gue nggak baca manga, nggak nonton anime, nggak dengerin Jpop, dan baru pernah nonton TIGA film Ghibli. Don’t judge me), tapi lewat secuplik cerita ini, semoga dipahami kenapa gue akan selalu merasa bagai ketemu sahabat lama, tiap kali kembali ke Jepang.

Sekian dan terima endorse-an JAL.

Next up: Tokyo Disneyland!

DSCF3165

DSCF3177

DSCF3185



DSCF2661

DSCF2654

Aruna & Lidahnya yang Tidak Membawanya Kemana-Mana

$
0
0

Halo!

Tumben banget nih, gue nulis sebuah ulasan film! Apalagi—karena gue nggak sanggup jadi lucu kayak Teppy—gue mau nulis ulasan ini dengan serius. Uuuu. Padahal sebenarnya gue nggak suka, lho, nulis ulasan film, buku, apalagi musik.

Film yang akan gue ulas adalah Aruna & Lidahnya.

Alasannya bukan karena film ini istimewa buat gue. Bagi gue, film ini standar aja, sih—berkesan banget nggak, jelek banget nggak, bagus banget nggak. Gue juga nggak terlibat dalam produksinya.

Alasannya adalah karena baru-baru ini, gue baca artikel ulasan Aruna & Lidahnya di sebuah media ternama di Indonesia, trus menurut gue … gue bisa bikin lebih bagus, dah. SOMBOOONG :D Padahal tulisan gue juga masih level tulisan tabloid gratisan yang ujung nasibnya jadi bungkus gorengan gini.

All joking aside, strangely, I do have a lot of things to say about Aruna & Lidahnya after watching the film, and so here goes:

***

Aruna adalah seorang ahli wabah yang doyan makan. Ia bersahabat dengan Bono, seorang chef yang terkesan sinis dan judes, tapi sebenarnya caring. Sahabat mereka yang lain adalah Nadezhda yang cantik, kaya, seksual, classy, dan seorang kritikus kuliner. Jadi kalau mereka bertiga digabungkan, sudah pasti lambungnya lebar banget.

Namun Aruna nggak cuma bisa makan. Ia juga bisa menjalankan misi investigasi kasus flu burung yang tiba-tiba muncul dengan misterius di beberapa kota di Indonesia. Ia juga bisa jatuh cinta kepada mantan rekan kerjanya, Farish, satu-satunya tokoh utama dalam cerita ini yang nggak doyan makan.


Kira-kira begitulah plot Aruna & Lidahnya, sebuah film produksi Palari Films yang diangkat dari novel berjudul sama, karya Laksmi Pamuntjak.

Rasanya gue akan lebih afdol membahas film Aruna & Lidahnya, kalau sudah baca novelnya. Sayangnya, gue belum baca. Tepatnya, belum SELESAI baca. Pasalnya, gue nggak kuat menyelesaikan novel tersebut. Apakah karena novelnya berat ? Nggak, kok. Novel Aruna & Lidahnya malah cukup ringan, dengan genre metropop dan tokoh-tokoh urban yang seharusnya dekat dengan gue.

Masalahnya, ada hawa pretensius yang kencang dalam novel Aruna & Lidahnya.

Plot Aruna & Lidahnya sebenarnya tipis, tapi Laksmi Pamuntjak berusaha “menebal-nebalkannya” dengan konflik flu burung, korupsi, dan puluhan deskripsi tentang makanan yang berusaha terkesan sophisticated, padahal sebenarnya Google-able. Alhasil, plot tentang konflik flu burung dan korupsi terasa bak tempelan aja, karena kurang tergarap. Bahkan—monmap sebesar-besarnya—walaupun judul karya ini adalah Aruna dan LIDAHNYA, tema kuliner dalam kisah ini pun terasa sebagai aksesoris belaka. Nanti gue jelasin alasannya lebih lanjut.

Konon, gaya penulisan Laksmi Pamuntjak terpengaruh oleh gayanya Goenawan Muhammad—as we all know why—yang menjunjung tinggi gaya bahasa. Bagi beberapa orang, sebuah novel itu yang penting plot atau jalan ceritanya. Bagi sebagian orang lain, yang penting permainan katanya, diksinya, dan metaforanya. Sialnya, gue termasuk ke dalam golongan pertama, sementara Mbak Laksmi dan Mas Gun termasuk ke dalam golongan ke dua. Ya nggak mecing, dong.

Alhasil, bagi gue, pace cerita novel Aruna & Lidahnya terasa lambuaaat, karena Laksmi Pemuntjak sepertinya keasikan bermain dengan kata-kata. Lebih dari setengah novel ini merupakan deskripsi makanan dan latar belakang tokoh, sementara ceritanya sendiri nggak jelas mau bergerak kemana.

Bukan berarti novel deskriptif yang penuh dengan permainan kata-kata itu jelek, lho. Bisa aja oke dan memikat. Tapi sayangnya, alih-alih memberi “tekstur” kepada cerita, permainan kata-kata Laksmi malah menambah kesan pretensius novel ini.

Wajar, ya, kalau gue nggak kuat menyelesaikannya.

Nah, ketika Palari Films memutuskan untuk mengangkat novel Aruna & Lidahnya jadi film, gue penasaran banget—gimana cara sutradara Edwin dan penulis naskah Titin Wattimena menerjemahkan novel yang berplot tipis namun penuh deskripsi ini menjadi naskah film?

***

Sebelum Aruna & Lidahnya selesai diproduksi, gue sempat ngobrol sama produser film ini, Edy, yang kebetulan sepupu gue sendiri (listen to our talk here!).

Dia bilang, Palari Films menyadari, kok, “tipisnya” plot novel Aruna & Lidahnya, sehingga Edwin berniat untuk membuat Aruna & Lidahnya sebagai film yang dialogue-driven, alias menitikberatkan pada dialog. Jadi memang, dari awal, plot film ini nggak diharapkan jadi kuat, meskipun Palari Films akan “membongkar” plot novelnya, alias nggak akan adaptasi penuh.

Setelah film Aruna & Lidahnya selesai diproduksi dan siap dipasarkan, gue kembali ketemu Edy. Dengan agak gamang, Edy menyatakan keraguannya tentang cara memasarkan Aruna.

