
Masih ingat huru-hara 50 Shades of Grey?
Tahun 2011, sewaktu buku erotika 50 Shades of Grey (50SoG) pertama kali keluar—dan gaungnya membahana dimana-mana—feeling gue udah nggak enak. Trus, ya, bener aja. Nggak lama kemudian, muncul berbagai ulasan yang bilang bahwa buku 50SoG memang sukses bikin pembacanya napsu… napsu ngerobekin halamannya dengan murka.
Yah, banyak juga, sih, pembaca yang bisa menikmati buku ini, tapi bagi beberapa kalangan, buku ini jelek, murseu, dan very poorly written. Gue sendiri belum pernah baca sampai sekarang, tapi setelah baca sinopsis dan cuplikannya, gue percaya sama ulasan-ulasan kejam tersebut. Lagian gue nggak mungkin berharap banyak sama buku yang terinspirasi oleh trilogi Twilight. Ada, ya, orang yang terinspirasi nulis karena Twilight?
Katanya, yang merusak buku ini adalah kemampuan menulis E.L. James yang bagaikan anak umur 13 tahun baru belajar nulis: diksinya sangat terbatas sehingga kelewat repetitif, metaforanya nggak pas, plot-nya virtually nggak ada, penokohannya super basi, adegan seksnya nggak engaging, de es be, de el el. Entah berapa banyak reviewer di dunia maya yang bilang, “Kucing gue bisa nulis lebih bagus daripada E.L. James!”
Selain itu, ada beberapa hal yang pasti di dunia ini. Misalnya, matahari pasti terbit di timur, segala benda pasti akan jatuh karena gravitasi, dan semua film adaptasi pasti selalu lebih jelek daripada novelnya. Pasti.
Maka ketika novel 50SoG dibuat film adaptasinya pada tahun 2015, nggak terbit setitikpun rasa penasaran gue untuk nonton. Bukunya aja (katanya) jelek, apalagi filmnya.
Tapiiii… ebes-ebes di sekitar gue justru punya pendapat yang berbeza. Sejak novel 50SoG terbit, ibu-ibu dari berbagai kelompok lingkungan gue udah histeris, “Aduh, bagus bangeeet… napsu banget gueee…”.
Satu cerita yang nggak bisa gue lupakan adalah bagaimana salah seorang temen gue—sebut saja namanya Mawar—menandai halaman-halaman tertentu yang paling bikin dia napsu. Trus, tiap suaminya ngajak ho-oh ((ho-oh)) tapi si Mawarnya lagi nggak pengen, dia akan pura-pura pup, padahal diam-diam baca halaman-halaman tersebut. Keluar dari kamar mandi, si Mawar bakal, kemon bebih!
Tahun 2011, sewaktu buku erotika 50 Shades of Grey (50SoG) pertama kali keluar—dan gaungnya membahana dimana-mana—feeling gue udah nggak enak. Trus, ya, bener aja. Nggak lama kemudian, muncul berbagai ulasan yang bilang bahwa buku 50SoG memang sukses bikin pembacanya napsu… napsu ngerobekin halamannya dengan murka.
Yah, banyak juga, sih, pembaca yang bisa menikmati buku ini, tapi bagi beberapa kalangan, buku ini jelek, murseu, dan very poorly written. Gue sendiri belum pernah baca sampai sekarang, tapi setelah baca sinopsis dan cuplikannya, gue percaya sama ulasan-ulasan kejam tersebut. Lagian gue nggak mungkin berharap banyak sama buku yang terinspirasi oleh trilogi Twilight. Ada, ya, orang yang terinspirasi nulis karena Twilight?
Katanya, yang merusak buku ini adalah kemampuan menulis E.L. James yang bagaikan anak umur 13 tahun baru belajar nulis: diksinya sangat terbatas sehingga kelewat repetitif, metaforanya nggak pas, plot-nya virtually nggak ada, penokohannya super basi, adegan seksnya nggak engaging, de es be, de el el. Entah berapa banyak reviewer di dunia maya yang bilang, “Kucing gue bisa nulis lebih bagus daripada E.L. James!”