Waktu itu, Edy agak bingung, siapa kira-kira yang bakal cocok jadi target penonton film Aruna & Lidahnya. Curiganya, Aruna & Lidahnya nggak bisa dipasarkan seluas Posesif, yang mengangkat tema yang universal, yaitu cinta remaja. Film Aruna & Lidahnya punya nuansa metropop—seperti film-film produksi Kalyana Shira—sehingga mungkin cuma cocok untuk masyarakat urban menengah ke atas. Tapi masalahnya, nggak metropop-metropop banget juga. Akibatnya, jadi agak nanggung. Gue pun menangkap, Edy merasa film ini nggak bisa dipasarkan sebagai film percintaan, persahabatan, apalagi penyelidikan, karena porsi semua tema tersebut sama-sama medioker dalam filmnya. Nggak ada yang lebih menonjol.

Begitu gue selesai nonton film Aruna & Lidahnya, gue langsung paham dan bersimpati dengan kebingungan Edy.


Seperti novelnya, film Aruna & Lidahnya memang punya kebingungan identitas. Film ini tentang apa? Tentang persahabatan? Percintaan? Skandal korupsi? Atau kuliner? Film ini punya semuanya, tapi nggak menonjolkan satupun dari tema-tema tersebut. Porsi semua tema tersebut seimbang, and I’m not saying it in a good way, karena kalau kata orang bijak, “If everything is important, then nothing is important.”

Let me elaborate.

Film ini memang menceritakan persahabatan antara tiga orang teman, namun walau tokoh Aruna, Bono dan Nad dibawakan dengan asyik, persahabatan mereka kurang terasa genuine dan menyentuh hati. Film ini juga bercerita tentang skandal wabah, tapi kisah skandalnya nggak terasa intriguing atau bikin penasaran. Kisah cinta Aruna dan Farish lumayan menggemaskan, meski nggak bikin baper atau geli-geli perut seperti film Dillan 1990.


Oke, oke. Tapi, La, masa’ sih tema kuliner juga nggak menonjol dalam film ini? Jangan salah. Aruna & Lidahnya memang berkisah tentang semi-petualangan kuliner tiga sahabat yang doyan makan. Tetapi apakah ini adalah film tentang makanan, alias food film? BUKAN.

Bagi gue, sebuah film baru bisa dibilang film kuliner kalau makanan berperan penting dalam jalan ceritanya. Misalnya, dalam film Chocolat, perubahan di desa konservatif Prancis itu terjadi bukan hanya karena kedatangan Vienne Rocher yang bohemian, tetapi juga karena coklat buatannya yang magis. Dalam film Woman on Top, naik-turunnya kehidupan Isabella terjadi karena kehandalannya memasak, juga karena makanannya yang menjadi sesajen untuk Dewi Yemanja. Dalam film-film tersebut, makanan berperan besar dalam menggerakkan cerita, minimal menetapkan nuansa film.

Seandainya adegan mukbang rawon, campor lorjuk, mie kepiting Singkawang, choi pan, nasi goreng dan sebagainya itu dihapus, inti film Aruna & Lidahnya nggak akan berubah. Nggak tahu dalam novelnya, ya, tetapi dalam filmnya, makanan-makanan tersebut terkesan jadi aksesoris semata, karena nggak memberikan makna yang lebih dalam untuk filmnya, seperti yang gue sebut di awal tulisan ini.

And that’s why, I cannot call Aruna & Lidahnya as a culinary film.

***

Namun Palari Films harus bersyukur bahwa cerita Aruna & Lidahnya mengangkat elemen makanan, karena dengan begitu, Palari jadi gampang mempromosikan film ini. Bikin gimmick kuliner, tuh, gampang banget! Tim promosi bisa bikin acara makan-makan bersama para aktor, bikin cooking demo, bikin kedai pop-up yang menjual makanan-makanan yang tampil dalam film, bikin lomba masak, dan banyak lainnya. Apalagi makanan-makanan dalam Aruna & Lidahnya adalah masakan khas Indonesia yang “eksotik” di mata internasional. Wah, kalau film ini dibawa ke festival luar negeri, gampang, nih, bikin gimmick seputar hidangan “eksotik” tersebut.

Palari Films sudah melakukan berbagai promosi sejenis itu, dan of kors sah-sah aja. Namun akibatnya, penonton (baca: gue) bisa jadi salah duga tentang peran makanan dalam film Aruna & Lidahnya. Kirain perannya besar, ternyata kecil.


Hal lain yang menyelamatkan film Aruna & Lidahnya adalah para aktornya. Selain menjual gimmick seputar makan-makan, menjual nama besar Dian Sastrowardoyo, Nicolas Saputra, Hannah Al-Rashid, dan Oka Antara tentunya juga gampang banget.

Tetapi mereka nggak cuma jualan nama dan tampang kece, karena ekting empat aktor tersebut memang solid, terutama Dian Sastro. Harus diakui, Dian sudah bisa dikategorikan sebagai aktor kawakan dalam perfilman Indonesia, karena keahlian seni perannya. Baby girl can show her emotions with the slightest change of her facial lines! Magis! Seperti yang gue sering bilang, cuma ada dua aktris yang bisa ekting pakai gerakan alisnya: Natalie Portman dan Dian Sastro.

Mungkin peran Aruna nggak sulit untuk Dian, karena profil Aruna rasanya nggak jauh dari profil asli Dian—perempuan urban, usia 30an. Tetapi Dian sukses menampilkan Aruna sebagai sosok yang adorkable—adorable, but dorky. Manis, tapi nggak menonjol. Di novel, gue menangkap sosok Aruna seperti itu, dan Dian berhasil menerjemahkannya ke layar.

Tokoh Nad dan Farish juga oke-oke saja dibawakan oleh Hannah dan Oka, walau nggak setelak Dian. Namun yang mengejutkan adalah tokoh Bono.

Here’s a controversial opinion: bagi gue, vibe gay Bono terasa cukup kuat. Mungkin gue overanalysing atau mungkin gue punya bias terhadap Nicolas Saputra, tapi agak sulit menyangkal ke-gay-an Bono, ketika a) gaya fashion-nya cenderung meriah dan kontras dengan gayanya Farish, b) ekspresi naksirnya kepada Nad sama sekali nggak kelihatan believable, hahaha.

I mean, Bono dan Nad pergi ke disko dangdut berduaan, mabok bareng, dan pulang ke kamar hotel bareng, lho. Mereka juga sering colongan rangkul dan pelukan, tapi nggak ada aura naksir, atau gestur anu-anu sama sekali. Padahal, Nad digambarkan sebagai seorang yang sangat seksual. Kalau Bono dan Nad memproklamirkan diri sebagai sepasang sahabat, gue percaya banget. Tapi sebagai sepasang kekasih? Bhai.

Seandainya dalam naskah, tokoh Bono memang gay, maka sosok Bono dalam film ini brilian, karena ia menggambarkan gay kota besar pada umumnya dengan tepat—berprestasi, ambisius, judes, dan sangat subtil tentang orientasi seksualnya. Sayangnya, Bono digambarkan sebagai sosok straight, sehingga membuat gue nyeletuk, “Say what?”