Selain itu, ada beberapa hal yang pasti di dunia ini. Misalnya, matahari pasti terbit di timur, segala benda pasti akan jatuh karena gravitasi, dan semua film adaptasi pasti selalu lebih jelek daripada novelnya. Pasti.
Maka ketika novel 50SoG dibuat film adaptasinya pada tahun 2015, nggak terbit setitikpun rasa penasaran gue untuk nonton. Bukunya aja (katanya) jelek, apalagi filmnya.
Tapiiii… ebes-ebes di sekitar gue justru punya pendapat yang berbeza. Sejak novel 50SoG terbit, ibu-ibu dari berbagai kelompok lingkungan gue udah histeris, “Aduh, bagus bangeeet… napsu banget gueee…”.
Satu cerita yang nggak bisa gue lupakan adalah bagaimana salah seorang temen gue—sebut saja namanya Mawar—menandai halaman-halaman tertentu yang paling bikin dia napsu. Trus, tiap suaminya ngajak ho-oh ((ho-oh)) tapi si Mawarnya lagi nggak pengen, dia akan pura-pura pup, padahal diam-diam baca halaman-halaman tersebut. Keluar dari kamar mandi, si Mawar bakal, kemon bebih!
(dominasi laki-laki dalam menuntut seks memang luar biasa, ya *tetiba berat*)
Teman gue yang lain—sebut aja namanya Melati—juga doyaaan banget sama buku 50SoG, sehingga ketika filmnya keluar, dia sedih setengah mati karena filmnya nggak masuk ke Indonesia. Sampai-sampai pas dia anniversary pernikahan, suaminya ngasih hadiah kejutan yang menurutnya sempurna: pergi ke Singapura bareng, demi bisa nonton 50SoG di sana (sekalian hanimun kedua dong, ya). Dalam hal ini, E.L. James mungkin dapet banyak pahala, sih, karena mengharmoniskan hubungan pasutri. Istana untuknya di surga!
Tapi segala celaan gue terhadap 50SoG tentunya nggak valid. Wong gue cuma menilai dari review dan trailer, tapi sebenarnya belom pernah baca buku atau nonton filmnya…
… sampai beberapa minggu lalu.
Yes, karena suatu kondisi keterpaksaan (jangan tanya terpaksanya karena apa), akhirnya gue nonton 50 Shades of Grey setelah sekian tahun terlambat. Alhamdulillah, better late than never. Dengan demikian, akhirnya gue punya hak untuk bener-bener mencaci film terburuk di generasi gue ini.
*kretekin jari*
Sebenarnya gue nggak suka memberikan ulasan yang sepenuhnya jelek. Di dunia ini ‘kan nggak ada hal yang absolut (ciyeee). Seburuk-buruknya sesuatu, pasti ada sisi bagusnya. Tapi maaf banget—film ini memang harus gue celain dari awal sampai akhir, karena pada inti dan hakekatnya, 50SoG jelek. Banget. Jelongi bingits. Kalau logat bencong gue sampai keluar, it means I’m serious.
To be fair, mungkin ada hal-hal positif dalam film ini (mmm… bintang filmnya kece? Ektingnya Dakota Johnson lumayan?), tapi gue pribadi selalu menilai sebuah karya dari ceritanya. Entah itu seri TV, buku, film, cerpen. Pokoknya, alur cerita dan logika adalah koentji, sementara akting, sinematografi, kostum, dll menjadi nomor dua.
Sialnya, logika cerita dalam film 50SoG adalah elemen terlemahnya.
Berikut adalah hal-hal yang paling bikin gue kesel:
(as a reminder, ini ulasan filmnya, ya. Gue belum pernah baca bukunya).
Sumber kekesalan #1
Gue paham, 50SoG adalah sebuah film “Cinderella story” yang formulanya sangat standar:
Ada seorang yang cewek yang kece, tapi cupu, sederhana, dan nggak sadar bahwa dia sebenarnya kece. Suatu hari, cewek ini ketemu seorang cowok ganteng, tajir, berkuasa, seksi, pintar, tapi dingin. Lalu dengan segala pesonanya yang nggak dia sadari, si cewek sukses membuat si cowok jatuh cinta, bahkan lalu mencairkan kepribadian di cowok yang kaku dan dingin (kenapa, sih, harus selalu ada obsesi perempuan untuk “memperbaiki” lakinya yang bermasalah?).
Tentunya si cewek lantas diangkat jadi pasangan resmi, ikutan hidup mewah, dan berbahagia selamanya.
HOAAHEEM, BOCEN YA, KAKAK. Dari mulai Hollywood teen flicks sampai sinetron-sinetronnya Thalia tahun 90an, sudah terlalu banyak film yang alur ceritanya begitu.
Masalahnya, beberapa film dengan formula “Cinderella story” lain masih punya logika yang bisa gue terima. Nah, 50SoG nggak punya.
Pertanyaan pertama gue, nih: kenapa, sih, Christian bisa langsung jatuh cinta sama Ana? What exactly did Ana do?! Selama pertemuan pertama mereka, Ana literally cuma berdiri grogi, gigit-gigit bibir, dan melontarkan beberapa kalimat yang agak blo’on di depan Christian. Lucu kagak, pinter kagak, kece pun ya standar aja. Karakter gadis ndeso lugunya (yang dipaksakan) pun nggak memikat juga. Kalau gue jadi Christian, baru ngabisin waktu lima menit bareng Ana aja, gue bakal bobok. Beneran, gue bakal ngorok di tempat. That girl is seriously as charming as a dead fish. She is basically Bella Swan—which is an incredibly bland character—versi cerita erotika.
Teman gue yang lain—sebut aja namanya Melati—juga doyaaan banget sama buku 50SoG, sehingga ketika filmnya keluar, dia sedih setengah mati karena filmnya nggak masuk ke Indonesia. Sampai-sampai pas dia anniversary pernikahan, suaminya ngasih hadiah kejutan yang menurutnya sempurna: pergi ke Singapura bareng, demi bisa nonton 50SoG di sana (sekalian hanimun kedua dong, ya). Dalam hal ini, E.L. James mungkin dapet banyak pahala, sih, karena mengharmoniskan hubungan pasutri. Istana untuknya di surga!
Tapi segala celaan gue terhadap 50SoG tentunya nggak valid. Wong gue cuma menilai dari review dan trailer, tapi sebenarnya belom pernah baca buku atau nonton filmnya…
… sampai beberapa minggu lalu.
Yes, karena suatu kondisi keterpaksaan (jangan tanya terpaksanya karena apa), akhirnya gue nonton 50 Shades of Grey setelah sekian tahun terlambat. Alhamdulillah, better late than never. Dengan demikian, akhirnya gue punya hak untuk bener-bener mencaci film terburuk di generasi gue ini.
*kretekin jari*
Sebenarnya gue nggak suka memberikan ulasan yang sepenuhnya jelek. Di dunia ini ‘kan nggak ada hal yang absolut (ciyeee). Seburuk-buruknya sesuatu, pasti ada sisi bagusnya. Tapi maaf banget—film ini memang harus gue celain dari awal sampai akhir, karena pada inti dan hakekatnya, 50SoG jelek. Banget. Jelongi bingits. Kalau logat bencong gue sampai keluar, it means I’m serious.
To be fair, mungkin ada hal-hal positif dalam film ini (mmm… bintang filmnya kece? Ektingnya Dakota Johnson lumayan?), tapi gue pribadi selalu menilai sebuah karya dari ceritanya. Entah itu seri TV, buku, film, cerpen. Pokoknya, alur cerita dan logika adalah koentji, sementara akting, sinematografi, kostum, dll menjadi nomor dua.
Sialnya, logika cerita dalam film 50SoG adalah elemen terlemahnya.
Berikut adalah hal-hal yang paling bikin gue kesel:
(as a reminder, ini ulasan filmnya, ya. Gue belum pernah baca bukunya).