***

Selesai nonton film ini, gue dan seorang teman sepakat bahwa Edwin bukanlah seorang penutur yang kuat. Analoginya, Edwin adalah seorang poet, tapi bukan storyteller. Edwin bisa membangun nuansa, tapi bukan cerita.

Jujur aja, gue belum pernah nonton film-film pendek Edwin, tetapi berdasarkan pengalaman nonton Posesif, terasa bahwa penuturan film-film Edwin, tuh… ngambang. After you left the theatre, you don’t feel one solid emotion. Selesai nonton Posesif, gue nggak tahu harus merasa apa. Sedih? Marah? Patah hati? Lega? Lebih-lebih selesai nonton Aruna. Gremet-gremet jatuh cinta? Hati hangat karena persahabatan? Terinspirasi pengen masak? Nggak tahu, ya. Kelihatannya Edwin memang nggak suka membuat kesimpulan, setipis apapun. Bahkan untuk adegan-adegan mimpi Aruna yang sangat simbolis, gue nggak bisa bikin kesimpulan.

Tetapi mungkin itu sebabnya Edwin merasa sreg dan keukeuh mem-film-kan novel Aruna & Lidahnya—ia merasa cocok dengan “ke-ngambang-an” ceritanya. It’s not everyone’s cup of tea, but of course, it’s nice to have such variety in our film industry. 

---

Listen to Kejar Paket Pintar's podcast about Aruna & Lidahnya the novel here, and Kejar Paket Pintar's talk with Palari Film's producer here, pre-Aruna-production. Atau cari aja di Spotify dah, yaak!

Travel Photo Series: Tokyo Disneyland & the Boys

$
0
0
DSCF2556

Bagi gue—seorang fanatik taman hiburan Disney kelas kakap—haram hukumnya halan-halan ke sebuah kota ber-Disneyland tanpa mengunjungi Disneyland-nya. Maka pas ke Tokyo bulan Juli kemarin, tentunya gue mustik ke Tokyo Disneyland. Dua kali! Di hari yang berbeda! *nge-gas* Dalam satu kunjungan, personilnya adalah gue, T, dan Raya. Dalam kunjungan berikutnya, personilnya nambah Aydin, anaknya adek gue yang seumuran Raya.

Di masa kejayaannya (duile, kejayaan kerajaan Sriwijaya kali), blog ini banyak disukai (GR aja!) karena travel stories-nya, khususnya travel stories tentang Disnileng. So here’s a little nostalgic post, di masa senjakala blog seorang Disneypark-head ini (eh lho, kok sedih…).

KENAPA CUMA KE TOKYO DISNEYLAND? NGGAK KE TOKYO DISNEYSEA JUGA? 

Monmap kalau bikin eneg, tapi jujur, alasannya murni karena idealisme.

Tokyo Disneyland (TDL) adalah taman hiburan Disney yang tergolong besar dan padat untuk anak seumur Raya. Meski begitu, gue kepengen Raya bisa menyerap keseluruhan taman hiburan tersebut. Gue pengen dia paham tema tiap zona TDL, punya waktu untuk naik banyak wahana serta nonton pertunjukkan, dan bisa duduk makan di salah satu restoran TDL yang cantik, tanpa keselek karena terburu-buru.

Inti jawabannya, gue pengen Raya menyerap atmosfer TDL, agar kenangannya terbentuk dengan baik dan awet di kepalanya. Gue nggak mau kami cuma lari-lari dari satu wahana ke wahana lain, foto-foto sama badut ((badut)), selfie-selfie, trus pulang. Uuuu, idealis atau mati!

Kalau ke TDL-nya cuma sehari, Raya nggak akan bisa menyerap atmosfernya dengan baik. Jadi, mumpung ada waktu dan duit, pergilah kami ke TDL selama dua hari. Nah, kalau ditambah ke Tokyo DisneySea (TDS) juga, waktu dan duit habis ‘kan ya, seus.

Prinsip ini Alhamdulillah cukup sukses. Gegara ke TDL-nya dua kali, Raya jadi lebih paham konsep TDL secara menyeluruh, juga paham backstory masing-masing wahana yang kami naikin, sehingga dia lebih enjoy. Enjoy nggak, sih, nak? Enjoy‘kan? *maksa*

Gue milih TDL, bukan TDS, karena tema dan atmosfer TDS lebih berat untuk anak seumur Raya. Laut! Maritim! Penjelajahan! Jules Verne! Bucet, deh. Sehingga tentunya TDL lebih gampang ditelan, karena atmosternya lebih kids-friendly, penuh fantasi, warna-warni, dan berdasarkan film-film Disney yang udah dikenal oleh Raya.

PERIHAL ANTRIAN DAN KERUMUNAN

DSCF2419

TDL adalah Disney park yang paling susah ditebak crowd-nya. Alasannya pernah gue jabarin di sini.

Pemirsa yang ngikutin kisah-kisah Disnileng gue sedari dulu, pasti tahu bahwa gue selalu bikin trip plan tiap kali gue ke taman hiburan, khususnya taman hiburan Disney. Alasannya supaya gue bisa memaksimalkan waktu dengan sebaik mungkin, dan menghindari antrian panjang.

Untuk membuat sebuah trip plan, kita harus tahu pola dasar pergerakan crowd taman hiburan tersebut. It’s all basic logic, really. Misalnya, di Disneyland, area Fantasyland dan ToonTown pasti penuh dari sekitar jam 10.00 sampai 17.00, karena area tersebut dirancang untuk anak-anak, dan jam-jam segitu, anak-anak lagi “on”. Kalau malam, area tersebut sepi, karena bocah-bocah udah pada pulang.

Contoh lainnya, orang Jepang sangat terobsesi dengan parade atau live show. Jadi, kalau kita kepengen naik sebuah wahana yang populer, coba naikin pas lagi ada parade/pertunjukkan supaya antrian wahana tersebut nggak terlalu gila, berhubung sebagian besar pengunjung pada tersedot nonton parade. Sebaliknya, kalau kita mau ikutan nonton parade, kita harus bikin perencanaan yang disiplin. Misalnya, nge-tek tempat duduk sejam sebelum parade dimulai. Kalau nggak, area paradenya akan terasa bak pinggang celana saat habis makan buffet kawinan. Sesek, shay.