Sumber kekesalan #1
Gue paham, 50SoG adalah sebuah film “Cinderella story” yang formulanya sangat standar:
Ada seorang yang cewek yang kece, tapi cupu, sederhana, dan nggak sadar bahwa dia sebenarnya kece. Suatu hari, cewek ini ketemu seorang cowok ganteng, tajir, berkuasa, seksi, pintar, tapi dingin. Lalu dengan segala pesonanya yang nggak dia sadari, si cewek sukses membuat si cowok jatuh cinta, bahkan lalu mencairkan kepribadian di cowok yang kaku dan dingin (kenapa, sih, harus selalu ada obsesi perempuan untuk “memperbaiki” lakinya yang bermasalah?).
Tentunya si cewek lantas diangkat jadi pasangan resmi, ikutan hidup mewah, dan berbahagia selamanya.
HOAAHEEM, BOCEN YA, KAKAK. Dari mulai Hollywood teen flicks sampai sinetron-sinetronnya Thalia tahun 90an, sudah terlalu banyak film yang alur ceritanya begitu.
Masalahnya, beberapa film dengan formula “Cinderella story” lain masih punya logika yang bisa gue terima. Nah, 50SoG nggak punya.
Pertanyaan pertama gue, nih: kenapa, sih, Christian bisa langsung jatuh cinta sama Ana? What exactly did Ana do?! Selama pertemuan pertama mereka, Ana literally cuma berdiri grogi, gigit-gigit bibir, dan melontarkan beberapa kalimat yang agak blo’on di depan Christian. Lucu kagak, pinter kagak, kece pun ya standar aja. Karakter gadis ndeso lugunya (yang dipaksakan) pun nggak memikat juga. Kalau gue jadi Christian, baru ngabisin waktu lima menit bareng Ana aja, gue bakal bobok. Beneran, gue bakal ngorok di tempat. That girl is seriously as charming as a dead fish. She is basically Bella Swan—which is an incredibly bland character—versi cerita erotika.

*Christian nahan ngantuk*
Apalagi Christian Grey adalah seorang petualang cinta—ralat, petualang seks—yang (seharusnya) cerdas dan sangat berpengalaman. Sudah pernah punya 15 submissive sebelumnya, lho. Segitu gampangnyakah dia terpukau oleh gadis basic yang kerpibadiannya sehambar kuah bakso tanpa micin seperti Ana?
Lebih gawat lagi, kenapa Christian merasa Ana mengubah hidupnya? Again, throughout their relationship, Ana did nothing. Yang dia lakukan untuk Christian hanyalah a) menjadi perawan, b) tapi jual mahal, dan c) berani menggugat aturan-aturannya Christian. Wis. Gitu doang mah gue bisa. Pembantu gue juga kayaknya bisa (yha, kecuali bagian jadi perawannya).
Kenapa, ya, E.L. James—dan inspirasinya, Stephanie Meyer—doyan menciptakan tokoh perempuan yang datar, membosankan, tapi bisa bikin cowok-cowok naksir? Ini adalah penghinaan terhadap konsep inner beauty. Katanya inner beauty dan inner charm penting? Tapi mana, nih?!
Okelah, mungkin di balik poninya, Ana diam-diam nyimpen susuk pengasih yang bisa bikin cowok klepek-klepek. Tapi naksir atau jatuh cinta, tuh, perlu proses, dan dalam sebuah narasi, proses jatcin tersebut perlu dijabarkan dengan sabar dan realistis, supaya kisah cintanya terasa riil sehingga dekat dengan penonton. A good storyteller should know this.
INI BORO-BORO YHA, PEMIRSA!
Sumber kekesalan #2
Dalam berbagai sinopsis, Christian Grey disebut sebagai cowok “sempurna”, dan intensi E.L. James tentunya memang mencitrakan do'i sebagai cowok sempurna.
Padahal kok bisa, ya, cowok seklise dan segaring rengginang gitu dibilang “sempurna”? Si pengarang nggak punya imajinasi amat. Dia asal ngambil kesimpulan gampang aja dalam membentuk karakter Christian Grey: cowok sempurna di mata masyarakat pasti yang ganteng, tajir (karena orangtua), pintar, jago/gila ngesek, tapi dingin (baca: kepribadian semembosankan batu apung).
Lebih gawat lagi, kenapa Christian merasa Ana mengubah hidupnya? Again, throughout their relationship, Ana did nothing. Yang dia lakukan untuk Christian hanyalah a) menjadi perawan, b) tapi jual mahal, dan c) berani menggugat aturan-aturannya Christian. Wis. Gitu doang mah gue bisa. Pembantu gue juga kayaknya bisa (yha, kecuali bagian jadi perawannya).
Kenapa, ya, E.L. James—dan inspirasinya, Stephanie Meyer—doyan menciptakan tokoh perempuan yang datar, membosankan, tapi bisa bikin cowok-cowok naksir? Ini adalah penghinaan terhadap konsep inner beauty. Katanya inner beauty dan inner charm penting? Tapi mana, nih?!
Okelah, mungkin di balik poninya, Ana diam-diam nyimpen susuk pengasih yang bisa bikin cowok klepek-klepek. Tapi naksir atau jatuh cinta, tuh, perlu proses, dan dalam sebuah narasi, proses jatcin tersebut perlu dijabarkan dengan sabar dan realistis, supaya kisah cintanya terasa riil sehingga dekat dengan penonton. A good storyteller should know this.
INI BORO-BORO YHA, PEMIRSA!
Sumber kekesalan #2
Dalam berbagai sinopsis, Christian Grey disebut sebagai cowok “sempurna”, dan intensi E.L. James tentunya memang mencitrakan do'i sebagai cowok sempurna.
Padahal kok bisa, ya, cowok seklise dan segaring rengginang gitu dibilang “sempurna”? Si pengarang nggak punya imajinasi amat. Dia asal ngambil kesimpulan gampang aja dalam membentuk karakter Christian Grey: cowok sempurna di mata masyarakat pasti yang ganteng, tajir (karena orangtua), pintar, jago/gila ngesek, tapi dingin (baca: kepribadian semembosankan batu apung).
Plus, dalam film 50SoG, latar belakang Christian nggak terlalu diulik. Disebut, sih, bahwa Christian adalah anak angkat, ibu kandungnya druggie, dan dia sendiri pernah jadi seorang submissive pas remaja. Tapi latar belakang hidupnya tersebut nggak diulik lebih jauh. Akibatnya, gaya hidup dan kepribadian Christian justru bikin dese jadi tampak psycho. Nyebelinnya, ke-psycho-an Christian ketutup oleh wajah ganteng, kekayaan, sexual skill yang mumpuni, dan (kalau di versi buku) penis besar.
Padahal bayangin, deh, kalau lo tiba-tiba didekati oleh seorang cowok yang kelakuannya agak stalker dan maksa, memboyong lo ke apartemennya saat lo lagi nggak sadarkan diri karena mabok, memperawani lo, trus kemudian mengajukan proposal agar lo jadi budak seksnya… tapi bentukan dese kayak Mandra. Bubar ‘kan? Pasti lo panggil polisi ‘kan? Kenapa kita harus permisif sama orang kece dan kaya?

Kalau ini kamarnya Mandra, lo tetap tersanjung apa pengen kabur?
Apalagi ternyata Christian moody gilak. Hubungan Ana dengan Christian ‘kan intinya cuma ngesek BDSM, salah paham, berantem, ngesek BDSM, salah paham, berantem, dan seterusnya. Mungkin niatan E.L. James adalah membuat sosok Christian menjadi “rumit” dan “misterius”, ya. Tapi jatuhnya malah bikin kesel dan kelihatan psycho, tuh. Kalau di dunia nyata, hubungan mereka udah masuk ke kategori abusive, lho.
Entah E.L. James memang segitu malasnya mengembangkan karakter-karakter 50SoG menjadi lebih dalam, atau dia sebenarnya nggak pernah jatuh cinta (dan bercinta) properly. Alhasil, mungkin imajinya soal jatuh cinta dan cowok/cewek sempurna dia comot aja dari novel-novel Harlequin. Akibatnya, karakter-karakter dan kisah cinta dalam 50SoG menjadi nggak masuk akal dan sukses bikin gue mangkel sepanjang nonton.