DSCF2553

DSCF2550

Jujur aja, membuat trip plan untuk TDL cukup tricky. Soalnya, pertama, pergerakan crowd TDL nggak bisa ketebak. Di hari Senin aja TDL bisa rame banget, padahal bukan pas libur nasional. Why?! Pada bolos kerja/sekolah semua apa gimana?!

Kedua, di internet, contekan trip planning untuk TDL tuh minim banget. Seenggaknya, contekan yang berbahasa Inggris. Kalau untuk Disney parks di Amerika, sih, contekannya ada banyak sekali, dari berbagai website atau blog sesama fanatik Disney parks. Isi contekannya kira-kira seperti ini. Tujuannya satu, yaitu membuat kunjungan kita ke Disney parks seefektif dan seefisien mungkin.

Oke, jadi gimana kunjungan ke TDL kemarin ini, La? Sukses nggak bikin efisiensi waktu?

Kemarin ini, kami ke TDL tanpa trip planning yang saklek, gara-gara gue nggak sempat bikin. Punya rencana, sih, tapi di kepala semua.

Secara kasar, gue tahu kami harus:
  1. ARRIVE EARLY! Paling lambat 30 menit sebelum gerbang TDL dibuka. 
  2. Wahana populer harus dinaiki di jam-jam sepi. Misalnya, dalam 30 menit pertama TDL baru buka, saat ada parade, atau menjelang TDL tutup. 
  3. Maksimalkan Fastpass (jangan minta gue jelasin strategi memaksimalkan Fastpass, ya :D PANJANG).  
  4. Gue harus tahu, apa aja wahana yang berpotensi penuh terus sepanjang hari, apapun situasinya. Misalnya, wahana Peter Pan, gara-gara kapasitas “perahu” dia kecil dan loading penumpangnya lama.  
  5. Gue harus tahu, wahana apa aja yang “aman” dinaiki di jam kritis, alias ketika crowd lagi padat-padatnya, atau hari lagi panas-panasnya. Misalnya, Country Bear Jamboree, Haunted Mansion, atau It’s A Small World, berhubung wahana-wahana tersebut berkapasitas besar sehingga nggak bikin antrian panjang, juga nyaman karena fully indoor dan ber-AC.
    Alhamdulillah, pas kami ke sana, TDL lagi nggak terlalu sesak (untuk standar TDL, ya).

    DSCF2430
    Obat anti-bosen paling ampuh! Monmap ya, para Mamah anti-gadget. Aku nggak ikutan dulu.

    DSCF2431

    Tapi betenya, kami ke Tokyo saat lagi ada serangan heatwave. Jadi selama di sana, poanasnyaaa edan-edanan. Pokoknya Tokyo rasa Tanjung Priuk. Jadi mungkin, crowd TDL yang nggak terlalu padat itu adalah kompensasi Tuhan atas udara panas yang menggila.

    Betenya lagi, di hari pertama, kami datang telaaaat! Nyampe jam 12 siang mak, which is very, very late for my standards. Trus, karena udara panas banget, segala perencanaan yang udah dalam kepala pun ambyar. Alhasil, gue spontan menavigasi TDL pake insting aja.

    Di hari pertama itu, gue nggak berharap banyak, deh. Kalau cuma bisa naik sedikit wahana, nggak apa-apa. Gue nggak mau lari-lari mengejar waktu dan ambisi, karena a) stamina mamake sudah tidak muda lagi, dan b) panasnya edan banget. Nggak kuat!

    Alhamdulillah wa syukurilah, pada akhirnya kami bisa naik banyak wahana, kok. Sekitar belasan wahana, lah. Fastpass pun terpakai dengan oke, walaupun nggak semaksimal yang gue pengenin. Kami sempat juga nge-tek tempat duduk nonton Electrical Parade, satu jam sebelum parade itu dimulai.


    DSCF2654



    DSCF2668

    DSCF2661

    DSCF2681
    DSCF2689

    DSCF2692

    DSCF2700

    DSCF2715

    Rahasianya apa, sih, bu?

    Pertama, sabar dan tawakal! Kebetulan pas kami ke TDL selama dua hari itu, crowd-nya nggak terlalu edan. Kalau pas edan? Sabar aja, dan jangan pasang ekspektasi.

    DSCF2952

    Kedua, gunakanlah apps yang menginfokan antrian setiap wahana secara live, misalnya apps ini. Awalnya, gue datang ke TDL dengan keder, karena nggak sempat bikin urutan strategis wahana yang mau dinaikin, tapi ternyata apps tersebut bisa jadi pelipur lara. Jadi, selama di TDL, gue bolak-balik nge-cek apps antrian itu, untuk tahu wahana apa yang antriannya nggak panjang dan jaraknya nggak jauh dari lokasi kami, untuk menentukan selanjutnya mau naik wahana apa.

    DSCF2827

    Ketiga, kalau sikon nggak memungkinkan, jangan ambisi menjelajah SELURUH Disneyland dalam sehari. Di hari pertama, kami cuma ngiderin Fantasyland, Tomorrowland, dan sedikit Adventureland. Di hari kedua, kami baru nyentuh Westernland, Adventureland, dan Toontown. Untungnya kami memang merencanakan ke TDL dua hari. Waktu itu rasanya mustahil ngejajal seluruh TDL dalam sehari, karena—SEKALI LAGI HARUS GUE ULANG—udaranya panas banget!

    DSCF2410

    Keempat, kami nggak banyak pit stop untuk makan dan foto-foto. Apalagi foto sama karakter/badut yang pake ngantri. Selain makan siang, kalau haus atau lapar, jajan on-the-go aja supaya cepat. Ini preferensi pribadi, sih. Kalau lo dan/atau anak lo menemukan kebahagian dari foto-foto bareng karakter—dan memang udah bikin planning untuk itu—silahkan banget.

    DSCF2577

    DSCF3101

    Di hari pertama, kami bertahan main di TDL dari jam 12.00 siang sampai teng tutup, yaitu jam 22.00. Perkasa, yaaaa.

    Di hari kedua, kami tiba lebih awal, yaitu teng pas pembukaan gerbang TDL, di jam 9.00. Meskipun begitu, manusia yang ngantri di luar gerbang juga udah seabrek-abrek. Emang, deh, yang paling ideal adalah hadir 30-60 menit sebelum pembukaan. Dulu gue bisa disiplin melakukan ini di Amerika. Kok sekarang susah sih?! *tanda-tanda penuaan, udah susah sigap berangkat pagi dengan disiplin militer*

    Di hari kedua ini, kami bertahan sampai jam 20.30an. Nyaris 12 jam penuh non-stop, tanpa istirahat!!! Ajaibnya, Raya and Aydin braved through the day dengan gagah. Meski ada momen-momen dimana gue dan Raya hampir pingsan kecapekan, Alhamdulillah nggak ada aksi ngambek, rewel, atau tantrum sama sekali… dari anak-anak, ataupun dari gue sendiri :D *Teguh lap keringet *

    PERIHAL PERGI BARENG ANAK-ANAK  

    DSCF3031

    Dari seluruh pengalaman gue main ke Disney parks di seluruh dunia, seumur hidup, kunjungan kami ke TDL ini adalah yang paling magis buat gue. Serius! For me, this was a trip that is literally a dream come true.