Entah E.L. James memang segitu malasnya mengembangkan karakter-karakter 50SoG menjadi lebih dalam, atau dia sebenarnya nggak pernah jatuh cinta (dan bercinta) properly. Alhasil, mungkin imajinya soal jatuh cinta dan cowok/cewek sempurna dia comot aja dari novel-novel Harlequin. Akibatnya, karakter-karakter dan kisah cinta dalam 50SoG menjadi nggak masuk akal dan sukses bikin gue mangkel sepanjang nonton.

A: "Karakter lo klise banget, sih."
C: "Karakter lo lebih klise."
Sumber kekesalan #3
Selain malas mengembangkan karakter, E.L. James juga malas mengembangkan jalan cerita. Malah menurut gue, sih, 50SoG nggak punya plot. Wong ini film softporn belaka buat ebes-ebes.
Gue pernah baca sebuah ulasan somewhere yang bilang bahwa 50SoG, tuh, sebenarnya nggak berniat menyampaikan cerita. Tujuan film ini sebenarnya hanya “memasturbasi” penonton perempuannya, khususnya ibu-ibu kebosanan. Ebes-ebes berdaster dan kebosenan (ya, macam gue juga) mungkin banyak yang menggelinjang sih, ya, dikasih fantasi macam 50SoG: ditaksir cowok “sempurna”, diajak sek-sekan seru tiada akhir, dan dibanjiri hadiah mewah tiap hari.
Soal plot, logika, dan kerealistisannya, sih, baybaaay….
Contoh logika yang nggak masuk akal bagi gue adalah soal Ana si perawan.
Aduh, tolong ya, seus. Gue pernah jadi perawan. Pernah juga polos dan cupu pada masanya. Mana ada, deeeh, perewi yang kepikiran melemparkan kepalanya ke belakang dan melengkungkan punggungnya dengan seksi dan seductive pas pertama kali nganu. Hidih. Yang ada juga zikir penuh kepanikan. Mana katanya Ana nggak pernah punya pacar—apalagi ciuman—sebelumnya. Ini ibaratnya ‘kan Christian memperawani santri yang baru pertama kali kenal laki. Masuk akal nggak, kalau si ukhti santri tetiba lihai di kasur?
Plus, kok Ana bisa langsung orgasme pas pertama kali gituan? Are you kidding me? Katanya, sih, logika di bukunya lebih ngaco lagi. Bisa, lho, Ana dan Christian bercinta berkali-kali TANPA JEDA dan semuanya sukses orgasme. Becanda, yaaa. Dengkul copot kali, shay!
Oya, bicara soal seks, konon katanya adegan-adegan nganu dalam film 50SoG banyak banget yang dipotong dan diperhalus, dibandingkan bukunya. Pantesan kerasa dingin. Tapi mungkin gue harus bersyukur, karena katanya, ada beberapa adegan seks di buku 50SoG yang kepengennya-terkesan-seksi-tapi-gagal. Contoh: em el saat mens. TOLOOOONG.
Contoh logika ngaco lainnya adalah status miliuner Christian Grey. Really? You’re a self-made billionaire by 26 years of age? Catat, self-made, lho. Kerjanya Christian ngapain, sih? Kayaknya yang kelihatan cuma main piano dan nerbangin helikopter buat merayu cewek, trus main sek BDSM.
Sungguh, harusnya genre film ini “fantasy”, deh, bukan drama erotika.
Selain malas mengembangkan karakter, E.L. James juga malas mengembangkan jalan cerita. Malah menurut gue, sih, 50SoG nggak punya plot. Wong ini film softporn belaka buat ebes-ebes.