    Kenapa?

    Soalnya, sejak gue masih perawan tingting, gue udah bercita-cita pengen menikmati Disneyland bareng anak gue. Hal ini udah kesampaian tahun lalu, ketika kami ke Orlando, Florida. TAPI, harus diakui, dulu Raya masih agak terlalu kecil.

    Wah, umur 5 masih terlalu kecil untuk main ke taman bermain? Untuk level Dufan, Jungleland Sentul, Jatim Park, atau mungkin HK Disneyland, sih, nggak. Tapi untuk ukuran Walt Disney World, dulu Raya masih agak overwhelmed. Many things were still too big, too intense, or too intimidating for him.

    Tahun ini, usia Raya ideal banget untuk diajak main ke TDL. Umurnya sudah 6 tahun, sudah lebih matang. Ibarat buah mangga, udah mengkel. Dia juga udah lebih paham terhadap konsep Disneyland, mulai dari tema zonanya, sampai tipe-tipe wahananya.

    Gue juga senang banget karena Aydin—yang seumuran Raya—bisa ikut bareng kami. Dua anak ini benar-benar kompak saling menghibur satu sama lain, dan usia mereka sudah cukup untuk bisa menikmati TDL dengan “sepatutnya”.

    DSCF2938

    DSCF2939

    DSCF2940
    Aydin mulai lebay

    Jadi sekali lagi, the trip was a dream come true for me. Senaaaaang sekali bisa melihat TDL dari kacamata bocah-bocah ini, yang mengalami segala sesuatu untuk pertama kalinya. For them, everything was SO BIG! SO NEW! SO PRETTY! So much excitement! Gue sendiri ‘kan orangnya gampang senang dan excited, ya, sementara T orangnya datar gila. Jadi pas bareng anak-anak ini, gue jadi ikutan hepi dan semangat.

    Bocah: “IBU, ISTANANYA BAGUS BANGET!”
    Gue: “IYAAA WOOW BAGUSNYAAA!” *padahal udah sering lihat*

    Bocah: “IBU, INI WAHANANYA SERU BANGET, YA!!!”
    Gue: “IYA, SERU BANGET!!!1!1 ” *padahal yang dinaikin cuma komidi putar *

    DSCF3123
    Selama di TDL, gue melarang anak-anak bebelian, apalagi bebelian mainan yang nggak istimewa. Tapi setelah naik wahana Pirates of the Carribean dua kali, mereka merengek pengen beli pedang-pedangan. Akhirnya gue izinkan, dengan syarat, mereka harus berani bayar sendiri ke kasir. Usaha komunikasi sendiri pake bahasa Tarzan. Eh, bisa!

    DSCF3113

    DSCF3115

    DSCF3130

    Ngomong-ngomong, menurut gue, main ke taman hiburan bareng anak, tuh, bisa mengajarkan banyak hal tentang anak kita sendiri. Pelajaran utama yang bisa gue ambil adalah: setiap anak betul-betul berbeda, dan tingkat interest atau keberanian mereka nggak linear.

    Di Walt Disney World, tahun 2017, Raya nggak bisa naik roller coaster sama sekali, termasuk roller coaster anak-anak sekalipun. Dia terlalu takut. Di tahun yang sama, Aydin nangis jejeritan dua ember karena dipaksa ibunya naik jetcoaster Alap-Alap di Dufan, hahaha. 

    Di kunjungan TDL kali ini, Raya dan Aydin sudah bisa diajak naik roller coaster. Nggak tanggung-tanggung, mereka naik Big Thunder Mountain Railroad (Aydin hepi, Raya nangis) dan Space Mountain (dua-duanya nggak nangis, tapi tegangnya kayak mau dimasukkin ke penyembelihan). Gila banget, ‘kan?! Itu ‘kan dua coaster yang paling “senior” di TDL. Mereka juga bisa menikmati Star Tours dan Pirates of Caribbean yang ada turunan/drop pendeknya. Sayangnya, mereka nggak mau naik Splash Mountain, wahana favorit gue sepanjang masa (fun fact: dulu gue pernah naik Splash Mountain lima kali berturut-turut sekali jalan. Mantyap!).

    DSCF3185

    DSCF2970
    Space Mountain

    DSCF3165

    Contoh lainnya, di tahun 2015-2017, Raya berani banget—bahkan cenderung penasaran—dengan setiap wahana rumah hantu yang dia temui, mulai dari rumah hantu di Jungleland sampai Tivoli Park. Tahun ini, Raya menolak mentah-mentah naik Haunted Mansion, rumah hantunya Disneyland.

    Mungkin karena semakin besar, imajinasi Raya makin liar, sehingga Haunted Mansion terasa jauh lebih seram. Gue baca di berbagai forum diskusi Disneyland, konon anak kecil memang seperti ini—tingkat keberanian dan interest-nya nggak linear dan bisa berubah-ubah. Seharusnya Raya lebih berani pas dia umur 6 tahun gini, dong, ketimbang saat dia umur 3 tahun? Ternyata malah kebalik, tuh. Dan dari baca-baca sharing sesama emak-emak, fenomena begini sering terjadi.

    DSCF2603

    DSCF2622
    Pirates of the Caribbean

    DSCF2542
    Star Tours

    DSCF2545

    DSCF2505

    DSCF2511

    DSCF2522

    DSCF2524
    It's A Small World

    DSCF2399

    Trus ya, di kunjungan ke Tokyo Disneyland ini, wahana favorit Raya adalah… Country Bear Jamboree. Masya Alloh, CBR ‘kan wahana nenek-nenek, saking jadul dan nggak serunya, hahaha. Bagi yang masih ingat sama Balada Kera di Dufan, CBR tuh kurang lebih kayak begitu (karena Balada Kera memang nyontek CBR). Kirain, di usia 6 tahun ini, Raya bakal lebih suka wahana yang lebih “seru”. Tapi ternyata anaknya paling suka sama Country Bear Jamboree, ya apa boleh buat? Sekali lagi—keberanian dan interest anak bisa random dan nggak linear! 

    Balik lagi ke kesimpulan utama: enam tahun adalah usia yang ideal banget untuk main ke Disneyland. Stamina anak udah oke, logikanya udah lebih jalan, kesabaran dan kontrol dirinya juga lebih pakem.

    DSCF2993

    DSCF3004

    DSCF3011

    Dan ternyata, pergi bareng Raya dan Aydin tuh menyenangkan sekali! Di Jakarta, mereka bukan dua insan yang selalu akur, klop, dan barengan terus, ya. Tapi selama di Tokyo, mereka kompaq banget. Dua bocah ini konsisten saling menghibur, saling tolong, dan saling ngebelain. Memang betul, deh, istilah “cousins are our first best friend”. Apalagi Raya dan Aydin memang sebaya dan udah bareng terus sejak lahir. Melihat mereka berdua, perasaan gue campur aduk terus, mulai dari hepi, terharu, sampai sedih karena belum ngasih Raya adik. Pokoknya cirambay melulu dalam hati.

    PERIHAL MAKANAN

    DSCF2478

    Walau selera makanan tuh personal banget, umumnya turis Indonesia sepakat bahwa makanan Jepang memang enak banget dan cucok di lidah. Alhasil, Disney Food cabang Jepang juga terasa jauuuh lebih lejat dibandingkan Disney Food cabang Disneyland lain.

    Pertama, kita bicara soal snacks-nya.

    Gue bukan tukang ngemil, lho, jadi gue nggak terlalu banyak icip-icip selama di TDL. Meski icip-icipnya agak minimalis, gue tetap bisa menyimpulkan bahwa snacks TDL endeus-endeus. Mulai dari berbagai es krimnya, berbagai churros-nya, turkey leg-nya, dan berbagai popcorn-nya dan dijual dengan 1001 macam rasa (yes, including the Black Pepper popcorn. I swear, it’s not weird).

    DSCF2637

    DSCF2841

    Snack TDL yang paling berkesan buat gue adalah minuman Tapioca Bubble Tea, yang dijual di kawasan Adventureland. Rasanya pas banget untuk lidah Asia yang suka teh susu ber-jelly, kayak gue ini. Creamy, tapi nggak terlalu manis dan bleneg. Dua gelas minuman tersebut gue kokop sampai es-es batunya dengan barbar, sampai dipandangi seorang cast member TDL dengan tatapan kagum. Nggak nyangka, deh, Disneyland bisa bikin bubble tea seenak ini!

    DSCF2591

    DSCF2594

    Sebagai perbandingan, salah satu snack Disney yang dibangga-banggakan oleh Walt Disney World di Amerika adalah Dole Whip, yang juga dijual di Adventureland, Magic Kingdom. Padahal Dole Whip cuma es krim soft serve vanilla belaka, dicampur es krim nanas. Rasanya pun gitu-gitu aja. Maka pas gue nyobain si Tapioca Bubble Tea ini, gue langsung, “Dole Whip? Ke laut aja, deh, bhaaay…”

    Kedua, gue akan bahas soal restorannya. Saban ke Disneyland, biasanya ‘kan gue paling anti makan di restoran. Soalnya selain mahal (kadang mahalnya mahal banget), rasa makanannya juga biasa aja. Suasana restorannya pun nggak mungkin wah-wah banget, karena apa, sih, yang bisa diharapkan dari restoran di taman bermain? Bahkan di restoran Disney termewah sekalipun, isinya pasti anak-anak jejeritan dan ortu-ortu kelelahan bau keringat juga.

    Prinsipnya, saat travelling, gue makan rumput digaremin sih hayo aja, asal kenyang. Gue sama sekali bukan foodie. Alhasil, tiap gue ke Disneyland, gue selalu pilih makanan yang murah dan praktis, supaya hemat uang dan waktu.

    Tapi di kunjungan ke TDL kali ini, gue sengaja ngajak keluarga gue dua kali makan di restoran yang tergolong “mewah”—Queen of Hearts Banquet dan The Plaza Restaurant.

    DSCF2446

    DSCF2448

    DSCF2452

    DSCF2463

    Queen of Hearts adalah restoran ala carte, sementara The Plaza adalah buffet / all-you-can-eat.

    Selayaknya restoran taman bermain, Queen of Hearts Banquet dan The Plaza Restaurant mahal, dan nggak menawarkan suasana yang eksklusif-eksklusif amat. TAPI, rasa makanan mereka enak! Sumpah. Enaknya bukan standar restoran Michelin dong, ya, tapi untuk standar restoran taman bermain, beneran enak, kok. Makanannya nggak terasa seperti frozen food semata, atau makanan instan yang diolah seadanya bak di kantin penjara. Semua menu yang kami coba ada nuansa gourmet-nya, dengan bahan-bahan yang terasa fresh. Ciyee, kayak ngerti aja.

    DSCF3005

    DSCF3023

    DSCF3013

    DSCF3021

    DSCF3005

    Oya, tips dari banyak ahli Disney park, kalau memang ada waktu dan bujetnya, usahakan, deh, makan siang di “restoran duduk” (sit-down restaurant), seperti Queen of Hearts Banquet dan The Plaza Restaurant ini. Soalnya, bisa sekalian jadi kesempatan istirahat. Ini penting banget, supaya kita dan anak-anak nggak overstimulated, nggak kecapekan, lantas cranky. Kalau bisa, sehabis makan, merem dulu barang 10-15 menit. Pas bangun ngopi dikit, trus jalan lagi.
    Memang ada tempat makan yang nggak “duduk”? Ada, dong. Misalnya, gerobak hotdog atau popcorn. Atau kedai makanan yang sistemnya seperti kedai fast food (counter-service restaurant). 

    Apa salahnya makan di counter-servicerestaurant? Nggak salah. Tapi counter-servicerestaurant hampir selalu lebih padat, rusuh, dan berisik ketimbang sit-down restaurant. Namanya aja sistem fast-food, ya. Lokasinya pun biasanya semi-outdoor. Kita nggak akan bisa istirahat, deh.
    Alhamdulillah, anak gue nggak pernah malas makan selama di Tokyo Disneyland. Segala disikat, malah sering rebutan makanan sama ibunya yang pelit ini. Raya suka banget sama tempura, juga segala macam gorengan khas Jepang.
    Dan, ya, memang betul, Disney park Jepang sangat meticulous soal sajian makanan. Mungkin dari Internet, Anda pernah melihat roti burgerdi Disney park Jepang yang dibentuk jadi kepala Mickey Mouse? Begitu juga dengan kuning telur rebus? Yha, begitulah adanya! GILA!