Gue pernah baca sebuah ulasan somewhere yang bilang bahwa 50SoG, tuh, sebenarnya nggak berniat menyampaikan cerita. Tujuan film ini sebenarnya hanya “memasturbasi” penonton perempuannya, khususnya ibu-ibu kebosanan. Ebes-ebes berdaster dan kebosenan (ya, macam gue juga) mungkin banyak yang menggelinjang sih, ya, dikasih fantasi macam 50SoG: ditaksir cowok “sempurna”, diajak sek-sekan seru tiada akhir, dan dibanjiri hadiah mewah tiap hari.
Soal plot, logika, dan kerealistisannya, sih, baybaaay….
Contoh logika yang nggak masuk akal bagi gue adalah soal Ana si perawan.
Aduh, tolong ya, seus. Gue pernah jadi perawan. Pernah juga polos dan cupu pada masanya. Mana ada, deeeh, perewi yang kepikiran melemparkan kepalanya ke belakang dan melengkungkan punggungnya dengan seksi dan seductive pas pertama kali nganu. Hidih. Yang ada juga zikir penuh kepanikan. Mana katanya Ana nggak pernah punya pacar—apalagi ciuman—sebelumnya. Ini ibaratnya ‘kan Christian memperawani santri yang baru pertama kali kenal laki. Masuk akal nggak, kalau si ukhti santri tetiba lihai di kasur?
Plus, kok Ana bisa langsung orgasme pas pertama kali gituan? Are you kidding me? Katanya, sih, logika di bukunya lebih ngaco lagi. Bisa, lho, Ana dan Christian bercinta berkali-kali TANPA JEDA dan semuanya sukses orgasme. Becanda, yaaa. Dengkul copot kali, shay!
Oya, bicara soal seks, konon katanya adegan-adegan nganu dalam film 50SoG banyak banget yang dipotong dan diperhalus, dibandingkan bukunya. Pantesan kerasa dingin. Tapi mungkin gue harus bersyukur, karena katanya, ada beberapa adegan seks di buku 50SoG yang kepengennya-terkesan-seksi-tapi-gagal. Contoh: em el saat mens. TOLOOOONG.
Contoh logika ngaco lainnya adalah status miliuner Christian Grey. Really? You’re a self-made billionaire by 26 years of age? Catat, self-made, lho. Kerjanya Christian ngapain, sih? Kayaknya yang kelihatan cuma main piano dan nerbangin helikopter buat merayu cewek, trus main sek BDSM.
Sungguh, harusnya genre film ini “fantasy”, deh, bukan drama erotika.
***
Sebenarnya masih ada 1001 sumber kekesalan gue dalam 50SoG, tapi cukup segini dulu, deh. Konon katanya, kalau gue mau tambah gondok, harus baca bukunya. Wow, ternyata konon trilogi buku 50SoG lebih ngeselin daripada trilogi filmnya! Patah, deh, teori “film adaptasi pasti lebih jelek daripada bukunya”.
Buat para ebes-ebes yang beneran turn-on karena buku/film 5SoG…. don’t. Just don’t. Yakinlah pada diri sendiri bahwa sex life kalian pasti lebih hangat dan realistis daripada sek-sekan BDSM fantasinya E.L. James.
Buat temen gue yang menjebak gue, harap kembalikan dua jam waktu gue yang terbuang sia-sia untuk nonton film ini. Apakah lo sesebel itu sama gue? Hahahaha.
Buat E.L. James, please consider another career path.
Buat para ebes-ebes yang beneran turn-on karena buku/film 5SoG…. don’t. Just don’t. Yakinlah pada diri sendiri bahwa sex life kalian pasti lebih hangat dan realistis daripada sek-sekan BDSM fantasinya E.L. James.
Buat temen gue yang menjebak gue, harap kembalikan dua jam waktu gue yang terbuang sia-sia untuk nonton film ini. Apakah lo sesebel itu sama gue? Hahahaha.
Buat E.L. James, please consider another career path.

Akhir kata, seandainya suatu hari nanti ada cowok ngomong ke gue dengan pretensiusnya, "I don't make love. I fuck. Hard." sudah pasti akan kujawil dagunya sambil bilang "Macaciiih....? Norak, luh."