    PERIHAL UDARA PANAS 

    DSCF2990

    Kesialan kami yang paling haqiqi di perjalanan ini adalah: dirundung heatwave. Matek! Jadi selama seminggu di Tokyo, udara konsisten panas luar biasa. Saking panasnya, kami serasa napas di depan knalpot. Bahkan di jam 4-5 sore pun, hawa Tokyo masih engap.

    Yang bikin tambah sengsara, saban siang, langit Tokyo cerah banget. Matahari bersinar terik, tanpa ada satu pun awan teduh menggelayut. Alhasil, selama di TDL, gue harus bolak-balik re-applysunblock. Masalahnya, bukan cuma buat gue, tapi juga buat anak-anak yang selalu lari kabur tiap mau diolesin. KESEUUUL.

    Yang bikin tambah keseul adalah, sunblock yang gue bawa dari Jakarta adalah sunblock mur-mer yang dibeli darurat dari supermarket sebelum berangkat. Cara pemakaiannya standar: musti dikocrotin ke tangan, trus dioleskan dan diratain ke kulit. Formulanya juga gitu-gitu aja—agak lengket, agak bau, bikin whitecast, dan sebagainya.

    Sementara pemirsa harus tahu, betapa advance-nya varian sunblock Jepang! Semua formulanya wangi atau nggak berbau, ringan, nggak berwarna, ada yang kasih sensasi dingin segar seperti mint, ada yang di dalam kemasan spray, ada yang di dalam kemasan roll-on atau stik, dsb dll. Pokoknya semuanya menyenangkan dan praktis.

    Maka setiap kali gue re-applysunblock primitif gue di toilet, gue iri sama kanan-kiri gue, yang asyik ngoles-ngoles sunblock keren mereka dengan cepat, praktis, dan sambil senyum hepi. Tentunya abis itu gue langsung balas dendam, borong sunblock Jepang selusin :D

    Tapi, yang jadi misteri adalah cara orang Jepang melindungi dirinya dari sinar matahari.

    Orang Asia—Jepang, Korea, Cina, Indonesia—‘kan memang pada ogah banget jadi hitam, ya, berhubung kulit hitam terasosiasi dengan kasta rendah atau petani. Makanya, di Bali, orang Korea berenangnya pakai baju selam, topi lebar, dan cengdem. Nah, untuk melindungi diri dari sinar matahari, rangorang di TDL pada doyan banget menyelimuti diri mereka… dengan SELIMUT atau HANDUK.

    DSCF2971

    Gue ngeliatnya aja pengen pingsan! Apa nggak makin gerah dan sumpek tuh, Mbak Mas? Tapi semua pada betah, tuh! Kenapa nggak pake payung aja? Apa mungkin di dalam handuk/selimut mereka ada AC mini?

    Trus, seperti yang gue ceritakan sebelumnya, warga Jepang pengunjung TDL ‘kan memang suka banget tampil heboh dan lucu. Di tengah heatwave tersebut, mereka bertahan, lho, jalan-jalan pakai kostum dan berbagai aksesoris. Padahal kalau lagi gerah banget, gue sih harus berpakaian sesederhana mungkin. Pakai jam tangan atau cincin pun ogah. 

    AKHIR KATA… 

    In the end, this is probably the best theme park memory I had so far, karena kehadiran Raya dan Aydin di usia yang tepat. They were such in THE RIGHT AGE!

    DSCF3133

    Sebenarnya, gue meyakini bahwa anak-anak BISA diajak ke taman bermain (amusement park) di usia berapapun. Bayik pun oke aja diajak. Raya pertama kali ke taman bermain lokal di umur 2 tahun, dan main ke Tivoli Park pas umur 3 tahun, dan kami semua hepi.

    Tapi ketika gue bawa Raya/Aydin ke Disneyland di usia keemasan mereka ini, pengalaman mainnya memang jadi lebih menyenangkankan dari sebelum-sebelumnya. Nggak ada yang cranky, nggak ada yang meltdown, nggak ada yang butuh stroller sama sekali, makan santai, istirahat santai, semua santai. The magical place gave a magical effect to the boys (terjemahannya: susuk TDL memang cucyok)

    DSCF3139

    DSCF2535
    DSCF2538
    Fokus pada satu titik, titik itu...

    DSCF3016

    Tokyo Disneyland memang selalu magis, dan pesonanya nggak pernah luntur sejak gue pertama kali menatap istana Cinderella cantik mereka di akhir tahun 1980an. Raya (dan Aydin), semoga pada ngerasain pesona dan keajaiban yang sama ya, nak!

    DSCF2735

    Banyak Kesempatan, Banyak Kefrustrasian

    $
    0
    0
    Qerja qeras bagai quda, demi menjemput jaya

    Sekarang ini, kita sedang hidup di era yang penuh kecemasan, khususnya bagi orang-orang di kota besar yang serba cepat dan penuh persaingan. Semua orang streys, nek. Semua orang gelisah. Semua orang tegang. 

    Kenapa? Sebabnya tentu banyak, tapi gue tertarik dengan alasan yang dikemukakan Alain de Botton: menurut dia, sebabnya adalah karena peluang sukses yang sekarang ini melimpah banget.

    Mungkin dalam satu atau dua dekade terakhir, salah satu slogan yang paling rame digaungkan adalah “anyone can be anything”, “you determine your own success”, dan sejenisnya. Masyarakat sekarang percaya bahwa kesuksesan bisa diraih oleh siapapun. Literally anyone. Mulai dari anak petani, lulusan SMA, sampai ibu rumah tangga. Mereka bisa, kok, ujug-ujug jadi penemu startup sukses, influencer ternama, artis, politisi, dan banyak lainnya. Pokoknya kesetaraan kesempatan banget.

    Hari gini, dengan akses seluas-luasnya kepada platform yang saling terkoneksi, siapapun bisa berkarya, menyebarkan karyanya, dan meraih kesuksesan dari situ. The possibility is truly endless, dan semuanya bisa diraih hanya dengan klik-klik ujung jari.

    Contoh, nih: impian masa kecil gue (sampai sekarang, sih) adalah kerja di majalah. Mulai dari kepengen jadi wartawan, sampai jadi pemred. Gue suka nulis, dan gue kepengen tulisan gue dimuat di platform “besar” dan dibaca banyak orang. Dulu, di tahun 90-an, gue nggak pernah ngayal bisa “bikin-bikin sendiri” kayak anak jaman sekarang. Bikin media sendiri? HMPH, MANA BISA, FERGUSO?!

    Maka di awal tahun 2000-an, ketika gue mulai blogging, bayangkan betapa euforia-nya gue. Wow, gue bisa menerbitkan tulisan gue sendiri, seenak jidat w, di platform publik! Dan ada yang baca! Ada yang merespon! I felt like I had my own mini magazine, sehingga dunia terasa berada dalam genggaman. Malah sekarang, di industri fashion, misalnya, blogger sudah hampir sepenuhnya menggeser otoritas pemred.

    Intinya, hari gini, the possibility is endless. Kesempatan sukses ada dimana-mana. Bahkan sehari-hari, kita tenggelam dalam berbagai kisah rakyat jelata yang akhirnya menjadi sukses. Larry Page dan Sergei Brin cuma ngutak-ngutik komputer di garasi, ujug-ujug punya Google. Mark Zuckerberg cuma ngutak-ngutik Internet di kamar asrama kampusnya, ujug-ujug punya Facebook. Si Itu ujug-ujug jadi Youtuber sukses dan akhirnya punya empire media sendiri. Si Anu ujug-ujug punya startup unicorn. Si Inu rajin posting di media sosial, ujug-ujug jadi influencer. Wah, apa-apaan, nih?

    Zaman dulu, orang hebat di masyarakat adalah para raja / penguasa. Mereka lahir dari orangtua yang juga penguasa. Penampilan mereka pun "raja" banget: pakai mahkota, kain sutra, perhiasan mahal, dan duduk di singgasana Menara Gading. Rakyat jelata, sih, memandang mereka dari bawah sambil angkat bahu aja. Rakyat nggak merasa sirik atau terinmidasi, karena merasa bahwa takdir sang raja ya memang begitu sejak awal zaman, dan nggak mungkin kekejar. Dulu, sih, gue nggak pernah sirik atau julid sama cucu-cucunya Soeharto yang datang ke sekolah naik Range Rover. Angkat bahu aja, deh.

    Tapi pakaian kebesaran para "raja" modern sekarang—Larry Page, Mark Zuckerberg, Steve Jobs—ya sama aja kayak kita-kita: jins dan kaos. Jokowi aja hobi pakai jaket bomber dan jajan kopi susu di Tuku. Mereka pun bukan royalties atau orang-orang yang lahir dengan privilege yang mustahil dimiliki masyarakat umum. Sehingga pesan yang sampai ke kita adalah: mereka “rakyat jelata” juga. Orang-orang biasa. Sama seperti kita.

    Tapi akibatnya, kita jadi mikir, “Hmmm… gue juga orang biasa. Gue juga rakyat jelata. Tapi… mana Google gue? Mana Gojek gue? Mana Tokopedia gue? KENAPA MEREKA UDAH BISA SUKSES, SEMENTARA GUE KAGAK?!”

    Menurut Alain de Botton, inilah salah satu penyebab kita hidup dalam anxiety. Banyaknya peluang, kesempatan, serta berbagai kisah sukses ternyata bisa bikin kita bingung dan gelisah. Nggak selalu bikin kita terinspirasi.

    Kata de Botton, lewat pidato presiden dan para politikusnya, Amerika Serikat sering menekankan bahwa mereka ingin membangun Amerika menjadi negara meritokrasi.

    Secara ide, sih, meritokrasi tuh "indah" ya. Dengan meritokrasi, dari mana pun asal kita, kita bisa jadi orang hebat dan berada di puncak piramida masyarakat, kalau kita usaha keras. Asalkan giat, anak tukang becak pun pada akhirnya bisa jadi CEO perusahaan besar, bahkan jadi kepala tertinggi negara. Trus, untuk bisa jadi pengusaha sukses, kita nggak harus jadi anak pengusaha dulu. Dan kalau kita gagal mendapatkan pekerjaan impian, kita bisa ciptakan sendiri pekerjaan tersebut. Lagi-lagi, slogannya adalah "anyone can be anything" dan "you determine your own success".

    Indah, ya? Indah, sih, TAPIII (nah, ada tapinya) meritokrasi punya sisi gelap, yaitu: kalau "you determine your own success", maka "you are also the cause of your own failure."

    Sekarang ini, setiap orang diharapkan bertanggungjawab atas nasibnya sendiri. Sekali lagi, prinsipnya adalah "anyone can be anything" dan "you determine your own success". Di negara Barat, hampir nggak ada lagi orang yang percaya dengan keberuntungan atau hoki. Bahkan, prinsip yang sekarang banyak digaungkan adalah "you make your own luck". Kalau kita sukses, itu adalah hasil kerja keras kita.

    TAPI, artinya, kalau kita gagal, itu hasil kegoblokan dan kemalasan kita juga, dong? Jreeeng.

    Gue sendiri merasakan logika itu. Berhubung di usia segini gue belum jadi "apa-apa", gue merasa "kegagalan" ini murni SALAH GUE SENDIRI: berarti gue kurang rajin, kurang tekun, kurang gesit, kurang taktis, kurang banting tulang. Gue nggak bisa nyalahin keberuntungan, birokrasi, atau diskriminasi, karena hal-hal tersebut sudah nggak bisa dijadikan alasan. Hanya diri gue sendiri.

    Maka, prinsip "you make your own luck" nggak hanya indah, tapi juga sangat kejam. Kita jadi sangat terbebani untuk sukses, karena kita jadi meyakini bahwa kalau kita nggak sukses, berarti kita malas, bego, dan sebagainya.

    Dulu, di budaya Inggris abad pertengahan, seseorang yang hidupnya nggak sukses disebut sebagai "The Unfortunate" alias Si Sial. Di budaya Indonesia, hal ini juga ada. Misalnya, di kisah-kisah rakyat dulu, ada tokoh si Lebay Malang atau si Kabayan. Hidup mereka apes, bukan karena mereka malas atau bego, tapi ya karena mereka "malang" aja, alias sering sial.

    Sekarang, di budaya Inggris-Amerika, seseorang yang hidupnya nggak sukses disebut apa, pemirsa? "Loser". Pecundang. Masyarakat menyimpulkan, karena hidup si X kayaknya susah terus, ya itu karena dia seorang pecundang. Malas, bodoh, jahat, dan sebagainya.

    Menurut Alain de Botton, inilah mengapa tingkat bunuh diri meningkat secara global, khususnya di masyarakat negara-negara meritokratik, yang membebaskan rakyatnya mengejar "kesuksesan" sepenuhnya dengan daya dan upaya masing-masing. Tingkat bundir ini meningkat, karena beban setiap individu untuk memastikan hidup mereka bermakna DAN sukses secara material terus meningkat gila-gilaan.

    Dunia sekarang memang tanpa batas, tapi hidup tanpa batas ternyata bisa bikin gila.
    Viewing all 142 articles
    Browse latest View live